Umur Lingkungan Pengendapan

dokumen-dokumen yang mirip
Subsatuan Punggungan Homoklin

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

Batupasir. Batugamping. Batupasir. Batugamping. Batupasir

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH CANDI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

A. Perlapisan batupasir batulempung dengan ketebalan yang homogen B. Antara batupasir dan batu lempung memperlihatkan kontak tegas

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

: Batugamping Kalsilutit-Batulempung : Mudstone (Dunham, 1962)/Batugamping Kalsilutit

BAB I PENDAHULUAN. pada Sungai Kedawung. Secara geologi, menurut Pringgoprawiro (1982) formasi

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Foto III-11. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 11) Foto III-12. T.abc sekuen Bouma pada Satuan Batupasir-Batulempung (CKG 12)

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas.

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

Foto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir).

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

hancuran yang muncul sebagai breksiasi. Tebal batulempung dalam perselingan sangat bervariasi, dari 20 cm hingga 30 cm.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Lokasi : G.Walang Nama Batuan : Tuf Gelas

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Bab III Geologi Daerah Penelitian

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

Batupasir. Batulanau. Foto 3.15 Bagian dari Singkapan Peselingan Batulanau dengan Batupasir pada Lokasi Sdm.5 di Desa Sungapan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III Perolehan dan Analisis Data

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

Ciri Litologi

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III ISSN: X Yogyakarta, 3 November 2012

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

batupasir batulempung Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

GEOLOGI DAERAH PAPRINGAN DAN SEKITARNYA KECAMATAN TEMAYANG KABUPATEN BOJONEGORO JAWA TIMUR

BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

Gambar 3.5 Klasifikasi Batugamping berdasarkan Dunham, 1964 ( Loucks et. Al, 2003)

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

S U KE 06. Gambar 3.8 Sketsa Penampang Lintasan E

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

// - Nikol X - Nikol 1mm

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Transkripsi:

3.2.4.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi KD9, KD2, dan BG7 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerina praebulloides, Globigerinoides obliquus extremus, Globigerinoides ruber, Globigerinoides trilobus immaturus, Globigerinoides trilobus trilobus, Globorotalia acostaensis acostaensis, Globorotalia continuosa, Globorotalia menardii menardii, Globorotalia pseudomiocenica, Hastigerina aequilateralis, dan Orbulina universa. Kumpulan mikrofosil tersebut menunjukkan bahwa umur dari Formasi Wonocolo bagian tengah adalah N.16 menurut zonasi Blow (1969). Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BL10 dan BG17 (Lampiran B), dengan ditemukannya spesies-spesies seperti Globigerina praebulloides, Globigerinoides conglobatus conglobatus, Globorotalia acostaensis acostaensis, Globorotalia acostaensis humerosa, Globorotalia multicamerata, Orbulina universa, Pulleniatina primalis, dan Sphaeroidinellopsis seminulina seminulina,maka umur dari Formasi Wonocolo bagian atas adalah N.17 menurut zonasi Blow (1969). Sedangkan umur dari Formasi Wonocolo bagian bawah tidak dapat ditentukan karena pada sampel batuan tidak ditemukan fosil foraminifera plangton (barren sample). Mengacu pada Pringgoprawiro (1983) yang menyatakan bahwa formasi ini mulai diendapkan pada umur awal Miosen Akhir atau zona N.15 menurut zonasi Blow (1969), maka dapat disimpulkan bahwa Formasi Wonocolo mempunyai kisaran umur N.15 - N.17 menurut zonasi Blow (1969) atau awal Miosen Akhir - tengah Miosen Akhir. 3.2.4.4 Lingkungan Pengendapan Berdasarkan fosil-fosil foraminifera bentos yang ditemukan pada sampel yang diambil dari lokasi KD9 dan KD2 (Lampiran B) yaitu Amphicorina scalaris, Amphistegina sp., Bolivina sp., Bulimina sp., dan Uvigerina sp., maka Formasi Wonocolo bagian tengah kemungkinan diendapkan pada lingkungan neritik tengah (klasifikasi Rauwenda dkk., 1984) atau pada kedalaman 20-100 m. Berdasarkan fosil-fosil foraminifera bentos yang ditemukan pada sampel yang diambil dari lokasi BL10, BG7, dan BG17 (Lampiran B) yaitu Bulimina marginata, 47

