IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Pengembangan Produk Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah dan Sifat Prebiotik sebagai Bahan Pangan Fungsional

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK

BAB I PENDAHULUAN. sehingga tidak hanya menginginkan makanan yang enak dengan mouthfeel yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

I. PENDAHULUAN. (Dendrocalamus asper) dan bambu legi (Gigantochloa ater). Keunggulan dari

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

1 Kontrol (S0K) 50, , , ,285 93, , Inokulum (S1I) 21, , , , ,752 2.

8. PEMBAHASAN UMUM Peningkatan RS melalui Modifikasi Proses Fermentasi Spontan dengan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.)

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan tepung terigu di Indonesia saat ini terus meningkat. Asosiasi Produsen

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PRODUKSI CASSAVA SOUR STARCH DENGAN VARIASI MEDIA STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT DAN LAMA FERMENTASI

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pisang

5.1 Total Bakteri Probiotik

BAB I PENDAHULUAN. penderitanya mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun.

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar adalah salah satu komoditas pertanian yang bergizi tinggi, berumur

bermanfaat bagi kesehatan manusia. Di dalam es krim yoghurt dapat

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mineral, serta antosianin (Suzuki, dkk., 2004). antikanker, dan antiatherogenik (Indrasari dkk., 2010).

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati

ABSTRACT. Key words : banana flour, lactic acid bacteria, autoclaving, resistant starch

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

HASIL DAN PEMBAHSAN. 4.1 Pengaruh Tingkat Peggunaan Probiotik terhadap ph

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

IV PEMBAHASAN. 4.1 Kandungan Protein Produk Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus licheniformis Dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Sumber utama karbohidrat, diantaranya adalah serealia (contoh gandum, jagung,

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi besar

BABI PENDAHULUAN. dengan cara menyadap tangkai bunga tanaman siwalan yang dipotong. Nira

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Bahan dan Alat

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

I. PENDAHULUAN. nilai gizi yang sempurna ini merupakan medium yang sangat baik bagi

merupakan salah satu produk pangan yang cukup digemari oleh masyarakat lokal seperti umbi-umbian dan kacang-kacangan. Penggunaan bahan baku yang

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat sangat memperhatikan pentingnya pengaruh makanan dan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Utama dan (3) Tepung yang Terpilih Setelah Fermentasi

TINJAUAN PUSTAKA. sebanyak 200 kuintal per hektar luas pertanaman kuintal per hektar luas pertanaman.

BAB I PENDAHULUAN. glukosa. Unit-unit fruktosa dalam inulin dihubungkan oleh ikatan β-(2 1)-Dfruktosil-fruktosa

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu

I. PENDAHULUAN. Diversifikasi produk olahan kelapa yang cukup potensial salah satunya adalah

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. lahan pertanian mengakibatkan impor beras semakin tinggi, atau bahkan krisis

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin

APLIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT UNTUK MEMODIFIKASI TEPUNG SINGKONG SECARA FERMENTASI

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

ANALISA ph OPTIMUM UNTUK PERKEMBANGBIAKAN LACTOBACILLUS BULGARICUS DALAM PROSES FERMENTASI GLUKOSA PADA SOYGURT

BAB I PENDAHULUAN. Allah Subhanahu wa Ta ala menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Fermentasi Silase Beberapa Jenis Rumput

I. PENDAHULUAN. Jambi) ataupun yang berasal dari daging seperti sosis dan urutan/bebontot

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

III.METODOLOGI PENELITIAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. iles dan merupakan tanaman lokal Indonesia yang banyak tumbuh di hutan. Porang

I. PENDAHULUAN. memberikan efek menyehatkan bagi inangnya dengan cara memperbaiki komposisi

dan sifat-sifat yang khas. Identifikasi L. plantarum dilakukan untuk memastikan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan

Menurut Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, jumlah kasus gizi

HASIL DAN PEMBAHASAN

tepat untuk mengganti pakan alami dengan pakan buatan setelah larva berumur 15 hari. Penggunaan pakan alami yang terlalu lama dalam usaha pembenihan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karena karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah. Jumlah kalori yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 Hasil dan Pembahasan

PENENTUAN DAYA CERNA PROTEIN IN VITRO DAN PENGUKURAN DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan. Secara alami pati ditemukan dalam bentuk butiran-butiran yang

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. meliputi hasil analisis dan pembahasan akan dijelaskan di bawah ini.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sedangkan ketersediaan

Transkripsi:

46 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Seleksi Jenis Pisang Empat jenis pisang yaitu kepok, siam, uli dan tanduk (Gambar 2) diolah menjadi tepung pisang dan dianalisis kandungan kimia serta sifat fisiknya. Pisang terpilih untuk digunakan di dalam penelitian ini adalah jenis pisang dengan kandungan pati dan amilosa yang paling tinggi, dengan mempertimbangkan juga sifat-sifat seperti kandungan pati resisten, daya cerna pati in vitro dan derajat putih. Hasil pengeringan alami irisan dan tepung pisang yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 3. kepok siam uli tanduk Gambar 2 Empat jenis pisang lokal Gambar 3 Irisan dan tepung pisang alami (konvensional)

47 Hasil analisis sifat kimia dan fisik dari keempat jenis pisang (Tabel 6) menunjukkan bahwa jenis pisang dengan kandungan pati resisten alami (RS II) (2.87%) dan kadar serat pangan (1.13%) tertinggi adalah pisang kepok. Pati resisten tipe II merupakan pati alami berupa granula yang bersifat resisten terhadap enzim pencernaan (Aparicio-Saguilan et al. 25). Hasil analisis derajat putih menunjukkan bahwa tepung pisang tanduk memiliki tingkat kecerahan (75.28%) tertinggi, sedangkan pisang uli memiliki daya cerna pati terendah, yaitu 27.72%. Tabel 6 Sifat Kimia dan Fisik Empat Jenis Pisang Lokal Tepung pisang Kadar air (%bk) Kadar pati (%bk) Kadar amilosa (%bk) Kadar amilopektin (%bk) Hasil Analisis Pati resisten (%bk) Serat pangan (%bk) Keterangan : Kadar amilosa berdasarkan pada 1% tepung pisang bebas lemak dan gula bk = basis kering Daya cerna pati (%bk) Derajat putih (%) Kepok 11.99 65.71 37.49 62.51 2.87 1.13 45.96 62.45 Siam 11.48 61.96 3.37 69.63 2.78 9.65 42.76 63.36 Uli 11.5 68.96 35.72 64.28 2.72 9.36 27.72 51.18 Tanduk 16.16 73.65 39.35 6.65 2.5 7.33 42.55 75.28 Hasil analisis kadar pati dan amilosa pada Tabel 6 menunjukkan bahwa keempat jenis pisang memiliki kadar pati (61-73%) dan amilosa (3-39%) yang tinggi serta hasil analisis daya cerna (27-45%) yang relatif rendah, sehingga keempat jenis pisang tersebut memiliki potensi untuk menghasilkan kadar pati resisten yang tinggi. Amilosa dibutuhkan dalam proses pembentukan pati resisten (Sajilata et al. 26). Kandungan pati dan amilosa yang tinggi dapat membantu dalam peningkatan kadar pati resisten di dalam tepung pisang modifikasi yang dihasilkan. Didalam penelitian ini hanya digunakan satu jenis pisang untuk diteliti lebih lanjut yaitu pisang tanduk, karena memiliki kadar pati dan amilosa paling tinggi yaitu 73.65% (bk) dan 39.35% (bk).

