BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
|
|
- Yandi Agusalim
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan, dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Pada umumnya kota berperan sebagai pusat pelayanan dan kegiatan manusia yang sangat dinamis sehingga perkembangan kota yang meliputi aspek fisik dan sosial kependudukan akan selalu menunjukkan peningkatan dan membentuk dinamika kota yang kompleks. Perkembangan kota kota di Indonesia pada umumnya ditunjang oleh pergerakan penduduk secara terus menerus baik pada jarak pendek maupun jarak jauh. Perilaku pergerakan penduduk berhubungan secara signifikan dengan lokasi pekerjaan yang dimiliki. Fenomena tersebut disebabkan tempat kerja mereka terpisah dari tempat tinggal sehingga kebijakan perkotaan dapat diarahkan untuk merelokasi tempat kerja atau sebaliknya (Sohn, 2005 dalam Rachmawati, 2014). Namun, karena relokasi tempat pekerjaan tidak mudah dilakukan dikarenakan bersifat komunal dan meliputi berbagai bidang serta biasanya menempati tempat strategis di perkotaan, hal tersebut menyebabkan bertambahnya kepadatan penduduk dan permukiman yang ada pada lokasi lokasi strategis tersebut. Perkembangan jumlah penduduk yang menyebabkan bertambahnya kepadatan penduduk akan sebanding dengan meningkatnya jumlah permukiman perkotaan setiap tahun. Hal tersebut akan mengakibatkan konversi lahan menjadi lahan bermukim hingga pada meningkatnya harga lahan pada kawasan kawasan strategis perkotaan. Kebutuhan lahan bermukim yang meningkat, namun ketersediaan lahan yang semakin berkurang menimbulkan perkembangan perkembangan kawasan permukiman baru pada seluruh aspek ruang dalam kota
2 utamanya pada lokasi lokasi yang dimanfaatkan sebagai jalan masuk para pendatang. Kota Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia mempunyai peningkatan jumlah penduduk dari tahun 2000 hingga 2010, sebanyak 0,6 % dari menjadi dengan kepadatan penduduk rata-rata adalah jiwa per km 2 (BPS dan Dispendukcapil Kota Surabaya, 2011). Kepadatan penduduk yang cukup tinggi, belum tentu tersebar merata pada seluruh sisi kota dikarenakan dukungan dan akses terhadap fasilitas pelayanan dan lokasi pekerjaan akan berbeda beda. Keadaan yang demikian akan menimbulkan kosentrasi permukiman padat di beberapa kawasan tertentu. Berdasarkan data dasar RP4D Kota Surabaya tahun , sebaran lokasi permukiman kumuh tersebar merata di Kota Surabaya. Permukiman kumuh di Kota Surabaya ditinjau berdasarkan lokasinya dibedakan menjadi permukiman kumuh di sekitar pantai dan tambak, di pinggiran sungai dan drainase kota, pinggiran rel kererta api, dan tengah kampung. Berdasarkan tingkat kekumuhannya permukiman kumuh dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu kumuh berat, sedang dan ringan. Lokasi permukiman yang padat perlu diidentifikasi agar mendapat perhatian khusus dari pemerintah kota sehingga dapat mengembalikan nilai estetika kota, fungsi lahan, dan ekosistem yang ada. Surabaya Selatan menjadi pintu masuk utama warga pendatang dari arah Mojokerto, Sidoarjo, Malang, dan kota kota di sekitarnya. Hal tersebut akan mendorong perkembangan kawasan kumuh di wilayah ini juga akan lebih intensif jika dibandingkan dengan wilayah lain. Kecamatan Wonokromo merupakan salah satu kecamatan di Surabaya Selatan yang berada di pusat bangkitan utama di selatan yaitu Stasiun Wonokromo, Terminal Bus dan Angkutan Joyoboyo, jalan arteri Ahmad Yani, koridor CBD Ahmad Yani, dan perdagangan dan jasa (Perda No. 12/2014 tentang RTRW Kota Surabaya ). Keberadaan permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo pada tahun 2008 terdapat pada Kelurahan Ngagel Rejo, dan Kelurahan Jagir dengan luas sebesar 8% dari wilayah kecamatan Wonokromo (±0,5 km 2 ) (Data Permukiman BLH Kota Surabaya, 2008). Identifikasi kawasan kumuh jika dilakukan secara terestrial secara keseluruhan pada tiap parameternya akan membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya
3 yang cukup besar. Kehadiran teknologi pemrosesan citra yang diintegrasikan dengan penginderaan jauh mampu meningkatkan potensi pemanfaatan citra satelit tak lagi hanya berdasarkan aspek spektralnya, melainkan telah mengalami perkembangan dari perpiksel menjadi perobjek sehingga dapat memudahkan analisis kajian perkotaan (Danoedoro, 2012). Sistem satelit dengan berbagai macam sensor dan resolusi telah memberikan banyak alternatif dalam mengkaji lingkungan permukiman. Kehadiran satelit Worldview-3 yang diluncurkan pada Agustus 2014 dengan resolusi spasial yang sangat baik yaitu 0,31 meter (31 cm) dapat digunakan dalam identifikasi permukiman kumuh, dengan ketelitian yang saat ini terkategorikan sebagai ketelitian tertinggi di dunia, harapannya dapat membantu dalam deteksi permukiman kumuh dengan lebih baik dibanding dengan menggunakan citra dengan resolusi spasial dibawahnya. Penelitian permukiman kumuh menggunakan citra satelit dengan resolusi tinggi dalam perkembangannya telah banyak dilakukan dalam dekade terakhir (Patino dan Duque, 2013). Penggunaan citra resolusi tinggi yang paling sering digunakan dalam banyak penelitian permukiman kumuh yakni IKONOS, dan Quickbird. Resolusi satelit Quickbird (0,46m) yang mendekati resolusi Worldview-3 lebih banyak digunakan dalam penelitian permukiman kumuh terbaru, misalnya dalam penelitian Weeks (2007), Niebergall (2008), Kit (2012 dan 2013), dan Kohli (2012). Hal tersebut dikarenakan semakin detail kenampakan pada suatu citra akan semakin mampu membedakan kawasan kumuh dengan permukiman disekitarnya. Aspek spasial yang baik juga akan membantu dalam identifikasi parameter parameter identifikasi permukiman kumuh dalam kaitannya mengenai aspek fisik permukiman. Pemilihan penggunaan citra Worldview-3 dalam penelitian yang akan dilakukan dikategorikan tergolong satelit baru yang belum secara optimal digunakan dalam identifikasi kawasan permukiman kumuh khususnya di Indonesia. Digunakannya citra Worldview-3 dalam penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat akurasi yang dihasilkan dalam identifikasi kawasan permukiman kumuh yang ada pada lokasi kajian.
4 Penentuan permukiman kumuh dengan menggunakan penginderaan jauh akan membutuhkan metode tertentu. Metode identifikasi permukiman kumuh tersedia beragam jenisnya. Mulai dari metode per-piksel hingga per-objek, metode analisis statistik hingga metode deteksi yang universal. Pemilihan metode deteksi permukiman kumuh khususnya di Kota Surabaya harus dapat mengidentifikasi dan membedakan permukiman kumuh terhadap permukiman sekitarnya dengan baik, sehingga penerapan analisis prioritas dan jenis tindak penanganan kawasan kumuh dengan metode identifikasi Dinas PU (Pekerjaan Umum) tahun 2014 dapat dengan efisien dilakukan. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode deteksi permukiman kumuh PU dan metode deteksi dengan algoritma lacunarity. Metode deteksi permukiman kumuh dengan metode PU digunakan sebagai acuan penentuan lokasi kumuh sebab metode tersebut merupakan standar penentuan kekumuhan permukiman di Indonesia. Algoritma lacunarity dapat digunakan sebagai pengganti survei lapangan dalam melakukan deteksi dan klasifikasi suatu kawasan permukiman kumuh dan nonkumuh. Algoritma ini memiliki kemampuan deteksi permukiman kumuh secara efisien dengan meminimalisir adanya survei lapangan intensif (Kit et. al., 2012). Algortima lacunarity dapat mengamati dan mengetahui lokasi hingga perkembangan kekumuhan dalam analisis multitemporal. Metode ini