Penangguhan hukuman atas kasus kekerasan dalam rumah tangga menurut kerangka hukum pidana Timor-Leste

dokumen-dokumen yang mirip
MENGHADAPI TANTANGA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI TIMOR LESTE; DAPATKAH UNDANG-UNDANG BARU MEMBAWA HASIL?

JUDICIAL SYSTEM MONITORING PROGRAMME PROGRAMA DE MONITORIZAÇÃO DO SISTEMA JUDICIAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh penyelesaian yang lebih baik. Walaupun demikian, masih banyak

I. PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. fenomena umum yang terjadi di seluruh dunia (World Health. KTP di Indonesia berjumlah kasus dan meningkat

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Tindak kekerasan merupakan pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan

JUDICIAL SYSTEM MONITORING PROGRAMME PROGRAMA MONITORIZASAUN BA SISTEMA JUDISIÁRIU

BAB I PENDAHULUAN. sebagai tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga. Maka rumah tangga

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

Pentingnya Kehadiran Sebuah Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Timor Leste

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

Ringkasan proses persidangan kasus di Pengadilan Distrik Suai Minggu ke-dua Pebruari 2012

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan disertai

BAB I PENDAHULUAN. tegas dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Bentuk Kekerasan Seksual

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

PEMERKOSAAN,PERBUDAKAN SEKSUALITAS

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. proses saling tolong menolong dan saling memberi agar kehidupan kita. saling mencintai, menyayangi dan mengasihi.

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

BAB XVIII. Kekerasan terhadap perempuan. Kisah Laura dan Luis. Mengapa laki-laki melakukan kekerasan pada perempuan? Jenis kekerasan pada perempuan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah anugrah yang diberikan Tuhan kepada setiap pasangan. Tak

BAB I PENDAHULUAN. tawuran antar pelajar, kekerasan terhadap anak, perempuan, maupun pembantu

FENOMENA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. sesutu tentang tingkah laku sehari-hari manusia dalam masyarakat agar tidak

UU AMNESTI MELINDUNGI PARA PELAKU KEJAHATAN SELAMA MASA KRISIS

BAB I PENDAHULUAN. dalam dan terjadi di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. Kekerasan

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

Oleh Lily I. Rilantono (Ketua Umum YKAI)

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk

BAB I PENDAHULUAN. dasar dari susunan masyarakat, untuk itulah lahir Undang-undang Nomor 1

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

Legitimasi Putusan Pengadilan Atas Kasus Fundus Estabilizasaun Ekonómika (FEE)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia, tujuan

Analisis Kasus. 1

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbicara terkait kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUANSEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LUWU TIMUR" BAB I PENDAHULUAN

Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual dewasa ini bukan

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

KASUS ETIKA PROFESI KASUS ANGELINE. Pembunuhan Berencana Angeline

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan pengertian sebagai tindakan atau serangan terhadap. menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu yang berkeluarga mendambakan kehidupan yang harmonis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diibaratkan seperti gunung

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Ani Yunita, S.H.M.H. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

PERMASALAHAN KESEHATAN WANITA DALAM DIMENSI SOSIAL DAN UPAYA MENGATASINYA. By : Basyariah Lubis, SST, MKes

Pendampingan Terhadap Perempuan & Anak Korban Kekerasan Tahun 2016

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

Nama : Aninda Candri L. NIM : Nama Kelompok : D Nama Dosen : Drs. Tahajudin Sudibyo

PROSIDING SEMINAR ILMIAH NASIONAL: MEMBANGUN PARADIGMA KEHIDUPAN MELALUI MULTIDISIPLIN ILMU SATU KALI PENGADUAN ATAS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat semakin

P U T U S A N No. 263/Pid.B/2013/PN.BJ. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak. Di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara

AMNESTY INTERNATIONAL SIARAN PERS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Beragam permasalahan pada perempuan seringkali muncul dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun

Transkripsi:

JUDICIAL SYSTEM MONITORING PROGRAMME PROGRAMA MONITORIZASAUN BA SISTEMA JUDISIÁRIU Justice Update 5 Desember 013 Penangguhan hukuman atas kasus kekerasan dalam rumah tangga menurut kerangka hukum pidana Timor-Leste Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Timor Leste menentukan lima jenis hukuman dengan masing-masing tingkat berat-ringannya. Ini termasuk; hukuman penjara, hukuman denda, hukuman kerja sosial, hukuman peringatan dan hukuman tambahan. Hukum Pidana Timor-Leste juga menganut prinsip-prinsipa normatif mengenai hukuman dan tindakan pembatas sebagai prinsip-prinsip dasar dalam hukum pidana. Prinsip-prinsip ini termasuk prinsip legalitas (sebagai prinsip paling fundamental dalam doktrin hukum pidana), prinsip retroaktif (prinsip tidak berlaku surut), prinsip kemanusiaan, prinsip proporsionalitas dan prinsip kesesuaian dan prinsip-prinsip lainnya. Namun demikian dalam dokumen ini tidak dibahas secara detail penggunaan dan implikasinya dalam praktek. Dalam hukum pidana Timor Leste menyediakan preferensi opsional mengenai hukuman dan tindakan pembatas yang diatur dalam pasal 62 KUHP. Pasal tersebut menyebutkan bahwa apabila terdapat kemungkinan untuk menerapkan pidana penahanan atau pidana lain yang tidak menyangkut perampasan kemerdekaan, pengadilan harus mengutamakan pidana yang tidak merampas kemerdekaan orang lain, apabila hukumanini secara memadai memenuhi tujuan dari pidana tersebut. Ketentuan ini dalam praktenya memberikan ruang yang sangat kepada pengadilan untuk menggunakan peran dan diskresi mereka secara bebas menurut keyakinan dan kecenderungan untuk memili hukuman yang sesuai dengan keinginan hakim/pengadilan untuk diterapkan atas kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan, termasuk kasus kekerasan dalam rumah tangga. Bentuk dan ciri khas kekerasan dalam rumah tangga Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU- AKDRT) diberlakukan pada bulan Juli 2010. Dalam pasal 35 UU-AKDRT mengatur kekerasan dalam rumah tangga dirujuk ke KUHP untuk mencakup kejahatan yang secara khusus diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:

