LATAR BELAKANG PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
dan Informasi Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2014 juga mempublikasikan 2,45% dan sekitar 39,97% dari jumlah tersebut mengalami lebih dari satu

BAB I PENDAHULUAN. orang tua. Anak bisa menjadi pengikat cinta kasih yang kuat bagi kedua orang

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

1. Bab II Landasan Teori

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditandai efek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. sehat jasmani dan rohani. Namun pada kenyataannya tidak semua anak lahir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan bidang keilmuan yang diambilnya. (Djarwanto, 1990)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. (affective atau mood disorder) yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan,

BAB I PENDAHULUAN. kecemasan yang tidak terjamin atas prosedur perawatan. 2 Menurut penelitian, 1

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah orang dengan gangguan skizofrenia dewasa ini semakin. terutama di negara-negara yang sedang berkembang seperti indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Non- Directive

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, cakupan dari disabilitas terdiri dari

KONSEP PERAWATAN KESEHATAN JIWA

BAB I PENDAHULUAN. belumlah lengkap tanpa seorang anak. Kehadiran anak yang sehat dan normal

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai anak yang normal. Melihat anak anak balita tumbuh dan. akan merasa sedih. Salah satu gangguan pada masa kanak kanak yang

BAB I PENDAHULUAN. akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak. sempurna atau mengalami hambatan perkembangan.

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang

BAB I PENDAHULUAN. bergaul dan diterima dengan baik di lingkungan tempat mereka berada. Demikian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. A. Wanita

Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan di berbagai bidang khususnya di bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB 2 Tinjauan Pustaka

SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat Sarjana S1 Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. dan kapan saja, yang dapat menimbulkan kerugian materiel dan imateriel bagi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya,

Pengantar Psikologi Abnormal

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Mardiyono, 2010). Autisme adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB II TINJAUAN TEORITIS. atau ancaman atau fenomena yang sangat tidak menyenangkan serta ada

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sakit merupakan keadaan dimana terjadi suatu proses penyakit dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyandang disabilitas merupakan bagian dari anggota masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan di Puskesmas Wonosari pada bulan September-Oktober 2016.

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

CARL ROGERS (CLIENT CENTERED THERAPY)

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua merupakan sosok yang paling terdekat dengan anak. Baik Ibu

BAB I PENDAHULUAN. Fobia sering kali dimiliki seseorang. Apabila terdapat perasaan takut

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu lama dan bersifat residif (hilang-timbul). Sampai saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

STRATEGI KOPING PADA KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGALAMI AMPUTASI. Skripsi

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berarti. Anak datang menawarkan hari-hari baru yang lebih indah, karena

BAB 1 PENDAHULUAN. lansia di Indonesia yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,56%. Gorontalo

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. aktivitas sehari-hari. Menurut WHO (World Health Organization) sehat adalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan. Rentang kehidupan manusia terbagi menjadi sepuluh tahapan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

PRIBADI CARL ROGERS. Setelah mendapat gelar doktor dalam psikologi Rogers menjadi staf pada Rochester Guidance Center dan kemudian menjadi

Arifal Aris Dosen Prodi S1 keperawatan STIKes Muhammadiyah Lamongan ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. tercatat paling pesat di dunia dalam kurun waktu Pada tahun 1980

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. [CDC], 2013). Data dari Riset Kesehatan Dasar ( 2013), prevalensi. gangguan mental emosional (gejala -gejala depresi

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. lain dan kelak dapat hidup secara mandiri merupakan keinginan setiap orangtua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengajaran di perguruan tinggi maupun akademi. Tidak hanya sekedar gelar,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB II TINJAUAN TEORI

BABI PENDAHULUAN. Anak adalah permata bagi sebuah keluarga. Anak adalah sebuah karunia

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak-anak). Terdapat perkembangan mental yang

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

Transkripsi:

