IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Re-Karakterisasi Isolat Bakteri Re-karakterisasi bakteri pada biakan agar darah serta hasil uji gula-gula (biokimia) menggunakan Kit Microgen TM GN-ID Identification dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 7. Tabel 3 Karakteristik Streptococcus sobrinus Karakteristik Isolat S. sobrinus MS type d (S. sobrinus) * Diameter 0,5 mm 0,5 mm Hemolisis non hemolisis α / non hemolisis Fermentasi : Glukosa Sukrosa Manitol Sorbitol Rafinose Salicin Laktosa + + - - - - + + a + a + a c - b - b + a Hidrolisis : Arginin - - b Keterangan : a > 90 % strain positif, b > 90 % strain negatif, c 11 89 % strain positif (* Sumber : Sneath et al. 1986, Loesche 1986, Gronroos 2000). Hasil re-karakterisasi menunjukkan bahwa isolat bakteri dan koloni yang berdiameter 0,5 mm, non hemolisis, mampu memfermentasi glukosa, laktosa, sukrosa, dan tidak memfermentasi manitol, sorbitol, rafinose, serta tidak menghidrolisis arginin. Loesche (1986) menyatakan bahwa bakteri dalam grup mutan streptococcus mampu memfermentasi manitol. Ketidakmampuan isolat bakteri yang digunakan untuk memfermentasi manitol dapat disebabkan pemulihan kondisi bakteri yang kurang optimum karena dibiakkan dalam agar darah yang bukan merupakan media spesifik. Menurut Little et al. (1977) pemulihan kondisi MS yang terbaik adalah pada media agar darah yang mengadung sukrosa 5%. Hasil 23
yang diperoleh menunjukkan kesamaan sebesar 90% dengan karakteristik mutan streptococcus serotipe d (S. sobrinus). Chismirina (2006) pun telah menentukan bahwa isolat bakteri FKH-IPB ini adalah serotipe d mutan streptococcus (S. sobrinus) dengan metode PCR. Gambar 7 Pertumbuhan S. sobrinus pada Agar Darah 4.2 Produksi IgY Anti Streptococcus sobrinus pada Telur Ayam Minggu Tabel 4 Hasil Uji AGP pada Serum dan Telur Ayam Serum Telur 1 2 3 4 1 2 3 4 I* - - - - *** *** *** *** II* - - - - *** *** *** *** III* - - - - *** *** *** *** IV* - - - - *** *** *** *** V + + + + *** *** *** *** VI + + + + - - - - VII** - - - + - - - - VIII + + + + - - - - IX + + + + + + + + X + + + + + + + + XI + + + + + + + + XII + + + + + + + + Keterangan * Waktu imunisasi ** Imunisasi ulang *** Belum dilakukan koleksi telur + Terdeteksi garis presipitasi pada uji AGP - Tidak terdeteksi garis presipitasi pada uji AGP 24
IgY spesifik S. sobrinus pada serum ayam dan telur dideteksi dengan menggunakan uji agar gel presipitasi (AGP). Keberadaan IgY spesifik S. sobrinus ditandai dengan pembentukan garis presipitasi pada agar gel (Gambar 8 a & b). IgY mulai terdeteksi minggu kelima dan tidak terdeteksi lagi pada minggu ketujuh setelah imunisasi pertama. Sementara IgY didalam telur belum terdeteksi sampai minggu ketujuh setelah imunisasi pertama (Tabel 4). Setelah dilakukan pengulangan imunisasi (booster), satu minggu kemudian IgY didalam serum terdeteksi lagi. Sedangkan IgY di dalam telur mulai terdeteksi dua minggu setelah booster. IgY didalam serum dan telur masih terdeteksi sampai dengan minggu ke-12 setelah imunisasi pertama. a b Ag Ag Gambar 8 Hasil uji Agar Gel Presipitasi, Ag = antigen terlarut S. sobrinus, = antibodi S. sobrinus, ( ) garis presipitasi. (a) Garis presipitasi pada uji AGP kuning telur, (b) Garis presipitasi pada uji AGP serum Bellanti (1993) menyatakan bahwa injeksi dosis pertama akan menghasilkan antibodi spesifik didalam serum, pemaparan pertama ini membangkitkan respon primer. Injeksi dengan sel-sel bakteri akan memunculkan reaksi antibodi sepuluh sampai empat belas hari pasca injeksi. Pembentukan antibodi dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : imunogenesitas, kualitas, bentuk kelarutan stimulan, spesies hewan yang di imunisasi, rute aplikasi, dan sensitifitas assay. Aplikasi imunisasi secara intravena diharapkan dapat segera memicu pembentukan antibodi didalam darah. Pengulangan imunisasi plus ajuvan secara intramuskular pada minggu ke-2,3, dan 4 diharapkan dapat merangsang pembentukan antibodi dalam jumlah yang lebih banyak dan secara konsisten tetap 25
