BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Work Engagement. berhubungan dengan kesejahteraan dalam bekerja, penuh semangat dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan

PENDAHULUAN. Employee engagement merupakan topik yang banyak dibicarakan. beberapa tahun terakhir. Penelitian dan aplikasi mengenai topik ini banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. yang mendefinisikan work engagement adalah tingkat keterikatan fisik,

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Menurut Achour (2011) kesejahteraan pada karyawan adalah seseorang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Era globalisasi mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, perkembangan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakpastian yang tinggi telah menuntut organisasi-organisasi modern untuk

BAB I PENDAHULUAN. rakyatnya, kualitas sumber daya manusia memegang peran yang cukup penting,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan RI mengatakan bahwa untuk mencapai Indonesia Sehat pada tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Banyak penelitian yang menggunakan istilah engagement sebagai variabel

untuk dapat terus mempertahankan kualitas kinerjanya. Perkembangan zaman juga menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. organisasi. Penelitian mengenai engagement dalam pekerjaan yang berkembang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Keterikatan kerja atau yang sering disebut engagement

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. 1. Pengertian Kinerja. tujuan organisasi (Viswesvaran & Ones, 2000). McCloy et al. (1994)

BAB II LANDASAN TEORI. sehingga banyak yang menyebut keterikatan kerja merupakan old wine in

BAB II LANDASAN TEORI. Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai hasrat karyawan

1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB 2 TINJAUAN REFERENSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkebunan tercatat sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar

BAB II LANDASAN TEORI. memiliki pengertian berbeda mengenai engagement (Albrecht, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan UU No.8 Tahun1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pegawai

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan naiknya persaingan bisnis. Masing-masing perusahaan saling beradu

Salah satu tantangan terbesar perusahaan dalam persaingan di pasar global. engaged menjadi sangat berharga dalam mendukung kinerja perusahaan karena

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini mengharuskan setiap

BAB II LANDASAN TEORI. dari pembahasan komitmen organisasional dan work engagement terhadap job

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpengaruh terhadap kemajuan perusahaan adalah karyawan yang berkualitas.

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Employee Engagement Definisi mengenai engagement saat ini masih belum jelas, istilah

BAB 1 PENDAHULUAN. Karyawan perusahaan sebagai makhluk hidup merupakan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. keuangan, kemampuan marketing, dan sumber daya manusia (SDM).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Permasalahan. memiliki batasan reaktif yang dapat diidentifikasi serta bekerja bersama-sama untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan pengelolaan sumber daya manusia telah ditandai pergeseran

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN ANTARA JOB CRAFTING DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN GENERASI Y DI KANTOR PUSAT PT. BANK BUKOPIN, TBK JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

yang memiliki peran penting dalam perusahaan karena mereka akan berhubungan dengan para pelanggan. Dalam masyarakat, karyawan pemasaran sering kali

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas sumber daya manusia (Cheng,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang bernama Gallup pada tahun 1990-an. Menurut survei Global,

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mereka dan kejadian di lingkungannya (Bandura, dalam Feist & Feist, 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Work Engagement. Work engagement atau worker engagement merupakan sebuah konsep

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia pendidikan saat ini menuntut adanya penyesuaian sistem pendidikan

BAB II TELAAH PUSTAKA. mengenai penelitian ini, berdasarkan variabel-variabel yang menjadi obyek

sumber daya manusianya. Hal ini disebabkan karena dunia kerja memiliki tuntutan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI WORK ENGAGEMENT PADA KARYAWAN OUTSOURCING DIVISI KARTU KREDIT PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) TBK.

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi memaksa setiap organisasi berupaya menciptakan keunggulankeunggulan

BAB I PENDAHULUAN. menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kahn (dalam May dkk, 2004) work engagement dalam. pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. seperti yang tercantum dalam UU NO.36/2009 pengertian kesehatan adalah keadaan sehat,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. satunya adalah cabang Solo Raya dan Madiun Raya. Pada bulan April 2016

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pada era globalisasi saat ini, teknologi kesehatan berkembang semakin pesat

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem, salah satunya adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB I PENDAHULUAN. bahkan melakukan yang terbaik untuk perusahaan. Untuk beberapa pekerjaan

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perusahaan akan berjalan baik dengan adanya sumber daya manusia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola. Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. segala kegiatan bisnis dan perekonomian, hal ini menyebabkan terjadinya

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Stres Kerja

BAB I PENDAHULUAN. Komitmen telah menunjukkan pengaruh yang kuat pada keinginan karyawan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

EMOSI DAN SUASANA HATI

PENGARUH JOB DEMANDS, PERSONAL RESOURCES, DAN JENIS KELAMIN TERHADAP WORK ENGAGEMENT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya, dan prestasi akhir itulah yang dikenal dengan performance atau

BAB I PENDAHULUAN. organisasi karena dapat berpengaruh terhadap kinerja dan tingkat turnover

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tardif (dalam Muhibbin Syah, 2003) yang dimaksud dengan cara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Teori yang mendukung penelitian ini adalah role theory (teori peran) yang

BAB I PENDAHULUAN. (Kurniawati, 2013). Begitu pula seperti yang tercantum dalam UU No.20/2003

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi, tampaknya persaingan bisnis di antara

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Bandura self efficacy adalah kepercayaan individu pada kemampuannya untuk

