BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan Jauh (remotesensing) adalah seni dan ilmu untuk mendapatkan informasi tentang objek, area atau fenomena melalui analisa terhadap data yang diperoleh menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979). Alat yang dimaksud diatas merupaka alat yang digunakan untuk merekam objek permukaan bumi atau sering disebut sensor. Sensor dipasang pada wahana penginderaan jauh. Pada umumnya sensor dibawa oleh wahana baik berupa pesawat, balon udara, satelit maupun jenis wahana yang lainnya (Sutanto, 1987). Hasil perekaman diatas kemudian disebut data penginderaan jauh. Metode interpretasi citra sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu konvensional atau secara visual dan klasifikasi berbasis piksel (multispektral). Interpretasi visual sangat dipengaruhi oleh jam terbang dari interpreter. Setiap orang memiliki tafsiran yang berbeda-beda dalam mengidentifikasikan objek. Pengetahuan lokal (localknowledge) juga mempengaruhi hasil identifiasi dari objek pada citra penginderaan jauh. Sedangkan klasifikasi berbasis piksel sangat dipengaruhi oleh nila spektral yang dipantulkan oleh objek pada saat perekaman. Interpretasi multispektral menggunaka pendekatan piksel untuk mengenali objek sehingga seringkali menyebabkan salah tafsir pada objek berlainan yang memiliki nilai spektral yang sama. Informasi Geospasial telah semakin berkembang diberbagai bidang. Tidak hanya pada aspek pemetaan konvensional saja namun sekarang semakin meningkatnya kebutuhan spasial menjadikan informasi geospasial semakin diminati. Informasi Geospasial tidak hanya berhenti pada pemetaan Geosfer fisik saja seperti Hidrosfer, Litosfer, pedosfer, Atmosfer, Biosfer, dan Antroposfer. Namun juga pemanfaatan data spasial sudah lanjut pada bidang ekonomi, sosial, manajemen kebencanaan, tata ruang bahkan bidang kesehatan dan perkotaan. 1
Informasi Geospasial dapat dikembangkan dengan dua sistem, yaitu Sistem Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Dimana Sitem Penginderaan Jauh merupakan penerapan metode identifikasi dan analisis objek dipermukaan bumi tanpa melakukan kontak langsung dengan objek tersebut, sehinga sumber data dari Penginderaan Jauh adalah Citra. Data penginderaan jauh perlu diinterpretasi untuk mengetahui kenampakan dalam data tersebut. Peran dari penginderaan jauh itu sendiri adalah untuk membuat pekerjaan lapangan lebih produktif juga sebagai substitusi pekerjaan lapangan sedangkan Sistem Informasi Geografis adalah perancangan data spasial yang saling terintegrasi antara data statistik (attribut) maupun data spasial. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis dan penginderaan Jauh kemudian terbangunlah Informasi Geospasial. Pertanyaan yang timbul seiring dengan perkembangan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi adalah bagaimana mengintegrasikan data penginderaan jauh kepada Sistem Informasi Geografi sehingga mampu menghasilkan keluaran yang langsung mendpatkan data statistik (attribut) dari data penginderaan jauh tersebut? Kehadiran citra resolusi spasial tinggi telah menantang para analis citra untuk mengembangkan metode ekstraksi informasi tematik yang berbeda dengan klasifikasi multispektral yang biasa diterapkan pada citra resolusi spasial menengah dan rendah. Metode ini dikenal dengan nama klasifikasi berbasis objek (object-based classification). Di Indonesia, citra resolusi spasial tinggi lebih banyak diperlakukan seperti foto udara karena para analis mengalami kesulitan dalam menerapkan klasifikasi multispektral terhadap citra semacam itu. Pada klasifikasi multispektral citra resolusi tinggi, satu piksel merupakan bagian dari objek penutup lahan yang umumnya berukuran jauh lebih besar, sehingga hasil klasifikasi cenderung merupakan kumpulan piksel yang tidak berkaitan langsung dengan kategorisasi objek yang dikembangkan dalam klasifikasi (Danoedoro, 2006). Untuk mengatasi masalah ini, dalam kurun 10 tahun terakhir mulai berkembang metode klasifikasi berbasis objek, yang memanfaatkan teknik segmentasi citra (Baatz dan Schappe, 2000; Ranasinghe, 2006; Navulur, 2007). 2
