BAB I PENDAHULUAN. bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendak/aspirasi masyarakat, sebab itu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melanggar hukum perundang-undangan, baik hukum Islam maupun hukum

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. menyimpang dirumuskan oleh Saparinah Sadli sebagai tingkah laku yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

BAB III PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3)

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB III PENUTUP. bersifat yuridis adalah pertimbangan yang didasarkan pada fakta - fakta yang

PENDAHULUAN ABSTRAK. Pengadilan Negeri Gorontalo. Hasil penelitian yang diperoleh adalah terhadap penerapan Pasal 56 KUHAP tentang

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

Lex Privatum Vol. V/No. 3/Mei/2017

BAB I PENDAHULUAN. adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). yaitu Negara Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum yang berkualitas adalah hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendak/aspirasi masyarakat, sebab itu hukum yang baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap orang. Tujuan hukum, disamping menjaga kepastian hukum juga menjaga sendi-sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat. 1 Hal utama bagi kepastian hukum yakni, adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah diluar pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai yang berbeda-beda tersebut, maka penilaian mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum, dapat berlain-lainan tergantung nilai mana yang dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum yang lebih berjaya, karena disitu diam-diam terkandung pengertian supremasi hukum. 2 Mengenai peranan hakim dalam menegakkan kepastian hukum, maka tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Hakim menjadi 1 Wasis SP, Pengantar Ilmu Hukum, (Malang: UMM Press, 2002), hlm. 21. 2 Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, (Jakarta: Buku Kompas, 2006), hlm. 59-60.

faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, melainkan untuk mencari kebenaran dan keadilan. 3 Demi menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, dalam pemeriksaan atas terdakwa, hakim senantiasa berpedoman pada sistem pembuktian yang digariskan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu sistem negatif menurut undang-undang (Negatief Wettelijke Stelsel). Pasal 183 KUHAP berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berdasarkan kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP (alat-alat bukti terdiri dari: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa), disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. 4 Berdasarkan alat bukti dan keyakinan hakim tersebut, nantinya dapat ditentukan, bagaimanakah nilai alat-alat bukti tersebut masing-masing, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 sampai dengan Pasal 189 KUHAP. Menilai kebenaran keterangan para saksi maupun terdakwa, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, persesuaian keterangan antara keterangan saksi dengan alat bukti 3 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progressif, (Jakarta: Buku Kompas, 2007), hlm. 275. 4 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hlm. 262.

lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu, cara hidup dan kesusilaan saksi, serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya (Pasal 185 ayat (6) KUHAP). 5 Penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa di tingkat pengadilan negeri dalam kasus pembunuhan ini, hanya mempertimbangkan kepada keterangan saksi yakni, saksi yang hanya mendengar dari orang lain saja (testimonium de auditu) dan tidak ada mendengar, melihat dan mengalami sendiri peristiwa pidana tersebut, bahkan tidak ada menemui barang bukti yang dipergunakan untuk membunuh korban, yang dalam hal ini adalah saudara kandung terdakwa, serta tidak mempertimbangkan keterangan saksi A de Charge dan Visum et Repertum, telah menimbulkan permasalahan dalam ranah hukum pidana terlebih dalam penjatuhan putusan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam menjatuhkan putusan yang seharusnya berdasarkan kepada fakta hukum yang diperoleh di persidangan, sesuai hukum/undang-undang yang berlaku dan keyakinan hakim. 6 Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara pembunuhan ini, yakni berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 63 K/Pid/2007, 5 Agar keadilan itu sungguh-sungguh dapat ditegakkan dan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti ditetapkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, yang diubah oleh UU No. 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 6 Binsar Gultom, Pandangan Kritis Seorang Hakim Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 114.