Planulina wuellerstorfi, dan Sphaeroidinna sp., maka Formasi Wonocolo bagian atas kemungkinan diendapkan pada lingkungan neritik luar (klasifikasi Rauwenda dkk., 1984) atau pada kedalaman 100-200 m. Napal yang mempunyai ukuran butir sangat halus menunjukkan produk mekanisme pengendapan secara suspensi Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa Formasi Wonocolo diendapkan pada kedalaman 20-200 m atau neritik tengah - neritik luar dengan mekanisme pengendapan secara suspensi dalam kondisi transgresi. 3.2.4.5 Hubungan Stratigrafi Hubungan stratigrafi Formasi Wonocolo dengan formasi yang ada di bawahnya dapat diketahui berdasarkan hasil analisis umur pada sampel yang diambil dari lokasi BG4 dan BG7 (Lampiran B). Pada lokasi BG4, hasil analisis mikrofosil menunjukkan umur N.9 - N.11, sedangkan pada lokasi BG7, hasil analisis mikrofosil menunjukkan umur N.16. Dari hasil analisis tersebut dapat terlihat adanya suatu zona waktu yang hilang (datum gap) antara Formasi Wonocolo dengan satuan batuan yang ada di bawahnya, yaitu hilangnya zona N.12 - N.15 di bagian selatan daerah penelitian. Dengan kemiringan lapisan yang berbeda dengan satuan di bawahnya, maka dapat disimpulkan bahwa adanya bidang ketidakselarasan bersudut antara Formasi Wonocolo dengan Formasi Ngrayong yang ada di bawahnya. Hubungannya dengan Formasi Bulu, Formasi Wonocolo mempunyai hubungan yang selaras, yaitu didasarkan atas kemenerusan waktu pengendapan dan kedudukan lapisan batuan yang tidak banyak berubah. 3.2.5 Formasi Ledok 3.2.5.1 Penyebaran dan Ketebalan Formasi Ledok membentuk morfologi bukit-bukit dan lembah-lembah di bagian barat laut daerah penelitian. Penyebaran formasi ini secara lateral menempati sekitar 12% dari luas daerah penelitian, ditandai warna kuning pada peta geologi (Gambar 3.7 dan Lampiran E3). Jurus lapisan pada formasi ini berarah relatif barat daya-timur laut dengan kemiringan lapisan sebesar 15-24. Singkapan-singkapan yang masuk ke dalam formasi ini tersebar di Kali Kedungtatang dan Kali Kedungrenjeng. 48

