I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan industri perkayuan yang sangat penting terhadap perolehan devisa dan pembangunan ekonomi serta perkembangannya yang pesat selama ini telah menimbulkan persoalan-persoalan yang kompleks bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Berkurangnya pasokan bahan baku kayu dari hutan alam, rendahnya realisasi pembangunan hutan tanaman industri (HTI) untuk menghasilkan kayu pulp dan kayu pertukangan, serta inefisiensi produksi telah menyebabkan produksi hasil hutan menurun sehingga banyak perusahaan pengolahan kayu yang rugi dan terlilit hutang. Beberapa perusahaan pengolahan kayu bahkan diduga mengkonsumsi kayu ilegal dari hutan alam dalam proses produksinya. Akibatnya, bukan saja pasokan kayu bulat untuk industri perkayuan di masa depan terancam, tapi juga kerusakan lingkungan seperti deforestasi dan degradasi hutan semakin parah. Di pihak lain, para penebang liar dan konsumen kayu ilegal terus menikmati keuntungan yang sangat menggiurkan, sementara masyarakat luas harus menanggung dampak negatif yang luar biasa akibat kerusakan lingkungan yang terjadi (Anonim 2007). Departemen Kehutanan (2005) melaporkan bahwa berdasarkan hasil rekalkulasi terbaru, yaitu status penutupan lahan Indonesia untuk tahun 2003, luas kawasan hutan Indonesia diperkirakan sebesar 133,6 juta ha atau sekitar 71% dari luas daratan Indonesia. 60,9 juta ha diantaranya merupakan kawasan hutan alam produksi, baik itu berupa Hutan Produksi Terbatas maupun Hutan Produksi Tetap. Hasil rekalkulasi tersebut juga menunjukkan bahwa hutan produksi terdiri dari hutan alam primer seluas 14,8 juta ha (24,3%), hutan alam sekunder seluas 21,6 juta ha (35,5%), hutan tanaman seluas 2,4 juta ha (3,9%), non-hutan seluas 18,4 juta ha (30,2%) dan tidak ada datanya seluas 3,7 juta ha (6,1%). Lebih lanjut, 8% dari total hutan primer yang tersisa dan 72% dari total hutan sekunder terletak di Papua dan Kalimantan. Kondisi kawasan hutan di Kalimantan Tengah berdasarkan fungsinya adalah sebagai berikut (Anonim, 2005):
Total luas wilayah Kalimantan Tengah adalah 15.356.700 Ha terdiri Kawasan Hutan 10.294.853,52 Ha (67,4%) dan Kawasan Non Hutan 5.061.846,48 Ha (32,96 %). Berdasarkan fungsinya Kawasan Hutan seluas 10.294.853,52 Ha terdiri atas : 1. Hutan Produksi Tetap ( HP) : 4.232.518,38 Ha 2. Hutan Produksi Terbatas (HPT) : 3.784.495,64 Ha 3. Hutan Konservasi : 1.484.485,60 Ha 4. Hutan Lindung : 766.392,06 Ha 5. Hutan Tanaman Industri (HTI) : 21.958,04 Ha 6. Hutan Penelitian dan Pendidikan : 5.003,80 Ha Luas Hutan Rawa Gambut di Indonesia kurang lebih 20 juta ha, penyebaran meliputi daerah Sumatera 8,25 juta Kalimantan 6,79 juta dan Papua 4,62 juta ha, lainnya menyebar di Sulawesi, Halmahera dan Seram 0,4 juta ha. Wahyunto dan Heryanto (2005) melakukan interpretasi Citra Landsat Thematic Mapper tahun 2000 2002 dan diolah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah mempunyai luas 3.006.640 ha dengan luas hutan ditampilkan sebagai berikut : Luas hutan rawa gambut menurut kabupaten di Kalimantan Tengah Tahun 2000. 1. Pulang Pisau : 795.759 Ha 26,432 (%) 2. Katingan : 513.589 Ha 17,063 (%) 3. Kapuas : 448.752Ha 14,914 (%) 4. Kotawaringin Timur : 361. 835 Ha 12,025 (%) 5. Seruyan : 333.156Ha 11 076 (%) 6. Kotawaringin Barat : 267. 099 Ha 8 877 (%) 7. Barito Selatan : 165. 515 Ha 5,638 (%) 8. Sukamara : 96.119 Ha 3,199 (%) 9. Barito Timur : 24. 816Ha 0,82 (%). Luas Wilayah Kabupaten Pulang Pisau (Anonim 2005): Kabupaten Pulang Pisau mempunyai wilayah seluas 8.997 km2 atau 899.700 ha (5.85% dari luas Kalimantan Tengah sebesar (153.564 km2), yang meliputi 8 wilayah kecamatan, 83 desa definitif, dan 1 kelurahan. 2