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia (SDM) adalah pelaksanaan job analysis, perencanaan SDM,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Wade dan Tavris (2007: 194) menyebutkan bahwa kepribadian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian lain dari social loafing adalah kecenderungan untuk mengurangi

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self-Efficacy. berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya mampu atau tidak mampu

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement 1. Pengertian Work Engagement Work engagement menurut Schaufeli, Bakker, dan Taris (2002) adalah konstruk motivasional yang berarti sebagai keadaan positif yang berhubungan dengan kesejahteraan dalam bekerja, penuh semangat dan kelekatan yang kuat dengan pekerjaannya, yang dikarakteristikkan oleh vigor, dedication, dan absorption (Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, & Bakker, 2002). Work engagement telah didefinisikan pertama kali oleh Kahn (1990) sebagai suatu keadaan di mana anggota dari sebuah organisasi mengidentifikasi dirinya dengan pekerjaannya. Work engagement juga menjadi istilah yang meluas dan populer (Robinson, 2004). Robinson, Perryman, dan Hayday (2004) mendefinisikan work engagement sebagai sikap positif pegawai terhadap organisasi dan nilai-nilai organisasi. Pegawai yang engaged memiliki kesadaran dalam konteks bisnis dan bekerja dengan koleganya untuk meningkatkan kinerja dalam pekerjaan untuk keuntungan organisasi. Work engagement memungkinkan individu untuk menanamkan diri sepenuhnya terhadap pekerjaan dengan meningkatkan self-efficacy dan berdampak 19

20 positif pada kesehatan pegawai yang akan meningkatkan dukungan pegawai terhadap instansi (Robertson & Markwick, 2009). Schmidt (2004) mengartikan work engagement sebagai gabungan antara kepuasan dan komitmen, dan kepuasan tersebut mengacu lebih kepada elemen emosional atau sikap, sedangkan komitmen lebih melibatkan pada elemen motivasi dan fisik. Meskipun kepuasan dan komitmen adalah dua elemen kunci, secara individu hal tersebut tidak cukup untuk menjamin work engagement, terdapat tema berulang yang menunjukkan work engagement yang melibatkan pekerja yaitu going extra mile (akan bekerja ekstra) dan mengupayakan sesuatu untuk pekerjaan di atas apa yang biasanya diharapkan (Clifton, 2002). Hewitt, Bacon dan Woodrow (dalam Robinson, Perryman, & Hayday, 2004) mendefinisikan engagement sebagai pengukuran emosional pegawai dan komitmen intelektual terhadap instansi dan kesuksesannya dan meyakininya menjadi hasil pengukuran dan menggambarkan bagaimana pegawai berperilaku sebagai hasil interaksi pegawai dengan instansi. Terdapat juga pandangan lain mengenai work engagement yaitu dengan mengasumsikan work engagement sebagai lawan dari burnout. Pegawai yang engaged memiliki rasa bersemangat dan hubungan yang efektif dengan pekerjaan dan menilai diri mampu menangani tuntutan kerja. Schaufeli dan Bakker (2006) mengasumsikan bahwa engagement dan burnout merupakan dua kutub berlawanan dari

21 kontinum mengenai work related well-being, dengan burnout mewakili kutub negatif dan engagement sebagai kutub positif. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa work engagement merupakan konstruk motivasional yang berarti sebagai keadaan positif yang berhubungan dengan kesejahteraan dalam bekerja, penuh semangat dan kelekatan yang kuat dengan pekerjaannya yang dikarakteristikkan oleh vigor, dedication, dan absorption. 2. Aspek-Aspek Work Engagement Schaufeli dan Bakker (2011) mengemukakan bahwa work engagement memiliki aspek-aspek sebagai berikut: a. Vigor Merupakan curahan energi untuk melakukan pekerjaannya yang terbaik dan adanya rasa senang atau kegembiraan terhadap setiap pekerjaannya. Kerelaan untuk memberikan usaha yang maksimal terhadap kinerjanya dan ketahanan mental ketika menemui kesulitan dalam bekerja. b. Dedication Merupakan suatu kondisi ketika pegawai mempunyai keterlibatan yang kuat dengan pekerjaannya dan munculnya perasaan tertantang, antusiasme, dan merasa bahwa pekerjaan yang dilakukannya tersebut dapat memberikan inspirasi yang signifikan bagi dirinya baik secara sosial maupun personal.

22 c. Absorption Merupakan suatu kondisi di mana karyawan merasa waktu berjalan sangat cepat karena terlarut dalam pekerjaannya. Karyawan merasa kesulitan untuk lepas dari pekerjaannya. Dalam kondisi ini karyawan mencurahkan konsentrasinya secara penuh pada pekerjaannya dan memiliki rasa kesenangan hati untuk terus bekerja. Kemudian Lockwood (2007) juga mendukung dimensi yang dikemukakan oleh Schaufeli dan Bakker, yang menyatakan bahwa work engagement terdiri atas tiga dimensi, yaitu: a. Membicarakan hal-hal positif mengenai organisasi pada rekannya dan mereferensikan organisasi tersebut pada pekerjaan dan pelanggan potensial. b. Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi tersebut meskipun terdapat kesempatan untuk bekerja di tempat lain. c. Memberikan upaya dan menunjukkan perilaku yang keras untuk berkontribusi dalam kesuksesan organisasi. Dari penjabaran kedua teori di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek work engagement dibagi menjadi tiga yaitu vigor, dedication, dan absorption. Peneliti memilih menggunakan aspek-aspek dari Schaufeli dan Bakker (2011) sebagai dasar teori penyusunan alat ukur. Pertimbangan ini dikarenakan paparan aspek yang dibuat tentang work engagement lebih detail sehingga sesuai dengan tujuan penelitian. Hal