48 4. 2. Perubahan Mikroflora dan Sifat Kimia Selama Fermentasi Spontan 4.2.1. Perubahan Mikroflora Selama Fermentasi Spontan Irisan pisang difermentasi secara spontan dengan cara direndam dalam akuades steril menggunakan erlenmeyer (Gambar 4). Cairan fermentasi dari setiap selang waktu 2 jam digunakan untuk menghitung jumlah total mikroorganisme amilolitik, bakteri asam laktat dan mesofiliknya yang tumbuh selama fermentasi 1 jam. Gambar 4 Fermentasi spontan irisan pisang tanduk Gambar 5 menunjukkan pola pertumbuhan mikroorganisme yang berperan selama fermentasi spontan pisang tanduk. Tiga kelompok mikroorganisme yaitu amilolitik, bakteri asam laktat dan mesofilik tumbuh dengan baik selama 1 jam fermentasi spontan pisang tanduk. Total bakteri mesofilik pada lama fermentasi 1 jam berkisar pada jumlah 8.4 sampai dengan 8.9 log cfu/ml, dengan jumlah tertinggi pada jam ke-6 yaitu 8.9 log cfu/ml. Hasil ini hampir serupa dengan fermentasi spontan pada pati singkong dimana total bakteri mesofilik yang tumbuh mencapai 8. log cfu/g (Lacerda et al. 25).

49 1 8 Log cfu/ml 6 4 2 2 4 6 8 1 Lama fermentasi (jam) Gambar 5 Pertumbuhan mikroorganisme amilolitik ( ), bakteri asam laktat (?) dan mesofilik (? ) selama fermentasi spontan pada pisang Jumlah awal bakteri mesofilik yang ada pada irisan pisang berkisar pada 1.87 log cfu/ml. Bakteri mesofilik yang tumbuh secara spontan dari irisan pisang memiliki tingkat pertumbuhan yang cukup baik dimana pada fase eksponensial yang berlangsung dari jam ke- hingga jam ke-4 terjadi peningkatan jumlah yang cukup tinggi yaitu sebanyak 6.55 log cfu/ml, selanjutnya hingga jam ke-1 pertumbuhan bakteri mesofilik berada pada fase stasioner. Mikroorganisme mesofilik adalah mikroorganisme yang memiliki suhu optimum pertumbuhan antara 2-4 ºC (Fardiaz 1992). Jumlah awal mikroorganisme amilolitik adalah 1.75 log cfu/ml. Fase eksponensial berlangsung hingga jam ke-4 (8.38 log cfu/ml) dan dilanjutkan dengan fase stasioner hingga fermentasi 1 jam. Total mikroorganisme amilolitik tertinggi yaitu 9.1 log cfu/ml dicapai pada lama fermentasi 8 jam (Gambar 5). Jumlah mikroorganisme amilolitik yang hampir sama dengan jumlah total bakteri mesofilik, menunjukkan bahwa sebagian besar dari mikroba amilolitik merupakan bakteri yang bersifat mesofilik (Gambar 5). Media pertumbuhan yang digunakan untuk menghitung jumlah bakteri mesofilik adalah media yang kaya akan nutrisi sehingga menunjang pertumbuhan bakteri asam laktat, Bacillus cereus dan khamir (Carvalho et al. 1999). Beberapa jenis bakteri asam laktat seperti Lactobacillus

5 amylophilus (Reddy et al. 28) dan L. amylovorus (Yomoto dan Ikeda 1995) dilaporkan bersifat amilolitik. Bakteri asam laktat (BAL) meningkat secara signifikan selama fermentasi pisang berlangsung, yaitu dari 1.38 log cfu/ml menjadi 7.8 log cfu/ml. BAL yang tumbuh kemungkinan termasuk kedalam mikroba amilolitik dan kelompok mesofilik, karena suhu optimum pertumbuhan BAL adalah 3ºC (Pederson 1971). Berbeda dengan pola pertumbuhan dari mikroorganisme amilolitik dan mesofilik, pertumbuhan BAL hingga 1 jam masih mengalami peningkatan (Gambar 5). Asam yang diproduksi oleh BAL selama fase pertumbuhan (Gambar 6) mungkin menghambat pertumbuhan mikroorganisme amilolitik dan mesofilik selain BAL. ph 7 6 5 4 3 2 1 5.86 5.6 5.9 4.7 4.78 4.6 2 4 6 8 1 Lama fermentasi (jam) Gambar 6 Perubahan nilai ph selama fermentasi spontan Pertumbuhan bakteri asam laktat memiliki peranan pada turunnya ph cairan selama fermentasi spontan berlangsung (Gambar 6). Fermentasi hingga 4 jam menurunkan ph paling besar yaitu dari 5.86 menjadi 4.6, kemudian ph meningkat kembali menjadi 5.9 pada jam ke-1. Penurunan ph terjadi karena aktivitas bakteri asam laktat selama perendaman. Asam laktat merupakan asam non volatil yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum yang umum terdapat selama fermentasi bahan pangan dengan kadar karbohidrat tinggi (Johansson et al. 1995). Beberapa strain BAL yang tumbuh pada fermentasi spontan dapat menghasilkan beberapa jenis asam organik terutama asam asetat, asam laktat dan asam n-butirat (Greenhill et al. 28).

