BAB I PENDAHULUAN. atas dasar harga konstan (Todaro, 2006). Sedangkan menurut Arsyad (1992),

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik atau meningkat. Pembangunan Nasional yang berlandaskan. dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP)

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

I..PENDAHULUAN. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fisik dan mental. pembangunan. Tujuan dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pendapatan Perkapita Terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Di Provinsi Riau. Vol. II, No. 02, (Oktober, 2015), 1-2.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pembangunan manusiadengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi. untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai upaya dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah semata-sama

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan penggunaan waktu (Boediono, 1999). pada intinya PDB merupakan nilai moneter dari seluruh produksi barang jadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan, namun pada

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berkembang,yang memiliki ciri ciri negara

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang

Bab 1 Pendahuluan. Gambar 1.1 Peta Dunia Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (2004). menengah. tinggi. data ( ) rendah (

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. makro ekonomi. Tinggi rendah angka pembangunan dilihat dari trend

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fisik/fasilitas fisik (Rustiadi, 2009). Meier dan Stiglitz dalam Kuncoro (2010)

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih (prinsipal)

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Nomor No.12 tahun 2008 (revisi UU no.32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan daerah adalah meningkatkan. pertumbuhan sektor ekonomi, dengan pendapatan sektor ekonomi yang tinggi

PENDAHULUAN. berbagai kegiatan pembangunan nasional diarahkan kepada pembangunan yang merata ke

PENDAHULUAN. hidup yang layak dibutuhkan pendidikan. Pendidikan dan kesehatan secara. dan merupakan jantung dari pembangunan. Negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian yang secara terus menerus tumbuh akan menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat terealisasi, maka beberapa

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan secara terus menerus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang dapat dijadikan tolok ukur secara makro ialah pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam suatu wilayah. Tingginya pertumbuhan ekonomi suatu wilayah menandakan semakin baik kegiatan atau kinerja ekonomi daerah yang dapat dilihat dari pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan (Todaro, 2006). Sedangkan menurut Arsyad (1992), pembangunan ekonomi merupakan proses yang menyebabkan pendapatan nasional riil per kapita meningkat dalam waktu lama. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, makmur dan adil. Dewasa ini pertumbuhan ekonomi dijadikan tujuan utama negara- negara dunia ketiga guna mengejar ketertinggalan pola pembangunan negara maju. Salah satu cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi ialah dengan lebih memfokuskan pembangunan pada sektor tersier. Sektor tersier sediri mampu memberikan kontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan sektor primer. Perubahan struktur ekonomi ini diharapkan mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan dimaksudkan untuk peningkatan kesempatan kerja sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Kuznet. Namun 1

2 pertumbuhan yang tinggi terkadang menjadi paradoks dalam pembangunan sebab akan menimbulkan masalah distribusi pendapatan. Simon Kuznets telah mengemukakan bahwa pada tahap-tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi pendapatan akan makin tidak merata, namun setelah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu, distribusi pendapatan makin merata. Hipotesis ini dikenal sebagai hipotesis U-terbalik Kuznets, menurutnya distribusi pendapatan akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2006). Pada gambar dibawah ini terlihat jelas pertumbuhan ekonomi setiap daerah utamanya di pulau jawa mengalami tren kenaikan yang cukup tinggi. Gambar 1.1 Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2009-2013 7,0 6,0 5,0 1 4 5 6 2 3 4,0 3,0 2,0 Pertumbuhan 1,0 0,0 Sumber: BPS (data diolah) Gambar 1.1 merupakan data rata-rata pertumbuhan ekonomi 6 provinsi di Pulau Jawa dari tahun 2008-2013. Dari data yang tersaji pada gambar 1.1, dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi yang berada di Pulau Jawa

3 mengalami tren pertumbuhan positif. Provinsi yang memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi di Pulau Jawa selama 5 tahun terakhir adalah DKI Jakarta yaitu diatas 6,30%. Hal ini dikarenakan DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan bisnis dan juga sebagai pusat pemerintahan sehingga terjadi konsentrasi kegiatan ekonomi yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Setelah DKI Jakarta, Provinsi Jawa Timur menjadi daerah kedua yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi yaitu sebesar 6,25%, kemudian disusul Provinsi Banten dengan 6,23%, Jawa Barat 5,99%, Jawa Tengah 5,41% dan DI Yogyakarta sebesar 5,06%. Dari data-data yang disebutkan sebelumnya, terdapat salah satu provinsi yang digolongkan sebagai provinsi baru yang mampu bersaing atau memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu Provinsi Banten. Gambar 1.2 Pertumbuhan PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2009-2013 78,00 76,00 74,00 72,00 70,00 68,00 66,00 64,00 62,00 2009 2010 2011 2012 2013 Sumber : Banten Dalam Angka 2014, diolah