23 tersebut digunakan untuk mengetahui tingkat work engagement pada pegawai di Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Kapuas Hulu. 3. Faktor-Faktor yang Mendorong Work Engagement Banyak faktor yang mempengaruhi pegawai untuk menunjukkan perilaku work engagement. Menurut Schaufeli (dalam Bakker & Demerouti, 2008) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement, di antaranya: a. Tuntutan Kerja Tuntutan kerja merupakan aspek-aspek fisik, sosial, maupun organisasi dari pekerjaan yang membutuhkan usaha terus menerus baik secara fisik maupun psikologis demi mencapai dan mempertahankannya. b. Job Resources Job Resources merujuk pada aspek fisik, sosial maupun organisasional dari pekerjaan yang memungkinkan individu untuk; a) mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, b) mencapai target pekerjaan, dan c) menstimulasi pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan personal.

24 c. Salience of Job Resource Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya pekerjaan yang dimiliki oleh individu. d. Personal Resources Personal resources merujuk kepada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kepribadian, sifat, usia, dan lain-lain. Personal resources merupakan aspek diri dan pada umumnya dihubungkan dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu memanipulasi, mengontrol dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Beberapa tipikal personal resources antara lain: 1) Efikasi diri Efikasi diri merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas atau tuntutan dalam berbagai konteks. 2) Organizational-based self-esteem Organizational-based self-esteem didefinisikan sebagai tingkat keyakinan anggota organisasi bahwa pegawai dapat memuaskan kebutuhannya dengan berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam suatu organisasi.

25 3) Optimism Optimism berkaitan dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa dirinya mempunyai potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam hidupnya. 4) Personality Personality (kepribadian) berkaitan erat dengan work engagement dan proses burnout yang juga dapat dikarakteristikkan dengan watak atau perangai, menggunakan dimensi aktivasi dan kesenangan sebagai suatu kerangka kerja. Selain itu, Schaufeli dan Bakker (2004) menyatakan bahwa work engagement pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal yaitu: a. JD-R (Job Demands Resources model), meliputi beberapa aspek yaitu: 1) Lingkungan fisik dan organisasi Kenyamanan dalam bekerja sangat diperlukan dalam organisasi. Dengan lingkungan yang baik, karyawan akan mampu bekerja lebih lama karena lingkungan yang nyaman. 2) Gaji dan peluang untuk berkarir Dengan adanya sistem yang baik di organisasi, karyawan akan merasa dihargai dan apa yang dikerjakannya sangat dipertimbangkan oleh atasan. Adanya gaji yang benar dan sistem kenaikan jabatan yang adil akan membentuk keterkaitan dengan karyawan.

26 3) Dukungan supervisior dan rekan kerja Dukungan dari orang-orang di lingkungan kerja menjadi dorongan secara psikologis sehingga karyawan tidak hanya kuat secara fisik tetapi juga kuat secara mental. 4) Performance feedback Penilaian terhadap prestasi bekerja akan menjadi dorongan bagi karyawan untuk bergerak maju sehingga akan membentuk keterikatan terhadap pekerjaannya dan perusahaannya. b. Model psychological capital, meliputi: 1) Self-efficacy Diartikan sebagai keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan memberikan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas yang menantang. 2) Optimism Adalah atribusi yang positif dari individu tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan. 3) Hope Adalah keadaan emosional positif untuk mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan atau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan.

27 4) Resilience Adalah ketika individu dihadapkan pada masalah dan tantangan dapat bertahan dan bangkit kembali, bahkan lebih dalam meraih kesuksesan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi work engagement meliputi tuntutan kerja, job resources, salience of job resources, dan personal resources yang terdiri atas efikasi diri, organizational-based self-esteem, optimism, dan personality. Meninjau dari faktor yang mempengaruhi tingkat work engagement dengan kondisi instansi yang akan dijadikan sebagai tempat penelitan, maka peneliti kemudian menggunakan teori Schaufeli (dalam Bakker & Demerouti, 2008), di mana faktor yang akan dijabarkan adalah tuntutan kerja dan efikasi diri. Kedua variabel bebas yang akan dilibatkan dalam penelitian ini dianggap mampu memiliki kaitan terhadap perilaku work engagement pada pegawai di Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Kapuas Hulu. Menurut Schaufeli (dalam Bakker & Demerouti, 2008), tuntutan kerja merupakan faktor utama penentu work engagement dalam diri individu. Hal ini sejalan dengan penelitian Astianto (2014) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tuntutan kerja dengan work engagement. Semakin tinggi tuntutan kerja maka semakin tinggi pula work engagement. Kemudian efikasi diri yang merupakan aspek dari

28 psychological capital ini berada dalam faktor personal resources, efikasi diri memiliki pengaruh yang besar terhadap work engagement pegawai (Bakker, 2006). Hal ini didukung dengan penelitian dari Aprilia (2015) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara selfefficacy dengan keterlibatan kerja. Semakin tinggi self-efficacy maka semakin tinggi pula keterlibatan kerja. B. Persepsi Terhadap Tuntutan Kerja 1. Pengertian Persepsi Terhadap Tuntutan Kerja Menurut Robbins (2003), persepsi adalah kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian di analisa (diorganisir), dinterpretasi dan kemudian dievaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna. Walgito (2010) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap stimulus yang ditangkap oleh panca inderanya sehingga menjadi sesuatu yang berarti dan menimbulkan respon yang terintegrasi dalam diri individu. Kemudian definisi lain persepsi yaitu proses yang digunakan untuk mengetahui dan memahami sesuatu (Baron & Byrne, 2004). Persepsi juga diartikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2008).

