BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara pertanian, artinya sektor tersebut memegang

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

I. PENDAHULUAN. zaman penjajahan) yang sebenarnya merupakan sistem perkebunan Eropa.

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sumber pendapatan bagi sekitar ribu RTUT (Rumah Tangga Usahatani Tani) (BPS, 2009).

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

BAB V KESIMPULAN. Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang program TRI 1975 dengan tujuan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan

I. PENDAHULUAN. sebagai pihak yang menyewakan lahan atau sebagai buruh kasar. Saat itu,

BAB II PABRIK GULA KWALA MADU (PGKM) SEBELUM TAHUN 1984

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tedy Bachtiar, 2015

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERKEMBANGAN KEMITRAAN PETANI TEBU DENGAN PG. KREBET BARU:PERILAKU EKONOMI PETANI TEBU. Fadila Maulidiah

BAB I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak memberi

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PROGRAM PENGEMBANGAN TEBU RAKYAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

I. PENDAHULUAN. Kebiasaan masyarakat Indonesia mengonsumsi gula akan berimplikasi pada

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN PROGRAM KEMITRAAN PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II DENGAN PETANI TEBU RAKYAT INTENSIFIKASI ( TRI ) SKRIPSI

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 154 TAHUN 1980 TENTANG

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL

yang tinggi dan ragam penggunaan yang sangat luas (Kusumaningrum,2005).

BAB I PENDAHULUAN. Menuju Swasembada Gula Nasional Tahun 2014, PTPN II Persero PG Kwala. Madu yang turut sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. impor gula. Kehadiran gula impor ditengah pangsa pasar domestik mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Tebu merupakan tumbuhan sejenis rerumputan yang dikelompokkan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

SISTEM AGRIBISNIS BIBIT TEBU ASAL KULTUR JARINGAN BPTP SULAWESI SELATAN

REKAYA DAN UJI KINERJA ALAT ROGES TEBU BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. Bagi Indonesia, jagung merupakan tanaman pangan kedua setelah padi. Bahkan di

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

I. PENDAHULUAN. berdomisili di daerah pedesaan dan memiliki mata pencaharian disektor

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DINAMIKA DAN RISIKO KINERJA TEBU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI GULA DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TEBU. (Saccharum officinarum L).

DWIYANlP HENDRAWATL Efisiensi Pengusahaan Gula Tebu di Lahan Sawah Dengan Analisis Biaya Sumberdaya Domestik (Dibawah biiigan RITA NJRMALINA SURYANA)

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. Semarang dalam Suharyono dan Moch. Amien (2013: 19) bahwa geografi adalah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan satu dari dua pabrik gula yang saat ini dimiliki oleh PT. Perkebunan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

1. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun adalah merupakan. salah satu kebijaksanaan pemerintah dalam rangka

VARIETAS UNGGUL BARU (PSDK 923) UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. zaman pendudukan Belanda. Pabrik-pabrik gula banyak dibangun di Pulau Jawa,

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. keuangan suatu perusahaan yang akan dianalisis dengan alat-alat analisis

ANALISIS PENGELOLAAN USAHATANI TEBU DENGAN SISTEM TEBU RAKYAT INTENSIFIKASI (TRI) DI DESA BULU CINA KECAMATAN HAMPARAN PERAK KABUPATEN DELI SERDANG

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. (pendapatan) yang tinggi. Petani perlu memperhitungkan dengan analisis

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula.

I. PENDAHULUAN. bekerja pada bidang pertanian. Menurut BPS tahun 2013, sekitar 39,96 juta orang

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Industri Gula Indonesia 2.2. Karakteristik Usahatani Tebu

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. bermata pencaharian sebagai petani. Tercatat bahwa dari 38,29 juta orang

PERBANYAKAN BENIH SUMBER PADI DAN KEDELAI DI SUMATERA UTARA MELALUI UPBS

Tanggung Jawab Pabrik Gula Trangkil dalam Kerja Sama dengan Petani Tebu Rakyat di Trangkil Kabupaten Pati. Ema Bela Ayu Wardani