1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2016 mempublikasikan informasi mengenai jumlah penyandang cacat/ disabilitas di kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan publikasi tersebut diperoleh data jumlah penyandang cacat mental (mental handicap) pada tahun 2015 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 7403 dengan rincian kabupaten Kulonprogo sebanyak 1224, kabupaten Bantul 1656, kabupaten Gunungkidul 1837, kabupaten Sleman 2245 dan kota Yogyakarta 441 (Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016). Jumlah di atas adalah jumlah total penyandang cacat mental pada orang dewasa dan anak-anak. Selanjutnya dari data Dinas Sosial Provinsi DIY diketahui jumlah anak penyandang cacat mental di provinsi DIY pada tahun 2015 adalah 1212 dengan rincian sebagai berikut, kota Yogyakarta sejumlah 124 anak, kabupaten Kulonprogo 194 anak, kabupaten Gunungkidul 257 anak, kabupaten Bantul 294 anak dan kabupaten Sleman 343 anak (Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016). Penelitian ini menggunakan istilah penyandang retardasi mental untuk mengganti istilah penyandang cacat mental. Prevalensi penyandang retardasi mental di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 6,6 juta jiwa (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2010). Prevalensi yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa anak retardasi mental merupakan bagian dari komunitas yang perlu untuk diberikan perhatian lebih. Penyandang retardasi mental memiliki fungsi intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata, dan lebih lanjut kondisi tersebut akan berkaitan serta memberikan pengaruh terhadap terjadinya gangguan perilaku selama periode perkembangan (Hallahan & Kauffman, 2014). DSM V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) menggunakan istilah intellectual disability (intellectual developmental disorder) untuk menyebut retardasi mental. Retardasi mental menurut DSM IV-TR (2000) merupakan gangguan yang terdapat pada fungsi intelektual, dimana IQ kira-kira 70 atau lebih rendah, bermula sebelum 18 tahun dan disertai kerusakan pada fungsi adaptif. Hal-hal yang termasuk di dalam fungsi adaptif adalah komunikasi, merawat diri, kehidupan sehari-hari, keterampilan interpersonal, menggunakan sumber komunikasi, pengaturan diri, keterampilan akademis, bekerja,

2 penggunaaan waktu luang, kesehatan dan keamanan. Penyandang retardasi mental paling sedikit mempunyai dua penyimpangan fungsi adaptif. Klasifikasi penyandang retardasi mental menurut Ahuja (2005) dikelompokkan berdasarkan IQ. Mereka yang menunjukkan IQ antara 50 dan 70 dikategorikan sebagai retardasi mental ringan dan mereka yang memiliki skor IQ dibawah 50 dianggap memiliki retardasi mental sedang-berat. Klasifikasi lain menurut Smart (2010) adalah sebagai berikut : (1) ringan (moron atau debil) memiliki IQ 5-55 sampai 70, anak mengalami kesulitan dalam belajar, lebih sering tinggal di kelas dibanding naik kelas, (2) sedang (imbisil) memiliki IQ 35-40 sampai 50-55, pada klasifikasi ini sering ditemukan kerusakan otak dan penyakit lain pada anak, dapat dideteksi sejak lahir karena masa pertumbuhannya mengalami keterlambatan keterampilan verbal dan sosial, (3) sedang-berat (profound) memiliki IQ sangat rendah, banyak anak yang pada klasifikasi ini memiliki cacat fisik dan kerusakan syaraf serta tak jarang pula yang meninggal, (4) berat (severe) memiliki IQ 20-25 sampai 35-45, anak memiliki abnormalitas fisik bawaan dan kontrol sensori motor yang terbatas. Dastgahi, Kashi dan Shameli (2013) menyatakan bahwa permasalahan kognitif pada anak retardasi mental menimbulkan permasalahan sosial seperti perilaku agresi, merusak diri dan perilaku tidak pantas lainnya. Hal ini juga diakibatkan oleh rasa kecewa yang berat. Anak retardasi mental yang merasa kecewa dan ditolak oleh orangtua dan orang lain akan menimbulkan kemarahan dan memunculkan perilaku keliru. Orangtua yang memiliki anak retardasi mental seringkali mengalami dilema emosional karena adanya ketidakpastian dalam merawat anak dengan disabilitas intelektual (Pelchat, Lefebvre & Perreault dalam Azar & Badr, 2010). Penelitian Wijayani dan Budi (2011) menyebutkan bahwa orangtua seringkali tidak memahami mengenai retardasi mental sehingga mereka merasa bimbang terhadap kondisi anaknya dan mengalami konflik dalam diri. Konflik tersebut terkait dengan keinginan dan harapan yang tidak terpenuhi untuk memiliki anak yang dapat dibanggakan dalam lingkungan, sehingga terdapat ketidaksesuaian antara kenyataan dan idealisme. Konflik juga berpotensi terjadi karena adanya perbedaan penanganan terhadap anak berkebutuhan khusus dibandingkan anak normal (Marion dalam Hastuti&Zamralita, 2004). Jani (Gupta&Kaur, 2010) menambahkan bahwa orangtua dari anak retardasi mental memiliki kecemasan mengenai masa