Gambar.1. Peta Penyebaran Gambut di Provinsi Kalimantan Tengah Wilayah Kabupaten Pulang Pisau terbagi dalam 2 (dua) kawasan yaitu kawasan pasang surut (dibagian selatan) yang merupakan potensi pertanian tanaman pangan dan kawasan non pasang surut (bagian utara) merupakan lahan yang potensial untuk daerah perkebunan. Dari luas wilayah tersebut di atas terdiri dari : Kawasan hutan lindung dengan luas : 1.961 km2 Kawasan hutan gambut dengan luas : 789 km2 Kawasan mangrove (bakau) dengan luas : 280 km Kawasan air hitam dengan luas : 65 km2 Boehm et al., (2002 ) menyatakan degradasi hutan rawa gambut yang terjadi antara tahun 1991 1997 kurang lebih 1,9 % per tahun, antara tahun 1997 2000 kurang lebih 6,5 % per tahun, sehingga apabila dirata-ratakan antara tahun 1991 2001 laju kerusakan hutan rawa gambut adalah 3,3 %. Salah satu penyebab tingginya kerusakan hutan rawa gambut dikarenakan adanya proyek lahan gambut satu juta ha di Kalimantan Tengah yang dikerjakan berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 82 Tahun 1995 yang menetapkan Kalimantan Tengah sebagai tempat pengembangan lahan gambut untuk 3
ekstensifikasi pertanian. Dijelaskan juga antara tahun 1997 2000 terjadi peningkatan hutan bekas tebangan (logged over area) dari 39.566 ha menjadi 58.891 ha (± 44 %) dan peningkatan lahan terbuka dari 54.914,4 ha pada tahun 1991 menjadi 166.130,6 ha pada tahun 2001 (± 15 % / tahun). Gambar.2. Peta Penyebaran gambut di Kabupaten Pulang Pisau Beberapa jenis kayu yang terdapat di hutan rawa gambut yang dikenal diantaranya adalah Ramin ( Gonystylus bancanus ), Meranti Rawa (Shorea pauciflora King), Jelutung (Dyera lowii) spp, Pulai (Alstonia pneumatophora Backer ex L.G Den Berger). Selain itu juga terdapat jenis pioneer sekaligus sebagai jenis yang merupakan ciri khas hutan rawa gambut seperti Gerunggang ( Cratocylum arborenscens), Gelam (Malaleuca leucadendron), Tumih (Combretocartus rotundadus). Jenis jenis ini termasuk yang mampu pulih kembali setelah kawasan gambut terbakar (CCcFPI, 2005). Selanjutnya jenis jenis kayu non komersial atau jenis yang kurang dikenal ( lesser known spesies), yang selama ini kurang mendapat perhatian padahal memiliki potensi yang cukup besar sebagai alternatif bagi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu. Kayu Mahang (Macaranga sp) di Kalimantan Tengah pada umumnya dan di kabupaten Pulang Pisau pada khususnya masih memiliki potensi yang banyak dan belum dimanfaatkan secara 4
komersial karena dianggap dalam penggunaannya tidak awet dan tidak kuat serta orientasi masyarakat masih terpaku dari jenis kayu perdagangan yang mudah di dapat dipasaran dengan kualitas yang baik. Permasalahannya adalah karena kurangnya informasi dan pengetahuan akan sifat-sifat kayu tersebut sebagai dasar untuk merekomendasikan penggunaannya sebagai bahan baku industri pengolahan kayu. B. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui sifat perekatan dan kualitas kayu Mahang. 2. Mengetahui hubungan dan pengaruh posisi aksial dan radial terhadap kualitas perekatan kayu Mahang. 3. Mengetahui peruntukan kayu Mahang untuk bahan baku industri pengolahan kayu. C. Kegunaan Penelitian Dengan di ketahui sifat perekat dan kualitas kayu Mahang maka efisiensi pengolahan kayu dapat di rekomendasikan ke industri untuk pemanfaatan sebagai bahan baku industri/pertukangan dan kepada penelitian penelitian selanjutnya. 5