4 Provinsi Banten merupakan provinsi yang terletak paling barat Pulau Jawa. Berbatasan dengan ibukota negara DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat membuat Provinsi Banten menjadi daerah paling strategis. Provinsi Banten merupakan bentukan provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Jawa Barat pada tahun 2000 dengan dikeluarkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2000 dan menjadi provinsi ke-28 di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan keunggulan strategis dari sisi lokasi, membuat perekonomian Banten bergerak cepat dan tumbuh dari tahun ke tahun. Kondisi pemekaran akibat dari kebijakan otonomi daerah ini diharapkan pemerintah dapat lebih banyak berperan dalam proses pembangunan, karena mereka kini memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk melakukan pengembangan masyarakat di wilayah yurisdiksinya. Pemerintah lokal dinilai memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan dan preferensi warga masyarakatnya, maka proses pembangunan dalam model kebijakan desentralisasi seharusnya menjadi lebih efisien daripada model kebijakan sentralisasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Desentralisasi adalah bagaimana setiap daerah mampu mengelola anggaran pembangunan serta seluruh aspek ekonomi secara mandiri. Pengelolaan mandiri menggambarkan bagaimana pemerintah daerah mengelola penerimaan daerah secara efektif guna memenuhi kebutuhan daerah tersebut. Pengelolaan dana daerah meliputi Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan lain sebagainya sebagai bentuk penerimaan daerah. Sidik (2002) mengatakan desentralisasi fiskal

5 merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari pemerintah pusat. Kebijakan desentralisasi sendiri mulai diberlakukan pada tahun 2001 bersamaan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004. Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah telah memberikan ruang yang lebih besar bagi pelaksanaan desentralisasi fiskal. Untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal tersebut, pemerintah pusat mengalokasikan dana transfer yang dinamakan dana perimbangan. Disamping itu, kebijakan desentralisasi bertujuan untuk dapat menggali potensi penerimaan daerah melalui peningkatan pajak, retribusi, ataupun melaksanakan bisnis melalui badan-badan usaha milik daerah. Dalam undang-undang tersebut dikemukakan bahwa daerah akan memperoleh dana perimbangan dari pemerintah pusat, yang terdiri dari (a) bagian daerah dan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam; (b) Dana Alokasi Umum (DAU); (c) Dana Alokasi Khusus, ketiga alokasi dana tersebut, DAU merupakan alokasi terbesar; sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri dalam APBN (Hamid, 2004), pengalokasian tersebut dilakukan guna mencukupi belanja

6 pemerintah daerah yang relatif tidak dapat dipenuhi dengan bersumber dari keuangan melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kuncoro (2007) juga menyebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya mampu membiayai belanja pemerintah daerah paling tinggi sebesar 20%. Kemandirian bagi daerah belum sepenuhnya terlaksana, karena mereka masih menggantungkan dengan adanya aliran dana dari pemerintah pusat, khususnya Dana Alokasi Umum (DAU). Setiap tahun anggaran dana perimbangan pemerintah pusat cenderung mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa daerah sangat bergantung kepada anggaran dana perimbangan untuk kegiatan pembangunan daerah. Tercatat bahwa pada tahun 2004 realisasi dana alokasi umum sebesar Rp. 82.130,90 milyar meningkat menjadi sebesar Rp. 296,861.37 milyar pada Tahun 2013. dan realisasi dana perimbangan dari tahun 2004 sampai 2013 dapat dilihat dalam Tabel 1.1 berikut : Tabel 1.1 Realisasi Dana Perimbangan Tahun 2004-2013 di Indonesia (Dalam milyar rupiah dan persen) Tahun Dana Bagi Hasil Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Total dan perkembangan 2004 37,900.80 (30,85%) 82,130.90 (66,85%) 2,835.90 (2,3%) 122,867.60 2005 50,479.20 (35,25%) 88,765.40 (61,98%) 3,976.70 (2,77%) 143,221.30 2006 64,900.30 (29,22%) 145,664.20 (65,58%) 11,566.10 (5,2%) 222,130.60