3 depan anak, efek negatif hubungan dengan saudara, stres psikologis, kesalahpahaman dalam keluarga, interaksi dengan tetangga dan saudara berkurang serta masalah ekonomi. Goddarrd, Lehr dan Lapadat (2000) mengungkapkan bahwa orangtua seringkali mendapati label dari masyarakat terhadap anak mereka. Label tersebut berupa seseorang yang berbeda, membuat lelucon tentang disabilitas dan hal-hal negatif lainnya. Selain itu ada juga benturan antara birokrasi dengan kebutuhan anak yang berkaitan dengan intervensi, spesialis disabilitas, para profesional kesehatan mental dan pelayanan sosial. Gambaran di atas nampak pada studi pendahuluan yang dilakukan kepada orangtua yang memiliki anak retardasi mental dengan menggunakan metode wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan pada lima subjek yaitu 4 ibu dan 1 bapak yang memiliki anak retardasi mental. Salah satu subjek (subjek A) dalam wawancaranya menyampaikan : Awal ketika mengetahui anak memiliki kebutuhan khusus, perasaan kekhawatiran saya terlihat sekali apalagi ketika anak saya masuk SD. Anak membuat saya kecewa dan marah. Namun kekecewaan dan kemarahan saya malah berimbas ke anak saya sendiri. Maksudnya, anak malah tidak terbantu, karena saya kecewa, perilaku anak saya malah jadi ikut-ikutan marah. Ia bermasalah tidak hanya pada belajarnya saja namun juga pada perilakunya. Kekhawatiran itu ada pada saya, bagaimana anak saya kedepannya, tidak bisa baca tulis. Ketika saya mengatakan apa, dia menjawab apa. Jujur saya khawatir Saat wawancara, subjek lainnya (subjek B) mengatakan : Waduuuh ini PR besar ini, ini akan lama (Saat orangtua mengetahui anak berkebutuhan khusus). Berawal dari situ saya bingung dan cemas bagaimana pendidikan anak saya nantinya, bagaimana nanti saat besarnya, bagaimana masa depannya dan lain-lain. Situasinya kadang menjadi sedih saat orang lain atau tetangga mencoba menggurui, memberi stigma dan judgment tentang kondisi anak saya. Coba bayangkan, orang lain paling cuma ngadepi anak saya itu berapa jam saja sudah komentar ini itu, lha sini ngadepi selama duapuluh empat jam, sehari hari begitu. Rasanya antara bingung, kasihan, jengkel, sedih jadi satu. Kekhawatiran yang lain dialami oleh subjek C, ia mengatakan : Saya khawatir anak saya mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman-temannya. Dulu saat di sekolah yang lama guru kelas sering mengatakan bahwa si anak bodoh. Karena