Klasifikasi multispektral mengenali setiap objek dapat dibedakan dari objek yang lain berdasarkan nilai spektralnya. Hal ini karena setiap objek memiliki pola respon spektral yang spesifik. Semakin sempit dan banyak saluran yang digunakan, semakin teliti hasil klasifikasi multispektral ini (Projo, 1996). Masalah sering timbul ketika daerah penelitian adalah wilayah perkotaan yang memiliki kompleksitas yang tinggi sehingga metode interpretasi multispektral akan sangat sulit digunakan ketika ada banyak objek identifikasi, bahkan dengan nilai spektral yang sama. Hal ini tentu saja akan mendefinisikan dua objek tersebut sebagai objek yang sama karena orientasi multispektral adalah nilai spektral itu sendiri. Klasifikasi multispektra yang memanfaatkan Aplikasi pemrosesan citra digital dilakukan secara automatis. Klasifikasi automatis melakukan penilaian secara kuantitatif yang berlaku pada wilayah liputan yang homogen. Alternatif metode penginderaan jauh yang mampu menggabungkan interpretasi visual maupun multispektral secara bersamaan adalah klasifikasi berbasis objek. Klasifikasi berbasis objek mampu meningkatkan ketelitian segmentasi objek-objek klasifikasi terhadap liputan yang heterogen. Klasifikasi berbasis objek memberikan batasan-batasan identifikasi objek dari bentuk, tekstur dan spektralnya. Teknik Interpetasi Berbasis Objek masih terbilang baru dalam bidang informasi Geo-Spasial sehingga ketelitiannya perlu dikaji untuk digunakan sebagai rujukan. Kecamatan Mlati memiliki karakteristik objek spasial yang cukup kompleks seperti lahan terbangun maupun alami seperti permukiman, jalan raya, kompleks perkantoran, (kompleks UGM), drainase, sawah, sungai, perkarangan, tegalan serta jenis penutup lahan lainnya. Teknik interpretasi citra penginderaan jauh berbasis objek untuk penutup lahan di daerah pinggiran perkotaan belum banyak digunakan di Indonesia. Ketertarikan pemanfaatan teknik klasifikasi berbasis objek terhadap kecamatan Mlati muncul ketika memahami bahwa metode ini belum banyak berkembang atau digunakan khususnya terhadap daerah pinggiran perkotaan; dalam hal ini kecamatan Mlati.Data statistik Kabupaten Sleman menunjukkan 3
terjadi konversi lahan pertanian cukup tinggi yang diimbangi dengan pertambahan jumlah penduduk dan luas areal terbangun. Pada tahun 1987 luas lahan pertanian sebesar 26.493 hektar dan pada tahun 2007 turun menjadi 23.062 hektar. Kondisi tersebut berbeda dibandingkan dengan jumlah penduduk yang terus mengalami peningkatan sebanyak 730.889 jiwa di tahun 1987 naik menjadi 1.026.767 jiwa di tahun 2007. Demikian juga untuk luas areal terbangun, pada tahun 1987 tercatat 10.740 hektar menjadi 19.034 hektar di tahun 2007. Penurunan lahan sawah di Kota Yogyakarta paling tinggi (-6.75%), sedangkan Kabupaten Sleman tercatat paling tinggi (-0.68%) dibandingkan tiga kabupaten lain Bantul, Kulon Progo dan Gunungkidul. Dalam kurun waktu 20 tahun, luas lahan sawah perkapita di semua wilayah di DIY mengalami penurunan. Penurunan tertinggi terjadi di Kabupaten Sleman, dari 3,62 persen di tahun 1987 menjadi 2,24 persen di tahun 2007. Kondisi ini memperlihatkan dibandingkan wilayah lain di Provinsi DIY, konversi lahan pertanian lebih tinggi dengan peningkatan jumlah penduduk yang tinggi pula (Harini, Rika 2012 dalam ujian terbuka program doktor). Ditinjau dari aspek perkembangan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta kondisi tersebut memperlihatkan gejala perkembangan kota cenderung ke arah utara dan timur, yaitu ke arah Kabupaten Sleman. 1.2 Rumusan Masalah Masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah penerapan metode klasifikasi berbasis objek sebagai teknik pemrosesan citra digital untuk memetakan tutupan/penggunaan lahan di daerah perkotaan dengan liputan objek penutup lahan yang heterogen sehingga dapat menjadi rekomendasi teknik pemetaan khusus daerah yang tengah mengalami perkembangan dari desa ke kota seperti yang dialami oleh Kecamatan Mlati. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.2.1 Bagaimana mengintegrasikan pemrosesan citra digital dengan Sistem Informasi Geografi? 4
1.2.2 Bagaimana ketelitian informasi spasial yang diperoleh menggunakan metode klasifikasi berbasis objek dengan uji akurasi metode Confusion Matrix? 1.2.3 Berapa nilai segmentasi yang paling baik digunakan untuk wilayah liputan yang heterogen (pinggiran perkotaan)? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Mendapatkan perbandingan akurasi klasifikasi secara kualitatif berdasarkan metode Confusion Matrix sebagai uji ketelitian Klasifikasi berbasis Objek. 1.3.2 Menetapkan nilai segmentasi yang dapat digunakan sebagai rujukan/usulan dalam klasifikasi berbasis objek untuk wilayah pinggiran perkotaan. 1.3.3 Klasifikasi berbasis objek citra penginderaan jauh Quickbird untuk penutup lahan. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Mendapatkan usulan nilai segmentasi identifikasi objek dalam klasifikasi berbasis objek pada wilayah liputan heterogen. 1.4.2 Mendapatkan usulan nilai merge dalam klasifikasi berbasis objek dalam klasifikasi berbasis objek pada wilayah liputan heterogen. 1.4.3 Mengembangkan dan memperkenalkan perkembangan tools Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi. 1.4.4 Sebagai alternative metode interpretasi objek dalam studi perkotaan dan atau identifikasi tutupan lahan yang menggunakan data penginderaan jauh resolusi tinggi pada wilayah liputan heterogen. 5