juga mampu menciptakan dataset yang berhubungan dalam menggambarkan dominasi permukiman kumuh dengan mengesampingkan faktor teknis/internal (misalnya musim, SDM, dan permasalahan politik/birokrasi penanganan). Keuntungan lain digunakannya pendekatan ini yaitu dapat dimanfaatkan pada sumberdaya yang terbatas, tidak adanya persyaratan khusus mengenai software dan hardware menyebabkan teknik ini layak dan sesuai digunakan untuk negara berkembang (Kit. et. al., 2012). Kemampuan deteksi pembeda kumuh dan nonkumuh dan tingkat kerumitan dalam aplikasi algoritma tersebut telah dibuktikan dalam beberapa penelitian dengan hasil akurasi melalui cek lapangan yang baik (>80%) layak untuk diuji penggunaannya pada sistem permukiman perkotaan di Surabaya. Penggunaan algoritma lacunarity membutuhkan data/citra biner yang dapat dihasilkan dari metode binarisasi citra yang ada. Metode binarisasi citra
5 menggunakan algoritma line detection. Menurut Martinez dan Cupitt (2005), line detection telah menguraikan/memisahkan objek individual (dalam hal ini yaitu ukuran rumah) sehingga lebih cocok untuk digunakan dalam algoritma lacunarity. Pernyataan tersebut dibuktikan dalam penelitian Kit (2012) dengan menggunakan perbandingan dua metode biner (PCA dan line detection) menghasilkan line detection memberikan hasil yang lebih konsisten dan sangat baik pada ukuran floating window dan threshold binarisasi yang diberikan. Oleh karena itu, diharapkan penggunaan algoritma lacunarity yang didukung penggunaan metode binarisasi dengan line detection yang saling berkorelasi dapat menghasilkan hasil pembeda kekumuhan permukiman di Kecamatan Wonokromo secara efektif. Sejauh ini penggunaan citra resolusi tinggi utamanya di Indonesia masih dalam batasan membantu interpretasi secara visual kenampakan permukiman yang dianggap kumuh, metode interpretasi secara digital menggunakan algoritma lacunarity yang akan dilakukan diharapkan mampu meminimalisir kerja lapangan dalam deteksi kekumuhan. Identifikasi pembeda kumuh dan nonkumuh dapat digunakan sebagai acuan dalam mengetahui luasan dan sebaran permukiman kumuh, salah satunya di Kecamatan Wonokromo sehingga keinginan pencapaian Pemerintah Kota Surabaya untuk menciptakan Surabaya bebas kawasan kumuh pada tahun 2019 dapat terpenuhi dalam hal data lokasi kekumuhan. Penanganan kawasan kumuh dalam perkembangannya masih dalam kondisi yang belum tepat sasaran, yang dimungkinkan belum terdapatnya metode acuan yang tepat dalam merumuskan kebijakan penanganan. Penentuan prioritas penanganan kawasan kumuh yang dikeluarkan oleh PU pada tahun 2014 dapat menjadi referensi yang sangat relevan dalam menentukan prioritas, penggolongan, hingga pada tindakan yang sesuai dalam menangani permasalahan kawasan kumuh perkotaan Perumusan Masalah Perkembangan kepadatan hunian pada suatu kota banyak disebabkan dengan meningkatnya aktifitas pergerakan penduduk dari luar ke dalam kota untuk memenuhi kebutuhan perekonomiannya di suatu kota. Salah satu kota yang memiliki pergerakan penduduk yang besar yaitu Kota Surabaya. Kota Surabaya
6 sebagai kota terbesar kedua di Indonesia sekaligus sebagai ibukota Provinsi Jawa Timur memiliki ketersediaan aksesbilitas dan fasilitas yang sangat memadai yang menyebabkan pergerakan penduduk sangat besar. Kebutuhan akan ruang hunian pada lokasi lokasi Central Business District dan kawasan sekitarnya akan semakin padat dari tahun ke tahun, sedangkan ruang yang tersedia semakin berkurang. Harga lahan dalam kawasan kota akan semakin meningkat setiap tahunnya dimana pada kawasan kawasan akses utama dan pusat perkantoran akan memiliki harga yang lebih tinggi dibanding kawasan hunian yang jauh dari kawasan tersebut. Permintaan hunian baru yang semakin