terbentuk. Ajuvan adalah zat yang dapat memperbesar respon imun bila disuntikan bersama-sama dengan imunogen karena ia memperluas permukaan antigen dan memperlama penyimpanan antigen didalam tubuh sehingga memberi kesempatan pada sistem limfoid untuk menuju antigen (Bellanti 1993). Sementara Kuby (1997) menyatakan bahwa ajuvan adalah substansi yang jika dicampurkan dengan antigen kemudian diinjeksikan bersama-sama akan bekerja memperbesar imunogenesitas antigen. Ajuvan digunakan untuk meningkatkan respon imun apabila antigen memiliki imunogenesitas rendah atau apabila jumlah antigen sedikit. 4.3 Ekstraksi dan Purifikasi IgY dari Telur Ayam IgY-Ss dikoleksi dari kuning telur ayam yang menunjukkan reaksi positif pada uji AGP. Ekstraksi bertujuan untuk memisahkan protein dari lemak telur. Metode yang dipilih adalah pemisahan dengan menggunakan PEG-amonium sulfat (Polson et al. 1980). PEG digunakan untuk memisahkan lemak, mempresipitasi, serta mengendapkan IgY (Harris dalam Mustopa 2004). Amonium sulfat sering digunakan untuk memisahkan protein dalam larutan. Protein didalam larutan akan membentuk ikatan hidrogen dengan air, ketika amonium sulfat ditambahkan ke dalam larutan tersebut maka ia akan menjadi kompetitor untuk berikatan dengan air. Hal ini menyebabkan rendahnya molekul air dari protein, menurunnya daya larut dan menyebabkan presipitasi protein (Harlow & Lane 1988). Hasil purifikasi dengan Fast Purification Liquid Chromatography yang dikoleksi adalah fraksi dengan puncak tertinggi dan teruncing karena pada posisi tersebut protein yang dipurifikasi adalah yang paling murni. Protein yang dikoleksi adalah fraksi 3, 4, dan 5. Hasil ekstraksi IgY-Ss yang telah dipurifikasi (Gambar 9) memiliki konsentrasi sebesar 3,1 mg/ml (fraksi 3), 4,3 mg/ml (fraksi 4), dan 4,46 mg/ml (fraksi 5). Hasil purifikasi ini kemudian di analisa profil pita proteinnya menggunakan SDS-PAGE. IgY-Ss hasil purifikasi menunjukkan satu profil pita protein yaitu molekul 180 kda (Gambar 10). Tidak adanya pita protein lain menunjukkan kemurnian hasil purifikasi IgY-Ss. Sementara itu serum ayam positif antibodi S. sobrinus selain terdapat pita protein dengan berat molekul 180 kda, juga menunjukkan pita protein serum albumin pada 66,2 kda. Raj (2004) menyatakan bahwa IgY memiliki berat molekul 180 kda, dengan rantai berat 60 kda dan rantai ringan 25 kda. 26
Gambar 9 Kromatogram Hasil Purifikasi IgY-Ss kda 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 200 IgY-Ss 180 kda 97,4 66,2 45 31 21,5 Gambar 10 Profil Pita Protein IgY-Ss, (1) Marker umum (BioRad), (2) IgY standar non imun (Promega), (3,4) IgY non imun, (5,6,7) Serum ayam positif antibodi S. sobrinus, (8, 9, 10) IgY-Ss hasil purifikasi 27
4.4 Aktifitas biologis Ig Y-Ss Preinkubasi 100 µg IgY-Ss dapat menurunkan nilai adhesi pada sel epitel pipi (Gambar 11 dan Tabel 5). Rataan nilai adhesi tanpa preinkubasi adalah 39,9 sel bakteri/ sel epitel pipi, sementara rataan nilai adhesi dengan preinkubasi 100 µg IgY- Ss adalah 30,7 sel bakteri/sel epitel pipi. Hasil analisa statistik dengan uji t pada taraf nyata α = 0,05 menunjukkan bahwa pemberian IgY secara signifikan dapat menurunkan adhesi bakteri pada sel epitel pipi (t hitung > t tabel). Tabel 5 Nilai Rataan, Simpangan Baku, dan Nilai t Assay Adhesi S. Sobrinus Simpangan baku Perlakuan Nilai rataan Nilai t (s) Tanpa IgY 39,9 t hitung = 6,1 5,55 IgY 100 µg 30,7 (t tabel = 1,31) Nilai Adhesi S. sobrinus Jumlah sel bakteri 40 30 20 10 0 39.9 30.7 Tanpa IgY IgY 100 µg Gambar 11 Nilai Adhesi S. sobrinus pada Sel Epitel Pipi Tanpa dan Dengan Preinkubasi IgY-Ss Peran IgY-Ss sebagai anti adhesi (Gambar 12) diduga karena kemampuannya untuk berikatan dengan molekul adhesi dari bakteri MS sehingga mencegah perlekatan (yang merupakan proses awal kolonisasi) pada permukaan gigi. Selain itu IgY-Ss dapat mengagregat S. sobrinus sehingga mengurangi kemampuan adhesinya (Jiang et al. 2004). Antibodi spesifik dapat mempresipitasi, mengaglutinasi, dan menetralisasi antigen (Baratawidjaja 2006). 28