4 si anak tidak pernah selesai mengerjakan tugas, selain itu temanteman juga sering membullynya. Subjek D dalam wawancaranya menyampaikan bahwa kecemasan yang dialaminya bisa berupa respon fisiologis : Ada saat-saat dimana saya lihat anak saya atau anak saya melakukan suatu hal, hati saya seeeeetttt gitu...turun. Sampai memang, gak sering-sering banget sih, kalau pas kepikiran gitu, sampai sakit kepala dan pikiran buntu gitu. Ini anak gimana, mudah-mudahan barokah hidupnya. Wawancara kelima subjek di atas menyimpulkan bahwa orangtua mengalami kecemasan terhadap anaknya. Kecemasan yang dialami terkait masa depan anak, apakah anak memiliki masa depan dan dapat mandiri, kecemasan terhadap situasi ekonomi membesarkan anak retardasi mental, konflik dengan saudara dan kecemasaan ketika anak berhadapan dengan orang lain. Orangtua yang memiliki anak dengan kondisi retardasi mental tentunya memiliki beban (burden) yang cukup berat. Beban di sini bisa berkaitan dengan beban emosi, beban pikiran, beban ekonomi, maupun beban sosial. Ketidakmampuan orangtua dalam menerima kondisi tersebut, tentunya akan mengarahkan kepada kecemasan, baik itu kecemasan terhadap masa depan anak, kecemasan terhadap kondisi ekonomi, kemandirian anak dan lain sebagainya. Hasil penelitian Dupont (1967) dan Jani (1997) menunjukkan bahwa orangtua yang memiliki anak retardasi mental memiliki kecemasan-kecemasan antara lain (1) Kecemasan karena label negatif orang lain, (2) Kecemasan karena tidak adanya pengertian dari pihak keluarga, sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan mengakibatkan hubungan tidak harmonis dengan saudara, (3) Kecemasan karena kondisi ekonomi dalam membiayai anak yang memiliki kebutuhan khusus, (4) Kecemasan karena kemampuan anak, dan (5) Kecemasan karena proses pembelajaran anak, baik selama anak di sekolah ataupun di rumah dan lingkungan. Menurut Lazarus (1991) kecemasan adalah bentuk emosi negatif yang muncul sebagai ketidakpastian terhadap situasi yang belum terjadi dan akan terjadi di masa depan. Lazarus (1991) juga menyebutkan bahwa kecemasan adalah respon dimana individu mengalami kondisi yang tidak menyenangkan, mengancam, serta tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan sosial.

5 Kecemasan merupakan suatu perasaan yang bersifat individual dan salah satu emosi stres. Spielberger (1966) menjelaskan terdapat dua konsep kecemasan yaitu kecemasan bawaan (trait anxiety) dan kecemasan sesaat (state anxiety). Kecemasan bawaan (trait anxiety) adalah kecemasan yang mengacu pada perbedaan individu yang cenderung stabil dalam tingkatan kecemasannya, sehingga orang dalam mempersepsikan situasi yang stres sebagai ancaman dan untuk merespon situasi tersebut berdasarkan kenaikan kecemasan sesaatnya. Spielberger (1966) mengungkapkan bahwa kecemasan bawaan adalah faktor kepribadian yang mempengaruhi seseorang untuk mempersepsi suatu keadaan sebagai situasi yang mengancam. Kecemasan sesaat (state anxiety) merupakan perasaan subyektif terhadap tekanan, ketakutan, kekhawatiran dan kecemasan dan ditandai oleh aktivasi atau stimulasi dari sistem saraf autonom. Kecemasan sesaat dapat disebut sebagai kecemasan situasional, karena sangat dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi saat ini, berfluktuasi, berubah-ubah dari waktu ke waktu. Kecemasan pada orangtua yang memiliki anak retardasi mental termasuk dalam kecemasan sesaat dimana kecemasan bersifat tidak menetap dalam diri orangtua dan timbul lagi apabila orangtua dihadapkan pada situasi tertentu saja. Situasi tertentu yang dimaksudkan disini adalah situasi menghadapi anak retardasi mental. Gejala ini akan tetap ada selama situasi yang memicunya masih berlangsung. Kecemasan adalah emosi yang alami, normal, dan pernah dialami oleh semua manusia. Kecemasan menjadi suatu masalah jika tidak dapat dikendalikan (tidak dapat berhenti) atau muncul terlalu sering, terlalu intens, atau dalam jangka waktu yang lama ketika dan setelah menghadapi situasi yang menakutkan. Kecemasan pada orangtua yang memiliki anak retardasi mental merupakan suatu bentuk emosi negatif yang muncul sebagai ketidakpastian terhadap situasi anak retardasi mental yang belum terjadi dan akan terjadi di masa mendatang. Kecemasan biasanya ditandai oleh 3 gejala yaitu fisik, pikiran, dan perilaku (Stanley, Diefenbach, & Hopko, 2004). Balckburn dan Davidson (1994) mengklasifikasikan gejala kecemasan dalam lima hal, yaitu (1) suasana hati yang ditandai dengan mudah marah, perasaan sangat tegang, (2) pikiran yang diliputi kekhawatiran, sukar berkonsentrasi, pikiran kosong, membesar-besarkan ancaman, merasa sangat sensitif, dan merasa tidak berdaya, (3) motivasi, ditandai dengan menghindari situasi, ketergantungan dan ingin melarikan diri, (4) perilaku