tinggi akibat adanya migrasi dan pertumbuhan penduduk yang bertambah setiap tahun akan menyebabkan masyarakat berpenghasilan rendah dan pendatang tidak mampu membeli hunian pada kawasan yang dekat dengan lokasi bekerja. Hal tersebut dapat berpotensi memunculkan hunian ilegal di kawasan kawasan tertentu. Berdasar data Bappeko dan Dinas Sosial Kota Surabaya, pada tahun 2002 Kecamatan Wonokromo tidak memiliki titik permukiman kumuh atau dalam hal ini dinyatakan bebas kawasan kumuh. Namun, dalam perkembangannya pada tahun 2008 pada kecamatan tersebut telah tumbuh hunian ilegal berupa slum pada kawasan sepanjang sungai dan kompleks perkeretaapian. Dari data yang ada menunjukkan bahwa permukiman kumuh terus berkembang setiap tahunnya dan akan semakin meluas jika tidak ditentukan penanganan dan prioritas kawasan yang sesuai. Permukiman kumuh menjadi salah satu permasalahan kota bahwa keberadaannya berpotensi mengganggu fungsi kawasan maupun fungsi ekosistem kawasan sekitarnya. Penentuan kawasan kumuh dapat dideteksi menggunakan bantuan citra satelit resolusi tinggi untuk dapat membedakan kawasan kumuh dengan kawasan di sekitarnya. Pada akhir akhir ini telah banyak citra resolusi tinggi yang dapat digunakan diantaranya yaitu Quickbird, IKONOS, Geo-Eye (1 atau 2), Worldview (1 atau 2 atau 3), PLEIADES (1 atau 2), RAPID-EYE, dan SPOT (6 atau 7). Penggunaan data citra untuk kajian perkotaan yang dinamis juga akan membutuhkan data perekaman citra yang terbaru. Kehadiran Worldview-3 yang diluncurkan ke orbitnya pada tahun 2014 memberikan manfaat baru bagi kajian perkotaan. Pemanfaatan citra Worldview -3 dalam penelitian penelitian
7 studi permukiman kumuh sangat jarang, bahkan belum dijumpai di Indonesia. Sehingga penggunaannya dalam penelitian ini diharapkan bisa menjelaskan kualitas akurasi citra dalam deteksi tingkat kekumuhan di wilayah tertentu, khususnya di Kecamatan Wonokromo. Pemaparan dan penelitian mengenai sebaran permukiman kumuh di Surabaya sudah banyak dilakukan oleh badan badan yang berhubungan dengan permukiman kota, seperti Ditjen Cipta Kaya (PU), BLH, Bappeda, Dinas Sosial, BPS, dan lain sebagainya. Namun, metode penentuan lokasi kumuh masih didominasi dengan survei lapangan yang intensif dan interpretasi citra secara manual sehingga waktu yang digunakan tidak efisien. Selain itu, metode penentuan tingkat kekumuhan dari Dinas Pekerjaan Umum baru dikeluarkan pada tahun 2014 dengan menggunakan lima kriteria utama dengan 15 variabel dan 23 parameter kekumuhan belum banyak digunakan dalam penelitian penelitian kekumuhan terbaru. Dengan penggunaan parameter yang kompleks diharapkan akan menghasilkan tingkat kedetailan dalam identifikasi kekumuhan hingga prioritas penanganan pada tiap jenis kawasan kumuh lebih baik dan tepat sasaran. Pemanfaatan citra Worldview-3 dengan menggunakan data mutakhir dan kombinasi metode yaitu deteksi kekumuhan menggunakan algoritma lacunarity yang telah diketahui mampu mengidentifikasi lokasi kumuh secara cepat dan meminimalisir survei lapangan sangat perlu diaplikasikan bagi kota metropolitan yang dinamis seperti Kota Surabaya sekaligus mengetahui akurasi deteksi citra yang digunakan. Penggunaan metode tambahan dari PU yang sekaligus menjadi landasan penentuan kekumuhan di Indonesia perlu kiranya dilakukan untuk mengetahui lokasi, prioritas penanganan, hingga jenis tindak penanganan kawasan kumuh yang ada di Kecamatan Wonokromo. Berdasarkan paparan dan penjelasan pada latar belakang dan rumusan masalah dapat diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana deteksi permukiman kumuh dari algoritma lacunarity? 2. Bagaimana akurasi citra Worldview-3 dalam deteksi dan identifikasi permukiman kumuh dengan algoritma lacunarity?