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki

PEMBAHASAN. Aspek Teknis

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

-z; DAYA SAING USAHATANI TEBU DI JAWA TIMUR. FAE. Vol. 14 No.1, Juli 1996 PENDAHULUAN

SISTEM PERTANIAN TERPADU TEBU-TERNAK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA DAN DAGING

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman perkebunan merupakan salah satu tanaman yang prospektif untuk dikembangkan di Indonesia. Letak geografis dengan iklim tropis dan memiliki luas wilayah yang begitu luas menjadikan Indonesia merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan tanaman perkebunan. Salah satu komoditas perkebunan yang dapat dikembangkan di Indonesia adalah tebu. Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan semusim yang menghasilkan bahan pangan pokok, yaitu gula. Gula diolah dari batang tebu hingga menjadi butiran gula pasir yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu mempunyai sifat tersendiri, sebab di dalam batangnya terdapat zat gula dan hanya tumbuh di daerah tropis. Tebu memiliki usia panen kurang lebih satu tahun sejak ditanam. Awal mula penanaman tebu adalah pada Sistem Tanam Paksa, yang memberikan keuntungan besar untuk kas Negara kolonial. Setelah Sistem Tanam Paksa dihentikan, perkebunan tebu dilakukan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Perluasan perkebunan tebu tidak pernah melampaui Pulau Jawa. Jenis tanah dan pola pertanian di Pulau Jawa lebih sesuai untuk penanaman tebu. Gairah perekonomian kolonial sangat dipengaruhi oleh daya tarik dan keuntungan yang diperoleh dari perkebunan tebu. Penanaman tebu mendorong pendirian pabrikpabrik pembuatan gula. Perkebunan tebu dan pabrik gula menjadi motor perekonomian Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa. 1

2 Daerah jantung perkebunan tebu yang tumbuh sejak tahun 1840-an dan berkembang sampai abad berikutnya adalah daerah pesisir utara dari Cirebon hingga Semarang, di sebelah selatan gunung Muria hingga Juwana, daerah kerajaan (Vorstenlanden), Madiun, Kediri, Besuki, di sepanjang Probolinggo hingga ke Malang melalui Pasuruan, dari Surabaya barat daya sampai ke Jombang. Saat Indonesia merdeka, tebu rakyat berkembang dengan sendirinya tanpa ada campur tangan dari pemerintah. Namun, perkembangan kembali tebu rakyat juga mengalami kendala. Modal yang cukup tinggi dibutuhkan dalam penanaman tebu rakyat. Petani pun cukup kesulitan untuk memperoleh modal. Perkembangan industri gula memberikan keuntungan yang besar untuk pemiliknya dan memberikan pajak untuk pemerintah kolonial. Berkat keuntungan dari perdagangan gula, beberapa kota di Pulau Jawa berkembang pesat, seperti kota pelabuhan Semarang dan Surabaya, dan kota-kota lainnya. Industri gula menyerap tenaga kerja yang banyak dari kalangan Eropa yang terampil dan buruhburuh pribumi. Melalui perkebunan tebu, masyarakat pulau Jawa mengenal upah yang diberikan dalam bentuk alat pembayaran yang sah atau uang. Namun, arti penting dari sumbangsih perkebunan dan pabrik gula adalah memberi contoh tentang organisasi, kekuatan keuangan, kemajuan teknik, efisiensi dan laba yang melahirkan kemajuan pesat dalam pertanian terhadap bidang usaha lainnya yang kemudian berkembang pesat hingga melampaui perkembangan industri gula (Poesponegoro dan Nugroho, 2008).

3 Dari waktu ke waktu, industri gula selalu menghadapi berbagai masalah, sehingga produksinya belum mampu mengimbangi besarnya permintaan masyarakat. Meningkatnya konsumsi gula dari tahun ke tahun disebabkan oleh pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan penduduk, dan bertambahnya industri yang memerlukan bahan baku berupa gula (Tim Penulis PS, 1994). Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan gula, selama ini negara kita mengimpornya dari negara lain. Cara ini kurang tepat untuk memecahkan masalah kekurangan gula. Cara terbaik untuk mengatasi hal ini adalah memantapkan produksi gula dalam negeri. Upaya itu antara lain dengan pencanangan program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Pogram TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) merupakan program pemerintah untuk mendorong kembali semangat petani tebu dalam meningkatkan produktivitas areal tanam sehingga tercapai swasembada gula yang telah dicanangkan mulai tahun 2014. Program ini dilaksanakan untuk menjawab rendahnya produksi gula nasional dibandingkan tingginya permintaan yang masih disiasati dengan impor gula. Ketergantungan impor mengakibatkan Indonesia sebagai negara ke-3 pengimpor gula terbesar, setelah Rusia dan India. Padahal ketika tahun 1984-1985, Indonesia pernah mengalami masa swasembada gula. Waktu yang singkat dan tidak berkelanjutan tersebut disebabkan karena Pabrik Gula (PG) tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat, krisis ekonomi, dan sebagainya (Wulanamigdala, 2013). Sebelum tahun 1975, keikutsertaan petani dalam pengadaan tebu hanya terbatas sebagai pihak yang menyewakan lahan atau sebagai buruh kasar. Namun, pada

