I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu jenis ternak yang di budidayakan oleh masyarakat sebagai penghasil susu. Susu merupakan bahan pangan sumber protein hewani, yang keberadaannya sangat penting untuk mencukupi kebutuhan gizi masyarakat Indonesia. Dikembangkannya usaha peternakan sapi perah akan berdampak terhadap meningkatnya jumlah limbah yang dihasilkan, baik dalam bentuk padat, cair maupun gas. Limbah padat merupakan limbah peternakan sapi perah yang jumlahnya paling banyak, yaitu terdiri atas feses dan sisa hijauan pakan (rarapen). Baik feses maupun rarapen merupakan bahan organik yang mudah terurai, sehingga bila tidak ditangani dengan benar dapat menimbulkan pencemaran lingkungan baik terhadap udara, air maupun tanah. Sampai saat ini limbah yang ditimbulkan dari usaha peternakan sapi perah belum menjadi perhatian para peternak untuk secara sungguh-sungguh ditangani. Penanganan limbah masih dilakukan dengan cara konvensional, yaitu sekedar dipindahkan dari dalam kandang kemudian ditumpuk di lahan sekitarnya yang letaknya berdekatan, bahkan seringkali berserakan dimana saja. Kondisi ini sangat mengganggu terhadap kegiatan pemeliharaan ternak itu sendiri dan berdampak negatif terhadap timbulnya pencemaran lingkungan. Komposisi limbah peternakan sapi perah, hampir seluruhnya terdiri atas bahan organik. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya limbah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi kehidupan bagi organisme tertentu yang membutuhkan, salah satunya adalah mikroorganisme. Mikroorganime yang
2 dimaksud adalah mikroorganisme yang dapat memberi manfaat dalam upaya penanggulangan limbah peternakan sapi perah. Mikroorganisme potensial yang dapat memanfaatkan limbah sebagai sumber energi dan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangannya, salah satunya adalah kelompok dekomposer yang bersifat saprofit. Jenis ini sering dimanfaatkan dalam proses pembuatan pupuk organik alami dengan cara pengomposan. Prinsip dasar yang digunakan adalah bagaimana menumbuh-kembangkan mikroorganisme seideal mungkin di dalam bahan organik limbah, agar diperoleh biomassa protein sel tunggal sebanyak-banyaknya. Biomassa inilah yang menjadi bahan baku pupuk organik alami, karena substansi unsur kimia yang dibutuhkan tanaman, hampir seluruhnya tersedia di dalam senyawa protein. Atas dasar pemikiran bahwa mikroorganisme yang digunakan harus tumbuh dan berkembang ideal, maka limbah peternakan sapi perah yang akan diolah dan dimanfaatkan harus memenuhi syarat kebutuhan energi dan nutrisi bagi kelompok mikroorganisme yang terlibat. Seperti telah diketahui bahwa semua limbah peternakan, khususnya feses dan rarapen adalah merupakan bahan sisa dari aktifitas pemberian pakan dan metabolisme ternak, artinya bahwa bahan tersebut tidak dapat atau tidak mudah dicerna oleh hewan. Hal ini mengindikasikan bahwa bahan tersebut mengandung serat yang tinggi atau senyawa lain yang tidak dapat dicerna. Untuk mengatasi kendala ini, pada proses pengomposan limbah peternakan sapi perah harus ditambahkan dengan bahan lain sebagai sumber energi dan nutrisi yang dapat dimanfaatkan langsung oleh mikroorganisme yang terlibat pada proses degradasi awal. Bila kondisi ini dapat tercipta, maka proses pengomposan bertikutnya akan berlangsung lebih cepat, karena enzim yang dibutuhkan untuk proses pemecahan
3 senyawa yang terkandung, secara terus-menerus dapat diproduksi. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah menggunakan limbah kubis. Berdasarkan kandungan zat kimia, kubis merupakan bahan organik yang sangat dibutuhkan sebagai sumber nutrisi bagi mikroorganisme. Namun demikian, dikarenakan penanganannya yang masih belum benar, limbah kubis seringkali menjadi bahan pencemar lingkungan yang sangat menyengat menghasilkan bau busuk. Bau ini mudah timbul karena limbah kubis mengandung protein yang cukup tinggi dan menjadi sumber nutrisi yang dapat langsung dimanfaatkan oleh mikroorganisme kontaminan. Pada dasarnya, sebagai bahan organik limbah peternakan sapi perah dan limbah kubis merupakan sumber daya potensial yang sangat bermanfaat sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik alami. Pengolahan dan pemanfaatan campuran limbah padat