29 Menurut Bakker (2008), tuntutan kerja adalah segala aspek fisik, psikologis, sosial dan organisasional dari sebuah pekerjaan yang membutuhkan usaha dan keterampilan fisik dan psikis secara berkelanjutan, sehingga membutuhkan pengorbanan fisik dan psikologis tertentu. Menurut Cicek (2013), tuntutan kerja dianggap sebagai sebuah stressor psikologis yang muncul karena bekerja dalam jangka waktu yang panjang, beban kerja yang berlebih dan memiliki waktu yang terbatas untuk melakukan pekerjaan dan memiliki tuntutan yang saling bertentangan. Mikkelsen, et al. (2005) menambahkan definisi tuntutan kerja sebagai aspek yang berhubungan dengan pemicu terjadinya stres kerja dan sumber beban kerja di antara para pekerja sosial. Walaupun bukanlah hal negatif, tuntutan kerja dapat berubah menjadi job stressors ketika bertemu tuntutan yang memerlukan usaha besar dan oleh karena itu dikaitkan dengan besarnya biaya yang mendapatkan respon negatif seperti depresi, kecemasan atau burnout (Schaufeli & Bakker, 2004). Menurut Tooren, Jonge, Vlerick, Daniels dan de Ven (2011), tuntutan kerja merupakan tugas yang berhubungan dengan pekerjaan yang membutuhkan usaha dan variasi dari pemecahan masalah yang kompleks. Berdasarkan model JD-R (Demerouti et al., 2001), karakteristik lingkungan kerja dapat diklasifikasikan dalam dua kategori umum, tuntutan kerja dan job resources, yang menggabungkan tuntutan spesifik dan sumber daya yang berbeda, tergantung pada konteks yang diteliti.

30 Tuntutan pekerjaan adalah keadaan karyawan yang ditinjau dari beban pekerjaan (Bakker, Demerouti, Taris, Schaufeli, & Schreurs, 2003). Tuntutan kerja merujuk pada aspek-aspek fisik, psikologis, sosial, atau organisasi dari suatu pekerjaan yang membutuhkan usaha atau kemampuan secara fisik dan/atau psikologis yang terus-menerus dan oleh karena itu diasosiasikan dengan biaya fisik dan/atau psikologis tertentu (Bakker & Demerouti 2007). Model JD-R mengasumsikan bahwa ketika tuntutan kerja tinggi, upaya tambahan harus diberikan untuk mencapai tujuan kerja dan untuk mencegah penurunan work engagement. Hal ini sama dengan biaya fisik dan psikologis, seperti kelelahan dan cepat marah. Karyawan dapat memulihkan diri dari memobilisasi energi ekstra dengan mengambil istirahat, mengerjakan tugas yang lain, atau melakukan kegiatan yang tidak terlalu menuntut. (Knardahl & Ursin, 1985). Berdasarkan uraian teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap tuntutan kerja adalah penilaian individu mengenai segala aspek fisik, psikologis, sosial dan organisasional dari sebuah pekerjaan yang membutuhkan usaha dan keterampilan fisik dan psikis secara berkelanjutan, sehingga membutuhkan pengorbanan fisik dan psikologis tertentu.

31 2. Aspek Persepsi Terhadap Tuntutan Kerja Menurut Bakker, et al. (2003) terdapat tiga aspek dari persepsi terhadap tuntutan kerja, yaitu: a. Emotional demands Merupakan tuntutan kerja yang berhubungan dengan emosional individu terhadap pekerjaan. Emotional demands adalah kondisi emosi yang dirasakan dan harus dihadapi ketika individu berusaha untuk menyelesaikan pekerjaannya. Emotional demands dapat bersumber dari pekerjaan itu sendiri maupun karena interaksi dengan orang-orang yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut. b. Work overload Merupakan tuntutan kerja yang berhubungan dengan banyaknya beban kerja yang diterima. Work overload adalah segala macam tuntutan-tuntutan pekerjaan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja, misalnya seperti tekanan waktu maupun tingkat konsentrasi yang dibutuhkan. c. Cognitive demands Merupakan tuntutan kerja berupa tugas yang memerlukan banyak konsentrasi. Cognitive demands melibatkan segala upaya yang menyangkut aktifitas otak yang terlibat dalam kemampuan berpikir, misalnya kemampuan dalam mengolah informasi, kemampuan memahami arti, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi.

