Penyakit periodontitis merupakan salah satu masalah yang banyak. dijumpai baik di negara berkembang, sedang berkembang, dan bahkan di negara

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu indikator status kesehatan masyarakat. Kesepakatan global Millenium

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PERBANDINGAN KADAR VITAMIN D DARAH PENDERITA MIOPIA DAN NON MIOPIA

BAB I PENDAHULUAN. zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang disebabkan oleh infeksi bakteri (Lee dkk., 2012). Periodontitis kronis sering

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronis telah terjadi di Indonesia seiring dengan kemajuan teknologi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia penyakit periodontal menduduki urutan kedua yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN 3,4

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 10-15%

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat saat ini dan termasuk ke dalam global emergency. TB adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Teknik radiografi yang digunakan dalam bidang kedokteran gigi ada dua yaitu teknik intraoral dan ekstraoral.

BAB 1 PENDAHULUAN. pada kesehatan umum dan kualitas hidup (WHO, 2012). Kesehatan gigi dan mulut

BAB 2 DAMPAK MEROKOK TERHADAP PERIODONSIUM. penyakit periodontal. Zat dalam asap rokok seperti; nikotin, tar, karbon monoksida

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang hidup dengan perilaku dan lingkungan sehat,

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kesehatan dan mempunyai faktor risiko terjadinya beberapa jenis

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menopause merupakan bagian dari siklus kehidupan alami yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik. Kesehatan ibu harus benar-benar dijaga agar janin yang dikandungnya sehat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyangga gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme spesifik, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit periodontal merupakan penyakit yang terjadi pada jaringan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi akibat akumulasi bakteri plak. Gingivitis dan periodontitis merupakan dua jenis

BAB I PENDAHULUAN. sehat secara jasmani dan rohani. Tidak terkecuali anak-anak, setiap orang tua

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit tidak menular banyak ditemukan pada usia lanjut (Bustan, 1997).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendalaman sulkus gingiva ini bisa terjadi oleh karena pergerakan margin gingiva

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau berkurangnya respon terhadap reseptor insulin pada organ target. Penyakit ini dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Koloni bakteri pada plak gigi merupakan faktor lokal yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam perkembangan kesehatan anak, salah satunya disebabkan oleh rentannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. National Health and Nutrition Examination Survey III (NHANES III) yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan. penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

Vitamin D and diabetes

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang, yang memiliki kasus TB terbanyak. Negara-negara ini menyumbangkan

BAB I PENDAHULUAN. cepat di masa yang akan datang terutama di negara-negara berkembang, seperti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit tertinggi ke enam yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lunak dan tulang penyangga gigi dengan prevalensi dan intensitas yang masih

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi kualitas hidup serta produktivitas seseorang. Penyakit penyakit

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Keberadaan penyakit-penyakit ini seringkali diabaikan oleh masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. secara keseluruhan karena dapat mempengaruhi kualitas kehidupan termasuk

BAB I PENDAHULUAN. jenis. Kehamilan merupakan keadaan fisiologis wanita yang diikuti dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stroke menurut World Health Organization (WHO) (1988) seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. Usia harapan hidup perempuan Indonesia semakin meningkat dari waktu ke

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dari tanggal 13 November sampai. 4 Desember 2008 di Yayasan Lupus Indonesia (YLI).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2006). Kanker leher kepala telah tercatat sebanyak 10% dari kanker ganas di

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu masalah gizi yang paling umum di Amerika merupakan faktor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. upaya mencapai derajat kesehatan yang optimal (Berg, 1986). Adanya perbedaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Data

PERIODONTITIS Definisi Periodontitis merupakan penyakit inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kebutaan dan gangguan penglihatan merupakan masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan mulut yang buruk memiliki dampak negatif terhadap tampilan wajah,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlalunya waktu dan dapat meningkatkan resiko terserang penyakit degeneratif

BAB I PENDAHULUAN. setiap proses kehidupan manusia agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan migrasi epitel jungsional ke arah apikal, kehilangan perlekatan tulang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab terbesar kehilangan gigi di usia 30 tahun. (Situmorang,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, ketidakseimbangan antara suplai dan

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

I. PENDAHULUAN. adekuat untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal (Dipiro et al, 2005;

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tanda gangguan metabolisme lipid (dislipidemia). Konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. semua orang tidak mengenal usia, golongan dan jenis kelamin. Orang yang sehat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rahim. Tidak ada metode kontrasepsi yang efektif secara menyeluruh, namun ada

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perdarahan disertai pembengkakan, kemerahan, eksudat,

BAB 1 PENDAHULUAN. 2011, prevalensi karies di wilayah Asia Selatan-Timur mencapai 75-90% pada anakanak

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun terus meningkat, data terakhir dari World Health Organization (WHO)

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (Rencana Kegiatan Belajar Mengajar)

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan rongga mulut merupakan komponen esensial dari kesehatan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia. Menurut WHO tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus telah menjadi masalah kesehatan di dunia. Insidens dan

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB I PENDAHULUAN. Triple Burden Disease, yaitu suatu keadaan dimana : 2. Peningkatan kasus Penyakit Tidak Menular (PTM), yang merupakan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya patah tulang. Selama ini osteoporosis indentik dengan orang tua tapi