4 tanggal 22 April 1975 dikeluarkan Instruksi Presiden nomor 9 tahun 1975 (Inpres 9/1975) mengenai Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Yang dimaksud dengan Intensifikasi Tebu Rakyat atau dikenal dengan TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) adalah pengertian menurut Inpres No 9 tahun 1975, yaitu Langkah-langkah yang bertujuan untuk mengalihkan pengusahaan tanaman tebu untuk produksi gula di atas tanah sewa, ke arah tanaman tebu tanpa mengabaikan upaya peningkatan tanaman tebu rakyat tersebut dilakukan sistem BIMAS secara bertahap. Menurut Inpres No 9/1975 tersebut pada dasarnya maksud yang terkandung antara lain : 1. Menghasilkan pengusahaan tanaman tebu dari sistem sewa tanah oleh Pabrik Gula menjadi Tebu Rakyat yang diusahakan petani di atas lahan/tanah milik sendiri. 2. Meningkatkan produksi gula nasional dan pendapatan petani tebu melalui pola TRI. 3. Mengusahakan Pabrik gula dalam fungsinya dan peranan sebagai Pimpinan Kerja Operasional Lapangan (PKOL) guna melaksanakan alih teknologi budidaya tebu petani kepada petani. 4. Mengikutsertakan KUD dan dibimbing untuk mengkoordinasikan petani TRI agar produksi gula dan pendapatannya meningkat (Asnur, 1999). Setelah TRI berjalan, perkembangan tebu semakin pesat. Tahun 1975 1980 luas lahan tebu dari 104.777 ha menjadi 188.772 ha. Pada periode yang sama, produksi gula dari 1.035.052 ton/tahun menjadi 1.249.946 ton/tahun (lihat Tabel 1).

5 Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Gula Tebu di Indonesian Tahun 1930 November 1990 Tahun Luas areal (Ha) Rendemen (%) Hablur (Ku/Ha) Jumlah Pabrik Rakyat Pabrik Rakyat Pabrik Rakyat Hablur (ton) 1930 196.592,0-11,32-147,9-2.907.098 1935 28.261,5-12,46-174,3-492.598 1940 83.521,5-12,79-176,3-1.472.484 1950 27.712,0 75,0 10,60 9,43 93,7 31,2 259.771 1952 47.680,0 1042,0 10,93 11,26 91,4 61,8 441.909 1955 51.495,0 20.617,0 11,16 11,24 128,0 73,3 813.344 1960 55.428,0 17.000,0 10,94 10,61 99,0 73,3 615.810 1965 71.030,0 16.378,0 10,63 9,79 96,6 54,9 775.950 1970 69.172,0 12.505,0 9,07 9,00 92,9 56,7 715.312 1975 83.295,0 21.482,0 10,73 9,21 107,4 59,8 1.035.052 1978 69.827,0 78.361,0 9,11 8,77 83,5 69,5 1.137.354 1980 56.628,5 132.143,8 8,68 9,12 61,1 65,5 1.249.946 1981 50.248,0 142.900,1 7,89 8,92 55,4 66,9 1.250.117 1982 56.195,6 201.359,7 7,90 9,37 42,2 68,1 1.627.545 1983 59.475,1 234.243,8 6,41 7,6 45,4 58,3 1.647.071 1984 79.922,5 206.640,7 6,69 8,56 45,0 65,0 1.707.048 1985 91.470,1 186.144,9 7,02 8,59 47,3 69,5 2.119.496 1986 101.755,0 215.334,9 7,10 8,41 47,9 71,4 2.024.027 1987 97.238,5 236.535,5 6,93 8,64 45,3 70,9 2.118.305 1988 95.235,1 228.066,7 6,36 8,06 41,3 65,6 1.917.422 1989 107.819,8 232.066,7 6,74 7,96 45,2 67,2 2.053.570 1990 114.168,9 238.210,2 6,76 7,90 48,1 62,9 2.173.857 Sumber: Mubyarto & Daryanti, 1991. Program TRI dikelola dalam wadah koordinasi Bimas dengan melibatkan lembaga-lembaga pelayanan seperti BRI, KUD, dan pabrik gula. Dalam program ini, BRI berperan sebagai pemberi kredit dan KUD sebagai penyalur kredit. Tugas pabrik gula dalam program TRI meliputi penyediaan bibit tebu, pimpinan kerja, memberikan bimbingan teknis di lapangan bagi para petani, serta pengolah tebu (Tim Penulis PS, 1994).

