1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi masih menjadi masalah mendasar di dalam berjalannya demokrasi di Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi menjadi terhambat. Dalam demokrasi, rakyat diidealkan memiliki kedaulatan, namun dengan korupsi yang secara signifikan dilakukan oleh para oligarki, idealita tadi seakan menjadi sekadar imaji. Konsiderans huruf a dan b dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan dengan jelas bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara serta menghambat pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, sebagaimana yang dicita-citakan dalam Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejalan dengan itu, menurut salah seorang anggota Panitia Seleksi KPK Meuthia Ganie Rochman, korupsi juga dipercaya dapat menghancurkan basis ekonomi yang sehat, pelencengan sistem politik, dan menimbulkan disintegrasi dalam masyarakat. 1 Sedangkan menurut Andi Hamzah, korupsi sudah ada sejak manusia bermasyarakat di atas bumi ini, seperti halnya pencurian. 2 Fakta bahwa korupsi sudah berkembang sejak awal peradaban manusia tidak serta-merta menjadikan hal ini dibiarkan berjalan begitu saja. Di Indonesia, pasca 1 Meuthia Ganie Rochman, Memperkuat KPK, http://print.kompas.com/baca/2015/09/10/ Memperkuat KPK, diakses pada 14 April 2016. 2 Andi Hamzah, 2005, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1. 1
2 reformasi, diundangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Pasal 43 UU PTPK mengamanatkan untuk dibentuknya suatu Komisi yang bertugas memberantas korupsi. Kemudian dibentuklah dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) suatu lembaga yang dinamai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 3 Ditinjau dari Indeks Persepsi Korupsi yang trennya positif dari tahun ke tahun, kinerja KPK sejauh ini dalam mengurangi korupsi di negeri ini cukup signifikan. 4 Zainal Arifin Mochtar menyatakan KPK sudah memberikan warna dan harapan yang cukup menyenangkan bagi republik ini. 5 Namun demikian, masih ada beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam menyempurnakan KPK, baik secara kinerja maupun sistem kelembagaan. Salah satu hal yang menjadi sorotan publik adalah pada mekanisme seleksi pimpinannya. KPK adalah lembaga negara independen, sehingga diidealkan bebas dari campur tangan cabang kekuasaan manapun dan karenanya berada di luar lembaga trias politica yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 6 Selain itu, menurut Bambang Widjojanto, independensi bukan hanya melekat pada lembaganya, melainkan juga melekat pada diri pimpinan KPK sebagai 3 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250. 4 Transparency International, Corruption Perception Index, http://cpi.transparency.org, diakses pada 27 September 2015. 5 Zainal Arifin Mochtar, Pansel KPK dan Pemberantasan Korupsi, http://www.mediaindonesia.com/news/read/3715/pansel-kpk-dan-pemberantasan-korupsi/2015-05- 25, diakses pada 14 April 2016. 6 Zainal Arifin Mochtar dan Iwan Satriawan, Efektivitas Sistem Penyeleksian Pejabat Komisi Negara di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 6, No. 3, September 2009, hlm. 152.
3 penanggung jawab tertinggi. 7 Cita-cita mengenai independensi ini juga tertulis jelas dalam Pasal 3 UU KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK dipimpin oleh 5 orang pimpinan yang kewenangannya bersifat kolektif kolegial. 8 UU KPK memberikan kewenangan yang besar kepada KPK, yaitu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, serta fungsi supervisi kepada tindakan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga lainnya. 9 Pimpinan KPK bertanggung jawab atas setiap langkah-langkah yang diperbuat oleh para anggotanya. Selain itu, Pimpinan KPK berwenang membentuk kebijakan dan tata kerja organisasi, mengangkat dan memberhentikan pejabat dan pegawai di KPK, serta menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi. 10 Oleh karena itu, jabatan pimpinan menjadi krusial dan strategis dalam agenda besar pemberantasan korupsi di negeri ini. Mekanisme pemilihan Pimpinan KPK ditentukan dalam Pasal 30 dan 31 UU KPK, yaitu dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas usulan dari Presiden. 11 Keberadaan DPR dalam proses seleksi mungkin dimaksudkan sebagai simbol kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh perwakilan, namun perlu disadari bahwa DPR merupakan lembaga politik setiap tindakannya didasari 7 Bambang Widjojanto, dalam Risalah Sidang Perkara Nomor 16/PUU XII/2014 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 terhadap Undang-Undang Dasar, 15 April 2014, hlm. 11. 8 Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250). 9 Ibid., Pasal 6. 10 Ibid., Pasal 25 huruf a, b, dan c. 11 Ibid., Pasal 30 & 31 jo. Pasal 198, 199, dan 200 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