Penganiayaan berat terhadap orang cacat (pasal 153 KUHP), penganiayaan terhadap suami/isteri (pasal 154 KUHP), penganiayaan berat terhadap anak di bawah umur (pasal 155 KUHP), dan bentuk pemberatan lainnya (pasal 156 KUHP); dan Pembunuhan (pasal 138), pembunuhan berat (pasal 139 KUHP), tindak pidana aborsi (pasal 141 KUHP) penganiayaan biasa atas integritas fisik (pasal 145 KUHP), penganiayaan berat terhadap integritas fizik (pasal 146 KUHP), tindak pidana penyisaksaan atau perlakuan tidak manusiawi (pasal 167 KUHP), pemaksaan seksual (pasal 171 KUHP), pemerkosaan (172 KUHP), prostitusi anak (pasal 175 KUHP), pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur (pasal 177), kejahatan seksual terhadap remaja (pasal 178 KUHP) dan pelecehan seksual terhadap orang yang tidak berdaya (pasal 179 KUHP). Kejahatan-kejahatan ini akan dianggap sebagai kekerasan dalam rumah tangga kalau dilakukan dalam konteks dan karakter keluarga sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 dan 3 UU A-KDRT. Sementara tindakan-tindakan yang berdampak secara psikologis dan menyingung secara emosional dan mental seperti ancaman, paksaan dan paksaan serius (pasal 157-159 KUHP) tidak dinggap sebagai kekerasan dalam rumah tangga walaupun terjadi dalam konteks dan ruang lingkup keluarga, karena tindakan-tindakan ini tidak termasuk dalam pasal 35 UU AKDRT. Yang paling penting adalah dalam UU-AKDRT memaklumi segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga sebagai tindak pidana umum sebagaimana ditentukan dalam pasal 36 UU- AKDRT. Ini berarti, korban tidak perlu melakukan pengaduan atas kejahatan tersebut untuk memulai proses investigasi dan tuntutan. Bentuk-bentuk umum mengenai kekerasan dalam rumah tangga Bentuk/jenis penganiayaan berkaraktek kekerasan dalam rumah tangga yang biasanya dialami oleh korban perempuan antara lain: tamparan, dipukul-ditendang, didorong hingga terjatuh dan diinjak, rambutnya dijambak/ditarik, dilembar ke dinding rumah dan dicekik di lehernya. Alat/instrumen yang digunakan Selain menggunakan tangan dan kaki sebagai sarana klasik dalam prakteknya, JSMP juga mencatat, para terdakwa menggunakan potongan kayu, pipa/besi, pisau, tombak, ikat pinggang dan kabel. Konsekuensi Tindakan-tindakan tersebut menyebabkan korban mengalami pembengkakan, luka serius hingga perlu dijahit, giginya runtuh/jatuh, terjadi pembengkakan di mata atau pelipis matanya, patah tulang atau keceleo/cacat, hidung dan mulut berdarah, dan mengalami luka serius hingga perlu dirawat di rumah sakit.

