HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Fase Pradewasa Telur Secara umum bentuk dan ukuran pradewasa Opius sp. yang diamati dalam penelitian ini hampir sama dengan yang diperikan oleh Bordat et al. (1995) pada 0. dissitus. Berdasarkan pembedahan inang didapatkan bahwa telur Opius sp. berbentuk lonjong, dengan salah satu bagian ujungnya sedikit lebih membesar dibandingkan ujung yang lain. Bentuk telur yang demikian tergolong tipe himenopteriforma (Hagen 1973). Telur berukuran panjang 0,26 f 0,03 mm (Tabel l), dan berwarna bening transparan (Gambar 3). Telur mengalami pertumbuhan dan perkembangan setelah diletakkan dalam inang. Dalam ha1 ini sesuai dengan keterangan Clausen (1940) bahwa pertumbuhan telur terutama dapat terjadi pada endoparasitoid Famili Braconidae. Telur Opius sp. pada hari ke dua mengalami pertumbuhan dan perkembangan dengan pertambahan panjang 1,5 kali (0,26 + 0,03 : 0,39 + 0,03) dan penambahan lebar 1,7 kali (0,lO + 0,Ol: 0,17 + 0,Ol) di bandingkan hari pertama telur diletakkan (Lampiran 1). Tabel 1. Ukuran dan masa perkembangan pradewasa Opius sp. Fase perkembangan Panjang - (mm) Masa perkembangan - (hari) x+sd x+sd Telur 0,26 f 0,03 2,OO f 0,OO Larva (instar- 1) 0,61 f 0,02 1,33 + 0,48 Larva (instar -2 s/d -4) 1,55 f 0,15 4,33 f 0,75 Pupa 1,62 f 0,17 5,93 + 0,59
Gambar 3. Telur Opius sp. pada hari pertama diletakkan Lawa Larva instar-1 transparan dan bersifat motil. Bagian kepala tersklerotisasi dengan baik dan dalam rongga mulut terlihat jelas adanya sepasang mandibel. Bagian kepala ini tampak jelas berbeda dengan bagian abdomen. Ruas-ruas abdomen tampak jelas, dengan ruas terakhir menyempit menyerupai ekor (Gambar 4). Bentuk larva yang demikian tergolong tipe kaudata (Hagen 1973). Larva instar-1 berukuran panjang 0,61 rt 0,02 mm, dan masa perkembangannya 1,33 + 0,48 hari. Instar berikutnya memiliki bentuk yang sangat berbeda dengan instar-1. Bagian kepala kecil dan tidak tampak jelas, serta pada ujung abdomen tidak terdapat kauda. Secara umum larva instar lanjut benvarna putih susu (Gambar 5). Pengamatan pada hari ke-5 setelah telur diletakkan, larva berukuran panjang 1,55 + 0,15 mm. Dalam penelitian ini tidak dapat ditentukan secara pasti banyaknya instar larva. Namun, diperkirakan terdiri dari empat instar seperti yang terjadi
pada 0. melleus (Lathrop & Newton 1933). Masa perkembangan larva lanjut (instar-2 s/d -4) berlangsung selama 4,33 + 0,75 hari. 23 Gambar 4. Larva instar-1 Opius sp Gambar 5. Larva instar akhir Opius sp. Pupa Pupa berukuran panjang 1,62 + 0,17 mm. Sebelum membentuk tubuh I larva mengkerut dan diikuti dengan munculnya tonjolan pada bagian 1
dan toraks yang merupakan bakal embelan tubuh parasitoid. Mula-mula pupa benvarna kuning, kemudian berubah menjadi kuning kecoklatan. Setelah pupa terbentuk sempurna, warna tubuh berubah menjadi coklat kehitaman (Gambar 6). Masa perkembangan pupa berlangsung 5,93 f 0,59 hari. Dengan demikian, waktu yang diperlukan sejak telur diletakkan hingga imago parasitoid muncul sekitar 1339 hari. 24 Gambar 6. Pupa Opius sp. Masa Hidup Imago dan Keperidian Imago parasitoid keluar dengan cara merobek puparium inang. Rataan ukuran panjang imago jantan (Gambar 7) dan betina (Gambar 8) berturut-turut adalah 1,72 + 0,13 mm dan 1,80 + O,11 mm. Dengan bantuan mikroskop, imago betina dapat dibedakan dari jantan dengan adanya ovipositor (0,20 rt 0,01 mm) yang mencuat dari ujung abdomen.
