BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diibaratkan seperti gunung

Transkripsi

1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diibaratkan seperti gunung es yang hanya nampak puncaknya saja di permukaan, namun sebagian besar badan gunung ada di dasar permukaan laut. Pada umumnya kekerasan pada perempuan akan dikenal apabila kasus telah terjadi dan korban telah melaporkan. Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 1 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan melawan secara hukum dalam lingkup rumah tangga (RI 2004). Berdasarkan catatan Komnas Perempuan tahun 2011 menunjukkan bahwa terdapat kasus kekerasan yang ditangani oleh lembaga layanan sepanjang tahun Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi kasus yang paling banyak ditangani yakni mencapai kasus (95,61%) dari jumlah keseluruhan kasus kekerasan pada perempuan yang ditangani pada tahun 2011 (Murtakhamah, 2013). Pada tahun 2014 kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai angka Jumlah kasus kekerasan di ranah personal tercatat paling tinggi yakni kasus kekerasan terhadap istri. Jumlah tersebut diperoleh dari keseluruhan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani pada tahun 2014 (Komnas Perempuan, 2014). Data di atas menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga. Seolah-olah angka yang besar memperlihatkan bahwa banyak kasus terselesaikan, namun kenyataannya setiap tahun kasus kekerasan dalam rumah tangga masih terus bertambah. Pemerintah telah memasukkan kasus kekerasan dalam peraturan 1

2 2 dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai upaya pemerintah untuk menghilangkan aksi kekerasan dalam rumah tangga. Namun, kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang melibatkan perempuan sebagai korbannya belum juga tuntas dalam penanganannya. Kasus kekerasan di Daerah Istimewa Yogyakarta juga menjadi sorotan utama pemerintah dan lembaga non-pemerintah. Hal ini dikarenakan jumlah kasus kekerasan terbanyak yang ditangani Forum Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak tingkat Provinsi DIY (FPK2PA) adalah kekerasan fisik dengan jumlah kasus (36%) dari keseluruhan kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak di Provinsi DIY. Berdasarkan data P2TPAK Rekso Dyah Utami, ketika kasus kekerasan dilihat berdasarkan jenis kelamin, diketahui bahwa presentase perempuan mencapai 87% dan lakilaki 13% (PSW UGM, 2013). Ada pula data lain yang diperoleh dari Rifka Annisa Women Crisis Center menyebutkan pada bulan Januari-Agustus 2014 tercatat kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami istri mencapai 104 kasus (Harian Jogja, 2014). Statistik tersebut menunjukkan bahwa perempuan masih menjadi subjek terbanyak sasaran perilaku kekerasan suami. Kesulitan perempuan dalam mengatasi permasalahan yang muncul dalam rumah tangganya menjadikan dirinya terus berada dalam lingkaran kekerasan tersebut. Saat ini yang banyak ditemukan adalah penelitian yang mengangkat agresor atau karakteristik suami sebagai pemicu munculnya kekerasan dalam rumah tangga. Contohnya dalam penelitian Djannah (2002) menyebutkan faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga adalah perselingkuhan suami, kebiasaan suami, dan kekuasaan suami (Keumalahayati, 2010). Bahkan dari beberapa berita yang diangkat, penyebab kekerasan dalam rumah tangga yang kerap kita temui adalah perilaku suami yang mengkonsumsi alkohol atau berselingkuh. Kenyataannya masih jarang ditemukan penelitian yang mengungkap profil psikologis istri yang menjadi korban dalam lingkaran

3 3 kekerasan rumah tangga. Stark dan Flitcraft menjelaskan bahwa kasus penyerangan dalam rumah tangga tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengetahui karakteristik dari pelaku, perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik dari korban (Stark & Flitcraft, 1996). Sampai saat ini belum jelas profil khusus pemicu kekerasan dalam rumah tangga dari sisi psikologis istri yang menjadi korban. Kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat menimpa istri dari berbagai kelas sosial, tidak memandang tingkat pendidikan, kaya, miskin, di kota, maupun di desa. Setiap perempuan dapat mengalami kekerasan dalam bentuk fisik, emosional, ekonomi, maupun seksual. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti mengangkat topik mengenai karakteristik psikologis istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh suami. Karakteristik tersebut diasumsikan menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga terus berlanjut. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menemukan karakteristik psikologis istri korban kekerasan dalam rumah tangga yang diasumsikan karakteristik tersebut dapat menjadi salah satu penyebab keberlanjutan perilaku kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Secara teoritis hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah kajian dalam dunia psikologi perempuan dan keluarga mengenai karakteristik perempuan yang berisiko mengalami kekerasan dalam keluarga, serta dapat digunakan para psikolog atau