32 Menurut Karasek (dalam Husain, 2011), terdapat 4 dimensi yang menjadi penentu kuat lemahnya tuntutan dalam pekerjaan meliputi: a. Qualitative demands Merupakan sebuah tuntutan dari perusahaan terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan oleh pegawai. b. Employee demands Merupakan tuntutan dari perusahaan terhadap kinerja pegawai dalam suatu perusahaan. c. Workload demands Merupakan tuntutan dari perusahaan terhadap beban kerja pegawai yang ditingkatkan sehingga akan membutuhkan kemampuan atau skill yang cukup baik agar dapat menyelesaikan tuntutan tersebut. d. Conflict demands Merupakan tuntutan dari perusahaan terhadap pegawai terutama mengenai permasalahan internal yang dihadapi pegawai terhadap perusahaan. Dalam hal ini, pegawai dituntut untuk tidak membawa atau mencampur permasalahan pribadi ke dalam perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga aspek persepsi terhadap tuntutan kerja, yaitu emotional demands, work overload, dan cognitive demands. Aspek-aspek lain yang dikemukakan yaitu qualitative demands, employee demands, workload demands, dan conflict demands. Pada penelitian ini, peneliti memilih aspek- aspek yang

33 dikemukakan Bakker, et al. (2003), karena aspek yang dibuat lebih detail sehingga memudahkan peneliti dalam pembuatan instrumen pengumpulan data. C. Efikasi Diri 1. Pengertian Efikasi Diri Efikasi diri dapat diartikan sebagai penilaian seseorang tentang kemampuannya sendiri untuk menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan tertentu. Efikasi diri mengacu pada keyakinan sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau melakukan suatu tugas yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil tertentu (Bandura, 1997). Definisi dari efikasi diri terus berkembang, menurut Bandura (1997) efikasi diri adalah keyakinan manusia akan kemampuan dirinya untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi diri dan kejadian di lingkungannya. Bandura juga menambahkan bahwa efikasi diri adalah kemampuan seseorang untuk menggerakkan motivasi, sumber-sumber kognitif, dan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari situasi yang dihadapi. Kemudian King (2012) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan sebuah perasaan bahwa seseorang mampu mencapai tujuan-tujuan tertentu, menguasai keterampilan, dan mengatasi kendala-kendala dengan harapan untuk berhasil. Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan efikasi

34 diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan. Friedman dan Schustack mendefinisikan efikasi diri adalah ekspetansi-keyakinan (harapan) tentang seberapa jauh individu mampu melakukan satu perilaku dalam suatu situasi tertentu (dalam Woropinasti, 2010). Menurut Alwisol (dalam Aprillia, 2015) efikasi diri adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Menurut Luthans dan Stajkovic (dalam Aprillia, 2015) efikasi diri mengacu pada keyakinan individu mengenai kemampuannya untuk memobilisasi motivasi, sumberdaya kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar berhasil melaksanakan tugas dalam konteks tertentu. Efikasi diri merupakan salah satu faktor personal yang menjadi perantara atau mediator dalm interaksi antara faktor perilaku dan faktor lingkungan. Efikasi diri dapat menjadi penentu keberhasilan performasi dan pelaksanaan pekerjaan. Efikasi diri juga mempengaruhi pola pikir, reaksi emosional dalam membuat keputusan (Mujiadi, 2003). Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri dapat diartikan sebagai keyakinan manusia akan kemampuan dirinya untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi diri dan kejadian di lingkungannya.

35 2. Aspek Efikasi Diri Menurut Bandura (1997), terdapat tiga aspek dalam efikasi diri yaitu: a. Magnitude Aspek ini berkaitan dengan kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas yang dibebankan pada individu menurut tingkat kesulitannya, maka perbedaan efikasi diri secara individual mungkin terdapat pada tugastugas yang sederhana, menengah, atau tinggi. Individu akan melakukan tindakan yang dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan akan tugas-tugas yang diperkirakan di luar batas kemampuan yang dimilikinya. b. Generality Aspek ini berhubungan luas dengan bidang tugas atau tingkah laku. Beberapa pengalaman berangsur-angsur menimbulkan penguasaan terhadap pengharapan pada bidang tugas atau tingkah laku yang khusus sedangkan pengalaman lain membangkitkan keyakinan yang meliputi berbagai tugas. c. Strength Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap keyakinannya. Tingkat efikasi diri yang lebih rendah mudah digoyangkan oleh pengalaman-pengalaman yang memperlemahnya, sedangkan seseorang yang memiliki efikasi diri

36 yang kuat tekun dalam meningkatkan usahanya meskipun dijumpai pengalaman yang memperlemahnya. Gibson (2003) juga menyebutkan efikasi diri memiliki tiga dimensi, yaitu besaran, kekuatan dan generalitas. Besaran merujuk pada tingkat kesulitan minat yang diyakini individu bisa diatasi. Kekuatan meliputi keyakinan individu dalam melaksanakan kerja pada tingkat kesulitan khusus. Generalitas merujuk pada sejauh mana harapan berlaku umum dalam semua situasi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam efikasi diri terbagi menjadi tiga yaitu magnitude, generality, dan strength. Pada penelitian ini, peneliti memilih aspek-aspek yang dikemukakan oleh Bandura (1997) karena aspek yang dibuat lebih detail sehingga memudahkan peneliti dalam pembuatan instrumen pengumpulan data. D. Hubungan antara Persepsi Terhadap Tuntutan Kerja dan Efikasi Diri dengan Work Engagement Schaufeli et al. (2002) menyatakan work engagement adalah keadaan positif yang berhubungan dengan kesejahteraan dalam bekerja, penuh semangat dan kelekatan yang kuat dengan pekerjaannya. Setidaknya ada empat alasan mengapa pegawai yang engage melakukan pekerjaan lebih baik daripada pegawai yang tidak engage. Pertama,