Ketebalan formasi ini sulit diketahui karena pengukuran penampang stratigrafi sulit untuk dilakukan sebab terbatas dan tidak menerusnya singkapan. Namun, berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, ketebalan Formasi Ledok di daerah penelitian adalah lebih dari 458 meter. 3.2.5.2 Ciri Litologi Formasi Ledok dicirikan oleh perselingan batupasir dengan batugamping kalkarenit. Semakin ke atas, perlapisan batugamping kalkarenitnya semakin tebal, sedangkan batupasirnya semakin menipis. Ciri litologi dari batupasir pada pengamatan di lapangan (Foto 3.29 dan Foto 3.30) yaitu berwarna abu-abu terang, semen karbonatan, terpilah baik, kemas tertutup, porositas sedang, besar butir pasir sangat halus hingga halus, bentuk butiran membundar hingga menyudut tanggung, mudah diremas, tebal lapisan mulai dari 15 cm hingga lebih dari 10 m. Berdasarkan pengamatan sayatan tipis pada sampel yang diambil dari lokasi BL13 (Lampiran A), ciri batupasir yaitu bertekstur klastik, terpilah sedang, kemas terbuka, tersusun oleh butiran kuarsa, glaukonit, mineral opak, fragmen batuan, dan cangkang fosil foraminifera, berukuran 0,02 mm hingga 0,7 mm, berbentuk membundar hingga menyudut, matriks berupa mineral lempung, semen kalsit, porositas intergranular dan moldic. Hasil analisis sayatan tipis batupasir ini menghasilkan nama glauconitic quartz arenite (Folk, 1974). Ciri litologi dari batugamping kalkarenit pada pengamatan di lapangan (Foto 3.31 dan Foto 3.32) yaitu berwarna putih keabu-abuan, terpilah baik, kemas tertutup, porositas sedang, besar butir pasir halus, bentuk butiran membundar hingga menyudut tanggung, kompak, terjadi pelarutan, tebal lapisan 9 cm hingga 47 cm. Berdasarkan pengamatan sayatan tipis pada sampel yang diambil dari lokasi BL2.5 (Lampiran A), ciri batugamping kalkarenit yaitu terpilah buruk, kemas terbuka, butiran terdiri dari foraminifera kecil, kuarsa, dan mineral opak, berukuran 0,03 mm hingga 0,1 mm, berbentuk membundar tanggung hingga menyudut tanggung, matriks berupa lumpur karbonat, semen spari kalsit, porositas interpartikel. Hasil analisis sayatan tipis batugamping kalkarenit ini menghasilkan nama packstone (Dunham, 1962). 49

Foto 3.29. Singkapan batupasir Formasi Ledok (Lokasi DW2.6). Foto 3.30. Singkapan batupasir Formasi Ledok (Lokasi BL2.3). 50

Foto 3.31. Singkapan batugamping kalkarenit Formasi Ledok (Lokasi DW2.1). Foto 3.32. Singkapan perselingan batupasir dengan batugamping kalkarenit Formasi Ledok (Lokasi BL12). 51

3.2.5.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BL11 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerina praebulloides, Globigerinoides obliquus extremus, Globigerinoides ruber, Globoquadrina dehiscens dehiscens, Globorotalia acostaensis acostaensis, dan Globorotalia acostaensis humerosa. Kumpulan mikrofosil tersebut menunjukkan bahwa umur dari Formasi Ledok bagian bawah adalah N.17 menurut zonasi Blow (1969) atau Miosen Akhir. Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BL2.4 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides elongatus, Globigerinoides obliquus extremus, Globoquadrina dehiscens dehiscens, Globorotalia acostaensis acostaensis, Globorotalia pseudomiocenica, dan Globorotalia tumida plesiotumida. Kumpulan mikrofosil tersebut menunjukkan bahwa umur dari Formasi Ledok bagian tengah adalah N.17 - N.18 menurut zonasi Blow (1969) atau akhir Miosen Akhir. Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BL2.11 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides elongatus, Globoquadrina altispira globosa, Globoquadrina dehiscens dehiscens, Globorotalia acostaensis acostaensis, Globorotalia merotumida, Globorotalia pseudomiocenica, Pulleniatina primalis, dan Sphaeroidinellopsis seminulina seminulina. Kumpulan mikrofosil tersebut menunjukkan bahwa umur dari Formasi Ledok bagian atas adalah N.17 - N.18 menurut zonasi Blow (1969) atau akhir Miosen Akhir. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Formasi Ledok terbentuk pada akhir Miosen Akhir atau N.17 - N.18 menurut zonasi Blow (1969). 3.2.5.4 Lingkungan Pengendapan Berdasarkan fosil-fosil foraminifera bentos yang ditemukan pada sampel yang diambil dari lokasi BL11 dan BL2.4 (Lampiran B) yaitu Bulimina marginata, Sphaeroidinna sp. dan Uvigerina peregrina, maka Formasi Ledok bagian bawah dan tengah kemungkinan diendapkan pada lingkungan neritik luar (klasifikasi Rauwenda dkk., 1984) atau pada kedalaman 100-200 m. 52