Gambar 7. Imago jantan Opius sp. Gambar 8. Imago betina Opius sp. Kepala, mesosoma dan metasoma bewarna hitam. Pada bagian kepala terdapat antena bewarna hitam kecuali pada bagian pangkal ruas pertama flagelum yang bewarna kuning kecoklatan. Maksila bewarna kuning kecoklatan. Antena imago jantan terdiri dari 23 ruas sedangkan antena betina terdiri dari 25 ruas dengan tipe antena filiforma.
Tungkai bewarna kuning kecoklatan namun pada bagian tarsus warnanya sedikit lebih gelap. Sayap mempunyai ciri tidak mempunyai costa dan vena 2mcu. Bagian metasoma terdiri dari 7 ruas dengan ruas tergum 2 dan 3 menyatu. Imago jantan umumnya muncul lebih awal dari pada imago betina. Pengamatan tambahan terhadap sekelompok telur yang diletakkan pada hari yang sama menunjukkan bahwa dari 28 ekor imago yang muncul pada hari pertama, sebanyak 85,71 % adalah jantan dan sisanya betina (Gambar 9). Hal ini sejalan pula dengan data masa perkembangan pradewasa jantan yang lebih singkat seperti disajikan pada Tabel 5 di akhir tulisan. -e- Jantan -+ Betina 50-13 14 15 16 17 18 Pengamatan hari ke Gambar 9. Pola pemunculan imago jantan dan betina Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara masa hidup imago jantan (13,90 + 6,37 hari) dengan betina (10,80 + 4,24 hari) (t = -1,28; db = 18; P = 0,216). Masa praoviposisi berlangsung 0-3 hari dengan rataan 0,70 hari. Masa oviposisi berlangsung antara 4-17 hari dengan rataan 9,30 + 4,22 hari (Tabel 2).
Keperidian berkisar antara 49-187 dengan rataan 109,20 + 51,35 butir, dan laju peletakan telur adalah 11,78 + 1,75 butir per hari. Tabel 2. Keperidian dan masa peneluran Opius sp. la+:,- Banyaknya telur yang diletakkan Masa peneluran Laju peneluran (butir) (hari) (butir 1 hari) Rataan: 109,20 It 51,35 9,30 It 4,22 1 1,78 + 1,75 Berdasarkan kohor (10 betina), proporsi individu yang bertahan hidup (I,) menurun tajarn sejak imago berumur 6 hari (Gambar 10, Lampiran 2). Kurva 1, yang mendatar pada selang usia 11-16 hari disebabkan oleh adanya tiga individu betina yang mampu hidup lebih lama. Banyaknya telur yang diletakkan per induk (m,) meningkat pada saat imago berusia 3 dan 4 hari, dan setelah itu menurun. Kurva m, meningkat lagi pada hari ke-12 dan 14, karena ketiga imago tadi masih menghasilkan telur yang cukup banyak yakni12-18 butir.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Umur imago (hari) Gambar 10. Kurva sintasan dan keperidian betina Opius sp. Banyaknya Keturunan dan Nisbah Kelamin Banyaknya imago keturunan yang dihasilkan per induk betina parasitoid berkisar antara 67-182 dengan rataan 113,O + 43,06 ekor (Tabel 3). Nilai ini tidak berbeda nyata dengan nilai rataan banyaknya telur yang diletakkan (109,2) seperti yang tercantum pada Tabel 2 sebelumnya (t = -0,18; db = 18; P = 0,860). Hal ini mengisyaratkan bahwa pada keadaan inang berlimpah tidak terjadi superparasitisme, banyaknya imago keturunan yang dihasilkan dapat digunakan untuk menduga tingkat keperidian parasitoid. Superparasitisme terjadi pada keadaan jumlah inang yang tidak mencukupi untuk diparasit (Godfray 1994). Untuk menghindari terjadinya superparasitisme pada percobaan ini digunakan jumlah inang yang berlimpah. Hasil pengamatan terhadap larva terparasit pada kurungan pembiakan di insektari, terdapat superparasitisme pada Opius sp. Dari pembedahan larva terparasit ditemukan