51 4.2.2. Perubahan Kadar Pati Selama Fermentasi Spontan Kadar pati selama fermentasi spontan 1 jam menunjukkan hasil yang relatif menurun dengan kisaran kadar pati dari 8.22% (bk) sampai dengan 71.83% (bk) (Gambar 7). Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=.5), menunjukkan bahwa kadar pati pada lama fermentasi 8 jam berbeda nyata dengan kadar pati awal (Lampiran 18). Penurunan kadar pati ini kemungkinan disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme selama fermentasi, terutama mikroba amilolitik. Kadar pati (%bk) 8 7 6 5 4 3 2 1 77.14?4.85ab 73.84?2.6 ab 8.22?2.4 79.9?.31 71.83?.13 a 2 4 6 8 1 Lama fermentasi (jam) Gambar 7 Perubahan kadar pati tepung pisang selama fermentasi spontan Berdasarkan hasil pengamatan pertumbuhan mikroba amilolitik (Gambar 5), diketahui bahwa jumlah total mikroba amilolitik yang tumbuh pada fermentasi spontan pisang tanduk hingga 1 jam berkisar pada jumlah 8.5 log cfu/ml. Jumlah total mikroba amilolitik tersebut mempengaruhi terjadinya penurunan kadar pati karena mikroba amilolitik mampu menghasilkan enzim amilase yang dapat mendegradasi pati menjadi glukosa yang lebih sederhana sehingga kadar pati tepung pisang mengalami penurunan. Selama fermentasi dimana BAL juga turut berperan (Gambar 5), diharapkan terjadi perubahan pada granula pati sehingga menjadi lebih mudah tergelatinisasi dan membentuk pati resisten (Reddy et al. 28).

52 4.2.3. Perubahan Kadar Amilosa Selama Fermentasi Spontan Kadar amilosa selama fermentasi spontan berlangsung hingga 1 jam mengalami penurunan dari 41.89% menjadi 35.7% (Gambar 8). Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=.5) menunjukkan bahwa kadar amilosa awal tepung pisang berbeda nyata dengan kadar amilosa pada lama fermentasi 8 jam (Lampiran 19). Hasil ini berkaitan dengan terjadinya penurunan kadar pati pada lama fermentasi yang sama yaitu 8 jam (Gambar 7). Kadar amilosa (%bk) 5 4 3 2 1 41.89?1.79 b 39.13?2.92 ab 37.63?4. ab 38.11?2.14 ab 35.7?1.71 a 37.13?.98 ab 2 4 6 8 1 Lama fermentasi (jam) Gambar 8 Perubahan kadar amilosa tepung pisang selama fermentasi spontan Penurunan kadar amilosa pada tepung hasil fermentasi kemungkinan disebabkan oleh aktivitas mikroba amilolitik dalam menghasilkan enzim amilase yang dapat memutuskan ikatan a-glikosidik rantai amilosa menjadi rantai lurus dengan derajat polimerisasi yang lebih rendah atau menjadi gula-gula sederhana. Berdasarkan pada kurva pertumbuhan mikroorganisme selama fermentasi spontan irisan pisang, terjadi peningkatan jumlah total mikroba amilolitik hingga mencapai 9.1 log cfu/ml pada lama fermentasi 8 jam (Gambar 5). Kadar amilosa awal irisan pisang berpengaruh terhadap pembentukan pati resisten yang diperoleh melalui proses pemanasan otoklaf. Kadar amilosa yang tinggi berkorelasi positif dengan kadar pati resisten yang dihasilkan (Sajilata et al. 26). Proses pemanasan dan pendinginan menyebabkan amilosa mengalami

53 perubahan struktur menjadi struktur kristal (pati resisten) yang tahan terhadap enzim pencernaan. Pembentukan kadar pati resisten dari tepung pisang modifikasi dipengaruhi oleh kadar pati dan amilosa awal irisan pisang sehingga pemilihan lama fermentasi spontan perlu memperhatikan perubahan sifat fisikokimia irisan pisang selama fermentasi. Disamping itu perlu diperhatikan pula penurunan ph selama fermentasi, dimana kondisi asam akan membantu meningkatkan pembentukan pati resisten pada saat pemanasan otoklaf. Pemilihan lama fermentasi dipilih pada waktu irisan pisang belum mengalami degradasi pati dan amilosa yang berkelanjutan (terlampau banyak) oleh enzim amilase hasil aktivitas mikroba amilolitik dengan bentuk fisik dan aroma yang dapat diterima oleh indera manusia (belum mengalami kemunduran mutu organoleptik akibat kerja mikroorganisme yang terlibat selama fermentasi spontan dalam mendegradasi pati dan menghasilkan asam). Lama fermentasi spontan yang diteliti lebih lanjut untuk dikombinasikan dengan satu siklus pemanasan otoklaf pada pembuatan tepung pisang modifikasi adalah 24 dan 48 jam. Kedua lama waktu tersebut juga mewakili dua kisaran nilai ph yaitu 5.6 (24 jam) dan 4.6 (48 jam) (Gambar 6), dimana perubahan nilai ph tersebut diakibatkan produksi asam laktat oleh bakteri asam laktat yang berperan selama fermentasi spontan. 4.3. Modifikasi Tepung Pisang Melalui Kombinasi Fermentasi Spontan dan Satu Siklus Pemanasan Otoklaf 4.3.1. Kadar Pati Resisten Pada umumnya gelatinisasi terjadi pada suhu 4-12ºC tergantung dari asal tanaman dan kadar amilosanya. Selama proses pendinginan setelah pemanasan, pati mengalami pembentukan kembali strukturnya secara perlahan yang disebut dengan retrogradasi. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen. Struktur ini biasanya sangat stabil. Amilosa pati ini membentuk RS tipe III yang stabil terhadap panas, sangat kompleks, dan tahan enzim amilase