37 pegawai yang engage sering mengalami emosi positif, termasuk rasa syukur, sukacita, dan antusiasme. Kedua, pegawai yang engage mengalami kesehatan yang lebih baik. Ini berarti bahwa pegawai dapat fokus dan mendedikasikan semua kemampuan dan energi untuk pekerjaannya. Ketiga, pegawai yang engage menciptakan pekerjaan dan personal resources diri sendiri. Akhirnya, pegawai yang engage mentransfer work engagement kepada orang lain di lingkungan pegawai tersebut. Karena sebagian besar kinerja instansi merupakan hasil dari usaha bersama, work engagement seseorang dapat mentransfer kepada orang lain dan secara tidak langsung meningkatkan kinerja kelompok. Dalam hal ini, engagement dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu seperti efikasi diri, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu (situasi atau lingkungan) seperti tuntutan kerja. Pada faktor internal ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tingkat engagement pegawai, di antaranya adalah latar belakang kehidupan pegawai (biografis), karakteristik kepribadian, kepercayaan karyawan terhadap perusahaan, perasaan bangga terhadap perusahaan, dan persepsi karyawan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan hal yang penting, memiliki tujuan, serta memiliki makna bagi dirinya (Lockwood dalam Smith & Markwick, 2009; Perrin, 2003). Sedangkan hal-hal yang dapat mempengaruhi engagement

38 berdasarkan faktor eksternal, yaitu budaya organisasi, gaya kepemimpinan, perhatian senior manajer terhadap keberadaan pegawai, reputasi perusahaan, kompensansi, kesempatan untuk mengembangkan karir, terbukanya kesempatan bagi pegawai untuk memberikan pendapat, hak pegawai untuk mengambil keputusan, kualitas komunikasi antar organisasi, tim kerja yang kompak dan saling mendukung, jelasnya jenis pekerjaan yang dilakukan, adanya sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung performansi pegawai, dan penyampaian nilai serta tujuan organisasi kepada karyawan (Lockwood dalam Smith & Markwick, 2009; Perrin, 2003). Tuntutan kerja mengacu pada suatu tingkat lingkungan kerja yang berisi rangsangan yang membutuhkan beberapa usaha (Jones et al., 1996, dalam Al-Homayan et al., 2013), serta menunjukkan bahwa tuntutan kerja dapat menyebabkan konsekuensi negatif apabila pegawai memerlukan usaha tambahan untuk mencapai tuntutan kerja (Peeters et al., 2005 dalam Al-Homayan et al.,2013). Dari model JD-R, job demands atau tuntutan kerja merujuk pada aspek-aspek fisik, psikologi, sosial atau organisasi dari suatu pekerjaan yang membutuhkan usaha atau kemampuan secara fisik dan/atau psikologis yang terus-menerus dan oleh karena itu diasosiasikan dengan biaya fisik dan/atau psikologis tertentu (Bakker & Demerouti, 2007). Contohnya adalah tekanan tinggi pada pekerjaan, lingkungan fisik yang tidak menguntungkan, dan interaksi emosional dengan klien yang

39 menuntut. Meskipun tuntutan kerja belum tentu negatif, tetapi tuntutan kerja dapat berubah menjadi stres pekerjaan saat bertemu dengan tuntutan yang membutuhkan usaha yang tinggi dari karyawan yang tidak memiliki kemampuan yang memadai (Meijman & Mulder, 1998, dalam Bakker & Demerouti, 2006). Sejalan dengan pemahaman tentang tuntutan kerja, hubungan antara tuntutan kerja dengan work engagement diasumsikan memiliki hubungan yang negatif. Tetapi bila hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai koefisien regresi positif maka tuntutan kerja memiliki dampak yang positif untuk work engagement dikarenakan pegawai akan memberikan hasil pekerjaan yang lebih baik lagi. Sebaliknya, jika nilai koefisien tuntutan kerja memiliki arah yang negatif maka hal tersebut akan berdampak negatif pula karena work engagement pegawai akan mengalami penurunan karena kelelahan atau terlalu banyak tuntutan pekerjaan yang ia hadapi. (dalam Bimantari, 2015). Bakker dan Demerouti (2007) menjelaskan tentang model Job Demand Resource (JD-R). Pada model JD-R menjelaskan bahwa setiap pekerjaan memiliki faktor resiko tertentu terkait dengan stres kerja. Menurut Bakker dan Demerouti (2007) seseorang yang tidak mampu mengatasi tuntutan kerja atau beban kerja berlebih sangatlah mungkin menjadi pemicu timbulnya stres kerja. Stres kerja adalah ketidakmampuan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap suatu tekanan atau tuntutan