jumlah larva parasitoid instar -1 sebanyak 2-4 larva per inang, bahkan ditemukan juga 11 larva per inang. Tabel 3. Banyaknya keturunan dan nisbah kelamin Opius sp. Betina Banyaknya imago keturunan yang dihasilkan Nisbah kelamin (% jantan) Rataan: 1 13,OO + 43,06 26,53 + 12,27 Nisbah kelarnin, yang dinyatakan dengan persentase jantan, berkisar antara 11,94-45,86% dengan rataan 26,53 f 12,27%, dan berbeda nyata dengan nisbah teoritis 1:l (t = -6,lO; P < 0,001). Nisbah kelamin yang bias betina pada Hymenoptera juga dilaporkan oleh beberapa peneliti lain (Wylie 1976, Donaldson & Walter 1984, Mazanec 1988), sebagai akibat sistem reproduksi arenotoki pada betina yang kawin (Crozier 1977). Pada pola reproduksi tadi, telur berkembang secara partenogenetik atau zigogenetik tergantung pada terjadi atau tidaknya pembuahan. Alokasi jenis kelamin pada tiap individu keturunannya dipengaruhi oleh kondisi inang (Flanders 1946). Dalam penelitian ini digunakan larva instar-3 dengan jumlah yang berlimpah. Kondisi optimal yang demikian dapat mendukung
parasitoid untuk mengalokasikan lebih banyak jenis kelamin betina pada keturunannya (Charnov & Skinner 1985). 30 Preferensi Terhadap Instar Larva Pemilihan inang seperti ditunjukkan oleh banyaknya telur yang diletakkan dipengaruhi oleh fase perkembangan inang. Banyaknya telur yang diletakkan oleh betina Opius sp. secara nyata lebih tinggi pada larva instar-3 (6,25 butir) dibandingkan pada instar-2 (1,63 butir), sedangkan pada larva instar-1 sama sekali tidak ditemukan telur parasitoid (Tabel 4) (F = 37,20; db = 2, 21; P < 0,001). Perbedaan preferensi peletakan telur ini dapat disebabkan oleh perbedaan stimulus fisik yang dihasilkan oleh setiap instar inang. Beberapa penelitian membuktikan peranan stimulus vibrasi yang dihasilkan oleh larva pengorok daun dalam penemuan inang oleh parasitoid (Meyhofer et al. 1994, Casas et al. 1998). Dilaporkan bahwa rendahnya vibrasi yang dihasilkan oleh larva pengorok daun Phytonzyza ranunculi Schrank (Diptera: Agromyzidae) yang berukuran kecil menyebabkan inang lebih sulit ditemukan oleh parasitoid Kratochviliana sp. (Hymenoptera: Eulophidae) (Sugimoto 1977). Selain itu, secara visual ukuran korokan yang besar dari larva instar-3 diduga lebih mudah dijumpai oleh parasitoid daripada korokan yang kecil (Petitt & Wietlisbach 1993). Stimulus kimia juga dilaporkan berperanan dalam penemuan inang. Parasitoid 0. dissitus lebih tertarik pada tanaman kacang yang terinfestasi L. sativae Blanchard dari pada yang tidak (Petitt et al. 1992). Preferensi Opius sp. terhadap instar lanjut L. huidobrensis diduga berhubungan dengan konsentrasi kairomon yang lebih tinggi.