6 Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Gula Tebu di Indonesia Tahun 1994 2004 Tahun Luas Areal Produksi Rendemen Konsumsi (ha) (ton hablur) (%) (ton hablur) 1994 428.736 2.453.881 8,02 1995 436.037 2.059.576 6,97 3.343.058 1996 446.533 2.094.195 7,32 3.073.765 1997 386.878 2.191.986 7,83 3.333.522 1998 377.089 1.488.269 5,49 2.736.002 1999 342.211 1.493.933 6,96 2.778.943 2000 340.660 1.690.004 7,04 3.200.000 2001 344.441 1.725.467 6,85 3.250.000 2002 350.772 1.755.354 6,88 3.300.000 2003 336.257 1.634.560 7,21 3.350.000 2004 344.000 2.051.000 7,67 3.400.000 Sumber: Badan Litbang Pertanian, 2005. Terlihat pada Tabel 2 bahwa produksi gula sempat menurun pada Tahun 1998 2003 dan meningkat kembali pada Tahun 2004. Namun, konsumsinya tetap melebihi produksi yang dihasilkan. Ini menandakan masih belum cukupnya upaya pemerintah dalam menggalakkan produksi gula. Dalam pelaksanaannya, usahatani tebu memerlukan lahan yang luas. Untuk memudahkan, maka dibentuklah kelompok-kelompok tani. Luas lahan setiap kelompok biasanya antara 10 25 ha. Tiap kelompok merupakan gabungan beberapa petani dengan luas antara 0,2 0,3 ha. Sekarang, kelompok-kelompok tani tersebut tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Ternyata program TRI yang diusahakan pemerintah belum dapat mencapai sasaran secara mantap. Banyak masalah yang dihadapi, terutama dalam pelaksanaan program TRI. Masalah-masalah tersebut mulai dari penyediaan

7 lahan, biaya usaha tani, penerapan teknis budidayaa, tenaga kerja, sampai pada masalah panen dan pasca panen (Tim Penulis PS, 1994). Petani dengan lahan sempit dan pengairan yang baik, umumnya sangat berat untuk merelakan lahannya ditanami tebu. Petani TRI kebanyakan memiliki modal yang kecil dan lahan yang sempit sehingga mereka bertindak lebih selektif dalam memilih pola usaha tani. Dalam membiayai usahatani tebu, pemerintah memberikan kredit melalui BRI yang disalurkan lewat KUD setempat. Kredit yang diharapkan dapat membantu petani dalam membiayai usahatani tebu ini ternyata sukar dicairkan. Pihak KUD sendiri tidak sanggup mengatasi mengingat terbatasnya dana yang ada. Masih berkaitan dengan masalah kredit, banyak petani yang menyalahgunakan fasilitas kredit (Tim Penulis PS, 1994). Penyuluhan dilakukan oleh mandor pabrik kepada ketua kelompok tani dan selanjutnya meneruska kepada para petani. Namun, teknologi belum dapat diserap secara sempurna oleh petani sehingga mengakibatkan rendahnya rendemen tebu. Rendemen tebu yang tinggi menjadi idaman para petani tebu. Sebab, semakin tinggi rendemen tebu, semakin tinggi pula pendapatan yang mereka peroleh. Pada dasarnya, pendapatan petani tebu banyak ditentukan oleh tingkat produksi, harga input, harga produksi dan sistem bagi hasil (Tim Penulis PS, 1994). Dalam praktiknya, salah satu desa di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang yaitu Desa Bulu Cina, di desa ini usaha tani tebu dilakukan dengan sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang terbagi atas TRI Mitra dan TRI Murni. TRI Mitra diusahakan di atas lahan PTPN II dengan sewa lahan per ha Rp. 2.000.000 sedangkan TRI Murni diusahakan di atas lahan sendiri. Namun, di desa