bahwa ternyata Pemohon Kasasi tidak dapat membuktikan putusan tersebut adalah merupakan pembebasan yang tidak murni, dikarenakan Pemohon Kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut. 7 Demikian halnya dengan Putusan Pengadilan Tinggi No. 212/PID/2006/PT-MDN, yang menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan kejahatan sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan dinyatakan bebas murni. Putusan Mahkamah Agung No. 63 K/Pid/2007 dan Putusan Pengadilan Tinggi No. 212/PID/2006/PT-MDN tersebut, bertentangan dengan Putusan Pengadilan Negeri No. 1616/Pid.B/2005/PN-LP, yang menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan. 8 Putusan PN Lubuk Pakam ini, hanya mendasarkan pertimbangan kepada keterangan saksi yakni, saksi yang hanya mendengar dari orang lain saja (testimonium de auditu) dan tidak ada mendengar, melihat dan mengalami sendiri peristiwa pidana tersebut, bahkan tidak ada menemui barang bukti yang dipergunakan untuk membunuh korban, yang dalam hal ini adalah saudara kandung terdakwa, serta tidak mempertimbangkan keterangan saksi A de Charge dan Visum et Repertum. Dasar pertimbangan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP hingga Pasal 189 KUHAP, yang menyebabkan unsur barangsiapa tidak 7 Putusan Mahkamah Agung No. 63 K/Pid/2007, tanggal 26 Maret 2007, hlm. 16. 8 Putusan Pengadilan Negeri No. 1616/Pid.B/2005/PN-LP, tanggal 22 Mei 2006, hlm. 47.

terbukti. 9 Oleh sebab itu, unsur selanjutnya seharusnya tidak akan dilanjutkan, akan tetapi hakim tetap melanjutkan proses peradilan tersebut, sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan, dan tidak adanya kepastian hukum yang seharusnya diciptakan dalam praktek peradilan. Berdasarkan putusan Majelis Hakim yang menyatakan, bahwa kesalahan terdakwa tidak terbukti dalam suatu pemeriksaan persidangan yang terbuka untuk umum dan diputus dengan amar putusan yang berbunyi membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan, maka ia berhak untuk menjalankan proses tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi. 10 Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas suatu tulisan yang berjudul ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus No. 63 K/Pid/ 2007). B. Permasalahan penelitian ini: Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam 1. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam Putusan No.63 K/Pid/2007; hlm. 5. 9 Putusan Pengadilan Tinggi No. 212/Pid/2006/PT-MDN, tanggal 22 Agustus 2006, hlm. 19. 10 Martiman Prodjohamidjojo, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986),

2. Apakah terdakwa dari Putusan No. 63 K/Pid/2007 dapat mengajukan ganti rugi dan rehabilitasi. C. Tujuan Penelitian ini bertujuan: Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian 1. Untuk mengkaji dasar pertimbangan hakim dalam Putusan No.63 K/Pid/2007; 2. Untuk mengkaji pengajuan ganti rugi dan rehabilitasi oleh terdakwa dalam Putusan No.63 K/Pid/2007. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Manfaat secara teoritis Secara teoritis diharapkan dapat memberi masukan terhadap perkembangan Ilmu Hukum Pidana, sekaligus pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan. Yaitu tentang bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam putusan, dan apakah terdakwa dari Putusan No. 63 K/Pid/2007 dapat mengajukan ganti rugi dan rehabilitasi. 2. Manfaat secara praktis Secara praktis diharapkan tulisan ini dapat menjadi referensi pemikiran kepada:

a. Aparat penegak hukum yang tergabung dalam Criminal Justice System (CJS) yakni Polisi, JPU, Hakim, Advokat, dan Lembaga Pemasyarakatan, agar dapat menegakkan hukum dan keadilan bagi si pelaku tindak pidana, terlebih mengetahui pola pikir Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana; b. Pelaku tindak pidana, agar mendapatkan keadilan dalam mengajukan ganti rugi dan rehabilitasi akibat kesalahan atas penjatuhan putusan; c. Masyarakat, agar dapat membantu CJS menegakkan hukum dan keadilan; serta d. Pemerintah, agar dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada masyarakat melalui kebijakan penegakan hukum. Disamping itu juga, melalui penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran tentang pelaksanaan putusan, khususnya dalam putusan bebas perkara pembunuhan, dalam rangka penegakan hukum di Indonesia. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana, maka penelitian dengan judul ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007), belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian keaslian penulisan tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum acara pidana (formeel strafrecht/strafprocessrecht) pada khususnya, aspek pembuktian memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. 11 Berdasarkan penjatuhan putusan tersebut, maka terdapat beberapa ajaran yang berhubungan dengan sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP, yakni: a. Conviction-in Time Sistem pembuktian conviction-in time, menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. 12 Sistem pembuktian conviction-in time, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata- 11 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 158. 12 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Ed. 2), (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 277.

mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. 13 Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. 14 Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. 15 b. Conviction-Raisonee Sistem ini pun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem 13 Ibid. 14 Ibid. 15 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 231.

conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. 16 Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 17 Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie). 18 c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijke Stelsel) Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, yakni untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Terpenuhinya syaratsyarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. 19 Menurut D. Simons, pada hakikatnya, sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie) ini 16 Yahya Harahap, Loc. Cit. 17 Ibid., hlm. 278. 18 Andi Hamzah, Loc. Cit. 19 Yahya Harahap, Loc. Cit.

berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. 20 Pemeriksaan perkara oleh hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuradukkan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. 21 Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 22 Sistem ini, disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie). 23 d. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Stelsel) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem 20 Lilik Mulyadi, Op. Cit., hlm. 193. 21 Yahya Harahap, Loc. Cit. 22 Ibid. 23 Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 229

pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. 24 Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem ini, memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut, misalnya, ditinjau dari segi cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. 25 Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan, akan tetapi keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti inipun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, diantara kedua komponen tersebut harus saling mendukung. 26 Wirjono Projodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, 24 Yahya Harahap, Loc. Cit. 25 Ibid., hlm. 279. 26 Ibid.

janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan. 27 Dari beberapa teori penjatuhan putusan tersebut, yang dipakai dalam menganalisa putusan No. 63 K/PID/2007, yakni berdasarkan sistem pembuktian negatif (negatief wettelijke stelsel). 2. Kerangka Konsepsi Defenisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Putusan Bebas adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa berdasarkan dari hasil pemeriksaan di sidang, bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Pengertian terdakwa diputus bebas, yaitu terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan (vrijspraak/acquittal). 28 b) Tindak Pidana (strafbaar feit/perbuatan pidana) adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. 29 Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana 130. 27 Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 235. 28 Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 347. 29 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm.

adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 30 Sedangkan R. Tresna, menggunakan istilah peristiwa pidana (strafbaar feit) sebagai: Sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang dan atau peraturan perundang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. 31 c) Pembunuhan 32 atau kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. 33 Menurut Leden Marpaung, menghilangkan nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada manusia yang secara umum disebut pembunuhan. 34 Tindak pidana ini termasuk delik materiil (materiale delict), artinya untuk kesempurnaan tindak pidana ini tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan, akan tetapi menjadi syarat juga adanya akibat dari perbuatan itu. Timbulnya akibat yang berupa 30 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Eresco, 1981), hlm. 50. 31 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian Pertama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 72. 32 Pasal 338 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pasal 339 KUHP: Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Pasal 340 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. 33 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 55. 34 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh: Pemberantasan dan Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 4.

hilangnya nyawa orang atau matinya orang dalam tindak pidana pembunuhan merupakan syarat mutlak. 35 G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, 36 yang berkaitan dengan analisis hukum terhadap putusan bebas dalam tindak pidana pembunuhan. Penelitian hukum normatif (legal research) terdiri dari inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, serta penemuan hukum in concreto. 37 Penelitian hukum normatif yang dipakai dalam penulisan ini adalah penemuan hukum in concreto. Dalam penelitian ini, norma-norma hukum in abstracto diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premisa mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (legal facts) dipakai sebagai premisa minor. Melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah konklusi, yaitu hukum in concreto 35 Tongat, Hukum Pidana Materiil Tinjauan atas Tindak Pidana Terhadap Subyek Hukum Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 3. 36 Soerdjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 14. 37 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 13.

yang dimaksud. 38 Adapun sifat penulisan ini adalah deskriptif analitis, yaitu untuk mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti. 2. Sumber Data Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, didasarkan pada penelitian kepustakaan (library research), yang dilakukan dengan menghimpun data sekunder, yaitu: a. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas. 39 Bahan hukum primer terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan maupun putusan-putusan pengadilan. b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku, majalah dan jurnal-jurnal ilmiah yang ada relevansinya dengan penelitian ini dan dapat memberi petunjuk dan inspirasi bagi penulis dalam rangka melakukan penelitian. 40 c. Bahan hukum tertier, yakni memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, 41 seperti kamus umum, kamus hukum, dan bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi hasil penelitian ini. 38 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 91-92. 39 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 141. 40 Ibid., hlm.155. 41 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 106.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dipergunakan teknik penelitian kepustakaan (library research) dalam menganalisa putusan No. 63 K/Pid/2007 dan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan tersebut, melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. 42 Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah studi dokumen. 4. Analisis data Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta diurutkan dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hal-hal yang sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data ini dianalisa secara kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan 43 yang ada dalam tesis ini, serta penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat. 42 Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 241. 43 Ronny Hamitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 93.