4 kepentingan (dapat baik atau buruk). Selain itu, rekam jejak anggota DPR yang banyak diwarnai kasus korupsi dapat berpengaruh terhadap kualitas proses seleksi yang dilakukan. Ketika dikontekskan ke dalam perihal memilih pimpinan lembaga negara tertentu, keterlibatan DPR justru dapat menjadi hambatan dalam memilih calon pimpinan yang profesional dan independen. Iwan Satriawan dan Zainal Arifin Mochtar menganalisis mekanisme ini secara kritis dengan mengungkapkan bahwa dinamika perpolitikan di Indonesia cenderung kuat party discipline nya, sehingga orang-orang yang menduduki kursi DPR boleh jadi bukanlah representasi dari rakyat yang diidealkan dalam sistem demokrasi, melainkan oligarki yang berjuang untuk kepentingannya sendiri. 12 Dalam hal menyeleksi, anggota DPR dapat memilih pimpinan KPK yang sesuai dengan kepentingan politiknya, yang belum tentu sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Peran DPR memegang fungsi menyeleksi beberapa jabatan di tingkat nasional barangkali bertujuan untuk mempertegas kedaulatan rakyat. Selain itu, hal tersebut juga diatur dalam Pasal 185 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). 13 Data dari lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa DPR merupakan lembaga dengan jumlah tersangka korupsi yang tinggi. 14 Dari pembacaan mengenai konsep independensi lembaga negara, dapat 12 Zainal Arifin Mochtar dan Iwan Satriawan, Op. Cit., hlm. 157. 13 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568. 14 Laporan Tahunan ICW 2012 menyebutkan ada puluhan elit politik (legislatif atau eksekutif) yang tersangkut kasus korupsi. Para elit tersebut antara lain; 13 kader partai Golkar, 10 orang dari demokrat, 8 orang dari PAN dan 8 dari PDI Perjuangan, 4 dari PKB, 3 dari Gerindra, 2 dari PKS dan 2 dari PPP. Sedangkan di Laporan Tahunan ICW 2014 disebutkan 1 orang anggota DPR menjadi tersangka pada tahun 2014.
5 ditemukan bahwa karakteristik utama dari independensi lembaga negara adalah terbebasnya lembaga tersebut dari pengaruh yang tidak pantas (undue influence) yang membuat kinerja lembaga tersebut tidak sesuai dengan kaidah hukum. Salah satu kriterianya adalah minimnya pengaruh politik. yang mencakup sifat nonpartisan, non-political, dan diselenggarakan secara multi aktor. Pengaturan mengenai pemilihan Pimpinan KPK sudah mengadaptasi bentuk pemilihan yang multi aktor yaitu Presiden dengan menunjuk pansel serta DPR. Namun demikian, pengaturan mengenai pemilihan Pimpinan KPK memberikan rumusan kewenangan yang luas kepada DPR untuk memilih. Berbeda dengan pengaturan mengenai pemilihan anggota KY yang lebih membatasi peran DPR, yaitu mengonfirmasi dari calon yang diajukan oleh pansel. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti mengenai hakikat kewenangan DPR selaku lembaga yang memegang cabang kekuasaan legislatif sekaligus lembaga politik dalam memilih pimpinan KPK. Selain itu, akan dibahas pula mengenai implikasi dari peran DPR dalam memilih Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap independensi KPK selaku lembaga negara independen sekaligus lembaga yang menjalankan fungsi penegakan hukum. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam memilih Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi? 2. Bagaimanakah implikasi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat memilih Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap sifat independen yang dimiliki KPK?
6 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Subjektif Penelitian hukum ini dilaksanakan sebagai salah satu persyaratan akademik untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2. Tujuan Objektif Tujuan objektif penelitian mengenai Implikasi Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pemilihan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Independensi KPK adalah: a. Untuk menelaah, mengetahui, dan mendapatkan pemahaman mengenai kewenangan DPR dalam melakukan seleksi terhadap Pimpinan Lembaga Negara Independen. b. Untuk menelaah, mengetahui, dan mendapatkan pemahaman mengenai implikasi dari keterlibatan DPR dalam memilih Pimpinan KPK terhadap independensi kelembagaan KPK sebagai lembaga negara independen yang idealnya tidak dipengaruhi cabang kekuasaan lainnya. D. Keaslian Penelitian Menurut Maria Sri Wulani Sumardjono, keaslian penelitian berarti bahwa masalah yang dijadikan objek penelitian belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Apabila sudah pernah, harus dinyatakan secara tegas perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya. 15 15 Maria S.W. Sumardjono, 2001, Pedoman Penyusunan Usulan Penelitian, Gramedia, Jakarta, hlm. 18.