peternakan sapi perah dan limbah kubis diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel mikrooganisme pada proses pembuatan pupuk organik, baik dalam bentuk padat maupun cair. Khusus untuk pupuk organik cair, prinsip pembuatannya adalah mengubah bahan organik limbah sapi perah dan kubis menjadi biomassa sel mikroorganisme. Meningkatnya jumlah sel mikrooganisme yang tumbuh pada media campuran ini, menunjukkan bahwa kadar protein sel tunggal substrat juga meningkat, sehingga konsentrasi unsur haranya bertambah termasuk N, P dan K. Namun demikian, sampai saat ini belum diperoleh data yang pasti tentang komposisi campuran limbah peternakan sapi perah dan limbah kubis yang dapat meningkatkan kandungan N, P dan K pupuk organik cair. Atas dasar uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Pengaruh Perbandingan Limbah Peternakan Sapi Perah dan
4 Limbah Kubis Brassica oleracea pada Pembuatan Pupuk Organik Cair terhadap Kandungan N, P dan K. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang penelitian, dapat di identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh perbandingan limbah peternakan sapi perah dan limbah kubis pada pembuatan pupuk organik cair terhadap kandungan N, P dan K. 2. Pada perbandingan limbah peternakan sapi perah dan limbah kubis berapa pada pembuatan pupuk organik cair menghasilkan kandungan N, P dan K tertinggi. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui : 1. Pengaruh perbandingan limbah petenakan sapi perah dan limbah kubis pada pembuatan pupuk organik cair terhadap kandungan N, P dan K. 2. Perbandingan limbah peternakan sapi perah dan limbah kubis berapa pada pembuatan pupuk organik cair menghasilkan kandungan N, P dan K tertinggi. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan, serta dapat dijadikan metode yang bermanfaat untuk menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah peternakan sapi perah dan limbah sayur khususnya limbah kubis. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi cara
5 praktis terutama bagi peternak sapi perah dalam menangani limbah yang dihasilkan. 1.5 Kerangka Pemikiran Limbah peternakan adalah bahan buangan yang dihasilkan dari seluruh kegiatan yang dilakukan pada proses budidaya, baik dalam bentuk padat, cair, ataupun gas (Merkel, 1981). Limbah padat, sebagian besar terdiri atas feses dan sisa hijauan pakan (rarapen) yang hampir seluruhnya merupakan bahan organik yang mudah terurai. Sapi laktasi dan semua ternak bunting membutuhkan makanan lebih banyak, sehingga pada umumnya memproduksi feses lebih banyak. Sapi perah dengan bobot badan 500 kg akan menghasilkan limbah kurang lebih 47 kg/hari (Azevedo dan Stout, 1974). Dengan demikian, seiring dengan perkembangan usaha peternakan sapi perah, maka jumlah limbah yang dihasilkan meningkat pula. Selain jumlah, limbah peternakan sapi perah, khususnya feses, juga mengandung senyawa kimia yang sangat potensial menimbulkan pencemaran, yaitu protein 16,3 %; komponen dinding sel 56 %; daya cerna 30 %; dan energi metabolisme 4.100 kcal/kg (Smith, 1977 dalam Bewick, 1980). Agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, penanganannya harus cepat dan benar. Selain itu, juga harus memiliki nilai manfaat ekonomis sehingga dapat menutupi seluruh biaya yang diperlukan, bahkan bila dimungkinkan memberikan keuntungan yang dapat dijadikan nilai tambah pendapatan bagi para peternak sapi perah. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memanfaatkannya sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik melalui proses pengomposan. Pupuk organik cair merupakan salah satu produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi, yang dapat dihasilkan dari limbah peternakan sapi perah melalui proses pengomposan cair. Namun demikian, untuk