Surat dakwaan Tindakan-tindakan ini kebanyakan atau hampir semuanya didakwa hanya dengan menggunakan pasal 145 KUHP mengenai penganiayaan biasa atas integritas fisik. Konsekuensinya adalah proses atas kasus tersebut akan berakhir dengan penangguhan hukuman penjara atau dihukum dengan hukuman denda. JSMP juga memantau kasus kekerasan seksual dalam keluarga, seperti inses. Walaupun demikian, kasus-kasus ini barangkali hanya mewakili bagian terkecil dari prevelensi/kencenderungan dari kekerasan yang terjadi dalam keluarga. Antara Juli 2010 Juni 2013, JSMP memantau kasus pembunuhan yang terjadi yang melibatkan hubungan pasangan suami istri (termasuk pembunuhan biasa dan pembunuhan berat), mewakili 15 persen dari kasus-kasus pembunuhan yang dipantau JSMP selama periode tersebut. Selain itu, pelecehan secara psikologis seperti mempermalukan, penghinaan dan pengontrolan merupakan menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Penangguhan pidana penjara vs kekerasan dalam rumah tangga sebagai kejahatan publik JSMP mengakui hakim/pengadilan memiliki diskresi (kebebasan untuk menentukan prioritas) untuk memilih hukuman yang lebih tepat menurut keyakinan dan tujuan dari hukuman yang akan diberikan kepada para terdakwa/terpidana. Namun JSMP mencatat beberapa keprihatinan seperti berikut ini: 1. Hingga saat ini belum tersedia sebuah mekanisme untuk mengontrol kewajiban terpidana yang menjalani hukuman penangguhan atas penjara; 2. Penerapan hukuman penangguhan penjara tidak disertai dengan kewajiban lain yang dibebankan kepada terdakwa untuk dijalani selama periode penangguhantersebut: 3. Selaian itu, pertimbangan atas fakta-fakta dan hal-hal/keadaan-keadaan yang meringankan dalam persidangan pada umumnya selalu hanya melihat kepada kepentingan terdakwa dan mengabaikan kepentingan dan hak korban atas keadilan. Misalnya, pertimbangan-pertimbangan tersebut mayoritas menyebutkan bahwa: terdakwa bekerjasama dengan pengadilan, menunjukan penyesalannya, baru pertama kali menghadap pengadilan dan sebagai penanggung jawab satu-satunya dalam keluarga (walaupun seringkali sebenarnya para perempuan korbanlah yang berjuang keras untuk menghidupi dan mencarikan makanan untuk anak-anak mereka dari pagi, siang hingga malam harinya). 4. Penangguhan hukuman penjara dapat menciptakan kesan dan persepsi publik bahwa kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai kejahatan publik. Terutama dalam kasus penganiayaan berat terhadap istri, namun hanya berakhir dengan hukuman penangguhan dari pidana penjara.

5. Secara praktek sulit untuk membedakan kasus-kasus penganiayaan yang melibatkan kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan biasa, penganiaya berat dan penganiayaan berat terhadap pasangan sumai/istri, karena kasus-kasus tersebut hanya berakhir dengan penangguhan penahanan atas penjara atau hukuman denda. Pengalaman JSMP JSMP memantau bahwa sering kali tidak ada konsistensi dalam penggunaan pasal dan penerapan hukuman. Dalam kasus tertentu JSMP mencatat bahwa peristiwa tertentu memenuhi syarat-syarat/unsur-unsur pasal 154 KHUP mengenai penganiayaan berat terhadap pasangan sumai/istri, namum hanya berakhir dengan penangguhan atas hukuman penjara. Dalam beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga para terdakwa menggunakan pisau, parang, tombak untuk menyerang korban atau pasangan mereka, namun hanya didakwa dengan pasal 145 KUHP mengenai penganiayaa biasa atau walaunpun didakwa dengan penganiayaan berat atas pasangan (suami/istri), dalam pemeriksaan alat bukti diganti lagi ke ke penganiayan biasa atas integritas fisik dan berakhir dengan penangguhan penahanan atas penjara. JSMP merasa prihatin karena alat-alat seperti pisau, parang, potongan kayu, besi dan tombak yang digunakan untuk menyerang korban memiliki potensi yang sangat besar untuk menghilangkan nyawa orang lain. JSMP berpandangan bahwa lebih tepat untuk mendakwa dengan percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat atas integritas fisik, bukan penganiayaan biasa. JSMP memantau bahwa walaupun bukan dilakukan secara berulang-ulang, namun terdakwa melakukan tindak pidana di tempat umum atau disaksi oleh banyak orang korban dalam keadaan hamil, memukul korban hingga mengeluarkan darah dan dirawat di rumah sakit, menggunakan kayu untuk memukul korban hingga kayu tersebut pecah di atas tubuh korban, melempar korban dengan tombak namun hanya didakwa dengan pasal penganiayaan biasa atas integritas fisik. JSMP juga mencatat bahwa selama Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga diberlakukan belum ada seorang terdakwa kasus penganiayaan berat atas pasangan dihukum dengan hukuman penjara, mayoritas hampir berakhir dengan hukuman penangguhan penjara. Rekomendasi : 1. Perlu dibentuk sebuah mekanisme untuk mengontrol para terdakwa selama periode penangguhan penjara; 2. Penangguhan harus disertai dengan kewajiban lain untuk memastikan bahwa para terdakwa sadar bahwa penangguhan penahanan merupakan sebuah bentuk hukuman;

3. Pertimbangan atas hal-hal meringankan harus seimbang dengan kerugian fisik dan psikologis yang diderita korban: 4. Atas kasus-kasus yang melibatkan penganiayaan berat atas pasangan suami/istri dan penganiayaan berat atas pasangan harus dihukum dengan hukuma penjara. Untuk mendapatkan informasi secara detail, tolong hubungi: Luis de Oliveira Sampaio Direktur Eksekutif JSMP Alamat e-mail: luis@jsmp.minihub.org info@jsmp.minihub.org Telepon:3323883 77295795 Website: www.jsmp.tl