I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat. Hal ini disebabkan oleh jumlah penduduk yang cukup besar. Pada tahun 2014, penduduk Indonesia berjumlah sekitar 252 juta jiwa (Worldbank, 2015) dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk ini berdampak pada berbagai macam aspek, seperti pendidikan, lapangan pekerjaan dan utamanya pangan. Pangan merupakan hal terpenting sebagai kebutuhan dasar manusia yang pasti dibutuhkan setiap hari. Realita yang terjadi adalah,indonesia masih menjadi negara yang kebutuhan pangannya tergantung pada impor. Ketergantungan impor sejumlah pangan penting di Indonesia terdiri dari susu (90%), gula (30%), garam (50%), gandum (100%), kedelai (70%), daging sapi (30%) dari kebutuhan (Khudori, 2011). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor gandum merupakan yang terbesar dibandingkan dengan kebutuhan pangan lain. Hal ini tidak hanya disebabkan meningkatnya minat masyarakat terhadap pangan berbasis gandum, tetapi juga kecenderungan lahan dan iklim di Indonesia yang tidak cocok untuk pembudidayaan gandum (Sawit, 2003). Berdasarkan penelitian (Jafar, 2012), dikatakan bahwa tingkat konsumsi beras di berbagai wilayah cukup tinggi, yaitu rata-rata hampir mencapai 100%, artinya hampir semua rumah tangga telah mengkonsumsi beras dan menunjukkan ketergantungan yang besar terhadap konsumsi beras. Kecenderungan tersebut tidak hanya terjadi pada rumah tangga perkotaan tetapi juga rumah tangga di pedesaan, walaupun umumnya tingkat partisipasi di desa masih lebih rendah daripada dikota. Bila dilihat berdasarkan kelompok pulau, tingkat partisipasi konsumsi beras tidak jauh berbeda antara pulau yang satu dengan pulau yang lain, yaitu hampir 100%. Tingkat konsumsi beras yang masih rendah hanya terjadi di Pedesaan Maluku dan Papua (yang dikenal wilayah dengan ekologi sagu), yaitu sekitar 80%. Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mulai meninggalkan makanan pokok khas tiap daerahnya, seperti jagung, sagu dan umbiumbian. Pola konsumsi masyarakat pun mulai mengarah hanya pada komoditas tertentu, dan beras tetap menjadi komoditas pangan pokok masyarakat andalan, sedangkan tingkat 1
konsumsi pangan pokok lokal lainnya, seperti umbi-umbian, jagung, dan sagu semakin menurun jauh. Pemerintah melakukan sebuah kampanye guna mengurangi konsumsi beras yang sangat tinggi dan menyebabkan ketergantungan pada masyarakatsalah satunya dengan dilakukan program diversifikasi pangan yang bertujuan untuk mengganti makanan beras ke komoditas pertanian yang lain selain beras. Ketika wacana diversifikasi pangan gencar dilakukan, pemerintah justru membersamai wacana tersebut dengan pengimplementasian kebijakan impor gandum. Amerika memanfaatkan kebijakan Indonesia yang saat itu ingin mencari bahan pangan alternatif pengganti beras, yang pada saat itu harga beras sedang tinggi di pasaran internasional. Melalui Public Law 480 (PL 480) yang berisi tentang perjanjian internasional dalam produk pertanian antara Indonesia dan Amerika di era orde baru, Indonesia diberikan bantuan (hibah) pangan berupa berbagai produk pertanian, salah satunya adalah gandum. Bulog diberikan hak istimewa sebagi satu-satunya instansi yang mampu melakukan impor gandum Indonesia sedangkan rantai produksi barang turunan gandum dan distribusinya diserahkan kepada swasta dengan sistem monopoli. Hal ini mengubah trend konsumsi masyarakat