54 (Sajilata et al. 26). Irisan dan tepung pisang hasil siklus pemanasan otoklaf dapat dilihat pada Gambar 9. (A) (B) Gambar 9 Irisan pisang (A) dan tepung pisang (B) hasil pemanasan otoklaf Kadar pati resisten pada tepung pisang fermentasi 24 dan 48 jam tanpa kombinasi pemanasan otoklaf masing-masing adalah 6.74% (bk) dan 8.62% (bk), sedangkan tepung pisang fermentasi dengan satu siklus pemanasan otoklaf adalah 15.24% (bk) dan 11.1% (bk) (Gambar 1). Pemanasan otoklaf tanpa fermentasi dapat meningkatkan kadar pati resisten tepung pisang dari 6.38% (bk) hingga menjadi 11.26% (bk) (Gambar 1). Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=.5), menunjukkan bahwa tepung pisang hasil fermentasi yang dilanjutkan maupun tanpa dilanjutkan dengan satu siklus pemanasan otoklaf memiliki kadar pati resisten yang berbeda nyata (Lampiran 2). Kadar pati resisten (%bk) 16 14 12 1 8 6 4 2 15.24.2 d 11.26. c 11.1.3 c 6.38.6 a 6.74.28 a 8.62.69b Tanpa fermentasi Fermentasi 24 jam Fermentasi 48 jam Tanpa otoklaf Otoklaf Gambar 1 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar pati resisten tepung pisang

55 Peningkatan kadar pati resisten tepung pisang modifikasi hasil kombinasi fermentasi 24 jam dengan satu siklus pemanasan otoklaf disebabkan terjadinya perubahan derajat polimerisasi amilosa dan linierisasi amilopektin dari pati tepung pisang akibat hidrolisis oleh amilase dan asam (pada jumlah tertentu) yang diproduksi oleh mikroba amilolitik dan bakteri asam laktat selama fermentasi spontan 24 jam. Thompson (2) melaporkan bahwa jika derajat polimerisasi (DPn) amilosa lebih tinggi dari 3 (DPn amilosa berkisar antara 4-61) dapat menyebabkan amilosa tidak mudah untuk mengkristal (membentuk kristalitas resisten). Linierisasi amilopektin menggunakan asam organik (asam laktat) dan enzim pululanase secara signifikan meningkatkan pembentukan pati resisten selama pemanasan pada suhu otoklaf (Sajilata et al. 26). Penurunan kadar pati resisten yang terjadi pada lama fermentasi 48 jam kemungkinan terjadi akibat aktivitas amilolitik dari enzim amilase mikroba amilolitik yang lebih kuat dan jumlah produksi asam oleh bakteri asam laktat yang lebih banyak sehingga mengakibatkan pemutusan ikatan a-glukosidik pati (hidrolisis pati) yang lebih banyak dibandingkan pada lama fermentasi 24 jam. Pati singkong yang diberi penambahan asam laktat 1 mmol/l (ph<3.) sebelum diberi perlakuan pemanasan otoklaf menghasilkan kadar pati resisten yang lebih rendah jika dibandingkan pati singkong yang diberi penambahan asam laktat 1 dan 1 mmol/l (Onyango et al. 26). Peningkatan kadar pati resisten pada tepung pisang hasil fermentasi 24 jam dilanjutkan satu siklus pemanasan otoklaf (15.24%) lebih tinggi dibandingkan tepung pisang hasil satu siklus pemanasan otoklaf tanpa fermentasi (11.26%). Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=.5), menunjukkan bahwa kadar pati resisten tepung pisang modifikasi (TPM) hasil kombinasi fermentasi 24 jam dengan satu siklus pemanasan otoklaf berbeda nyata dengan kadar pati resisten tepung pisang hasil satu siklus pemanasan otoklaf tanpa fermentasi (Lampiran 2) tetapi tidak berbeda nyata dengan kadar pati resisten TPM hasil pemanasan otoklaf dua siklus (15.9 %) (Lampiran 3).

56 4.3.2. Kadar Pati Hasil analisis kadar pati tepung pisang fermentasi 24 dan 48 jam adalah 71.51% dan 74.11%, sedangkan kadar pati tepung pisang kontrol adalah 71.97%. Tepung pisang yang difermentasi dan diberi perlakuan satu siklus pemanasan otoklaf memiliki kadar pati 7.34% dan 7.21%, sedangkan tepung pisang dengan perlakuan satu siklus pemanasan otoklaf tanpa fermentasi memiliki kadar pati 74.11% (Gambar 11). Apata (28) melaporkan secara umum kadar karbohidrat yang tersedia (available carbohydrates) seperti gula-gula sederhana (glukosa, fruktosa), karbohidrat rantai pendek (oligosakarida (rafinosa, stakiosa), inulin), dan pati di dalam biji-bijian yang diotoklaf tidak mengalami perubahan yang nyata (sedikit menurun) dibandingkan kadar karbohidrat yang tersedia pada bahan mentahnya. Kadar pati (%bk) 8 7 6 5 4 3 2 1 75.11.54 a 74.11 2.69 a 71.97 3.18 a 71.51 2.89 a 7.34.71 a 7.21 1.73 a Tanpa fermentasi Fermentasi 24 jam Fermentasi 48 jam Tanpa otoklaf Otoklaf Gambar 11 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar pati tepung pisang Data kadar pati menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan kadar pati tepung pisang selama fermentasi 24 dan 48 jam baik dengan maupun tanpa dikombinasikan dengan satu siklus pemanasan otoklaf. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis kadar pati selama fermentasi spontan hingga 1 jam (Gambar 7) dimana kadar pati dari tepung pisang hasil fermentasi 24 dan 48 jam belum mengalami penurunan akibat hidrolisis pati oleh enzim amilase dan asam yang diproduksi mikroba amilolitik dan bakteri asam laktat. Selain itu, pati resisten

57 merupakan bagian dari pati yang bersifat resisten terhadap enzim pencernaan manusia tetapi tetap terukur sebagai bagian dari total pati. Meningkatnya kadar pati resisten dari tepung pisang hasil kombinasi fermentasi dengan satu siklus pemanasan otoklaf (Gambar 1) menyebabkan kadar pati yang terukur tidak mengalami perubahan. Berdasarkan hasil analisis kadar pati yang telah dilakukan dalam penelitian ini, diketahui bahwa perlakuan kombinasi satu siklus pemanasan otoklaf baik dengan fermentasi maupun tanpa fermentasi serta perlakuan fermentasi tanpa satu siklus pemanasan otoklaf tidak mengubah kadar pati dari tepung pisang tanduk. Hal ini sesuai dengan hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=.5), dimana diketahui bahwa tidak ada perbedaan nyata antara kadar pati kontrol dengan kadar pati tepung pisang perlakuan (Lampiran 21). 4.3.3. Kadar Amilosa Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=.5), menunjukkan bahwa kadar amilosa dari tepung pisang yang difermentasi 24 dan 48 jam tanpa kombinasi pemanasan otoklaf yang masing-masing adalah 35.64% (bk) dan 34.95% (bk), tidak berbeda nyata dengan tepung pisang kontrol (35.68%), tetapi berbeda nyata dengan kadar amilosa dari tepung pisang hasil satu siklus pemanasan otoklaf (45.3%) (Gambar 12). Kadar amilosa (%bk) 5 4 3 2 1 45.3 1.63 b 4.6.14 ab 42.9 1.5 ab 35.68 2.89 a 35.64 6.93 a 34.95 1.12 a Tanpa fermentasi Fermentasi 24 jam Fermentasi 48 jam Tanpa otoklaf Otoklaf Gambar 12 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar amilosa tepung pisang