6 gelisah, gugup, waspada yang terlalu berlebihan, dan (5) gejala psikologis lain seperti gerakan otomatis meningkat, berkeringat, gemetar, pusing, berdebardebar, mual dan mulut kering. Orangtua dengan anak retardasi mental mengalami kecemasan karena adanya ketidakpastian dalam merawat anak dengan disabilitas intelektual (Pelchat, Lefebre & Perreault, dalam Azar & Badr, 2010). Selain itu, orangtua terutama ibu, mendapatkan tuntutan atau harapan dari keluarga dan orang sekitar mengenai kondisi anak dan dirinya sehingga ibu merasa terbebani dalam kehidupannya. Mahoney dan Karmanshahi (dalam Islam, 2013) menyebutkan bahwa orangtua dari anak retardasi mental, terutama ibu memiliki tingkat tekanan mental yang lebih tinggi dan kesehatan yang rendah. Hal ini didukung oleh pendapat Kheirabadi et al (Shirani et al, 2015) yang menyebutkan bahwa wanita dua kali lebih rentan terhadap depresi dibandingkan pria. Islam, Farjana dan Shanaz (2013) menyampaikan dalam penelitiannya bahwa ibu mendapat tekanan mental yang lebih berat untuk menyeimbangkan perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga. Ibu merasa harus menjadi seperti apa yang diharapkan oleh lingkungan terhadapnya, sementara disatu sisi ada keterbatasan yang dialami anak sehingga tidak memungkinkan memenuhi harapan dari lingkungan. Di sisi lain kemampuan ibu juga terbatas untuk memenuhi semua tuntutan tersebut. Rogers (dalam Lindzay & Hall, 1970) melalui pendekatan humanistiknya menjelaskan bahwa hal ini merupakan bentuk dari kesenjangan antara diri dan diri ideal yang besar, sehingga ketika hal tersebut terjadi, maka ibu akan merasa tidak puas dan tidak dapat menyesuaikan diri sehingga muncullah gejala psikopatologis pada ibu. Tanda-tanda psikopatologis yang muncul adalah rasa sakit, menderita dan ketidakberdayaan yang konstan, tidak menikmati acara yang menyenangkan, dan kehilangan minat untuk mengunjungi keluarga atau teman (Amiri et al dalam Shirani et al, 2015). Kesenjangan inilah yang tampak dialami pada ibu yang memiliki anak retardasi mental. Kondisi ini tersebut di atas sangat berpengaruh pada self-concept ibu. Munculnya perasaan tidak berharga, merasa bersalah, tidak punya harapan dan pikiran bunuh diri adalah hal yang berkaitan dengan konsep diri ibu (Shirani et al, 2015). Kondisi ibu yang merasa disalahkan oleh lingkungan (keluarga ataupun oranglain) karena melahirkan anak dengan kondisi retardasi mental disertai kemampuan dan perilaku anak yang tidak seperti anak normal pada umumnya,