ke arah yang tak terduga. Pemerintah pun mendorong berdirinya pabrik-pabrik pengolah gandum menjadi tepung terigu di Indonesia. Selain itu, upaya pemerintah dalam memperkenalkan olahan gandum berupa tepung terigu di Indonesia adalah dengan kampanye intensif melalui berbagai media, perkembangan produk yang bisa diolah secara bervariasi, dan juga memberikan bantuan berupa subsidi harga tepung terigu sehingga harga tepung terigu menjadi murah. Disaat harga beras sedang meningkat dan harga tepung terigu yang murah, serta akses masyarakat yang mudah untuk mendapatkan tepung terigu, perlahan masyarakat mulai mengonsumsi tepung terigu sebagai pengganti beras. Kebijakan ini berlangsung dalam waktu lama, namun tidak dibarengi dengan penguatan pada komoditas lokal yang sudah ada. Harga yang murah, akses yang mudah, olahan bervariasi menjadi roti dan makanan instan membuat masyarakat mulai terbiasa mengonsumsi olahan tepung terigu. Hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat di perkotaan namun juga di pedesaan. Perubahan pola konsumsi ini pun akhirnya menjadi budaya baru di Indonesia. Penelitian (Jafar, 2012) mengatakan konsumsi pangan pokok kelompok masyarakat berpendapatan rendah, 2
terutama di pedesaan, yang mengarah kepada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, termasuk mie kering, mie basah, mie instan. (Tabel 1.1). Tabel 1.1 Pola Konsumsi Masyarakat Perkotaan dan PedesaanBerdasarkan Tingkat Pengeluaran Golongan Pengeluaran 2002 2003 2004 2005 (Rp/kap/bln) Kota + Desa < 60.000 B, J, UK B, J, UK B B, T 60.000 79.999 B, J, UK, T B, J, UK, T B, T B, T 80.000 99.999 B, T, UK B, T, UK B, T B, T 100.000 149.999 B, T B, T B, T B, T 150.000 199.999 B, T B, T B, T B, T 200.000 299.999 B, T B, T B, T B, T 300.000 499.999 B, T B, T B, T B, T > 500.000 B, T B, T B, T B, T Kota < 60.000 B, T B B, T B, T 60.000 79.999 B, T B, T, J B, T B, T 80.000 99.999 B, T B, T B, T B, T 100.000 149.999 B, T B, T B, T B, T 150.000 199.999 B, T B, T B, T B, T 200.000 299.999 B, T B, T B, T B, T 300.000 499.999 B, T B, T B, T B, T > 500.000 B, T B, T B, T B, T Desa < 60.000 B, J, UK B, J, UK B, T B, T 60.000 79.999 B, J, UK B, J, UK, T B, T B, T 80.000 99.999 B, J, UK, T B, UK, T B, T B, T 100.000 149.999 B, T B, T B, T B, T 150.000 199.999 B, T B, T B, T B, T 200.000 299.999 B, T B, T B, T B, T 300.000 499.999 B, T B, T B, T B, T > 500.000 B, T B, T B, T B, T Sumber: BPS (2004) cit. (Jafar, 2004) Keterangan: B = Beras, T = Terigu, J = Jagung, UK = Ubi Kayu Merujuk pada perjanjian internasional, Letter of Intent (LOI) yang disepakati bersama International Monetary Fund (IMF), maka pada tahun 1998 semua bentuk subsidi dan pembatasan impor dihapus termasuk pembebasan impor biji gandum dan tepung terigu yang sebelumnya dimonopoli oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) Pemerintah, seperti yang tertuang pada Keppres No. 45 November 1998. Dalam Keppres tersebut ditetapkan tarif impor gandum sebesar 5%, namun pada tahun 2002 tarif impor kembali ditetapkan 3