8 ini tidak ada lembaga-lembaga pelayanan seperti BRI, KUD ataupun penyuluh yang membantu petani dalam mengelola usaha tani tebu dengan sistem TRI kecuali Pabrik Gula sebagai jasa penggiling. Hal ini tidak sesuai dengan Program TRI yang diusahakan pemerintah bahwa Program TRI dikelola dalam wadah koordinasi Bimas dengan melibatkan lembaga-lembaga pelayanan seperti BRI, KUD dan pabrik gula. Dari sini, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana sebenarnya mekanisme pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) di desa tersebut. Untuk TRI Mitra dan TRI Murni, bibit dibeli dari PTPN II seharga Rp. 350/batang dengan kebutuhan per hektar 10.000 batang dan hasil panen digiling di Pabrik Gula PTPN II Sei Semayang dengan pembagian hasil 35% untuk PTPN II dan 65% untuk petani. Pendapatan petani per ton tebu bisa dihitung berdasarkan jumlah gula yang dapat dihasilkan melalui penggilingan tebu dikali dengan harga gula dan dipotong ongkos tebu angkut. Hasil panen yang diperoleh TRI Mitra biasanya lebih tinggi dari TRI Murni karena pada TRI Mitra hasil panen harus sesuai dengan ketentuan atau target yang ditetapkan oleh pabrik. Jika tidak mencapai target, maka petani tidak diizinkan lagi untuk menyewa lahan. Pada PC (Plant Cane) yaitu tanaman tebu sistem awal, hasil TRI Mitra harus mencapai 65 ton/ha sedangkan hasil TRI Murni bergantung pada perlakuan petani itu sendiri karena diusahakan di atas lahan sendiri dalam pemeliharaan dan perawatannya. Biasanya hasil TRI Murni berkisar antara 50 60 ton/ha pada tanaman tebu sistem awal (Plant Cane). Dari hal ini, tentu ada perbedaan perlakuan dan pendapatan dari usaha tani tebu dengan sistem TRI

9 Mitra dan TRI Murni dan peneliti bermaksud untuk mengetahui berapa besar perbedaan pendapatan masyarakat sistem TRI Mitra dengan sistem TRI Murni. Saat ini, banyak petani tebu mulai enggan untuk menanam tebu dan beralih menanam komoditi lain. Pendapatan yang rendah dibarengi dengan kewajiban untuk membayar sewa lahan membuat petani merugi. Kondisi ini perlu dicari jalan keluar dengan mengetahui apa yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman untuk mempertahankan dan mengembangkan usaha tani tebu. Dari hal tersebut, peneliti bermaksud untuk meneliti bagaimana strategi pengembangan pengelolaan usaha tani tebu dengan sistem TRI Mitra dan sistem TRI Murni. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai analisis pengelolaan usaha tani tebu dengan sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) di Desa Bulu Cina dengan membahas mekanisme pelaksanaan, besar pendapatan dan strategi pengembangan dari pengelolaan usaha tani tebu tersebut. 1.2 Identifikasi Masalah 1) Bagaimana mekanisme pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) di daerah penelitian? 2) Berapa besar perbedaan pendapatan masyarakat Sistem TRI Mitra dengan Sistem TRI Murni? 3) Bagaimana strategi pengembangan pengelolaan usaha tani tebu dengan Sistem TRI Mitra? 4) Bagaimana strategi pengembangan pengelolaan usaha tani tebu dengan Sistem TRI Murni?

10 1.3 Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) di daerah penelitian. 2) Untuk mengetahui besar perbedaan pendapatan masyarakat Sistem TRI Mitra dengan Sistem TRI Murni 3) Untuk menentukan strategi pengembangan pengelolaan usahatani tebu dengan Sistem TRI Mitra 4) Untuk menentukan strategi pengembangan pengelolaan usahatani tebu dengan Sistem TRI Murni 1.4 Kegunaan Penelitian 1) Sebagai bahan informasi bagi petani tebu dalam mengembangkan usaha taninya. 2) Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan untuk menangani permasalahan dan pengembangan usahatani tebu. 3) Sebagai bahan kajian dan referensi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.