58 Tidak berubahnya kadar amilosa dari tepung pisang hasil fermentasi tanpa kombinasi dengan pemanasan otoklaf menunjukkan bahwa tepung pisang hasil fermentasi selama 24 dan 48 jam belum mengalami degradasi amilosa. Hasil ini membuktikan bahwa tepung pisang hasil kedua lama fermentasi tersebut masih memiliki potensi yang baik dalam menghasilkan pati resisten. Kadar amilosa tepung pisang hasil kombinasi fermentasi 24 dan 48 jam dengan satu siklus otoklaf masing-masing adalah 4.6% (bk) dan 42.9% (bk) tidak berbeda nyata dengan kadar amilosa hasil satu siklus pemanasan otoklaf (45.3%) dan kadar amilosa kontrol (35.68%). Kadar amilosa hasil kombinasi fermentasi dengan pemanasan otoklaf jika dibandingkan kadar amilosa tepung pisang hasil pemanasan otoklaf tanpa fermentasi sedikit mengalami penurunan, meskipun masih relatif tetap. Terjadinya sedikit penurunan kadar amilosa dapat disebabkan oleh adanya penurunan suhu gelatinisasi dari granula pati. Penurunan suhu gelatinisasi akibat fermentasi dapat menyebabkan amilosa yang tergelatinisasi selama proses pemanasan otoklaf mengalami peningkatan, sehingga amilosa yang mengalami gelatinisasi dan retrogradasi kemungkinan tidak terukur lagi sebagai amilosa tetapi terukur sebagai pati resisten. Selama proses fermentasi struktur granula menjadi melemah, mengalami disintegrasi dan leaching di bagian amorf sebagian granula sehingga mengubah suhu gelatinisasi dari granula pati (Aini 29). 4.3.4. Daya Cerna Pati In Vitro Peningkatan kadar pati resisten akan mengakibatkan terjadinya penurunan pada daya cerna patinya, akan tetapi hasil kombinasi fermentasi dengan satu siklus pemanasan otoklaf pada irisan pisang menghasilkan tepung pisang modifikasi dengan daya cerna pati yang meningkat yaitu 6.85% (bk) dan 82.23% (bk). Semakin lama fermentasi (48 jam) menghasilkan peningkatan daya cerna pati yang lebih tinggi (82.23%) (Gambar 13). Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa daya cerna pati tepung pisang hasil fermentasi berbeda nyata dengan kontrol (Lampiran 23).

59 Daya cerna pati (%bk) 9 8 7 6 5 4 3 2 1 41.75.51 a 6.85.78 d 52.99.1 c 49.75 6.24 bc 44.94 1.48 a 82.23 2.34 e Tanpa fermentasi Fermentasi 24 jam Fermentasi 48 jam Tanpa otoklaf Otoklaf Gambar 13 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap daya cerna pati tepung pisang Daya cerna tepung pisang hasil fermentasi 24 jam tanpa otoklaf (52.99%) lebih tinggi daripada daya cerna tepung pisang hasil fermentasi 48 jam tanpa otoklaf (49.75%). Hasil ini berkaitan dengan hasil pengukuran kadar pati resisten (Gambar 1) yang menunjukkan bahwa kadar pati resisten tepung pisang hasil fermentasi 48 jam tanpa otoklaf (8.62%) lebih tinggi daripada tepung pisang hasil fermentasi 24 jam tanpa otoklaf (6.74%). Tepung pisang hasil fermentasi memiliki daya cerna yang lebih rendah dibandingkan tepung pisang hasil kombinasi fermentasi dengan satu siklus pemanasan otoklaf (Gambar 13), walaupun kadar pati resisten pada tepung pisang hasil kombinasi fermentasi dengan satu siklus pemanasan otoklaf lebih tinggi dari pada tepung pisang hasil fermentasi tanpa otoklaf (Gambar 1). Penyebab peningkatan daya cerna ini adalah karena proses fermentasi dan pemanasan otoklaf dapat melemahkan ikatan a-glukosidik pati dan oligosakarida selain pati (disakarida, tetrasakarida) yang terdapat di dalam tepung pisang sehingga akan memudahkan kerja enzim pencernaan. Hidrolisis yang terjadi selama proses fermentasi yaitu pemotongan ikatan a-glukosidik pati menjadi molekul-molekul dengan berat molekul lebih rendah (Wurzburg 1989).

6 4.3.5. Kadar Serat Pangan Total Kadar serat pangan total tepung pisang hasil fermentasi 24 dan 48 jam tanpa pemanasan otoklaf yang masing-masing adalah 7.54% (bk) dan 7.51% (bk) berbeda nyata dengan kadar serat pangan total tepung pisang hasil kombinasi fermentasi dengan pemanasan otoklaf yang masing-masing adalah 7.72% (bk) dan 7.93% (bk) (Gambar 14). Kadar serat pangan total yang tinggi dari tepung pisang perlakuan maupun kontrol yaitu antara 7-8% (bk) dapat memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh. Serat pangan total (%bk) 8 7 6 5 4 3 2 1 7.61.4 7.36.8 bc 7.72.9 a 7.54.4 c 7.93.1 d b 7.51.4 b Tanpa fermentasi Fermentasi 24 jam Fermentasi 48 jam Tanpa otoklaf Otoklaf Gambar 14 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar serat pangan total tepung pisang Kadar karbohidrat yang tidak tersedia (unavailable carbohydrates), seperti selulosa, lignin dan polisakarida non-selulosa tidak mengalami penurunan selama perlakuan otoklaf (Apata 28). Berdasarkan hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa terdapat perbedaan nyata antara kadar serat pangan total tepung pisang tanpa dan dengan satu siklus pemanasan otoklaf. Begitu pula dengan tepung pisang tanpa fermentasi dan dengan fermentasi (Lampiran 24). Meningkatnya kadar serat pangan total di dalam tepung pisang setelah diberi perlakuan fermentasi dengan atau tanpa satu siklus pemanasan otoklaf berhubungan dengan meningkatnya kadar pati resisten (Gambar 1). Haralampu (2) menyatakan bahwa pati resisten teruji sebagai serat tidak larut tetapi memiliki fungsi fisiologis seperti serat larut. Hal inilah yang menyebabkan