40 pekerjaan, karena berdasarkan penilaian psikologisnya dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengancam atau melebihi batas kemampuan yang dimiliki dan mengganggu seseorang untuk menanganinya, serta dapat menimbulkan perubahan pada kondisi psikologis, fisiologis, dan perilaku. Pegawai yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi maka memiliki engagement dengan pekerjaannya sehingga walaupun dalam pekerjaan banyak mendapat tuntutan-tuntutan pekerjaan, tetapi dipersepsikan atau direspon sebagai suatu tantangan dan mampu dijangkau oleh kemampuannya. Sedangkan pegawai yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah maka memiliki engagement yang rendah pula, sehingga pegawai tidak mampu mengelola emosi menjadi sumber energi, dan ketika dalam pekerjaan banyak mendapat tuntutan-tuntutan pekerjaan maka akan dipersepsikan atau direspon sebagai sesuatu yang mengancam dan tidak mampu dijangkau oleh kemampuannya (dalam Megawati, 2010). Menurut Bakker, et al. (2003) terdapat tiga aspek dari tuntutan kerja, yaitu emotional demands, work overload, dan cognitive demands. Aspek emotional demands, merupakan tuntutan kerja yang berhubungan dengan emosional individu terhadap pekerjaan. Emotional demands adalah kondisi emosi yang dirasakan dan harus dihadapi ketika individu berusaha untuk menyelesaikan pekerjaannya. Emotional demands dapat bersumber dari pekerjaan itu sendiri maupun interaksi dengan orang-orang yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut. (dalam Nurendra, 2016).

41 Emotional demands berfokus pada masalah-masalah di tempat kerja yang mempengaruhi karyawan secara pribadi dan dapat menguras emosi, sehingga melibatkan interaksi emosional di tempat kerja. Emotional demands dinilai positif apabila pegawai merasa santai dalam pekerjaannya, seperti ketika memiliki perbedaan pendapat, mendiskusikan pekerjaan dengan atasan ataupun rekan kerja, menyelesaikan tugas yang berhubungan dengan atasan maupun rekan kerja, dan menyelesaikan pekerjaan bersama-sama dengan rekan kerja lainnya, maka pegawai tidak merasa tertekan sehingga dapat menyalurkan energi dalam pekerjaannya secara efisien (dalam Hervian, 2017). Masalah lain yang bisa muncul di antaranya daya tahan pegawai melemah dan perasaan tertekan. Perasaan tertekan menjadikan pegawai tidak rasional, cemas, tegang, tidak dapat memusatkan perhatian pada pekerjaan dan gagal untuk menikmati perasaan gembira atau puas terhadap pekerjaan yang dilakukan. Hal ini akan menghalangi pegawai mewujudkan sifat positifnya, salah satunya yaitu sikap engage terhadap pekerjaannya. (dalam Astianto, 2014). Aspek work overload merupakan tuntutan kerja yang berhubungan dengan banyaknya beban kerja yang diterima. Menurut Bakker, et al (2003) beban kerja adalah segala macam tuntutan-tuntuan pekerjaan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja, misalnya seperti tekanan waktu maupun tingkat konsentrasi yang dibutuhkan (dalam Nurendra, 2016).

42 Bakker menambahkan bahwa pegawai yang meyakini serta merasa bahwa tugas yang diberikan adalah sebagai tantangan yang harus dipecahkan meskipun tugas tersebut terlalu berlebihan maka seseorang tersebut dapat tetap merasa senang terhadap pekerjaannya. Sebaliknya jika tugas yang berlebihan tersebut diyakini dan dirasakan sebagai sebuah beban maka lambat laun pegawai akan mengalami kelelahan baik kelelahan fisik maupun mental sehingga dapat menurunkan kinerja. Kinerja yang menurun maka akan mengakibatkan rendahnya work engagement pada pegawai (dalam Astianto, 2014). Aspek cognitive demands merupakan tuntutan kerja berupa tugas yang memerlukan banyak konsentrasi. Menurut Bakker, et al (2003), pegawai seringkali dihadapkan pada keharusan untuk menyelesaikan dua atau lebih tugas yang harus dikerjakan secara bersamaan. Cognitive demands melibatkan segala upaya yang menyangkut aktifitas otak yang terlibat dalam kemampuan berpikir, misalnya kemampuan dalam mengolah informasi, kemampuan memahami arti, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Ketika pekerja dapat menggunakan kemampuankemampuan tersebut menjadi konsentrasi yang baik, maka secara kognitif tugas-tugas akan selesai dengan efisien. Tugas-tugas tersebut tentunya membutuhkan waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya untuk penyelesaiannya. Adanya tuntutan dengan penyediaan sumber daya yang seringkali terbatas tentunya akan menyebabkan konsentrasi pegawai

43 menurun. Pegawai kehilangan kemampuan untuk mengendalikannya, menjadi tidak mampu untuk mengambil keputusan-keputusan dan perilakunya menjadi tidak teratur. Akibat paling ekstrim, adalah kinerja karyawan menjadi nol, karena karyawan menjadi sakit atau tidak kuat bekerja lagi, putus asa, keluar atau melarikan diri dari pekerjaan, dan mungkin diberhentikan (dalam Astianto, 2014). Selanjutnya, penelitian dari Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, dan Schaufeli (2007) terhadap efikasi diri dalam memprediksi work engagement pada pegawai adalah apabila memiliki kecenderungan untuk percaya bahwa pegawai akan mendapatkan hasil yang baik dalam hidup (optimism) dan percaya bahwa pegawai dapat berpartisipasi dalam organisasi (self-esteem). Sejalan dengan penelitian yang juga dilakukan oleh Hakim, Van Vianen, dan De Pater, (2004) terhadap work engagement menunjukkan bahwa efikasi diri dapat menentukan tujuan, motivasi, kinerja, kerja dan kepuasan hidup terkait hasil yang diinginkan. Bandura (1997) mendefinisikan efikasi diri sebagai evaluasi seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan, atau mengatasi hambatan. Pegawai dengan efikasi diri tinggi cenderung lebih cepat menyelesaikan tugas yang nyatanyata tidak dapat diselesaikan dibandingkan dengan pegawai dengan efikasi diri yang rendah. Sebaliknya, pegawai yang memiliki efikasi diri