7 Tahun Dana Bagi Hasil Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Total dan perkembangan 2007 62,942.00 (25,80%) 164,787.40 (67,55%) 16,237.80 (6,65%) 243,967.20 2008 78,420.20 (28,14%) 179,507.10 (64,41%) 20,787.30 (7,45%) 278,714.70 2009 76,129.90 (26,50%) 186,414.10 (64,90%) 24,707.40 (8,6%) 287,251.50 2010 89,618.40 (28,51%) 203,606.50 (64,77%) 21,138.40 (6,72%) 314,363.30 2011 96,909.00 (25,90%) 225,553.70 (60,27%) 24,803.50 (13,83%) 374,246.20 2012 105,961.29 (26,10%) 274,192.23 (67,54%) 25,826.59 (6,36%) 405,980.12 2013 94,524.30 (22,48%) 296,861.37 (70,62%) 29,008.19 (6,9%) 420,393.87 Sumber : DJPK Laporan Realisasi APBD, diolah Berdasarkan Tabel 1.1 terjadi fluktuasi dana perimbangan dari tahun 2004 sampai 2013, pada tahun 2007 terjadi penurunan dimana dana bagi hasil menjadi Rp 62,942.00 milyar. Pada tahun 2009 terjadi kembali penurunan menjadi Rp 76,129.90. dan pada tahun 2013 hal serupa terjadi penurunan kembali dari Rp. 105,961.29 milyar ditahun 2012 menjadi Rp. 94,524.30 milyar ditahun 2013. Kondisi yang fluktuatif seperti penurunan dana bagi hasil pada tahun 2007, 2009 dan 2013, menandakan bahwa pemerintah kurang mampu untuk memaksimalkan penerimaan pajak yang menjadi bagian pemerintah pusat seperti perolehan hak atas tanah dan bangunan serta sumber-sumber penerimaan non-pajak seperti penerimaan dari sumber daya alam sehingga terjadi penurunan dana bagi hasil.

8 Berbeda dengan dana alokasi umum yang setiap tahun selalu mengalami peningkatan. Hal yang serupa juga ditunjukan pada dana alokasi khusus yang menunjukan peningkatan setiap tahunnya. Melalui data tersebut dapat diketahui bahwa alokasi dana perimbangan sangat diperlukan oleh setiap daerah guna menjalankan operasional pembangunan daerahnya. Pengalokasian dana perimbangan merupakan salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat diberbagai daerah. Peningkatan kesejahteraan dalam aspek sumber daya manusia tersebut dapat pula menunjang kegiatan perekonomian kearah yang lebih baik. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, Pemerintah daerah mengalokasikan sebagian dananya untuk investasi pembentukan sumber daya manusia yang produktif. Investasi pada modal manusia diharapkan akan berpengaruh positif terhadap kinerja perekonomian yang salah satunya dapat diamati dari aspek tingkat pendidikan, kesehatan dan tingkat kemiskinan. Menurut Mankiw (2003), pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan dengan perbaikan kualitas modal manusia. Pemerintah daerah dengan strategi alokasi anggaran yang tepat dapat menunjang penerimaan melalui pemakaian anggaran belanja modal. Alokasi dana oleh pemerintah daerah dalam bentuk belanja modal dalam APBD bertujuan untuk meningkatkan investasi modal dalam bentuk aset tetap yaitu peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik. Hal serupa juga diperkuat melalui pendapat Mardiasmo (2002) yang menyatakan bahwa, dalam

9 era otonomi pemerintah daerah harus semakin mendekatkan diri pada berbagai pelayanan dasar masyarakat. Sebab, Pelayanan dasar ini memiliki hubungan langsung terhadap permasalahan riil masyarakat daerah. Peran pemerintah daerah dalam hal pengalokasian anggaran menjadi kunci dalam kesuksesan suatu pembangunan modal manusia dengan berlandaskan kepada pelayanan umum. Pelayanan jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah akan mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakat yang salah satunya dilihat melalui tingkat peradaban masyarakatnya (Donnelly, 1998). Pemerintah Daerah terkadang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi dengan mengoptimalkan anggaran dana perimbangan. Dana perimbangan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna meningkatkan laju pertumbuhan tidak serta merta sesuai dengan harapan. Terdapat beberapa kecenderungan menunjukkan bahwa, kenaikan pertumbuhan ekonomi semata tanpa diikuti dengan kualitas pembangunan manusia yang baik, tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap perbaikan taraf hidup masyarakat. Hal tersebut dijelaskan oleh berbagai literatur dan hasil penelitian, Basri Faisal dan Haris Munandar (2009) misalnya memasukkan masalah ini menjadi salah satu masalah struktural dalam perekonomian Indonesia, yang selama ini tidak disadari oleh pemerintah dan merupakan ancaman yang berbahaya bagi perekonomian negara. Mereka mengemukakan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi semata belum bisa meningkatkan secara signifikan masalah kesejahteraan manusia.