8 3. Bagaimana prioritas dan jenis tindak penanganan permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui deteksi permukiman kumuh yang dihasilkan algoritma lacunarity. 2. Mengetahui akurasi yang dihasilkan citra Worldview-3 dalam deteksi dan identifikasi permukiman kumuh dengan algoritma lacunarity. 3. Menentukan prioritas dan jenis tindak penanganan permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo Kegunaan Penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat praktis. Manfaat secara teoritis menjelaskan sumbangsih penelitian ini terhadap bidang keilmuan penginderaan jauh untuk studi perkotaan khususnya pemukiman kumuh, sedangkan manfaat secara praktis merupakan manfaat yang dapat diperoleh sebagai rekomendasi atau masukan terhadap aplikasi pemecahan permasalahan yang ada Manfaat Teoritis Akurasi deteksi yang dihasilkan dalam algoritma lacunarity untuk mengidentifikasi permukiman kumuh menggunakan citra Worldview-3 yang tergolong dalam citra berketelitian paling tinggi saat ini diharapkan dapat dikembangkan dalam penggunaan aplikasi untuk penelitian permukiman kumuh pada penelitian selanjutnya. Adanya algoritma tersebut diharapkan dapat membantu menggantikan survei lapangan dalam deteksi kumuh dari metode PU pada beberapa parameter yang ada. Penggunaan metode metode tambahan lain atau lokasi yang berbeda dapat dikembangkan kemudian dengan tetap mempertimbangkan teori-teori terkait yang ada dan relevan dengan permasalahan permukiman kumuh.
9 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi aplikatif untuk penyelesaian masalah permukiman kumuh yang ada. Hasil deteksi, identifikasi sebaran, dan luasan hingga analisis prioritas dan jenis tindak penanganan permukiman kumuh yang ada di Kecamatan Wonokromo dapat dimanfaatkan sebagai data pendukung dalam pertimbangan perencanaan relokasi/penanganan permukiman kumuh sebagai bentuk peremajaan kota. Prioritas penanganan dapat digunakan dalam membantu pengembalian fungsi lahan sesuai RTRW/RDTRK Surabaya, sehingga meminimalisir terjadinya konflik lahan dan alih fungsi pemanfaatan fungsi lahan serta aktifitas di dalamnya yang bertentangan dengan RTRW/RDTRK diwaktu yang akan datang.
Abstrak. Kata Kunci: Worldview 3, Lacunarity, Permukiman Kumuh, Prioritas Penanganan, Jenis Tindak Penanganan
INTEGRASI ALGORITMA LACUNARITY DAN ANALISIS PENAJAMAN CITRA WORLDVIEW 3 UNTUK PENENTUAN PRIORITAS DAN JENIS TINDAK PENANGANAN KAWASAN KUMUH (Kasus di Kecamatan Wonokromo, Kota Surabaya) Kuncoro Purba Wasisa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi penginderaan jauh yang semakin pesat menyebabkan penginderaan jauh menjadi bagian penting dalam mengkaji suatu fenomena di permukaan bumi sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Aplikasi teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis semakin meluas sejak dikembangkan di era tahun 1960-an. Sejak itu teknologi penginderaan jauh dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk khususnya di wilayah perkotaan dipengaruhi dari berbagai faktor-faktor yang menyebabkan suatu daerah menjadi padat penduduknya. Hal ini akan menimbulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih cukup tinggi. Salah satu penyebab adanya laju pertambahan penduduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya tingkat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan dengan memperhatikan karakteristiknya.
Lebih terperinciInterpretasi dan Uji Ketelitian Interpretasi. Penggunaan Lahan vii
DAFTAR ISI Halaman Judul... i Intisari... ii Abstract... iii Kata Pengantar... iv Daftar Isi... vi Daftar Tabel... ix Daftar Gambar... xi Daftar Lampiran... xiii BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang...
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Jumlah penduduk Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 1990 jumlah penduduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan
Lebih terperinciGambar 5.30 Peta Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai Gambar 5.31 Peta rencana Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai...