61 terjadinya peningkatan kadar serat pangan total pada tepung pisang tanduk hasil modifikasi. 4.4. Modifikasi Tepung Pisang Melalui Pemanasan Otoklaf Berulang 4.4.1. Kadar Pati Resisten Kadar pati resisten tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf berulang berkisar dari 8% (bk) hingga 15% (bk) (Gambar 15), lebih tinggi daripada kadar pati resisten kontrol (tanpa otoklaf), yaitu sebesar 6.38% (bk). Kadar pati resisten tertinggi dihasilkan oleh pemanasan otoklaf berulang dua siklus yaitu sebesar 15.9% (bk), dimana terjadi peningkatan sebesar 9.52% dibandingkan kadar pati resisten kontrol (6.38%). 15.9.7 d Kadar pati resisten(%bk) 16 14 12 1 8 6 4 2 11.26.1 c 8.1.63 b 6.38.6 a kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus Gambar 15 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar pati resisten tepung pisang Peningkatan kadar pati resisten berhubungan dengan peningkatan kadar amilosa (Gambar 17) yang berasal dari bagian rantai pendek lurus amilopektin. Wen et al. (1996) melaporkan bahwa amilopektin dapat terdegradasi oleh perlakuan fisik seperti pemanasan menjadi beberapa bagian rantai pendek lurus a(1,4) glukan yang mana dapat meningkatkan kadar pati resisten. Kadar pati resisten tepung pisang modifikasi (TPM) otoklaf dua siklus lebih tinggi daripada

62 TPM hasil otoklaf satu siklus yaitu 11.26 % (bk) sedangkan pada TPM otoklaf tiga siklus, kadar pati resisten menurun menjadi 8.1% (bk) (Gambar 15). Penurunan kadar pati resisten tepung pisang modifikasi (TPM) perlakuan otoklaf tiga siklus berhubungan dengan terjadinya sedikit penurunan pada kadar amilosanya (Gambar 17), dimana kadar amilosa pada TPM tiga siklus otoklaf masih relatif tinggi tetapi tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol. Pembentukan pati resisten oleh proses pemanasan dan pendinginan dipengaruhi oleh proses kristalisasi amilosa. Jika kadar amilosa yang tersedia mengalami perubahan, maka kadar pati resisten yang terbentuk juga akan mengalami perubahan. Penambahan jumlah pengulangan siklus pemanasan otoklaf memiliki pengaruh yang berbeda di dalam meningkatkan kadar pati resisten. Peningkatan kadar pati resisten di dalam penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Hickman et al. (29), dimana perlakuan otoklaf tiga kali pada tepung jagung dan gandum memberikan dampak peningkatan pati resisten dari 11% menjadi 13.3% untuk tepung jagung sedangkan pada tepung gandum peningkatan yang terjadi hanya dari 9.1% menjadi 1.9%. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=.5), menunjukkan bahwa pemanasan otoklaf berulang memberikan peningkatan kadar pati resisten pada TPM yang berbeda nyata dengan kadar pati resisten kontrol (Lampiran 25). 4.4.2. Kadar Pati Pati merupakan komponen utama dari tepung pisang yang belum matang (63.5-74.65%) (Pacheco-Delahaye et al. 28). Kadar pati tepung pisang modifikasi setelah pemanasan berulang (satu sampai dengan tiga kali) berkisar pada 7.92-76.2% (bk) (Gambar 16), dimana berdasarkan hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=.5) kadar pati tepung pisang setelah perlakuan satu, dua dan tiga kali siklus pemanasan tidak tidak berbeda nyata dengan kontrol (7.93% bk) (Lampiran 26). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan kadar pati dari pati garut termodifikasi dimana pemanasan otoklaf dan pendinginan yang diulang sebanyak tiga hingga lima siklus tidak mempengaruhi kadar pati (Pratiwi 28).

63 Kadar pati (%bk) 8 7 6 5 4 3 2 1 71.97 3.18 a 75.11.54 a 76.2 2.21 a 7.93.51 a kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus Gambar 16 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar pati tepung pisang Pengukuran kadar pati dilakukan dengan menggunakan metode hidrolisis oleh asam kuat. Asam kuat akan menghidrolisis seluruh pati (struktur yang kompleks) termasuk pati resisten menjadi bentuk gula pereduksi. Kadar pati dihitung melalui konversi jumlah gula. Irisan pisang yang diberi perlakuan otoklaf dan pendinginan (suhu 4ºC, selama 24 jam) satu hingga tiga siklus menghasilkan tepung pisang yang tidak mengalami perubahan kadar patinya (pati tidak mengalami penguraian). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terukurnya pati resisten sebagai bagian dari pati selain amilosa dan amilopektin. Peningkatan kadar pati resisten (Gambar 15) dan amilosa (Gambar 17) menyebabkan kadar pati yang terukur tidak mengalami perubahan. Selain amilosa dan amilopektin, pati modifikasi (pati resisten) juga termasuk komponen pati (Pratiwi 28). 4.4.3. Kadar Amilosa Kadar amilosa dari tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf berulang berkisar antara 4.41-45.3% (bk) (Gambar 17). Perlakuan pemanasan berulang satu hingga tiga siklus menghasilkan tepung pisang dengan kadar amilosa yang lebih tinggi atau cenderung konstan jika dibandingkan kadar amilosa kontrol (36% bk). Berdasarkan hasil analisis ragam dan hasil uji lanjut Duncan (a=.5), terjadi peningkatan kadar amilosa tepung pisang modifikasi