10 Kesejahteraan masyarakat sendiri semestinya tidak didefinisikan dalam arti yang sempit, yang hanya sekedar menggunakan besaran PDRB (maupun PDRB perkapita) sebagai pendekatan, melainkan harus melibatkan beberapa indikator lain yang dinilai menjadi unsur-unsur pendukung konsep kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Salah satu cara untuk mengukur keberhasilan atau kinerja suatu negara atau wilayah dalam bidang pembangunan manusia digunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Indeks ini pertama kali dikembangkan oleh pemenang nobel India Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom Pakistan dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics. IPM menggambarkan beberapa komponen, yaitu capaian umur panjang dan sehat yang mewakili bidang kesehatan, angka melek huruf, partisipasi sekolah, dan rata-rata lama bersekolah mengukur kinerja pembangunan bidang pendidikan dan kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran perkapita (Feriyanto, 2014). Berikut adalah data dari Indeks Pembangunan Manusia di kabupaten/kota Provinsi Banten dari tahun 2009 2013.

11 Tabel 1.2 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2009 2013 Kab / Kota Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 Kab.Pandeglang 67,99 68,29 68,77 69,22 69,64 Kab.Lebak 67,45 67,67 67,98 68,48 68,82 Kab.Serang 68,22 68,67 69,33 69,83 70,25 Kab.Tangerang 71,45 71,76 72,05 72,36 72,82 Kota.Cilegon 74,99 75,29 75,60 75,89 76,31 Kota.Serang 69,99 70,61 71,45 72,30 73,12 Kota.Tangerang 74,89 75,17 75,44 75,72 76,05 Kota.TangSel 75,01 75,38 76,01 76,61 77,13 Sumber : Banten Dalam Angka 2014 Gambar 1.3 Grafik Indeks Pembangunan Manusia Kab/Kota di Provinsi Banten 2009-2013 IPM kabupaten / Kota di Provinsi Banten Tahun 2009-2013 78,00 76,00 74,00 72,00 70,00 68,00 66,00 2008,5 2009 2009,5 2010 2010,5 2011 2011,5 2012 2012,5 2013 2013,5 Pandeglang Serang Lebak Tangerang K. Serang K. Tangerang K. Cilegon K. Tangsel Sumber : Banten Dalam Angka 2014, Diolah

12 Dalam Tabel 1.2, dari data IPM tahun 2009 2013 pada kabupaten/ kota di Provinsi Banten diketahui bahwa semuanya berada pada nilai antara 67,45 hingga 77,13. Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia pada 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten digambarkan dengan grafik menunjukkan bahwa kabupaten dengan nilai IPM terendah adalah Kab.Lebak dengan nilai 67,45 pada tahun 2009, meskipun mengalami kenaikan setiap tahunnya namun belum mampu untuk menyusul nilai IPM 4 kabupaten/kota lainnya yang juga mengalami kenaikan. IPM tertinggi selalu dimiliki oleh Kota Tangerang Selatan dengan nilai 77,13 pada tahun 2013. Pada gambar 1.1 diatas menjelaskan adanya kenaikan IPM untuk semua kabupaten/kota di Provinsi Banten, yang artinya tingkat kesejahteraan masyarakat mengalami peningkatan dalam hal kesehatan, pendidikan, dan daya beli. Terdapat faktor lain yang juga dapat mempengaruhi perkembangan kualitas pembangunan manusia yakni masalah kemiskinan. Jumlah penduduk miskin yang terdapat di Provinsi Banten dapat menjadi kendala dalam proses pembangunan. Jumlah angka yang cukup tinggi mencapai 677,5 ribu jiwa pada tahun 2013 patut menjadi perhatian khusus oleh pemerintah daerah. Tingkat kemiskinan yang tinggi membuat individu tidak mempunyai alokasi dana dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya. Kemiskinan sendiri akan menghambat individu untuk mengkonsumsi nutrisi bergizi, mendapatkan pendidikan yang layak serta menikmati lingkungan yang menunjang bagi hidup sehat. Dari sudut pandang ekonomi semua hal tersebut akan menghasilkan sumber daya manusia yang kurang berkualitas, atau dapat dikatakan memiliki tingkat produktivitas yang

