Alin Ifa hipnopsiko Penerbit AFTSA Publisher 1
HIPNOPSIKO Oleh: Alin Ifa Copyright Oktober 2017 oleh Alin Ifa Editor: AFTSA Publisher Desain Sampul: AFTSA Printing and Design/AFTSA Studio Sumber Gambar: http://image.google.com Proofreader: Maisha Eka Ratna Dilarang mengutip, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin penulis. SAY NO TO PLAGIATOR! Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com 2
MY CAST, MY INSPIRATION... 3 Emma Stone as Laura Gardner Andrew Garfield as Andrew Danielson Chris Pine as Earl Hawkins Bruce Greenwood as Charles Hawkins Julianne Moore as Elizabeth Lizzie Gardner Joe Chrest as Emmett William Gardner Tony Goldwyn as Ashton Yankee Shailene Woodley as Irina Yankee Michael Landes as Wayne Kate Winslet as Jeanine Paul Rudd as Elliot Dax Griffin as Glenn Hudson Radha Mitchel as Michella Hudson Phil Austin as Sean Worthington Melissa Leo as Annie Worthington Dylan McDermott as Harvey Worthington Andrea Riseborough as Cameryn Worthington Charlie Kimsey as Jorge Worthington Ali Larter as Dr. Clear Rivers David Paetkau as Howie Campbell Scott as Jeff Danielson Asa Butterfield as Ender Danielson
Dear Pembaca, Begitu kau membuka buku ini, kau akan menyimak perjalananku. Ya, aku, seorang gadis biasa yang punya kebiasaan yang tak kau sangka-sangka. Aku tidak akan memberitahu apa yang membuat kebiasaan itu muncul atau apa kebiasaanku itu. Silakan simak melalui buku ini. Tapi, kau harus janji akan menyimaknya sampai akhir. Karena kalau tidak... Ah entahlah. Kenapa raut mukamu merengut begitu? Aku kan sudah bilang tidak akan menceritakan apapun di lembar ini selain cuap-cuap tak berguna. Siap menyimak kisah diri aneh ini? Siap tidak siap, kisah ini akan kumulai. Oh, bagaimana kalau kita memulainya dengan sebuah... PEMBUNUHAN? Sempurna, bukan? Ya, silakan simaklah. Selamat merasakan diriku dalam khayalanmu. Salam sayang, Laura E.G Laura Easter Gardner 4
Satu Pembunuh bayaran? Hahaha! Distrik Queensberry, 09.00 a.m... Keramahan setan. Itulah salah satu yang paling kubenci. Aku merutuk sendiri di kursi kafe ini. Muak rasanya menyaksikan semua pelanggan ibu yang kebanyakan orang-orang borjuis itu, tersenyum karena senang atas layanan kami. Aku sangat ingat, beberapa di antara mereka adalah orang-orang yang sering mengacuhkan para tunawisma di jalanan. Mereka yang banyak uang itu, lebih memilih memberikan uangnya ke kafe-kafe, seperti kafe milik ibuku ini, daripada menyumbangkannya meski sedikit kepada orang-orang yang membutuhkan. Bukannya aku tak bersyukur kafe kami jadi banyak pelanggan atau semacamnya. Tapi akuilah, ironis sekali kan, kenyataan yang terjadi sekarang adalah bahwa si kaya makin kaya, dan si miskin makin berkantung kering. Menyedihkan memang. Untung saja ibu masih menjadi orang yang tidak acuh kepada para tunawisma di sekitar sini. Kalau dia sudah acuh, aku tidak yakin apa aku bisa tahan untuk tidak mengambil tindakan. Di atas kursi, aku mendengus, beranjak juga dari istirahat yang diberikan ibu dan lebih memilih mengambil alat pembersih untuk mulai membereskan bekas-bekas makan pelanggan kafe kami. Nona Gardner! Refleks, aku dan ibu yang berada di balik kasir menoleh. Diantara keramaian kafe, kepala orang itu menyembul. Pria. Tepatnya, calon pengganti ayah. Hei, Ashton, Kulihat, ibu keluar dan tersipu, lagi, ketika pria itu mendaratkan bibirnya ke pipi ibu. Aku kira kau sedang terapi hari ini. 5
Ah, tidak begitu banyak pasien gawat yang aku tangani, Lizzie. Lagipula sudah ada dokter jaga. Baguslah kalau begitu. Kau merindukanku? Sungguhan, aku nyaris mendesis mendengar nada kepedeannya itu. Kau jangan salah sangka, aku bukan tidak menyetujuinya. Seorang Ashton Yankee? Siapa yang tidak mau mempunyai ayah atau suami seperti dia? Ya, dia baik. Sebagai seorang psikiater, Ashton juga sering membantu warga Distrik Queensberry yang memiliki depresi atau kelainan mental. Banyak diantaranya, tanpa biaya. Aku setuju padanya. Ashton dan Elizabeth, sepasang manusia yang nantinya akan saling melengkapi. Aku yakin itu. Aku hanya tidak suka caranya menyapa ibu seakan tidak menganggapku ada di sekitarnya. Kalau ya, kenapa? Dan, satu ciuman mendarat di dahi ibu. Aku juga, Sayang. Carilah ruangan sana! Mulutku ingin sekali berucap begitu setiap mereka mempertontonkan kemesraannya. Ya, jujur, aku iri. Bukan karena aku tidak mempunyai pasangan. Aku punya. Dia hanya...tidak begitu mengerti diriku. Berbeda dengan ibu dan Ashton. Dengusan malas kembali ke luar dariku. Daripada terus memerhatikan mereka berdua, aku lebih memilih beranjak dari ruangan utama kafe, ke dapur. Setibanya di sana, sebuah suara mengusikku dari luar. Bisanya minta-minta saja! Pergi! Aku tidak ada uang kecil! Aku terpancing. Kulongokan kepala keluar, dari jendela dapur kafe. Ada seorang wanita renta yang sedang meminta makanan kepada pria parlente. Penampilan mereka bertolakbelakang. Si Wanita hanya mengenakan baju hijau lusuh, dengan celana berwarna krem yang sudah robek-robek di bawahnya. Sementara Si Pria Parlente itu memakai jas hitam, celana 6
berwarna sama, rambut yang klimis, dan koper. Sepertinya ia mau berangkat bekerja atau menemui seseorang. Aku mohon, Tuan... Sudah tiga hari keluargaku tak makan. Jika hari ini Minta saja pada yang lain, idiot! Oh, sial. Aku benci menyadarinya. Sisi temperamenku terbangkitkan karena perkataan kasar itu. Sebentar lagi kau akan tahu seperti apa dia bekerja. Aku hanya bisa menjelaskan, kalau sifat satu itu menguasai, akan ada satu orang gila, atau bahkan...mayat walau aku belum pernah membiarkannya bertindak sejauh itu. Sisi itu selalu berteriak keras untuk menyiksa seseorang, atau bahkan membunuhnya. Sejauh ini, aku, dibantu ibu dan Ashton, berhasil meredam teriakan itu. Tapi, Tuan Pria itu...menepis tangan Si Wanita. Sial, sial, sial! Tanganku terkepal. Kepalaku mulai lagi terisi dengan berbagai pikiran yang saling berlawanan. Aku kasihan, ya. Aku marah, ya. Aku benci, ya. Aku sedih, ya. Semua perasaan itu bercampur aduk dalam satu waktu. Namun akhirnya yang menang adalah......sisi temperamenku. TO BE CONTINUE... 7