sebesar 0%. Pada tahun 2003, pemerintah kembali menetapkan tarif impor gandum sebesar 5%, kemudian di tahun 2005, menjadi 0% kembali. Hal ini menunjukkan adanya ketidakpastian kebijakan pemerintah dalam menerapkan tarif impor gandum. Demikian halnya dengan kebijakan perdagangan tepung terigu impor, Pemerintah menetapkan tarif impor tepung terigu sebesar 5% melalui Peraturan Menteri Keuangan, nomor 07/PMK.11/2009 tentang Tarif Impor Tepung Terigu, dimana sebelumnya tarif impor tepung terigu adalah sebesar 0% (Hastuti, 2012). Konsumsi makanan berbahan baku gandum menunjukkan kenaikan yang signifikan yaitu 6,86% per tahun. Kepala Konsumsi dan Keamanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan (2010) mengemukakan bahwa masyarakat perkotaan sudah mulai mengurangi konsumsi beras tetapi justru kemudian beralih ke makanan yang bahan bakunya dari terigu, sedangkan, impor gandum Indonesia sudah mencapai 6 juta ton per tahun setara dengan 24 triliun rupiah. Dilihat dari negara eksportir tepung terigu utama ke Indonesia periode 2005-2012, dapat diketahui bahwa terdapat tiga negara utama eksportir tepung terigu di Indonesia, adalah Australia, Srilanka, dan Turki. Besarnya impor tepung terigu Indonesia dari Negara-negara tersebut dapat dilihat pada tabel 1.2. Tabel 1.2. Impor Tepung Terigu Indonesia dari Srilanka, Turki dan Australia Tahun 2005 2012 (ton) Tahun Srilanka Turki Australia Total 2005 71.071,35 44.235,75 187.541,46 302848,60 2006 155.410,00 57.553,59 176.214,47 389178,10 2007 114.960,50 172.824,91 152.658,98 440444,40 2008 61.066,68 226.168,40 145.919,60 433154,70 2009 132.336,00 382.145,00 42.250,00 556.731,00 2010 166.919,00 455.296,00 57.660,00 679.875,00 2011 207.790,00 390.522,00 14.911,00 613.223,00 2012 175.313,00 233.351,00 9.793,00 418.457,00 Sumber: FAO (2015) Pada periode 2005 2012, diperoleh bahwa proporsi (share) rerata impor tepung terigu dari Srilanka sebesar 22,91%, Turki sebesar 39,33%, dan Australia sebesar 17,98% sehingga proporsi ketiga negara tersebut mecapai sebesar 80,22%. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga negara tersebut merupakan eksportir tepung terigu utama di Indonesia yang memiliki kapasitas produksi yang besar dalam menghasilkan tepung terigu. Indonesia 4
memiliki kapasitas produksi tepung terigu yang terbesar di dunia, dimana kapasitas produksi industri tepung terigu Indonesia mencapai 7.894.000 Metriks Ton (MT) per tahun (APTINDO cit., Hastuti, 2012). 2. Rumusan Masalah Peningkatan konsumsi masyarakat Indonesia terhadap tepung terigu merupakan trend baru perkembangan pola konsumsi di Indonesia. Semua orang pernah makan olahan tepung terigu sehingga tepung terigu mendominasi pola konsumsi masyarakat Indonesia. Terlebih lagi, bahan baku utama tepung terigu yaitu gandum juga masih berbasis impor. Dengan demikian, industri tepung terigu di Indonesia termasuk dalam kategori food loose industry. Meskipun, sudah ditemukan varietas gandum yang bisa ditanam di Indonesia, namun jumlahnya masih belum stabil untuk memenuhi kebutuhan nasional. Ditambah lagi, dengan mudahnya tepung terigu impor masuk di Indonesia, sama saja menjadikankuota impor dalam konsumsi gandum di Indonesia secara tidak langsung semakin lama semakin naik. Pada tahun 2010, besarnya investasi industri tepung terigu domestik telah mencapai sekitar Rp 12,9 Trilliun, menyerap tenaga kerja lebih dari 5.500 orang, dan penerimaan pemerintah dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pengolahan gandum sekitar Rp 1 Trilliun (APTINDO, 2011). Namun, industri tepung terigu domestik merupakan industri yang menguras devisa karena bahan bakunya secara keseluruhan dipenuhi dari gandum impor (Khudori, 2011). Besarnya devisa yang harus dikeluarkan untuk impor gandum dan tepung terigu tertera pada tabel 1.3. Tabel 1.3. Devisa Indonesia yang Dikeluarkan untuk Kegiatan Impor Gandum dan Tepung Terigu Tahun 2003 2008 (1000$) Tahun Gandum Tepung Terigu Jumlah 2003 579.925 75.398 655.323 2004 841.000 79.532 920.532 2005 799.003 128.045 927.048 2006 816.121 143.197 959.318 2007 1.181.313 180.550 1 361.863 2008 1.975.480 271.442 2.246.922 Sumber: FAO (2011) 5
