BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alamnya. Wilayah perairan yang lebih luas dari daratan mengharuskan Indonesia memanfaatkan wilayah daratannya dengan baik. Hal tersebut membuat pemerintah berusaha memberikan nilai tambah untuk daratan Indonesia dengan menanami tanaman yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakatnya. Salah satu komoditi pertanian yang cukup penting bagi Indonesia adalah kedelai. Komoditas ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam ketahanan pangan nasional mengingat kedelai digunakan sebagai bahan baku utama dalam produksi makanan, seperti tempe, tahu, maupun kecap yang memang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia. Semakin banyaknya jumlah industri olahan kedelai juga menyebabkan peningkatan konsumsi kedelai nasional yang mencapai 2 juta ton. Konsumsi 2 juta ton kedelai nasional akan diserap untuk pangan/pengrajin tahu dan tempe sebesar 83,7% (1.849.843 ton); industri kecap, tauco, dan lainnya sebesar 14,7% (325.220 ton); benih sebesar 1,2% (25.843 ton); dan untuk pakan ternak 0,4% (8.319 ton) (Pusdatin, 2014 a). Tingkat konsumsi kedelai di Indonesia yang tinggi ini sayangnya tidak sebanding dengan produksi kedelai nasional yang semakin menurun. Pada tabel 1.1, terlihat bahwa pada tahun 2009 produksi kedelai nasional mencapai 974.512 ton dimana pada tahun 2013 mengalami penurunan hingga 4,35% dengan jumlah 1
2 produksi 779.992 ton. Penurunan jumlah produksi kedelai ini berbanding lurus dengan penurunan luas panen dari 722.791 Ha di tahun 2009 menjadi 550.793 Ha di tahun 2013. Tabel 1.1. Luas Panen- Produktivitas-Produksi Tanaman Kedelai Nasional Tahun Luas Panen(Ha) 2009 722.791 2010 660.823 2011 622.254 2012 567.624 2013 550.793 Sumber: BPS, (2014) Produksi(Ton) Produktivitas(Ton/Ha) 974.512 907.031 851.286 843.153 779.992 1.348 1.373 1.368 1.485 1.416 Semakin berkurangnya jumlah produksi dan luas panen ini mengakibatkan produktivitas yang rendah untuk komoditas kedelai nasional hanya berkisar 1,3 ton/ha sampai 1,4 ton/ha selama 5 tahun terakhir ini. Namun, produktivitas memiliki progres yang meningkat dari tahun-ketahun, hal ini dikarenakan penurunan luas panen yang lebih besar dibandingkan dengan produksinya. Penurunan luas panen ini salah satunya disebabkan keengganan petani dalam memanfaatkan lahannya untuk ditanam kedelai sebagai tanaman sela. Menurut Nurhayat (2014), struktur biaya produksi kedelai jauh lebih besar dibandingkan nilai produksi yang dihasilkan per tahun dari setiap hektar lahan kedelai. Biaya produksi tanam kedelai sebesar Rp 9,1 juta/hektar/tahun sedangkan petani hanya mampu meraup hasil produksi kedelai sebesar Rp 9 juta/hektar/tahun membuat petani malas menanam kedelai. Harga Patokan Petani (HPP) kedelai yang dinilai cukup rendah tidak dapat menjamin petani untuk mendapatkan untung sedangkan harga kedelai impor jauh lebih murah. Harga jual kedelai lokal
3 yang rendah ini tidak menarik untuk petani sehingga petani enggan untuk menanam kedelai. Keengganan petani untuk menanam kedelai ini tentu dapat mempengaruhi ketersediaan kedelai di pasaran menjadi langka. Produksi kedelai nasional yang tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, mengharuskan pemerintah melakukan impor kedelai. Kabupaten Grobogan merupakan salah satu kabupaten dengan tingkat produksi kedelai tertinggi di Jawa Tengah, dimana provinsi ini menjadi kedua tertinggi produksi kedelai setelah Jawa Timur. Di kabupaten Grobogan ini juga memiliki varietas kedelai lokal tersendiri yaitu varietas grobogan, yang memiliki potensi produksi hingga 3,40 ton/ha. Tak heran jika di kabupaten ini dapat memenuhi kebutuhan kedelainya sendiri, bahkan sampai mengirim ke luar kabupaten Grobogan. Namun, pengiriman kedelai keluar kabupaten Grobogan ini tetap tidak bisa menutupi kebutuhan nasional kedelai. Hal tersebut menjadikan kebutuhan kedelai untuk konsumsi tetap tidak terpenuhi dan membuat pemerintah melakukan impor untuk kedelai konsumsi. Pada tahun 2013, pemerintah Indonesia sudah melakukan impor kedelai sebanyak 1,6 juta ton dari Amerika Serikat (Pusdatin, 2013 b). Pada tahun tersebut juga mulai diberlakukan tarif bea masuk 0% atas impor kedelai. Hal ini menyebabkan harga kedelai impor yang lebih murah dibandingkan dengan harga kedelai lokal. Tidak adanya proteksi harga terhadap kedelai lokal ini menyebabkan pengrajin olahan kedelai lebih memilih kedelai impor dengan harga yang lebih murah.