Tabel 4. Rataan banyaknya telur parasitoid yang diletakkan pada tiga instar inang Instar larva Rataan banyaknya telur yang diletakkan (butir) 1 0,00 a Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (DMRT, a = 0,05); data ditransfonnasi dengan V (x+0,5) sebelum dilakukan analisis Perilaku pencarian inang imago parasitoid Opius sp. yang diinokulasikan ke dalam kurungan percobaan yang berisi inang larva instar-1, instar -2 dan instar -3 yang berada dalam korokan daun kacang, mula-mula parasitoid terbang ke dinding kurungan. Parasitoid berjalan pada dinding kurungan sambil mengerakgerakan antenanya, dan suatu waktu berhenti lalu menekukkan abdomennya ke dinding kurungan. Kemudian parasitoid mengisap cairan madu yang dioleskan pada dinding kurungan. Sesaat kemudian, parasitoid terbang menuju daun tempat inang berada dan mulai melakukan pencarian inang. Setelah menetap pada daun tanaman, parasitoid mulai bergerak secara acak mengelilingi daun dari bagian atas sampai ke bagian bawah sambil menyentuhkan antena pada permukaan daun tanaman dan sesekali parasitoid menekukkan abdomennya pada permukaan daun tanaman sampai parasitoid menemukan inangnya. Antena sangat berperan sekali bagi parasitoid sebagai indera pendeteksi dalam pencarian inang. Menurut Susanto (1985) pemotongan antena pada Inareolata sp. (Hymenoptera: Ichneumonidae) parasitoid larva Crocidolomiu binotalis Zell menyebabkan kegagalan parasitoid dalam pencarian inang. Intensitas sentuhan antena pada permukaan daun meningkat pada saat parasitoid menemukan korokan inang. Selanjutnya parasitoid melakukan
pemeriksaan korokan inang dengan menelusuri korokan dan sesekali menusukkan ovipositornya ke dalam korokan secara singkat. Pada saat inang telah ditemukan, parasi'toid bergerak mengitari inang untuk melakukan pemeriksaan apakah inang diterima atau tidak. Penerimaan inang ditentukan oleh faktor fisik inang seperti ukuran dan getaran yang dihasilkan oleh pergerakan inang (Arthur, 1981). Setelah parasitoid merasa inang ini telah dapat diterima untuk diletaki telur, parasitoid menekukkan abdomennya ke arah inang dan dilanjutkan dengan penusukan ovipositor selanjutnya peletakan telur ke dalam tubuh inang. Proses parasitisasi ini berlangsung lebih kurang 30 detik dan parasitoid berada dalam keadaan diam tanpa bergerak sama sekali. Setelah meletakkan telur pertama, parasitoid mulai lagi mencari inang selanjutnya untuk meletakkan telur berikutnya. Setelah parasitoid memarasit beberapa inang, parasitoid terbang ke dinding kurungan untuk melakukan pengisapan cairan madu untuk mendapatkan tambahan energi bagi proses pencarian inang selanjutnya. Pengalaman parasitoid dalam proses pencarian inang berikutnya lebih singkat dari sebelumnya. Pengaruh Instar Inang Instar hang berpengaruh nyata terhadap masa perkembangan pradewasa parasitoid (Tabel 5). Pada inang instar-3 masa perkembangan pradewasa betina parasitoid paling singkat (14,78 hari), disusul kemudian pada instar-2 (15,65 hari), dan terlama pada instar-1 (16,69 hari) (F = 153,78; db = 2, 11; P = < 0,001). Hal yang hampir sama ditunjukkan pula oleh pradewasa jantan, masa perkembangannya lebih singkat pada inang instar-3 dan -2 (14,08 dan 14,83 hari)