Jika dilihat berdasarkan rentang periode tersebut, selalu terjadi peningkatan pengeluaran devisa yang digunakan, baik itu impor gandum maupun tepung terigu. Jadi, dapat dikatakan bahwa hal ini menunjukkan ketergantungan penyediaan pangan domestik terhadap impor. Menurut Sumaryanto (2009), meningkatnya impor gandum tidak hanya membebani devisa tetapi juga tidak kondusif untuk perkembangan produksi pangan lokal dan industri pengolahannya. Selain itu, perilaku impor tepung terigu juga menimbulkan pesaing bagi industri tepung terigu domestik yang saat ini semakin berkembang. Namun, bagi industri pengguna tepung terigu adanya impor menyebabkan menurunnya biaya produksi. Ini dikarenakan harga tepung terigu impor lebih murah daripada harga tepung terigu domestik (Departemen Perdagangan, 2010). Pada umumnya, harga produk pangan impor pada umumnya lebih murah disebabkan adanya distorsi dengan berbagi bantuan pemerintah negara eksportir pangan (Sawit, 2003). Pada kenyataannya, Indonesia memiliki banyak pabrik penggilingan gandum sehingga memiliki kemampuan mengolah menjadi tepung terigu tetapi harga tepung terigu bagi masyarakat selalu mengalami kenaikan tiap tahun, lantas kemanakah tepung terigu impor itu digunakan. Jika, impor tepung terigu tetap dilaksanakan, dapat terjadi inefesiensi dalam industri tepung terigu dalam negeri dan ketidakjelasan dalam pengaturan pola konsumsi masyarakat atas olahan tepung terigu, sehingga permintaan tepung terigu seyogyanya perlu dipertimbangkan dan dipikirkan secara seksama supaya tidak memberikan pemborosan yang besar bagi devisa negara (lihat tabel 1.3). Perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap kebutuhan permintaan impor di Indonesia agar pola konsumsi masyarakat yang sangat ketergantungan dengan olahan tepung terigu mampu diatasi. Dari perumusan masalah tersebut, terdapat dua permasalahan yang muncul dan akan diteliti, yaitu: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan tepung terigu impor di Indonesia? 2. Bagaimana trend dan peramalan permintaan tepung terigu impor di Indonesia selama delapan tahun mendatang? 6
3. Tujuan 1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan tepung terigu impor di Indonesia. 2. Menganalisis trend dan meramalkan permintaan tepung terigu impor di Indonesia selama delapan tahun mendatang. 4. Kegunaan 1. Bagi peneliti, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan mengenai permintaan tepung terigu impor di Indonesia, menambah pengetahuan di bidang sosial ekonomi pertanian dan sebagai syarat untuk memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. 2. Bagi pemerintah atau pihak-pihak terkait, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi atau pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai pemenuhan kebutuhan tepung terigu impor Indonesia. 3. Bagi masyarakat umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi yang bermanfaat mengenai permintaan tepung terigu impor di Indonesia serta dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya. 7