Berdasarkan fosil-fosil foraminifera bentos yang ditemukan pada sampel yang diambil dari lokasi BL2.11 (Lampiran B), yaitu Bolivina sp., maka Formasi Ledok bagian atas kemungkinan diendapkan pada lingkungan neritik tengah (klasifikasi Rauwenda dkk., 1984) atau pada kedalaman 20-100 m. Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa Formasi Ledok diendapkan pada kedalaman 20-200 m atau neritik tengah - neritik luar dalam kondisi regresi. 3.2.5.5 Hubungan Stratigrafi Formasi Ledok memiliki hubungan yang selaras dengan Formasi Wonocolo yang ada di bawahnya. Hal ini didasarkan pada kemenerusan waktu pengendapan dan kedudukan lapisan batuan yang tidak banyak berubah. 3.2.6 Formasi Mundu 3.2.6.1 Penyebaran dan Ketebalan Formasi Mundu merupakan penyusun dataran rendah yang berada di bagian selatan daerah penelitian. Penyebaran formasi ini secara lateral menempati sekitar 5% dari luas daerah penelitian, ditandai oleh warna merah muda pada peta geologi (Gambar 3.7 dan Lampiran E3). Formasi ini sangat sedikit tersingkap karena lapuk dan sebagian besar bagian selatan daerah penelitian telah diolah oleh masyarakat setempat menjadi lahan pemukiman, sawah, dan ladang. Ketebalan formasi batuan ini sulit diketahui karena di daerah penelitian tidak ditemukan kontak dengan batuan yang lebih muda. Pengukuran penampang stratigrafi pun sulit untuk dilakukan sebab terbatas dan tidak menerusnya singkapan. Berdasarkan rekontruksi penampang geologi, Formasi Mundu mempunyai ketebalan lebih dari 379 m. 3.2.6.2 Ciri Litologi Formasi Mundu disusun oleh napal, masif, berwarna abu-abu kehijauan, agak lapuk, sangat kaya akan foraminifera plangton (Foto 3.33). Hasil analisis kalsimetri pada sampel dari lokasi BG18 dan TK16 (Lampiran C) menunjukkan kadar CaCO 3 sekitar 68% - 69%, sehingga termasuk ke dalam napal gampingan (klasifikasi Pettijohn, 1957). 53

Foto 3.33. Singkapan napal Formasi Mundu (Lokasi BG18). 3.2.6.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel napal yang diambil dari lokasi BG18 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides obliquus extremus, Globigerinoides obliquus obliquus, Globoquadrina altispira altispira, Globoquadrina altispira globosa, Globoquadrina dehiscens dehiscens, Globorotalia tumida tumida, Pulleniatina obliqueloculata obliqueloculata, Pulleniatina primalis, dan Sphaeroidinella dehiscens dehiscens. Kumpulan mikrofosil tersebut menunjukkan bahwa umur dari Formasi Mundu adalah N.19 menurut zonasi Blow (1969) atau Pliosen Awal. 3.2.6.4 Lingkungan Pengendapan Berdasarkan fosil-fosil foraminifera bentos yang ditemukan pada sampel napal yang diambil dari lokasi BG18 (Lampiran B) yaitu Bulimina marginata, Gyroidina sp., dan Sphaeroidinna sp., maka Formasi Mundu kemungkinan diendapkan pada lingkungan neritik luar (klasifikasi Rauwenda dkk., 1984) atau pada kedalaman 100-200 m. 54