64 hasil siklus pemanasan berulang yang berbeda nyata dengan kadar amilosa tepung pisang kontrol (Lampiran 27). Kadar amilosa (%bk) 5 45 4 35 3 25 2 15 1 5 35.68 2.89 a 45.3 1.63 b 43.3 1.28 b 4.41 1.74 ab kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus Gambar 17 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar amilosa tepung pisang Peningkatan kadar amilosa pada tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf berulang merupakan indikasi terjadi pemutusan sebagian dari ikatan cabang amilopektin. Perolehan kadar amilosa yang lebih tinggi pada pati pisang yang diberi perlakuan otoklaf dibandingkan yang tidak diberi perlakuan mengindikasikan terjadinya debranching sebagian pada amilopektin (Aparicio- Saguilan et al. 25). Kadar amilosa yang meningkat pada tepung pisang modifikasi menunjukkan bahwa tepung pisang modifikasi memiliki potensi yang baik sebagai prebiotik. Pati yang kaya amilosa setelah mengalami proses gelatinisasi dan retrogradasi berpotensi menghasilkan pati resisten, dimana pati resisten tersebut apabila dapat melewati usus halus akan menjadi substrat untuk mendukung pertumbuhan probiotik (Sajilata et al. 26). 4.4.4. Daya Cerna Pati In Vitro Tepung pisang yang diberi pemanasan otoklaf satu kali, dua kali dan tiga kali memiliki daya cerna pati in vitro masing-masing adalah 44.94% (bk), 41.35% (bk) dan 52.6 % (bk) (Gambar 18). Hasil analisis ragam dan uji lanjut

65 Duncan (a=.5) menunjukkan bahwa daya cerna pati in vitro tepung pisang hasil otoklaf tiga kali siklus berbeda nyata dengan tepung pisang kontrol, sedangkan tepung pisang hasil otoklaf satu dan dua siklus tidak berbeda nyata dengan kontrol (Lampiran 28). daya cerna pati in vitro (%bk) 6 5 4 3 2 1 4.15.51 a 44.94 1.48 a 41.35 2.93 a 52.61 3.87 b kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus Gambar 18 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap daya cerna pati tepung pisang Peningkatan nilai daya cerna pati in vitro pada tepung pisang modifikasi tiga siklus otoklaf kemungkinan disebabkan oleh adanya penguraian sebagian dari oligosakarida dan karbohidrat sederhana lain selain pati resisten yang terdapat di dalam tepung pisang akibat proses otoklaf berulang sehingga terukur sebagai karbohidrat yang dapat dicerna. Selain itu, peningkatan daya cerna pati in vitro pada tepung pisang modifikasi (TPM) hasil tiga siklus otoklaf juga berhubungan dengan terjadinya penurunan kadar pati resisten pada TPM tersebut (Gambar 15). Daya cerna pati digunakan sebagai parameter awal untuk mengindikasikan terjadinya peningkatan kadar pati resisten TPM, karena TPM dengan daya cerna yang lebih rendah kemungkinan memiliki kandungan pati resisten yang lebih besar. Peningkatan kadar pati resisten dapat menurunkan daya cerna pati in vitro karena pati resisten dapat terukur sebagai serat pangan yang tidak larut (Ranhotra et al. 1991).

66 4.4.5. Kadar Serat Pangan Total Serat pangan dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu serat larut dan serat tidak larut. Kadar serat pangan total adalah jumlah dari serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Pemanasan otoklaf berulang satu, dua dan tiga siklus menghasilkan kadar serat pangan total 7.61% (bk), 8.2% (bk) dan 8.17% (bk) (Gambar 19). Berdasarkan hasil analisis analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=.5), kadar serat pangan total kontrol (7.36%) berbeda nyata dengan serat pangan total pada tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf satu, dua dan tiga siklus (Lampiran 29). Seratpangan total (%bk) 8 7 6 5 4 3 2 1 7.36.8 a 7.61.4 b 8.2.1 c 8.17.4 c kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus Gambar 19 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar serat pangan total tepung pisang Pemanasan otoklaf berulang dapat meningkatkan kadar serat pangan total dari tepung pisang modifikasi (TPM) yang dihasilkan (Gambar 19). Peningkatan kadar serat pangan total pada tepung pisang modifikasi (TPM) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar pati resisten yang terukur sebagai serat pangan tidak larut. Hasil serupa juga ditemukan pada pati garut yang dimodifikasi dengan pemanasan otoklaf dimana kadar serat pangan meningkat setelah pemanasan akibat terbentuknya pati resisten (Sugiyono et al. 29). Pemanasan otoklaf tiga siklus tidak lagi menghasilkan peningkatan kadar serat pangan total (tidak berbeda nyata dengan TPM hasil dua siklus otoklaf) pada tepung pisang. Hasil ini sesuai dengan kadar pati resisten TPM tiga siklus otoklaf

67 yang mengalami penurunan (Gambar 15), sedangkan daya cernanya mengalami peningkatan (Gambar 18). 4.5. Viabilitas Bakteri Asam Laktat Pada Tepung Pisang Modifikasi Beberapa penelitian in vivo yang dilakukan pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa pati resisten memiliki potensi sebagai prebiotik yang mendukung pertumbuhan probiotik. Kultur bakteri asam laktat (BAL) yang digunakan dalam penelitian ini adalah BAL kandidat probiotik yaitu Lactobacillus acidophillus, Lactobacillus plantarum sa28k dan Lactobacillus fermentum 2B4. Pengujian ini menggunakan media m-mrsb sebagai kontrol untuk melihat pertumbuhan maksimum yang dapat dicapai oleh bakteri asam laktat kandidat probiotik yang diujikan di dalam uji ini. Sel hidup dihitung setelah waktu inkubasi 24 jam. Jumlah kultur awal yang diinokulasikan dalam uji viabilitas adalah 6.3 log cfu/ml (L. acidophillus), 6.18 log cfu/ml (L. plantarum sa28k) dan 6.48 log cfu/ml (L. fermentum 2B4). Tepung pisang modifikasi (TPM) yang digunakan adalah tepung pisang hasil kombinasi fermentasi 24 jam dengan satu siklus otoklaf (TPM FO ) dan tepung pisang hasil satu siklus otoklaf tanpa fermentasi (TPM O ) yang kedua TPM tersebut sudah dihilangkan kandungan gula-gula sederhananya. 4.5.1. Lactobacillus acidophillus sp. Pertumbuhan L. acidophillus sp. pada media air+tpm FO adalah sebanyak 1.41 log cfu/ml sedangkan pada media air+tpm O sebanyak 1.4 log cfu/ml (Gambar 2). Media air digunakan untuk dapat mengamati pengaruh TPM secara khusus dalam membantu meningkatkan pertumbuhan L. acidophillus sp., sehingga dapat menunjukkan sifat prebiotik suatu bahan yang ditambahkan ke dalam media karena hanya bahan tersebut yang dapat digunakan sebagai sumber karbon (nutrisi).