4 4 praktisi masalah perempuan korban kekerasan untuk mendiagnosis munculnya perilaku kekerasan. 2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk salah satu pertimbangan dalam melakukan treatment pada saat penanganan perempuan yang mengalami kekerasan dalam keluarga. Bagi perempuan secara umum hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengenal lebih dekat karakter diri dan menyadari lebih dini mengenai potensi kemunculan kekerasan dalam rumah tangga. D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang kekerasan dalam rumah tangga sudah pernah dilakukan oleh Fachrina dan Anggraini pada tahun 2007 dengan judul Kekerasan terhadap Perempuan dalam Keluarga pada Masyarakat Minangkabau Kontemporer. Penelitian ini membahas mengenai empat macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang kerap terjadi, yakni fisik, emosional, ekonomi, dan seksual. Wimbarti (1999) menambahkan bahwa dalam masyarakat Jawa terdapat 13 jenis perilaku suami yang dapat dianggap sebagai bentukbentuk kekerasan, 5 yang terbesar adalah memukul, menendang, menjambak rambut, menyudut rokok, dan memarahi istri. Penelitian lain dilakukan oleh Nurhayati (2005) menghasilkan strategi menghadapi masalah yang berorientasi masalah seorang perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dapat diprediksikan dari bagaimana dia menilai lokasi, stabilitas, dan pengendalian penyebab kekerasan, serta seberapa besar kesadaran terhadap kesetaraan gender yang dimiliki oleh perempuan tersebut, sedangkan strategi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang berorientasi emosi dapat diprediksi dari seberapa besar kesadaran kesetaraan gender, tanpa disertai dengan bagaimana dia menilai lokasi, stabilitas, dan pengendalian penyebab kekerasan. Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga

5 5 menggunakan penyelesaian masalah berorientasi masalah dan emosi sekaligus untuk mengatasi permasalahannya dengan berbagai variasinya berasarkan pola yang ada. Winta (2001) menjelaskan bahwa istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga memiliki tiga konsep diri yakni pertama, bahwa bertahanya perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah karena anak-anak; kedua, perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami perasaan tidak berdaya hanya dalam kaitannya dengan masalah perkawinan mereka dan hubungannya dengan pasangan, mereka tetap mampu berjuang untuk membesarkan dan mendidik anak-anak; ketiga, perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga memiliki konsep diri yang negatif dalam hubungannya dengan pasangan. Mereka merasa tidak berharga, tidak percaya diri, tidak berguna, tidak menyukai diri, dan merasa tidak aman hanya saat bersama dengan pasangan. Pada saat mereka bersama dengan teman dan anak-anak mereka merasa lebih percaya diri, berharga, berguna, aman, dan mandiri. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga dijelaskan memeliki beberapa macam dapat berupa penganiayaan emosional dan penganiayaan fisik (Rahardjo, 2007). Kekerasan tersebut dapat terjadi di berbagai konteks seperti dalam hubungan heteroseksual, homoseksual, dan lesbian (Rahardjo, 2007). Wimbarti (2006) menjelaskan 13 perilaku yang dianggap sebagai kekerasan fisik maupun psikologis yakni dimarahi, dipaido, diancam akan diceraikan, tidak diberi uang belanja, dipukul, dipaksa mencari uang, ditendang, dijambak, disundut rokok, dilarang bekerja, dipaksa berhubungan sex selagi haid, dipaksa berhubungan sex selagi tidak berhasrat, dan dimadu. Penelitian yang dilakukan Margaretha, Nuringtyas, & Rachim (2013) menyebutkan adanya bukti empiris munculnya kekerasan dalam rumah tangga karena pengaruh negatif trauma jangka panjang menyaksikan dan mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak. Selain itu, penyebab kekerasan juga dapat disebabkan karena faktor lain. Hasil penelitian

6 6 yang dilakukan pada penduduk asli Amerika menyebutkan kemiskinan, alkohol, obatobatan terlarang, dan pemukiman terpencil menjadi sebab munculnya kekerasan dalam rumah tangga (Jones, 2008). Persepsi istri terhadap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga didorong dari kondisi ekonomi, pendidikan, campur tangan pihak ke tiga, kekuasaan suami, dan perselingkuhan (Bekti, 2010). Istri beranggapan bahwa ke kerasan dalam rumah tangga merupakan tindakan yang negatif, hal ini sesuai dengan pengalaman istri sebagai korban KDRT ( Bekti, 2010 ). Persepsi berbeda muncul juga di dua kelompok perempuan Amerikan Indian dan Eropan Amerikan. Perempuan Amerikan Indian lebih terbiasa pada penyebab eksternal berupa perilaku dari kekerasan, sedangkan perempuan Eropan Amerikan merunjuk pada penjelasan motivasi internal berupa emosi dan ekspresi verbal yang kemudian berujung tindakan kekerasan (Tehee & Esqueda, 2008). Dampak wanita dewasa yang mengalami kekerasan yakni lebih signifikan didiagnosa generalized anxiety, distimia, depresi, fobia, berpotensi mengkonsumsi alkohol, dan ketergantungan obat-obatan terlarang (Lawrence, Williams, dan Raphael, 1998). Perbedaan dan kesamaan antara ras dan etnik ditemukan dalam faktor yang berhubungan untuk tetap melanjutkan atau meninggalkan hubungan kekerasan. Perempuan kulit hitam sedikit di atas rata-rata untuk bertahan dalam hubungan kekerasan daripada Hispanic women s. Status perkawinan, kehadiran orang dewasa lain dalam rumah tangga, dan kekerasan psikologis, mempengaruhi keputusan perempuan kulit hitam untuk bertahan/meninggalkan. Pada Hispanic women s, faktor yang mempengarui untuk tinggal atau keluar adalah pendapatan rumah tangga dan kekerasan psikologis (Lacey, 2010) Berdasarkan penelitian di atas, peneliti belum menemukan penelitian yang sesuai dengan fokus penelitian yang diangkat oleh peneliti. Topik yang dipilih memfokuskan

7 7 pada karakteristik psikologis istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Diasumsikan karakteristik tersebut menjadi salah satu pemicu keberlanjutan kekerasan dalam rumah tangga.