Gambar 5.30 Peta Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai... 114 Gambar 5.31 Peta rencana Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai... 115 Gambar 5.32 Kondisi Jalur Pedestrian Penghubung Stasiun dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah merupakan kebutuhan manusia yang tidak dapat dihindari. Kebutuhan rumah bahkan termasuk ke dalam kebutuhan primer selain makanan dan pakaian. Dengan semakin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perumahan merupakan kebutuhan masyarakat yang paling mendasar, dan dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan rendah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan merupakan suatu kawasan yang memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat karena mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan
Lebih terperinciIdentifikasi Permukiman Kumuh Berdasarkan Tingkat RT di Kelurahan Keputih Kota Surabaya
C389 Identifikasi Permukiman Kumuh Berdasarkan Tingkat RT di Kelurahan Keputih Kota Surabaya Elpidia Agatha Crysta dan Yanto Budisusanto Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, tertib dan teratur, nyaman dan efisien,
Lebih terperinciPEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN PERMUKIMAN KUMUH DAN TINGKAT PRIORITAS PENANGANAN DI KECAMATAN SEMARANG UTARA
PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN PERMUKIMAN KUMUH DAN TINGKAT PRIORITAS PENANGANAN DI KECAMATAN SEMARANG UTARA Gamma Reiza Nusantarawati gamreiza@gmail.com Endang Saraswati esaraswati@ugm.ac.id
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit penginderaan jauh merupakan salah satu metode pendekatan penggambaran model permukaan bumi secara terintegrasi yang dapat digunakan sebagai data dasar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota besar akan mengalami perkembangan, dimana perkembangan tersebut berdampak pada daerah disekitarnya. Salah satu dampak yang terjadi adalah munculnya istilah kota
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Transportasi memiliki peranan yang sangat besar dalam menunjang proses kehidupan manusia sebagai penunjang media perpindahan arus barang, orang, jasa serta informasi.
Lebih terperinciClustering Permukiman Kumuh di Kawasan Pusat Kota Surabaya
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) C-172 Clustering Permukiman Kumuh di Kawasan Pusat Kota Surabaya Patrica Bela Barbara dan Ema Umilia Jurusan Perencanaan Wilayah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki kurang lebih 17.508 pulau (Indonesia.go.id). Wilayah Indonesia didominasi laut dengan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permukiman Kumuh
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permukiman Kumuh Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 4 tahun 1992, perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan lahan berhubungan erat dengan dengan aktivitas manusia dan sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota dipengaruhi oleh adanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perkembangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) baik dari segi jumlah penduduk dan infrastrukturnya membuat Kawasan Perkotaan Yogyakarta menjadi magnet yang menarik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota akan selalu berhubungan erat dengan perkembangan lahan baik dalam kota itu sendiri maupun pada daerah yang berbatasan atau daerah sekitarnya. Selain itu lahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya
Lebih terperinciBab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang
1 Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Identifikasi merupakan langkah strategis dalam menyukseskan suatu pekerjaan. (Supriadi, 2007). Tujuan pemerintah dalam rangka penertiban dan pendayagunaan tanah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung merupakan Ibukota Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk berdasarkan proyeksi sensus penduduk tahun 2012 yaitu 2,455,517 juta jiwa, dengan kepadatan
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah yang berlandaskan UU No. 32 tahun 2004 yang merupakan revisi dari UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, memberikan kewenangan yang sangat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain
Lebih terperinciBIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA
BIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA OLEH : DR. M LUTHFUL HAKIM PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN Kondisi Kritis Ketahanan Pangan Nasional Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan penggunaan lahan merupakan obyek kajian yang dinilai penting untuk diteliti karena dapat berkaitan dengan masalah global maupun lokal. Masalah dari perubahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kota Jakarta Timur, dengan fokus pada Kecamatan Jatinegara. Kecamatan ini memiliki 8 Kelurahan yaitu Cipinang Cempedak, Cipinang
Lebih terperinciIV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN
92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
Lebih terperinciTabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu bentuk ekosistem yang secara umum terdiri dari wilayah hulu dan hilir. Wilayah hulu DAS didominasi oleh kegiatan pertanian lahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kenyamanan permukiman di kota dipengaruhi oleh keberadaan ruang terbuka hijau dan tata kelola kota. Pada tata kelola kota yang tidak baik yang ditunjukkan dengan