GTF Protein pengikat glukan Molekul adhesi Reseptor saliva Sukrosa Glukan IgY Permukaan gigi Gambar 12 Peran IgY-Ss sebagai Anti Adhesi pada Permukaan Gigi (Smith 2003) b a Gambar 13 Proses Adhesi Streptococcus Sobrinus pada Sel Epitel Pipi, (a) inti sel epitel pipi, (b) sitoplasma sel epitel pipi, ( ) bakteri S. sobrinus. Adhesi bakteri pada permukaan gigi merupakan langkah penting dalam kejadian karies, sehingga intervensi pada kolonisasi mutan streptococcus dapat mencegah karies. Proses adhesi S. sobrinus pada sel epitel pipi akan ditunjukkan pada Gambar 13. Raamsdonk et al. (1995) menginformasikan bahwa imunisasi pasif 29
dengan antibodi poliklonal atau monoklonal dapat mengurangi kolonisasi mutan streptococcus karena adanya serangan dari antibodi ini mempengaruhi gerakan bakteri selama langkah awal adhesi. Beberapa penelitian yang lain juga menunjukkan fenomena yang sama yaitu, IgY mampu mengurangi adhesi bakteri Helicobacter pylori pada sel AGS (Shin et al. 2002) dan EPEC K1.1 pada sel Hep-2. Opsonisasi bakteri S.sobrinus dengan 100 µg IgY-Ss dapat meningkatkan kapasitas fagositosis. Rataan kapasitas fagositosis tanpa opsonisasi adalah 1, 6 sel bakteri/makrofag, sedangkan rataan kapasitas fagositosis dengan opsonisasi adalah 5,18 sel bakteri/makrofag. Hasil analisa statistik dengan uji t pada taraf nyata α = 0,05 menunjukkan bahwa opsonisasi dengan IgY secara signifikan dapat meningkatkan kapasitas fagositosis makrofag (t hitung > t tabel). Opsonisasi S. sobrinus dengan IgY-Ss bertujuan untuk melapisi permukaan S. sobrinus agar mudah difagositosis. Proses opsonisasi dapat meningkatkan hirofobisitas serta mengagregasi S. sobrinus sehingga bakteri lebih mudah untuk difagosit dalam jumlah banyak. Tsuda (2000) menyatakan bahwa hidrofobisitas yang semakin baik akan mempermudah proses fagositosis. Hal ini didukung juga oleh pernyataan Raamsdonk et al. (1995) bahwa preinkubasi S. sobrinus dengan antibodi poliklonal dapat meningkatkan hidrofobisitas bakteri sehingga bakteri lebih mudah untuk difagosit. Bakteri gram positif seperti mutan streptococcus memiliki dinding sel yang terbuat dari peptidoglikan dan lipoteichoic acid (LTA), LTA inilah yang bertanggung jawab terhadap hidrofobisitas bakteri (Tsuda 2000). Walaupun opsonisasi meningkatkan kapasitas fagositosis tetapi proses ini tidak berpengaruh pada aktifitas fagositosis. Hal ini dapat terjadi karena IgY tidak berikatan dengan reseptor Fc bakteri pada makrofag mamalia. Kapasitas dan aktifitas fagositosis ditunjukkan melalui Gambar 14 dan Tabel 6. Fenomena yang sama juga pernah dilaporkan oleh Utama et al. (2000) bahwa opsonisasi S. equi subsp. zooepidemicus dengan leukosit polimorf babi hanya meningkatkan kapasitas fagositosis namun tidak berpengaruh pada aktifitas fagositosis. Proses fagositosis ditunjukkan pada Gambar 15. 30
14 12 10 8 6 4 2 0 12 8.18 5.18 1.6 Tanpa IgY IgY 100 µg Aktifitas fagositosis (%) Kapasitas fagositosis (sel bakteri/ makrofag) Gambar 14 Nilai Aktifitas dan Kapasitas Fagositosis Makrofag Tanpa dan Dengan Preinkubasi Igy-Ss Tabel 6 Nilai Rataan, Simpangan Baku, dan Nilai t Kapasitas Makrofag Simpangan baku Perlakuan Nilai rataan Nilai t (s) Tanpa IgY 1,6 t hitung = 25 1,25 IgY 100 µg 5,18 (t tabel = 1,31) a b Gambar 15 Proses Fagositosis S. sobrinus oleh Makrofag, (a) sitoplasma makrofag, (b) bakteri yang terfagosit 31