7 akan memberikan beban yang besar secara psikologis kepada ibu. Ibu akan memandang dirinya sebagai orang yang tidak berguna dan memiliki konsep diri yang rendah sehingga hal ini menjadikan ibu tidak menjadi individu yang berfungsi sepenuhnya (fully functioning person) dan mengaktualisasikan dirinya. Gupta menyatakan dalam penelitiannya, bahwa ibu dengan anak retardasi mental lebih mudah untuk stress dan mengalami masalah emosional sehingga berpengaruh pada kesehatan mental dan fisik ibu yang menjadi rentan (Tavakolizadeh et al, 2012). Ibu yang telah merasa kecewa, kebutuhan akan positive regard-nya bertambah kuat, semakin lama energi dan pikirannya dikerahkan untuk memperoleh positive regard. Ibu menjadi bekerja keras untuk mendapatkan positive regard dengan mengorbankan aktualisasi dirinya (Schultz, 1991). Ibu akan terbayang-bayang oleh setiap tuntutan dan syarat-syarat yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Hal ini menghambat dirinya untuk bisa maju dan memaknai peristiwa dari beragam perspektif. Sementara menurut Rogers, syarat utama bagi timbulnya kepribadian sehat adalah penerimaan penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard). Ibu merasakan kehidupan sebagai sesuatu yang penuh dengan tuntutan oleh norma-norma dan harapan-harapan yang ditanamkan lingkungan kepadanya, terutama mengenai kondisi anak dan dirinya. Hal ini menjadikan ibu merasa tidak dimengerti oleh lingkungan sekitarnya. Ibu mengalami incongruency antara real self dengan ideal self-nya. Rogers (dalam Alwisol, 2014) menjelaskan bahwa individu yang tidak menyadari keadaan incongruency-nya maka ia rentan mengalami kecemasan akibat incongruency itu. Ibu dipaksa untuk tidak dapat menyadari kondisi dirinya, emosi yang dirasakan, serta ketakutan-ketakutan yang dialami karena lingkungan tidak mengijinkannya. Belum lagi jika ibu adalah individu yang cenderung introvert dan tertutup sehingga dirinya memiliki kecenderungan untuk menyimpan ketakutan dan pengalaman-pengalamannya. Individu introvert cenderung menutupi perasaan dan emosinya agar tidak termanifestasi dalam perilakunya sendiri. Ia kurang berani mengakui dan mengungkapkan perasaan-perasaan negatifnya seperti rasa kesal, rasa marah, dan rasa benci terhadap orang lain. Keputusan untuk menyimpan stimulus-stimulus negatif sebenarnya juga bisa jadi disebabkan

8 karena ibu takut dipandang negatif oleh orang-orang di sekitarnya. Ibu memiliki ketakutan jika dirinya dianggap tidak baik di mata sosial dan di mata keluarganya. Berpijak dari kondisi di atas, orangtua terutama ibu membutuhkan sumber dukungan potensial untuk menghadapi permasalahannya. Sumber dukungan potensial yang tersedia bagi keluarga dengan anak berkebutuhan khusus dikategorikan menjadi empat jenis utama, yaitu 1) keluarga inti, 2) jaringan kekerabatan (hubungan darah dan pernikahan), 3) jaringan informal (teman, tetangga, anggota perkumpulan agama), dan 4) profesional dan organisasi (Solomon & Liefield, 1998; Correa, Bonilla, & Reyes-MacPherson, 2010). Sumber dukungan dari organisasi maupun profesional merupakan alternatif yang sekarang banyak dicari oleh orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Psikolog sebagai profesional memiliki kemampuan untuk memberikan dukungan berupa menyediakan intervensi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan klien. Salah satu metode yang banyak diberikan kepada orangtua yang memiliki anak disabilitas adalah terapi kelompok. Pendekatan kelompok sering digunakan sebagai intervensi terhadap orangtua anak berkebutuhan khusus karena didalam intervensi kelompok, masing-masing orangtua bertemu dengan orang-orang dengan kesulitan yang sama sehingga mampu mengurangi tekanan sosial, mengurangi fobia sosial dan meningkatkan coping sesama orangtua anak berkebutuhan khusus. Hal di atas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yalom dan Leszcz (1985). Mereka menemukan bahwa intervensi dalam bentuk kelompok dapat meningkatkan harapan untuk berubah dan universalitas atau perasaan senasib. Selain itu, intervensi kelompok dapat meningkatkan rasa kebersamaan, altruisme atau rasa saling menolong antar anggota, belajar berhubungan baik dengan orang lain, peniruan tingkah laku yang cocok dari orang lain dalam kelompok, rasa kebersamaan, katarsis, dan pengertian akan dirinya sendiri dari refleksi diri maupun refleksi anggota kelompok. Penelitian yang dilakukan oleh Tavakolizadeh, Dashtib dan Panahic (2014) memberikan bukti bahwa orangtua yang mengalami kecemasan dan depresi dapat disembuhkan dengan terapi kelompok. Neece (2014) menggunakan terapi kelompok untuk memperbaiki masalah kesehatan mental dan stress pada orangtua yang memiliki anak dengan keterlambatan perkembangan. Abedin dan Molaie (2010) menggunakan terapi kelompok untuk menurunkan tingkat stress pada ibu-ibu dari anak retardasi mental mampu didik. Penggunaan terapi