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. anatomi dan hormonal. Efek perubahan hormonal akan mempengaruhi hampir semua

BAB 5 PEMBAHASAN. Penelitian telah dilakukan pada 40 pasien epilepsi yang menjalani monoterapi

BAB I PENDAHULUAN. adalah kesejahteraan rakyat yang terus meningkat dan ditunjukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. ortodontik berdasarkan kebutuhan fungsional dan estetik. Penggunaan alat

2 Penyakit asam urat diperkirakan terjadi pada 840 orang dari setiap orang. Prevalensi penyakit asam urat di Indonesia terjadi pada usia di ba

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1

BAB I PENDAHULUAN. mengkonsumsi suplemen secara teratur 2. Sementara itu, lebih dari setengah

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat serius saat ini adalah hipertensi yang disebut sebagai the silent killer.

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan gejala yang semakin memprihatinkan. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. orang yang memiliki kebiasaan merokok. Walaupun masalah. tahun ke tahun. World Health Organization (WHO) memprediksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit periodontitis merupakan salah satu masalah yang banyak dijumpai baik di negara berkembang, sedang berkembang, dan bahkan di negara maju, yang jumlahnya mencapai 24,5 % sampai 79,6 % dari populasi (Pei dkk., 2015). Umumnya kasus periodontitis paling banyak dijumpai antara usia 30 sampai 40 tahun (Holtfreter dkk., 2015). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 masalah gigi dan mulut termasuk masalah penyakit periodontal dalam 12 bulan terakhir jumlahnya mencapai 25,9 % penduduk Indonesia dan 31,1 % diantaranya yang mendapat perawatan dan pengobatan dari tenaga medis gigi, sementara 68,9 % lainnya tidak dilakukan perawatan. Propinsi Sumatera Utara tercatat sebagai daerah dengan proporsi penduduk yang memiliki masalah gigi dan mulut mencapai 19,4 % (RISKESDAS, 2013). Periodontitis kronis merupakan penyakit inflamasi di jaringan penyangga gigi yang dapat menyebabkan tanggalnya gigi jika tidak dirawat (Novak, 2012). Karakteristik periodontitis antara lain inflamasi (umumnya kelanjutan dari gingivitis), resesi gingiva, destruksi jaringan ikat dan serat ligamen periodontal, hilangnya perlekatan gigi terhadap periodonsium, pembentukan poket periodontal di sekeliling gigi, dan resorpsi tulang alveolar (Banjar dkk., 2014). Destruksi jaringan periodontal yang terjadi disebabkan oleh hadirnya bakteri periodontopatogen yang dapat memicu respon inflamasi dan respon tubuh sehingga menimbulkan terjadinya keparahan periodontitis. (Graves dkk., 2011). Selain akibat invasi bakteri, faktor lain yang dapat memperparah kondisi periodontitis kronis antara lain adanya faktor defisiensi vitamin D (Tanjaya dkk.,

2011). Akhir-akhir ini, prevalensi defisiensi vitamin D di negara berkembang dan negara yang sedang berkembang terjadi sekitar 30 % - 80 % pada seluruh populasi di seluruh dunia (Holick, 2007). Berdasarkan National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 2001-2006 di negara Amerika, sebanyak 29 % laki-laki dan 34 % perempuan memiliki kadar 25(OH)D yang rendah (< 20 ng/ml). Faktor risiko utama mengalami defisiensi vitamin D adalah lingkungan, cuaca, diet, sedangkan kegemukan (obese), ibu hamil, perempuan berkerudung, pekerja malam tidak berpengaruh banyak (Mithal dkk., 2009). Defisiensi vitamin D di negara asia hampir seluruhnya terjadi, baik di Asia Selatan maupun di negara Asia Tenggara (Nimitphong dan Holick, 2013). Sebanyak 69 % - 82 % populasi di negara Asia Selatan misalnya di India mengalami defisiensi vitamin D (vitamin D < 20 ng/ml) (Harinarayan dkk., 2004). Beberapa negara di Asia Tenggara antara lain di negara Malaysia dilaporkan bahwa rata-rata kadar vitamin D perempuan usia dewasa (43-53 tahun) adalah rendah (14,4 + 5,2 ng/ml) sedangkan laki-laki adalah cukup (22,4 + 7,6 ng/ml) (Moy dan Bulgiba, 2011), di negara Vietnam rata-rata kadar vitamin D perempuan usia produktif (30-33 tahun) adalah rendah (18 ng/ml) (Lailou dkk., 2013), dan di negara Korea dilaporkan bahwa prevalensi defisiensi vitamin D pada laki-laki usia 23-61 tahun sebanyak 47,3 % (21 + 7,5 ng/ml) sedangkan perempuan sebanyak 64,5 % (18,2 + 7,1 ng/ml) (Choi, 2013). Hal ini berarti defisiensi vitamin D juga dapat ditemukan di negara tropis Indonesia adalah salah satu negara tropis yang sepanjang tahun disinari matahari. Sayangnya masih banyak penduduk Indonesia yang kurang memanfaatkannya, terutama yang tinggal di kota besar. Sampai saat ini penelitian