4 Fluktuasi harga kedelai lokal dan impor ini tentu akan memberikan pengaruh yang besar kepada permintaan dari konsumen kedelai. Permintaan dari pengrajin olahan kedelai sebagai konsumen akhir ini apabila tidak ditanggapi secara cepat oleh tier sebelumnya tentu akan membuat ketidakakuratan informasi supply-demand pada suatu sistem rantai pasoknya. Kelemahan pada aliran informasi dan koordinasi tersebut seringkali menimbulkan distorsi informasi yang salah satunya berupa terjadinya amplifikasi permintaan yang semakin besar pada upstream channel dibandingkan downstream channel yang dinamakan dengan fenomena bullwhip effect. Bullwhip effect adalah suatu keadaan yang terjadi dalam rantai pasok dimana permintaan dari konsumen mengalami perubahan (distorsi). Perubahan tersebut mengakibatkan serangkaian efek yang akan mengacaukan rantai pasok. Keberadaan bullwhip effect dapat berakibat pada order quantity, kebijakan persediaan, dan biaya (cost). Selain itu juga dapat menyebabkan inefisien pada supply chain, misalnya bertambahnya inventory pada setiap tier supply chain sehingga akan menambah beban inventory cost yang harus ditanggung setiap tier supply chain tersebut. Disamping itu, perencanaan produksi juga menjadi semakin sulit. Bullwhip effect yang tinggi nantinya akan mengganggu optimasi kinerja dari suatu supply chain. Total biaya logistik dalam keseluruhan sistem tidak dapat terlepas dari biaya pada setiap aktivitas logistik dan juga setiap tingkatan supply chain. Hal tersebut dikarenakan dalam suatu sub-sistem yang terintergasi, perubahan biaya yang terjadi dalam sub-sistem akan berdampak pada sub-sistem yang lain.
5 Perubahan biaya pada sub-sistem yang dimaksud adalah perubahan biaya pada satu atau beberapa aktivitas logistik, maupun pada salah satu tingkatan supply chain. Apabila sampai terjadi pembengkakan biaya pada salah satu aktivitas logistiknya, maka dapat mempengaruhi jumlah produksi dan juga permintaan dari konsumen. Adanya perubahan permintaan dari rantai upstream ini dapat menyebabkan terjadinya bullwhip effect. Pada rantai pasok komoditas kedelai, permasalahan baru akan terjadi ketika data penjualan periode ini di jadikan acuan/patokan produksi di periode yang akan datang telah diketahui bahwa pada dasarnya permintaan konsumen selalu berubah-ubah dan tidak pasti. Ketidakpastian inilah yang menyebabkan bullwhip effect. Hal ini menjadi dasar dari penelitian dengan judul Analisis Bullwhip Effect Dalam Supply Chain Management Pada Komoditas Kedelai [Glycine max (L)]. 1.2 Pokok Permasalahan Terjadinya bullwhip effect menandakan adanya variasi permintaan yang terjadi pada tier supply chain komoditas kedelai kuning. Identifikasi penyebab dan perhitungan bullwhip effect dilakukan untuk mengetahui di tier mana bullwhip effect ini terjadi. Analisa struktur biaya logistik dilakukan untuk mengetahui komponen biaya yang paling berpengaruh terhadap masing-masing aktivitas logistik. Biaya yang besar tentu dapat mengakibatkan permintaan berubah dan terjadi bullwhip effect. Strategi dalam supply chain diperlukan untuk meminimalisir terjadinya bullwhip effect ini.
6 1.3 Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini antara lain: 1. Penelitian ini berfokus pada pengambilan sampel kedelai kuning (Glycine max L) untuk konsumsi di Kabupaten Grobogan sebagai salah satu sentra komoditas kedelai kuning di Jawa Tengah. 2. Pengukuran bullwhip effect dilakukan pada tier pengepul dan pedagang. 3. Analisa struktur biaya hanya dilakukan pada tingkatan yang memiliki aktivitas logistik, seperti pada tingkat petani, pengepul dan pedagang. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi penyebab timbulnya bullwhip effect dan mengetahui di tier mana bullwhip effect terjadi pada rantai pasok kedelai kuning. 2. Mengukur biaya logistik pada setiap tier sesuai dengan aktivitas logistiknya. 3. Memberikan strategi yang tepat dalam supply chain management terhadap hasil pengukuran bullwhip effect. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis dapat memperoleh kesempatan untuk mencoba mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari perkuliahan khususnya yang berkaitan dengan Supply Chain Management pada industri nyata.
7 2. Bagi akademik, khususnya dilingkup Program Studi Teknologi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada, diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi yang berminat untuk mengetahui hal-hal yang menjadi masalah dalam Supply Chain. 3. Bagi Pelaku Rantai Pasok: a. Mengetahui konsep bullwhip effect serta kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh adanya bullwhip effect tersebut. b. Pada pelaku rantai pasok mana bullwhip effect terjadi dan mengidentifikasi penyebab timbulnya bullwhip effect pada rantai pasok kedelai kuning sehingga nantinya dapat dibuat kebijaksanaan untuk mengurangi adanya bullwhip effect pada supply chain. c. Mengetahui komponen biaya yang paling berpengaruh terhadap aktivitas logistik komoditas kedelai, sehingga analisis yang dilakukan dapat berimplikasi pada pengendalian dan pengurangan biaya logistik. 4. Bagi masyarakat luas, dapat memperkaya wawasan tentang supply chain management bagi masyarakat luas ataupun pelaku rantai pasok bahan pertanian, terlebih untuk komoditas kedelai kuning.