9 kelompok kognitif dan perilaku juga terbukti efektif untuk membantu orang yang mengalami berbagai macam masalah kesehatan mental, seperti kecemasan depresi, gangguan makan dan fobia (Neece&Lima, 2016). Terapi kelompok merupakan salah satu tipe intervensi dalam psikoterapi yang dilakukan oleh terapis dan ko terapis dengan sekelompok pasien, yang lebih bersifat intensif dalam memberikan pertolongan psikologis, lebih menekankan perasaan dan hubungan antara anggota, serta pengalaman emosi terkoreksi. Baik pengalaman terkoreksi mengenai dirinya sendiri maupun mengenai hubungan dengan orang lain (Prawitasari dalam Widiastuti, 2012). Menurut Brabender (2004), terapi kelompok didesain untuk mempromosikan pertumbuhan psikologi dan mengurangi permasalahan psikologi baik secara kognitif maupun secara afektif dengan cara mengeksplorasi interaksi antar anggotanya dan antara anggota dengan terapisnya. Dalam terapi kelompok, klien dapat saling membagi masalah sehingga mereka dapat saling belajar dan membantu satu sama yang lainnya. Klien dapat mempelajari dirinya dan mengembangkan hubungan interpersonal mereka. Terapi kelompok mempunyai beberapa kelebihan bila dibandingkan pendekatan individual. Diantaranya adalah : (1) Para anggotanya mempunyai kesempatan untuk melihat bahwa dirinya tidak hanya sendirian dalam menghadapi permasalahannya; (2) Adanya kesempatan saling membantu antar anggotanya; (3) Kesempatan untuk membangun hubungan sosialnya; (4) Kesempatan untuk berbagi permasalahan yang dihadapinya; (5) Kesempatan untuk mengoreksi pandangannya yang salah; (6) Kesempatan untuk memodifikasi perilakunya yang menyimpang; (7) Kesempatan untuk mendapatkan dukungan dari anggota lain; dan (8) Kesempatan untuk mengembangkan ketrampilan yang dipelajarinya selama di kelompok kepada anggota yang lain (Wolberg, 1967). Intervensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Brief Group Therapy (BGT) dengan pendekatan humanistik. Pendekatan humanistik dipilih karena pendekatan ini sangat menghargai individu sebagai organisme yang potensial. Salah satu tokoh humanistik adalah Carl Rogers yang terkenal dengan metode terapi tidak mengarahkan (nondirective) atau terapi berpusat pada klien (clientcentered therapy). Pendekatan client-centered memandang manusia sebagai makhluk yang dilahirkan dengan pembawaan dasar yang baik, memiliki kecenderungan yang