68 1 8 8.3 8.64 8.81 7.34 7.71 Log cfu/ml 6 4 2 m-mrsb m-mrsb+tpmo m-mrsb+tpmf Air+TPM Air+TPMF Gambar 2 Viabilitas L. acidophillus sp.pada beberapa media TPM Peningkatan pertumbuhan L. acidophillus sp. pada media m- MRSB+TPM FO cukup baik yaitu sebanyak 2.51 log cfu/ml dan pada media m- MRSB+TPM O yaitu sebanyak 2.34 log cfu/ml. Akan tetapi, jika kita mengamati selisih pertumbuhan L. acidophillus sp. antara media m-mrsb sebagai media kontrol dengan media m-mrsb+tpm sebagai media pertumbuhan, peningkatan pertumbuhan yang terjadi relatif kecil yaitu antara.34-.51 log cfu/ml (Gambar 2). 4.5.2. Lactobacillus plantarum sa28k Uji viabilitas Lactobacillus plantarum sa28k menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan pada media air+tpm FO adalah sebanyak.54 log cfu/ml dan pada media air+tpm O adalah sebanyak 1.14 log cfu/ml (Gambar 21). Berdasarkan jumlah peningkatan pertumbuhan L. plantarum sa28k pada media air yang ditambahkan TPM, dapat disimpulkan bahwa TPM O lebih membantu pertumbuhan dari L. plantarum sa28k dibandingkan TPM FO. Respon pertumbuhan pada media air+tpm FO yang berbeda antara L. acidophillus (1.41 log cfu/ml) dengan L. plantarum sa28k (.54 log cfu/ml) menunjukkan bahwa setiap strain memiliki skor aktivitas prebiotik yang berbeda. Interaksi prebiotik dengan probiotik sangat tergantung pada strain bakteri (bersifat spesifik), bukan hanya berdasarkan pada spesies (Artanti 29).

69 1 8 8.3 8.75 8.81 7.32 6.72 Log cfu/ml 6 4 2 m-mrsb m-mrsb+tpmo m-mrsb+tpmf Air+TPM Air+TPMF Gambar 21 Viabilitas L. plantarum sa28k pada beberapa media TPM Pertumbuhan L. plantarum sa28k pada media m-mrsb+tpm FO sangat baik yaitu sebesar 2.63 log cfu/ml, sangat berbeda dengan pertumbuhannya pada media air+tpm FO yang hanya mengalami peningkatan.54 log cfu/ml. Perbedaan ini menunjukkan bahwa L. plantarum sa28k sangat membutuhkan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhannya. Media m-mrsb merupakan media bebas gula (sumber karbon) yang masih mengandung pepton dan ekstrak khamir (sumber nitrogen) serta mineral. Pertumbuhan L. plantarum sa28k pada media m-mrsb+tpm O adalah sebanyak 2.57 log cfu/ml. Selisih peningkatan pertumbuhan yang terjadi antara media m-mrsb sebagai media kontrol dengan media m-mrsb+tpm sebagai media pertumbuhan adalah antara.45-.51 log cfu/ml (Gambar 21). 4.5.3 Lactobacillus fermentum 2B4 Peningkatan pertumbuhan L. fermentum 2B4 pada media air+tpm FO adalah sebanyak 1.63 log cfu/ml, sedangkan pada media air+tpm O adalah sebanyak 1.8 log cfu/ml (Gambar 22). Pertumbuhan L. fermentum 2B4 (1.63-1.8 log cfu/ml) pada media air+tpm jika dibandingkan dengan pertumbuhan L acidophillus sp. (1.4-1.41 log cfu/ml) dan L. plantarum sa28k (.54-1.14 log cfu/ml) relatif lebih tinggi. Perbedaan jumlah peningkatan pertumbuhan pada media air+tpm juga menunjukkan perbedaan kemampuan suatu BAL probiotik dalam memanfaatkan sumber nutrisi (fermentasi prebiotik) yang ada pada media pertumbuhannya.

7 1 8 8.36 8.77 9 8.28 8.11 Log cfu/ml 6 4 2 m-mrsb m-mrsb+tpmo m-mrsb+tpmf Air+TPM Air+TPMF Gambar 22 Viabilitas L. fermentum 2B4 pada beberapa media TPM Uji viabilitas L. fermentum 2B4 menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan L. fermentum 2B4 pada media m-mrsb+tpm FO adalah sebanyak 2.52 log cfu/ml, sedangkan pada media air+tpm O adalah sebanyak 2.29 log cfu/ml. Selisih pertumbuhan L. fermentum 2B4 antara media m-mrsb sebagai media kontrol dengan media m-mrsb+tpm sebagai media pertumbuhan adalah antara.41-.64 log cfu/ml (Gambar 22). Hasil uji viabilitas terhadap ketiga BAL kandidat probiotik yaitu Lactobacillus acidophillus sp., L. plantarum sa28k dan L. fermentum 2B4 yang ditumbuhkan pada media TPM bebas gula menunjukkan hasil bahwa TPM hasil otoklaf baik dengan dikombinasi fermentasi (TPM FO ) maupun tanpa fermentasi (TPM O ) memiliki potensi dalam membantu meningkatkan pertumbuhan probiotik. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis kadar amilosa pada (TPM O ) dan (TPM FO ) dimana keduanya memiliki kadar amilosa dan kadar pati resisten yang relatif tinggi (Gambar 1 dan Gambar 12). Topping et al. (1997) melaporkan bahwa pati resisten dari pati dengan kadar amilosa tinggi memiliki granula-granula pati yang membentuk suatu pola permukaan bagi probiotik untuk melekat pada usus bagian atas, sehingga dapat meningkatkan viabilitas probiotik. TPM sebagai sumber nutrisi masih mengandung banyak karbohidrat dari pati yang bersifat tidak resisten, sehingga menyebabkan lebih mudah untuk dicerna dan dimetabolisme oleh probiotik. Pengujian viabilitas probiotik pada TPM masih perlu dikonfirmasi dengan hanya menggunakan pati resistennya saja, bukan dalam bentuk tepung (TPM).