Litologi yang berupa napal dengan kandungan fosil foraminifera plangton yang melimpah menunjukkan ciri lingkungan pengendapan laut terbuka. Ukuran butir yang sangat halus merupakan produk mekanisme pengendapan secara suspensi. Dari hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa Formasi Mundu diendapkan pada kedalaman 100-200 m atau neritik luar dengan mekanisme pengendapan secara suspensi dalam kondisi transgresi. 3.2.6.5 Hubungan Stratigrafi Formasi Mundu mempunyai hubungan yang tidak selaras dengan satuan batuan yang ada di bawahnya. Interpretasi ketidakselarasan tersebut adalah berdasarkan hasil analisis umur pada sampel yang diambil dari lokasi BG17 dan BG18 (Lampiran B). Pada lokasi BG17, hasil analisis mikrofosil menunjukkan umur N.17, sedangkan pada lokasi BG18, hasil analisis mikrofosil menunjukkan umur N.19. Dari hasil analisis tersebut dapat terlihat adanya suatu zona waktu yang hilang (datum gap) antara Formasi Mundu dengan satuan batuan yang ada di bawahnya, yaitu hilangnya zona N.18. Tidak ditemukannya kemiringan lapisan pada batuan napal Formasi Mundu, maka tidak dapat diketahui bidang ketidakselarasannya berjenis apa. 55

3.3 STRUKTUR GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Struktur yang terdapat pada daerah penelitian adalah stuktur perlipatan yang merupakan sebuah antiklin dengan sumbu berarah barat-timur. Adanya struktur perlipatan tersebut diinterpretasikan dari citra satelit, peta topografi, rekonstruksi pada penampang geologi, dan didukung dengan data lapangan. 3.3.1 Struktur Perlipatan Struktur perlipatan berupa sebuah antiklin yang diberi nama Antiklin Gunung Ginting (nama gunung yang dilalui sumbu antiklin tersebut) dengan sumbu berarah relatif barat-timur. Antiklin ini berada di bagian tengah daerah penelitian. Kenampakan di lapangan merupakan sebuah punggungan homoklin memanjang berarah barat-timur yang diinterpretasikan sebagai sayap utara dari antiklin ini. Antiklin ini diketahui dari interpretasi citra satelit, peta topografi, dan rekonstruksi jurus dan kemiringan lapisan batuan pada sayap utara dan sayap selatan antiklin. Berdasarkan pengolahan data kedudukan lapisan batuan yang diperoleh di lapangan (Lampiran D), didapatkan kedudukan garis sumbu lipatan yaitu 16,N267 E, kedudukan bidang sumbu lipatan yaitu N263 E/77 NW, kedudukan sayap utara lipatan yaitu N225 E/23 NW, dan kedudukan sayap selatan lipatan yaitu N100 E/51 SW. Dengan demikian, lipatan ini berbentuk asimetri dengan kemiringan sayap utara lebih landai daripada kemiringan sayap selatan (Foto 3.34). Berdasarkan klasifikasi lipatan oleh Rickard (1971 dalam Harsulomakso dkk., 1997), diperoleh penamaan lipatan yaitu inclined plunging fold. 57

Foto 3.34. Singkapan-singkapan batupasir kuarsa pada lokasi SR18 (kiri, foto ke arah barat) dan pada lokasi AB2.8 (kanan, foto ke arah barat) yang memperlihatkan kemiringan sayapsayap lipatan. 3.3.2 Mekanisme Pembentukan Struktur Geologi Struktur perlipatan yang terdapat pada daerah penelitian memiliki sumbu berarah relatif barat-timur. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembentukan struktur perlipatan pada daerah penelitian diperkirakan akibat pengaruh gaya kompresi berarah relatif utara-selatan (Gambar 3.8). Struktur perlipatan yang terdapat di daerah penelitian melipat semua satuan batuan yang ada di daerah penelitian, sehingga diperkirakan struktur perlipatan tersebut terjadi pada umur setelah Pliosen Awal, kemungkinan besar terjadi pada kala Pliosen- Pleistosen, bersamaan dengan terjadinya pengangkatan pada kala Plio-Pleistosen. Pringgoprawiro (1983) menyatakan bahwa adanya pengangkatan dan perlipatan di seluruh Jawa Timur disebabkan oleh Orogenesa Plio-Pleistosen. 58

Gambar 3.8. Model Pure Shear (modifikasi dari Thomas dkk., 1973 dalam Twiss dan Moores, 1992). 59