6 mendapatkan bahan baku yang ideal dalam pembuatan pupuk organik cair sangat bergantung pada substrat produk dekomposisi awal, yang kualitasnya juga dipengaruhi oleh faktor kandungan nutrisi bahan organik limbah yang digunakan (CSIRO, 1979). Lebih lanjut dalam CSIRO (1979) dinyatakan bahwa nutrisi yang dimaksud adalah kandungan zat kimia bahan kompos yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan dan perbanyakan sel, yang dicerminkan dalam bentuk nisbah C/N, karbon (C) sebagai sumber energi dan nitrogen (N) sebagai sumber nutrisi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pada proses pengomposan limbah peternakan sapi perah perlu ditambahkan bahan yang memiliki kandungan nutrisi tinggi untuk keperluan pertumbuhan dan perbanyakan sel mikroorganisme yang terlibat. Salah satu alternatif yang sangat dimungkinkan adalah menggunakan bahan limbah sayuran, yaitu limbah kubis. Kubis (Brassica oleracea) merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak tumbuh di daerah dataran tinggi. Sejak di panen dari kebun, pada proses pengemasan dan pemasarannya dihasilkan limbah, yang pada umumnya berupa daun lapisan terluar yang dianggap rusak atau kotor. Limbah ini bersifat sangat mudah rusak dan busuk, dan potensial menimbulkan pencemaran lingkungan. Kubis sangat potensial sebagai sumber nutrisi, yaitu mengandung 15,74 % bahan kering; 23,87 % protein kasar; l,75% lemak kasar; 22,62 % serat kasar; 39,27% bahan ekstrak tanpa nitrogen dan 12,49% abu, namun demikian limbah kubis memiliki kelemahan, yaitu kadar airnya sangat tinggi sehingga mudah terurai dan busuk (Muktiani, 2006). Pupuk organik adalah pupuk yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan dan atau hewan yang telah mati dan mengalami penguraian oleh mikroorganisme menjadi unsur hara, yang kandungannya lebih dari satu, termasuk unsur mikro,
7 sehingga pupuk organik sering disebut pupuk majemuk (Winarni, 2013). Berdasarkan bentuknya ada dua jenis pupuk organik, yaitu pupuk organik padat dan pupuk organik cair (Pancapalaga, 2011). Pupuk organik cair adalah pupuk yang bentuknya berupa cairan (Mathius, 1994). Bahan baku yang digunakan pada proses pembuatan pupuk organik cair adalah berupa larutan biomassa mikroorganisme yang ditumbuhkembangkan pada proses dekomposisi awal dari limbah padat. Dekomposisi merupakan proses pemecahan bahan organik senyawa kompleks menjadi suatu produk yang di inginkan (Fardiaz, 1988). Pada pengomposan terjadi proses oksidasi senyawa organik yang terkandung dalam substrat menjadi senyawa anorganik yang bersifat stabil, misal N-organik (protein) menjadi nitrat dan senyawa oksida lain (FeO, P2O5, K2O) yang mudah larut dan dapat digunakan sebagai pupuk (Merkel, 1981). Oleh sebab itu, agar diperoleh hasil yang optimal, pada proses pengomposan sangat diperlukan oksigen (O2) untuk pernafasan dan metabolisme bagi mikroorganisme yang terlibat (Nan, 2005) Dari hasil penelitian sebelumnya tentang pengaruh kandungan nutrisi substrat komposan campuran feses sapi potong dan sampah organik, yang dicerminkan dalam bentuk nisbah C/N menunjukkan bahwa pada nisbah C/N 20 menghasilkan kandungan N, P, dan K tertinggi, yaitu : N = 2,18 % ; P = 1,17 % dan K = 0,95 % (Hidayati, 2010). Sedangkan pada penelitian tentang pengaruh berbagai nisbah C/N pada komposan campuran feses sapi perah dan serbuk gergaji albasia (Albizzinia falcata) dalam pembuatan pupuk organik cair menunjukkan bahwa pada nisbah C/N 30 menghasilkan kandungan N, P dan K tertinggi, yaitu : N = 3,085 %; P = 0,018 %; K = 0,020 % (Jaenal, 2007). Penelitian lain tentang penggunaan komposan campuran limbah peternakan
8 kerbau dan limbah dedaunan dengan perbandingan 50 % : 50 % yang didekomposisi selama 2 minggu menghasilkan kompos dengan kadar protein 17,4 % yang sangat ideal sebagai media pemeliharaan cacing tanah (Catalan, 1981). Hal ini menunjukkan bahwa campuran kedua bahan tersebut sangat ideal untuk pertumbuhan dan perbanyakan sel bagi mikroorganisme yang terlibat, sehingga terjadi konversi bahan komposan menjadi biomassa mikroorganisme yang memiliki kandungan protein yang lebih tinggi. Berdasarkan uraian tersebut dapat dibuat hipotesis bahwa komposisi campuran limbah peternakan sapi perah dan limbah kubis memberi pengaruh terhadap kadar N, P dan K pupuk organik cair yang dihasilkan dan kadar tertinggi dicapai pada perlakuan campuran 50 % limbah peternakan sapi perah dan 50 % limbah kubis. 1.6 Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai pada bulan Februari 2015, di Laboratorium Mikrobiologi dan Pengelolaan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan dan analisis kandungan unsur N, P dan K di Laboratorium Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor Sumedang.