10 bertujuan positif, konstruktif, rasional, sosial, berkeinginan untuk maju, realistis, memiliki kapasitas untuk menilai diri dan mampu membawa dirinya untuk bertingkah laku sehat dan seimbang, cenderung berusaha untuk mengaktualisasikan diri, memperoleh sesuatu dan mempertahankannya (Prawitasari dkk, 2002). Pendekatan humanistik biasanya digunakan untuk terapi individual. Penggunaan pendekatan humanistik dalam terapi kelompok dengan setting brief belum banyak dipublikasikan dalam jurnal penelitian. Namun terapi humanistik individual dalam bentuk brief telah banyak dilakukan oleh para terapis dan dituangkan dalam jurnal-jurnal, seperti dalam buku Brief Person-Centred Therapies (Tudor dalam Sari, 2016). Brief Group Therapy (BGT) merupakan pilihan intervensi yang mampu memberikan manfaat terapi kelompok namun dalam setting yang lebih singkat sehingga tidak menyita banyak waktu, energi, dan finansial bagi klien. Corey et al (2014) menjelaskan bahwa BGT merupakan tipe terapi kelompok yang memiliki keterbatasan waktu, memiliki terminasi yang sudah ditentukan dari awal, memiliki proses orientasi dan dipimpin secara/oleh professional. BGT biasanya digunakan untuk kepentingan penelitian dalam mengarah pada efektivitas dan kemampuan penerapan sebuah brief group untuk berbagai masalah klien dan beragam latar belakang (Piper & Ogrodniczuk, dalam Corey, Corey, & Corey, 2014). Sari (2016) dalam penelitiannya melakukan validasi empirik terhadap modul Humanistic-Brief Group Therapy dalam meningkatkan penerimaan ibu yang memiliki anak disabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi berdasarkan modul Humanistic-Brief Group Therapy Untuk Ibu dengan Anak Disabilitas dapat meningkatkan penerimaan ibu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hartini (2012) diketahui bahwa ada hubungan yang negatif antara penerimaan diri dan kecemasan. Individu dengan penerimaan diri yang tinggi mempunyai tingkat kecemasan yang lebih rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian dalam jurnal Psychotherapy with disabled patients yang menyebutkan bahwa turunnya penerimaan diri menimbulkan perubahan drastis pada seseorang sehingga menimbulkan kecemasan dan perilaku regresif atau yang mungkin tampak dari luar adalah hubungan sosial yang terganggu (Oliveira, Miliner, & Page, 2004).

11 Berpijak dari penjelasan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Humanistic-Brief Group Therapy dalam menurunkan kecemasan ibu yang memiliki anak retardasi mental ringan. Hipotesis penelitian ini adalah Humanistic-Brief Group Therapy dapat menurunkan kecemasan ibu yang memiliki anak retardasi mental ringan. METODE Identifikasi Variabel Penelitian Variabel perlakuan (independent variable) dalam penelitian ini adalah Humanistic-Brief Group Therapy. Terapi ini merupakan terapi kelompok jangka pendek yang dirancang sebagai program intervensi yang berfokus pada penerimaan ibu terhadap anaknya yang memiliki kondisi disabilitas. Terapi disusun berdasarkan pendekatan humanistik mengenai pemahaman terhadap tema penerimaan, yaitu seseorang akan menerima orang lain tanpa syarat ketika ia mendapatkan penerimaan tanpa syarat dari orang lain/ lingkungan (dalam hal ini terapis dan anggota kelompok). Terdapat enam sesi dalam terapi ini, yaitu 1) Persiapan, Pembukaan, dan Perkenalan, 2) Mengenal Diri, 3) Mendalami Diri, 4) Berikan Waktu Untuk Diri, 5) Membangun Harapan dan Impian, 6) Terminasi dan Penutupan. Variabel tergantung (dependent variable) dalam penelitian ini adalah kecemasan ibu yang memiliki anak retardasi mental. Kecemasan ibu dijelaskan sebagai bentuk emosi negatif yang muncul sebagai ketidakpastian terhadap situasi yang belum terjadi dan akan terjadi di masa depan disertai dengan gejala emosional, kognitif dan fisiologis. Kecemasan orangtua yang memiliki anak retardasi mental bersifat state anxiety dimana kecemasan bersifat tidak menetap dalam diri ibu dan timbul lagi apabila orangtua dihadapkan pada situasi tertentu saja. Situasi tertentu yang dimaksudkan adalah menghadapi anak retardasi mental. Gejala ini akan tetap ada selama situasi yang memicunya masih berlangsung. Pengukuran tingkat kecemasan ibu menggunakan skala kecemasan ibu yang disusun oleh peneliti. Skor yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam tiga kategori, yaitu rendah (skor 27-62), sedang (63-98), dan tinggi (99-135).