Lebih terperinciAnita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,
Evaluasi Tutupan Lahan Terhadap Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Surabaya Pada Citra Resolusi Tinggi Dengan EVALUASI TUTUPAN LAHAN PERMUKIMAN TERHADAP RENCANA DETIL TATA RUANG KOTA (RDTRK) SURABAYA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Bandung, merupakan sebuah kota metropolitan dimana didalamnya terdapat beragam aktivitas kehidupan masyarakat. Perkembangan kota Bandung sebagai kota metropolitan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan kebutuhan akan tempat tinggal semakin tinggi. Menurut Susanti
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia yang sangat cepat berimplikasi terhadap kepadatan suatu kota. Pertumbuhan penduduk yang semakin cepat tersebut mengakibatkan kebutuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di dataran pantai Utara Jawa. Secara topografi mempunyai keunikan yaitu bagian Selatan berupa pegunungan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan perkotaan yang begitu cepat, memberikan dampak terhadap pemanfaatan ruang kota oleh masyarakat yang tidak mengacu pada tata ruang kota yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah perkotaan mempunyai sifat yang sangat dinamis, berkembang sangat cepat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Perkembangan daerah perkotaan dapat secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang DKI Jakarta memiliki permasalahan permukiman kumuh dengan kondisi rumah tidak sesuai dengan standar yang ada dan kurang memperhatikan kelengkapan prasarana dan sarana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kawasan(PLP2K-BK) 1 Buku Panduan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis
BAB I PENDAHULUAN 1.4. Latar Belakang Permukiman kumuh merupakan permasalahan klasik yang sejak lama telah berkembang di kota-kota besar. Walaupun demikian, permasalahan permukiman kumuh tetap menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Jakarta. Kata Bandung berasal dari kata bendung atau bendungan karena
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bandung merupakan kota kecil yang terletak di sebelah selatan Ibu Kota Jakarta. Kata Bandung berasal dari kata bendung atau bendungan karena terbendungnya sungai citarum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu
Lebih terperinciberkembang seperti Indonesia dewasa ini adalah tingginya pertumbuhan penduduk terutama pada pusat-pusat perkotaan, dimana terpusatnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan yang dihadapi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dewasa ini adalah tingginya pertumbuhan penduduk terutama pada pusat-pusat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang
Lebih terperinciANALISIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STATISTIK LOGISTIK BINER DALAM UPAYA PENGENDALIAN EKSPANSI LAHAN TERBANGUN KOTA YOGYAKARTA
ANALISIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STATISTIK LOGISTIK BINER DALAM UPAYA PENGENDALIAN EKSPANSI LAHAN TERBANGUN KOTA YOGYAKARTA Robiatul Udkhiyah 1), Gerry Kristian 2), Chaidir Arsyan Adlan 3) 1,2,3) Program
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkotaan merupakan kawasan pemusatan penduduk. Keadaan ini akan memicu terjadinya penurunan kualitas perkotaan yang dapat ditunjukkan dengan timbulnya berbagai permasalahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota menurut Alan S. Burger The City yang diterjemahkan oleh (Dyayadi, 2008) dalam bukunya Tata Kota menurut Islam adalah suatu permukiman yang menetap (permanen) dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Visi dari pembangunan kesehatan di Indonesia adalah menciptakan penduduk yang hidup dalam lingkungan sehat dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau
Lebih terperinciJURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)
A703 Analisa Ketelitian Geometrik Citra Pleiades 1A dan Worldview-2 untuk Pembuatan Peta Dasar Rencana Detail Tata Ruang Perkotaan (Studi Kasus: Surabaya Pusat) Ricko Buana Surya, Bangun Muljo Sukojo,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dinamika kebumian memang menarik untuk dipelajari, dikenali dan dikaji. Kajian yang sering dilakukan terutama oleh bidang ilmu kebumian antara lain kajian tentang
Lebih terperinciPEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG
PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG Vembri Satya Nugraha vembrisatyanugraha@gmail.com Zuharnen zuharnen@ugm.ac.id Abstract This study
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan timbulnya masalah permukiman. Masalah permukiman lebih terasa di daerah perkotaan daripada di daerah perdesaan. Masalah perumukiman
Lebih terperinciGEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik
GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses berkembangnya suatu kota baik dalam aspek keruangan, manusia dan aktifitasnya, tidak terlepas dari fenomena urbanisasi dan industrialisasi. Fenomena seperti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jaringan jalan merupakan sistem prasarana utama yang menjadi bagian dari sistem jaringan transportasi darat. Jaringan jalan disebut juga sebagai tonggak penggerak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar kota di Negara Indonesia tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir. Setiap fenomena kekotaan yang berkembang pada kawasan ini memiliki karakteristik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 2015 dan Perda No 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I - 1. Sumber data statistic BPS DKI Jakarta. Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia, Jakarta memegang peran yang cukup besar dalam skala nasional maupun internasional. Salah satu peranan yang dimaksud adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kota berkembang dari tempat-tempat pemukiman yang sangat sederhana hingga