dan berbeda nyata dengan pada instar-1 (16,37 hari) ( F = 14,89; db = 2, 9; P = Pada percobaan tanpa-pilihan, semua instar -dapat dipilih sebagai inang yang ditunjukkan oleh kemunculan imago parasitoid dari setiap instar larva inang. Tidak terdapat perbedaan nyata di antara banyaknya imago parasitoid yang muncul dari ketiga instar inang (F = 1,75; db = 2, 12; P = 0,2153). Walaupun demikian, inang larva instar-3 menghasilkan keturunan parasitoid yang paling banyak (12,40 ekor) (Tabel 5). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Petitt dan Wietlisbach (1993) tentang 0. dissitus pada inang L. sativae mendapatkan masa perkembangan pradewasa parasitoid lebih singkat dan keturunan yang dihasilkan lebih banyak pada inang larva instar lanjut. Tabel 5. Masa perkembangan pradewasa, banyaknya keturunan dan nisbah kelamin Opius sp. yang dipelihara pada tiga instar larva L. huidobrensis Instar Masa perkembangan Banyaknya keturunan Nisbah kelamin Inang pradewasa (hari) parasitoid yang muncul (% jantan) Betina Jantan (ekor) 1 16,69 a 16,37 a 9,60 a 59,29 a 2 15,65 b 14,83 b 9,60 a 21,66 a 3 14,78 c 14,08 b 12,40 a 16,34 a Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (DMRT, a = 0,05) Nisbah kelamin keturunan yang berasal dari induk yang kawin sangat bervariasi dari 100 % betina hingga 83,3 % jantan. Nisbah kelamin parasitoid yang keluar dari inang instar-1 sekitar 2-3 kali lipat dibandingkan yang keluar dari instar-2 dan -3 (Tabel 5). Walaupun demikian, perbedaan tadi secara statistik tidak nyata (F = 3,43; db = 2, 9; P = 0,0780). Pengaruh perbedaan instar inang terhadap alokasi jenis kelamin dalam penelitian ini sepatutnya dipandang sebagai
studi pendahuluan, khususnya karena jumlah ulangan yang sangat terbatas dan masa peneluran yang terbatas pula (24 jam). Peluang Pemanfaatan Opius sp. dalam Pengendalian Hayati Liriomyza spp. Opius sp. merupakan salah satu parasitoid yang dominan ditemukan pada areal pertanaman kentang yang diserang oleh lalat pengorok daun Liriomyza spp. Pengamatan biologi yang dilakukan terhadap Opius sp. dengan menggunakan inang larva L. huidobremis telah memperlihatkan potensi besar dari Opius sp. dalam penggunaan parasitoid ini untuk mengendalikan lalat pengorok daun di lapangan. Menurut DeBach (1973) ciri-ciri parasitoid yang efektif adalah: a) daya mencari inang yang tinggi, b) spesifik terhadap inang, c) daya berketnbang biak yang tinggi, d) kisaran toleransi terhadap lingkungan yang lebar serta kemampuan memarasit terhadap berbagai instar inang dan f) dapat dikembangbiakan di laboratorium secara ekonomis. Siklus hidup Opius sp. yang pendek (14,29 hari ) tidak jauh berbeda dengan siklus hidup inangnya yakni L. huidobrensis (28,31 hari), sehingga parasitoid dapat menjaga keseimbangan populasi inangnya di lapangan. Melihat potensi Opius sp. yang baik dengan keperidian yang tinggi (109,20 butir),dan nisbah kelamin keturunan yang bias betina (73,47 %), memberinya peluang parasitoid ini untuk dikembangkan sebagai agens pengendali lalat pengorok daun. Opitls sp. dapat memarasit larva instar -1, -2 dan -3 lalat pengorok daun sehingga inang dapat dikendalikan lebih awal dan larva tidak berkembang menjadi imago. Populasi lalat pengorok daun pada musim selanjutnya akan berkurang
35 sehingga kerugian yang ditimbulkan oleh serangan hama ini dapat ditekan sampai batas ambang ekonomi. Perbanyakan parasitoid secara massal di laboratorium merupakan kendala besar dalam pemanfaatan parasitoid untuk pengendalian hayati. Namun permasalahan ini tidak menjadi kendala bagi Opius sp. karena parasitoid ini sudah bisa dibiakkan secara massal di laboratorium dengan menggunakan tanaman kacang merah sebagai tanaman inang bagi lalat pengorok daun dan larva instar -3 untuk perbanyakan Opius sp. Keberhasilan ini telah menjaga kelimpahan populasi Opius sp. di laboratorium sehingga ketersedian populasi Opius sp. untuk pengendalian hayati baik secara augmentasi maupun introduksi tersedia secara terus menerus.