44 yang tinggi lebih suka mengalokasikan waktu dan usahanya untuk tugas yang pegawai tahu dapat diselesaikan. (dalam Aprilia, 2015). Menurut Bandura (1997) efikasi diri terdiri atas tiga aspek, yaitu aspek magnitude, generality dan strength. Aspek Magnitude merupakan derajat kesulitan tugas ketika individu merasa mampu untuk melakukannya (Bandura, 1997), berkaitan dengan kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas yang dibebankan pada individu menurut tingkat kesulitannya, maka perbedaan efikasi diri secara individual mungkin terdapat pada tugas-tugas yang sederhana, menengah, atau tinggi. Individu akan melakukan tindakan yang dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan akan tugas-tugas yang diperkirakan di luar batas kemampuan yang dimilkinya (dalam Hayuningtyas & Helmi, 2015). Pegawai yang memiliki magnitude yang tinggi memiliki motivasi pada saat bekerja, maka pegawai akan berusaha lebih keras untuk mengatasi tantangan yang ada, pegawai akan selalu menyelesaikan tugas pekerjaannya bahkan untuk tugas pekerjaan yang sangat sulit (Ghufron & Risnawita, 2014). Semakin tinggi aspek magnitude yang dimiliki oleh pegawai, maka semakin tinggi pula work engangement. Namun bagi pegawai yang tidak memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan dirinya, maka cenderung mudah menyerah untuk berusaha mencapai tujuan yang ditetapkan (Bandura, 1997).

45 Aspek generality berhubungan dengan luas bidang tugas atau tingkah laku. Beberapa pengalaman berangsur-angsur menimbulkan penguasaan terhadap pengharapan pada bidang tugas atau tingkah laku yang khusus sedangkan pengalaman lain membangkitkan keyakinan yang meliputi berbagai tugas (Bandura, 1997). Seberapa kuat keyakinan pegawai dalam melakukan tugas yang bermacam macam. Pegawai yang dihadapkan pada tugas pekerjaan tertentu memiliki keyakinan mampu mencapai sebuah tujuan dan mengatasi sebuah hambatan, keyakinan tersebut mendorong seseorang untuk tekun dan gigih dalam menyelesaikan tugas pekerjaannya (dalam Sari, 2015). Setiap individu memiliki keyakinan yang berbeda-beda sesuai dengan tugas-tugasnya, semakin tinggi kemampuan yang dimiliki maka akan semakin tinggi work engagement, semakin tinggi work engagement maka individu mampu menyelesaikan tugas-tugas tertentu dengan tuntas dan baik. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan yang dimiliki, maka semakin rendah work engagement untuk mampu menyelesaikan tugas-tugas dengan baik. Strength berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap keyakinannya. Menurut Bandura (1997), tingkat efikasi diri yang lebih rendah mudah digoyangkan oleh pengalamanpengalaman yang memperlemahnya, sedangkan seseorang yang memiliki efikasi diri yang kuat tekun dalam meningkatkan usahanya meskipun dijumpai pengalaman yang memperlemahnya. Keyakinan atau

46 pengharapan yang lemah mudah digoyahkan oleh pengalamanpengalaman yang tidak mendukung. Sebaliknya, keyakinan atau pengharapan yang mantap mendorong individu tetap bertahan dalam usahanya, meskipun ditemukan pengalaman yang kurang menunjang. Semakin tinggi taraf kesulitan tugas maka semakin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya. Pegawai yang memiliki keyakinan diri cenderung antusias bekerja, terlibat penuh dengan pekerjaannya, konsentrasi, serius, dan kesulitan untuk memisahkan diri dengan pekerjaannya (Schaufeli dalam Mujiasih, 2013). Orang yang memiliki strength di dalam dirinya mempercepat ketertarikan pada satu hal dan larut dalam keasikan beraktivitas (Joni dalam Sulthon, 2014). Namun sebaliknya apabila karyawan memiliki keyakinan diri yang rendah maka individu tersebut cenderung mudah menyerah dengan pekerjaannya (Puspita, 2012). E. Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan positif antara persepsi terhadap tuntutan kerja dengan work engagement pada pegawai di Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Kapuas Hulu.

47 Semakin negatif tuntutan kerja yang dipersepsikan oleh pegawai maka akan semakin rendah work engagement pada pegawai. Sebaliknya semakin positif tuntutan kerja yang dipersepsikan oleh pegawai maka akan semakin tinggi work engagement pada pegawai. 2. Terdapat hubungan yang positif antara efikasi diri dengan work engagement pada pegawai di Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Kapuas Hulu. Semakin tinggi efikasi diri yang dimiliki pegawai maka akan semakin tinggi work engagement pada pegawai. Sebaliknya semakin rendah efikasi diri yang dimiliki pegawai maka akan semakin rendah work engagement pada pegawai.