13 rendah. Sehingga dalam perkembangannya akan mempengaruhi tingkat pembangunan manusia di suatu daerah. Jumlah penduduk miskin kabupaten/kota di Provinsi Banten dapat diliat dalam Tabel 1.3 ; Tabel 1.3 Jumlah Penduduk Miskin kab/kota Prov. Banten 20011-2013 (Dalam Ribu Jiwa) Kabupaten / Tahun Kota 2011 2012 2013 Kab. Pandeglang 117.644 121.100 109.100 Kab. Lebak 115.160 118.600 106.900 Kab. Tangerang 188.653 183.900 176.000 Kab. Serang 82.047 72.800 76.100 Kota. Tangerang 114.333 103.100 106.500 Kota. Cilegon 15.453 15.900 15.000 Kota. Serang 37.436 36.700 34.700 Kota. Tangsel 20.144 25.400 18.700 Provinsi Banten 690.870 677.500 642.900 Sumber: Indikator Ekonomi Banten 2014 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator dalam pembangunan ekonomi, hal ini karena didalam IPM terdapat beberapa komponen dasar yang antara lain; angka harapan hidup, tingkat pendidikan, dan standar kehidupan yang layak sehingga dapat menunjukkan seberapa besar kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi di Provinsi Banten pada khususnya. Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut maka judul penelitian Pengaruh Dana Perimbangan, Belanja Modal, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kemiskinan Terhadap IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Banten dapat

14 memberikan gambaran analisis tentang sejauh mana peran bebarapa variabel tersebut dalam mempengaruhi indeks pembangunan manusia hasil kinerja pemerintah pusat melalui transfer dana perimbangan ke daerah. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan untuk dilakukan penelitian, yaitu: 1. Bagaimana pengaruh Dana Perimbangan terhadap Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di Provinsi Banten? 2. Bagaimana pengaruh Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di Provinsi Banten? 3. Bagaimana pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di Provinsi Banten? 4. Bagaimana pengaruh kemiskinan terhadap Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di Provinsi Banten? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisa pengaruh dana perimbangan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di kabupaten/kota provinsi Banten. 2. Menganalisa pengaruh belanja modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia di kabupaten/kota provinsi Banten. 3. Menganalisa pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap Indeks Pembangunan Manusia di kabupaten/kota provinsi Banten.

15 4. Menganalisa pengaruh kemiskinan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di kabupaten/kota provinsi Banten 1.3.2 Manfaat Penelitian 1. Bagi Penulis Sebagai salah satu syarat mendapat gelar sarjana pada Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, dan juga menambah pengetahuan dan pengalaman penulis agar dapat mengembangkan ilmu yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Ekonomi jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Islam Indonesia, selain itu penulis dapat membandingkan antar teori dan praktek yang terjadi di lapangan. 2. Bagi Instansi Terkait Penelitian ini merupakan syarat wajib bagi penulis dalam menyelesaikan studi, maka penulis mengadakan penelitian yang diharapkan mampu memberikan informasi dan penambahan wawasan bagi pihak-pihak terkait dengan permasalahan ekonomi, dengan demikian diharapkan dapat menetukan kebijakan dengan tepat. 3. Bagi Dunia Ilmu Pengetahuan Penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pemikiran atau studi banding bagi mahasiswa atau pihak yang melakukan penelitian yang sejenis. Disamping itu, guna meningkatkan keterampilan, memperluas wawasan yang akan membentuk mental mahasiswa sebagai bekal memasuki lapangan kerja.

16 1.4 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yaitu sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Merupakan Pendahuluan yang berisi tentang uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II : KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Bab ini berisi tiga bagian: pertama, kajian hasil dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan pada area yang sama. Kedua, mengenai teori yang digunakan untuk mendekati permasalahan yang akan diteliti. Landasan teori ini berisi teori-teori sebagai hasil dari studi pustaka. Ketiga, merupakan formalisasi hipotesis. Hipotesis ini dipandang sebagai jawaban sementara atas rumusan masalah, sehingga hipotesis yang disusun adalah merupakan pernyataan yang menjawab pertanyaan pada rumusan masalah. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang metode analisis yang digunakan dalam penelitian dan data-data yang digunakan beserta sumber data.

17 BAB IV : HASIL DAN ANALISIS Bab ini berisi semua temuan-temuan yang dihasilkan dalam penelitian. Menguraikan tentang deskripsi data penelitian dan penjelasan tentang hasil dan analisis. BAB V : SIMPULAN DAN IMPLIKASI Bab ini berisi tentang dua hal yaitu, simpulan yang berisi tentang kesimpulan-kesimpulan yang langsung diturunkan dari seksi diskusi dan analisis yang dilakukan pada bagian sebelumnya, dan implikasi penelitian yang berisi tentang hasil dari kesimpulan sebagai jawaban atas rumusan masalah, sehingga dari sini dapat ditarik benang berah apa implikasi teoritas penelitian ini.