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota sebagai salah satu kenampakan di permukaan bumi, menurut sejarahnya kota berkembang dari tempat-tempat pemukiman yang sangat sederhana hingga timbullah
Lebih terperinciJURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)
C124 Arahan Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh Kecamatan Kenjeran dengan Pendekatan Eco-Settlements Bayu Arifianto Muhammad dan Haryo Sulistyarso Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kompleks dibanding daerah sekitarnya (Bintarto, 1977). perekonomian, atau sebagai pusat pemerintahan (Darmendra, 2011).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkotaan merupakan bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan
Lebih terperinciPENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PREDIKSI PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS MULTISPEKTRAL
PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PREDIKSI PENGGUNAAN DAN PERUBAHAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS MULTISPEKTRAL Teguh Hariyanto Program Studi Teknik Geodesi FTSP-ITS Surabaya email: teguh_hr@geodesy.its.ac.id
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan salah satu faktor penunjang kehidupan di muka bumi baik bagi hewan, tumbuhan hingga manusia. Lahan berperan penting sebagai ruang kehidupan,
Lebih terperinciJURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)
C151 Arahan Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh Kecamatan Kenjeran dengan Pendekatan Eco-Settlements Bayu Arifianto Muhammad dan Haryo Sulistyarso Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi di bidang transportasi sangat membantu manusia dalam menghemat waktu perjalanan yang tadinya berlangsung sangat lama menjadi lebih cepat. Teknologi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah
II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini kota-kota besar di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam bidang industri, sarana transportasi, perluasan daerah pemukiman dan lain sebagainya.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perumahan dan pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perumahan dan pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang menyangkut kelayakan dan taraf kesejahteraan hidup masyarakat. Rumah bukan hanya berfungsi sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dapat memberikan pengaruh positif sekaligus negatif bagi suatu daerah. Di negara maju pertumbuhan penduduk mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
Lebih terperinciPenataan Lingkungan Permukiman Kumuh Di Wilayah Kecamatan Semampir Kota Surabaya Melalui Pendekatan Partisipasi Masyarakat
Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh Di Wilayah Kecamatan Semampir Kota Surabaya Melalui Pendekatan Partisipasi Masyarakat PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra
67 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra satelit ke dalam peta tematik antara lain sebagai berikut : 1. Bahan a. Data
Lebih terperinciBAB II DASAR TEORI - 7 -
BAB II DASAR TEORI 2.1 Data Jumlah Penduduk untuk Perencanaan Penduduk merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pembangunan di suatu negara, khususnya dalam hal perencanaan. Dapat dikatakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk menjamin keberlangsungan hidup manusia. Seiring dengan rutinitas dan padatnya aktivitas yang dilakukan oleh
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan adalah upaya perubahan dari kondisi kurang baik menjadi lebih baik. Untuk itu pemanfaatan sumber daya alam dalam proses pembangunan perlu selalu dikaitkan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Peraturan Perumahan dan Kawasan Permukiman Peraturan terkait dengan perumahan dan kawasan permukiman dalam studi ini yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 11 tentang Perumahan dan Kawasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kota merupakan sebuah tempat permukiman yang sifatnya permanen
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan sebuah tempat permukiman yang sifatnya permanen dengan tingkat kepadatan penduduknya yang mencolok, di mana corak masyarakatnya yang heterogen dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Sujarto (dalam Erick Sulestianson, 2014) peningkatan jumlah penduduk yang tinggi dan perpindahan penduduk ke daerah perkotaan, merupakan penyebab utama pesatnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Pegunungan Dieng Kabupaten Wonosobo dengan kemiringan lereng > 40 %. Suhu udara Pegunungan Dieng
Lebih terperinci1.3 Tujuan Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencurian merupakan suatu tindakan kejahatan yang seringkali terjadi di masyarakat dengan target berupa bangunan, seperti rumah, kantor, atau tempat umum lainnya. Maraknya
Lebih terperinci