Getar Rasa... Ada getar rasa yang hadir entah datang dari mana

Transkripsi

1 Getar Rasa... Ada getar rasa yang hadir entah datang dari mana Aku sedang menikmati segelas kopi, ditemani lagu-lagu Roxette dan sebatang rokok yang sesekali kuhisap. Tapi sekarang sudah kubunuh apinya ke dalam asbak. Aku ingin cerita tentang seorang gadis, mau tahu? Begini. Namanya Kirana, rambutnya panjang terurai, tinggi semampai, termasuk dalam golongan mahluk Tuhan paling cantik versi aku. Selain itu, ia memiliki kulit putih bersih, punya lesung pipi yang apabila ia tersenyum maka terpancarlah keindahan senyumnya dua kali lebih banyak. Bila kau melihatnya, aku yakin kau juga akan terpana dengan pesonanya. Karena itu kusarankan jangan, sebab Kirana hanya untuk Januar dan Januar itu aku. Hehe. Aku tak bisa katakan bahwa aku jatuh cinta pada Kirana sejak pertama kali melihatnya. Namun, ada getar rasa yang hadir entah datang dari mana. Rasa itulah yang kemudian menjadikan aku seringkali memimpikan Kirana.

2 Walau sadar betul ada jarak yang terbentang di antara kami berdua. Seperti kukatakan sebelumnya Kirana itu cantik hampir sempurna, sementara aku? Ah, siapalah aku ini. Nyaliku mendadak ciut, bahkan untuk sekedar menatap matanya. Apalagi jika harus mengungkapkan perasaanku. Itu hal tersulit yang harus kulakukan sebagai laki-laki, aku memang pengecut. Sekarang aku sedang menikmati segelas kopi hitam di warung Bu Jamilah, asapnya mengepul ke wajahku. Membentuk embunembun basah di wajahku yang sedang dilanda kegalauan. Beberapa hari ini aku kepikiran terus pada Kirana, tentu kau tahu maksudku apa. Aku merindukannya. Kutuangkan kopi panas ke tatakan gelas, lalu kutiup-tiup agar tak terlalu panas ketika diminum. Ada yang salah pada pikiranku dan juga penglihatanku barangkali, kulihat senyum Kirana di dalam cairan kopi di tatakan itu. Ini gila! Keluhku putus asa. Bagaimana bisa senyum Kirana ada di dalam genangan kopi? Kutaruh kembali kopi itu, aku jadi tak selera untuk meminumnya. Kenapa Jan? Kusut sekali hari ini? Nampak seperti orang patah hati saja. Bu 2

3 Jamilah menyapa tapi terkesan seperti menembakkan sebuah peluru dan kena. Bisabisanya Bu Jamilah sampai tahu aku sedang resah. Kubalas pertanyaan Bu Jamilah dengan senyum datar, nyaris tanpa ekspresi seperti yang biasa kuperlihatkan pada ibu satu itu. Malas, lalu akhirnya kutinggalkan warung Bu Jamilah dengan uang selembar dua ribu rupiah. Kopi itu tak tersentuh sama sekali oleh bibirku, mungkin sudah dingin sekarang. Kasian. Aku kembali ke kamar kostku, hari ini benar-benar hari yang malas. Padahal biasanya kalau jenuh, aku isi dengan menulis artikel, cerpen atau puisi. Namun kali ini, aku tidak bisa melakukan apapun. Kubenamkan tubuhku ke kasur, kututupi dengan sarung hingga ke kepala. Seperti orang sakit demam. Tapi benar juga, aku sedang sakit, sakit malarindu namanya. Oh Kirana... Aku mendekam di kasur selama dua hari, tidak makan dan sesekali minum saja jika haus. Bahkan kerinduanku pada Kirana mengalahkan rasa lapar yang melilit di perutku. Hebat sekali kau Kirana. Aku mandi saja belum, entah ini badan sudah bau apa. Tapi apa peduliku soal itu, toh tak ada orang yang mau mencium aroma 3

4 tubuhku, atau sekedar bilang, Badanmu bau, mandi gih. Jadi kuputuskan tidur lagi, persetan dengan deadline tulisan di koran. Aku tak mau pusingku bertambah. Cukup Kirana. Pukul sepuluh malam, kuputuskan untuk bangun. Berjalan sempoyongan, aku ambil baju berwarna hitam yang tergantung lusuh di balik pintu kamar. Kurogoh saku celanaku, tersisa uang seribuan. Miris. Bahkan untuk beli kopi saja uang itu takkan cukup. Lihatlah Kirana, betapa menyedihkannya hidupku, lengkap sudah. Bagaimana bisa lelaki kere sepertiku ini pantas mencintaimu? Kau mungkin takkan mau Kirana. Tapi harus dicoba, kalau belum coba tidak akan tahu rasanya, begitu kata Mamak waktu ia memintaku meminum sebuah obat pencahar karena aku punya masalah dengan saluran pembuangan. Kalau sudah coba dan pahit, sekalian saja telan bulat-bulat lalu minum air segelas penuh dan lupakan. Begitu juga hidup, kata Mamak menutup ceramahnya, kejadiannya dulu sekali sewaktu umurku masih SMA. Hitung saja sendiri. Hehe. Lupakan soal yang tadi, aku kembali ke warung Bu Jamilah. Malam-malam begini 4

5 warung Bu Jamilah tetap buka dan ramai. Sampai di warung kubilang pada Bu Jamilah, aku ingin makan, lapar. Dan kalau bisa dicukupcukupkan dengan uang seribuan lusuh di saku celanaku. Bu Jamilah nampaknya mengerti, lalu aku diberi seporsi nasi campur. Sangat banyak nasi dan lauknya. Tadinya aku menolak, sebab tak sesuai pesanan. Tapi sama Bu Jamilah, katanya itu gratis. Alhamdulillah dapat rezeki, Bu Jamilah memang paling mengerti perasaan mengenai urusan perut. Aku makan sampai butiran nasi terakhir, hingga bersih, licin dan tak berbekas. Aku memang makannya begitu, tak boleh ada sebijipun nasi yang tertinggal di piring. Itu sudah tradisi keluarga yang turun menurun, hingga sampai pula kepadaku. Bapak bilang, jangan jadikan nasi itu piatu. Kalau masih bisa masuk ke dalam perut, ya habiskan. Melihat piringku yang sudah kosong bersih, Bu Jamilah tersenyum padaku. Aku tahu senyumnya itu jelas kalah dengan senyum Kirana, tapi malam ini Bu Jamilah adalah pahlawanku. Kira-kira jam sebelas malam kutinggalkan warung Bu Jamilah, sebenarnya tak enak hati karena sudah makan dan minum 5

6 kopi gratis di warung itu. Olehnya itu, aku sudah berjanji kalau tulisanku dimuat di koran, honornya buat Bu Jamilah semua. Jalan semakin lengang, kulihat hanya ada bayanganku yang bersisian denganku. Diterangi lampu jalan yang samar-samar. Kuputuskan kembali ke markas (kamar kost maksudnya). Duhai, tak ada wanita, tak ada uang, tak ada rokok. Kangenpun kunikmati sendiri. Kirana, andai saja aku layak untukmu.*** 6