7 Penelusuran yang penulis lakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum UGM serta beberapa online repository di beberapa universitas di Indonesia, belum ada penelitian yang sama dengan yang penulis lakukan. Adapun penelitian yang memiliki tema berkaitan yaitu Disertasi karya Zainal Arifin Mochtar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 2012 yang berjudul Penataan Lembaga Negara Independen Setelah Perubahan UUD 1945. 16 Penelitian tersebut berfokus pada pencarian jawaban atas pertanyaan mengapa lembaga negara yang tubuh pasca reformasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 begitu banyak dan tidak teratur. Mochtar meneliti mengenai faktor pendorong lahirnya lembaga negara independen di Indonesia, implikasi dari eksistensi lembaga negara independen terhadap pelaksanaan pemerintahan, serta proposal desain penataannya. Keberadaan lembaga negara independen ini diikuti beberapa masalah seperti redundansi kelembagaan, ketidakjelasan landasan hukum, serta pola rekrutmennya. Berkenaan dengan rekrutmen ini, Mochtar turut membahas pula mengenai peran DPR, namun tidak menjadi fokus. Dalam karya ini dijelaskan pula mengenai usulan hubungan antara DPR, DPD, dan Presiden dalam hal memilih komisioner lembaga negara independen dengan membandingkannya dengan praktik di Amerika Serikat. Disertasi ini menganalisis pula mengenai rekrutmen lembaga negara independen dalam hubungannya dengan independensi, tetapi fokusnya ada pada potensi reduksi independensi yang muncul dari kewenangan presiden. Perbedaan 16 Zainal Arifin Mochtar, 2012, Penataan Lembaga Negara Independen Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
8 penelitian disertasi tersebut dengan penelitian penulis adalah lingkup penelitian Penulisan Hukum ini lebih spesifik, yaitu mengenai implikasi dari model kewenangan DPR dalam seleksi Pimpinan KPK dalam rangka mengkaji tingkat independensi proses seleksi tersebut. Selanjutnya adalah disertasi karya Indah Harlina di Universitas Indonesia tahun 2008. Disertasi berjudul Kedudukan dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penegakan Hukum 17 ini memiliki dua rumusan masalah, pertama bagaimanakah kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia? Kedua, apakah Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga permanen? Penelitian ini mendalami latar belakang pembentukan KPK serta kedudukan kelembagaan KPK dalam ketatanegaraan Indonesia. Penelitian ini berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan, terutama dalam analisis terhadap identitas independensi dan kedudukan KPK. Namun, penelitian yang penulis lakukan memiliki perbedaan dengan disertasi ini karena dalam penelitian Penulisan Hukum ini, bahasan tidak berhenti sampai menemukan kedudukan lembaga tersebut, melainkan kemudian dianalisis implikasi peran DPR terhadap konsep kelembagaan KPK yang independen. Berdasarkan beberapa karya tulis pada ruang lingkup tema terkait yang telah dipublikasikan dan penting untuk dicantumkan di atas, maka penulis menyatakan bahwa karya ini memiliki nilai pembeda sekaligus merupakan penelitian yang baru dan asli, sehingga hasilnya dapat, setidaknya, melengkapi penelitianpenelitian terdahulu. 17 Indah Harlina, 2008, Kedudukan dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penegakan Hukum, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok.
9 E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan kecil bagi khazanah keilmuan hukum, terutama Hukum Tata Negara. Kebaruan yang ada dalam penelitian ini adalah mengenai implikasi dari eksistensi DPR, yang notabene merupakan lembaga politik dan pemegang kekuasaan negara di cabang legislatif, terhadap KPK selaku lembaga negara independen yang memiliki fungsi penegakan hukum, meskipun bukan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman. 2. Bagi Praktik Ketatanegaraan Hasil penelitian ini diharapkan akan membuahkan suatu pemahaman bagi pembacanya mengenai alasan dan dampak/implikasi dari keberadaan DPR di dalam proses pemilihan Pimpinan KPK. Penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan bagi perumus peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan proses pemilihan Pimpinan lembaga KPK atau bahkan lebih luas lagi, lembaga negara independen di Indonesia.