tentang prevalensi defisiensi vitamin D di Indonesia pada usia dewasa laki-laki dan perempuan masih jarang dilakukan dan umumnya hasilnya menunjukkan kadar vitamin D masih rendah. Penelitian Oemardi (2007) yang dilakukan di kota Jakarta dilaporkan sebanyak 50 % perempuan usia 45-55 tahun mengalami defisiensi vitamin D dan Setiati (2008) melaporkan sebanyak 35,1 % perempuan usia 60-75 tahun di kota Jakarta mengalami defisiensi vitamin D. Penelitian Briawan dkk. (2014) terhadap pekerja perempuan pabrik di kota Bogor dilaporkan bahwa sebanyak 57,6 % mengalami ketidakcukupan vitamin D dengan rerata kadar vitamin D dalam tubuh sebesar 13,2 + 5,2 ng/ml. Penelitian yang dilakukan oleh Yosephin dkk., (2014) pada 504 perempuan usia subur (18-40 tahun) dilaporkan sebanyak 63 % mengalami defisiensi vitamin D dengan rata-rata konsentrasi serum 25(OH)D adalah 19,2 ng/ml. Penelitian Sari dan Rasyid (2013) yang mengukur kadar vitamin D penduduk perempuan obese di propinsi Sumatera Utara diperoleh kadar vitamin D rendah (18,8 + 7,2 ng/ml). Kebanyakan penduduk di Indonesia yang berdomisili di kota besar pergi beraktivitas sebelum matahari terbit, pulang beraktivitas setelah matahari terbenam, dan seharian penuh berada di ruang tertutup yang menggunakan pendingin ruangan (air conditioner). Selain itu cakupan vitamin D belum menjadi bagian dalam program riset kesehatan dasar rumah tangga sehingga luput dari perhatian nasional. Oleh sebab itu tidak dipungkiri penduduk Indonesia tak luput dari masalah defisiensi vitamin D (Setiati, 2008). Kejadian kekurangan vitamin D dapat diakibatkan oleh perubahan fungsi organ yang terlibat dalam proses sintesis 25(OH)D seperti kulit, hati, ginjal, dan usus. Selain itu gaya hidup yang cenderung menghindari sinar matahari, dan

rendahnya asupan makanan yang mengandung vitamin D (Ernawati, 2014). Upaya yang dapat dilakukan untuk defisiensi vitamin D antara lain memberikan suplemen vitamin D, dan terpapar sinar matahari, atau dengan diberi paparan sinar ultraviolet buatan (Setiati, 2008). Saat terjadi kekurangan vitamin D, hal ini akan menambah risiko terjadinya infeksi, sedangkan gejala spesifik yang menyertai kondisi kekurangan vitamin D hampir tidak ada (Anand dkk., 2013). Saat mengetahui status vitamin D seseorang (cukup, tidak cukup/insufisiensi, kurang/defisiensi, berlebih ataupun toksis) melalui pemeriksaan vitamin D [25(OH)D] total, maka kondisi kekurangan vitamin D yang merupakan suatu silent disease dapat segera diatasi (Hollick, 2007). Pemeriksaan vitamin D [25(OH)D] total penting untuk dilakukan terutama oleh individu dengan risiko tinggi kekurangan vitamin D, seperti orang yang mendapat sedikit paparan sinar matahari atau aktivitas lebih banyak dalam ruangan, berusia lanjut (60 tahun atau lebih), terapi osteoporosis, terbiasa menggunakan sun screen atau pakaian tertutup, obesitas, dan mengalami gangguan hati atau ginjal. Vitamin D dapat berperan sebagai antiinflamasi karena bertindak sebagai imunomodulator dengan melakukan imunosupresi atau menekan fungsi imun tubuh yang berlebihan (Bartley, 2010). Hal ini menunjukkan vitamin D dapat bermanfaat dalam terapi periodontitis kronis, karena bukan hanya berefek langsung pada metabolisme tulang tetapi juga karena berefek menghambat terlepasnya mediator proinflamasi yang berkontribusi dalam terjadinya destruksi periodontal (Amano, dkk., 2009). Oleh sebab itu vitamin D dapat dipertimbangkan sebagai bahan potensial (suplemen) yang memberi efek

menguntungkan bagi kesehatan periodontal dan menjadi akhir dari terapi periodontal (Bashutski dkk., 2013). Penelitian uji klinis yang dilakukan oleh Heaney dkk. (2003) pada laki-laki sehat yang diberi suplemen vitamin D antara 1000 IU, 5,000 IU, dan 10,000 IU perhari selama 20 minggu selama musim dingin dan terbatas paparan sinar matahari, dilaporkan bahwa terdapat perubahan yang signifikan pada pemberian 10,000 IU yang ditandai dengan bertambahnya jumlah serum vitamin D darah mencapai 85.2 ng/ml (n=10) dan 88 ng/ml (n = 16) dari rata-rata awal 28 ng/ml, dan diketahui pula bahwa serum kalsium tidak bertambah dan tidak menimbulkan efek samping di dalam tubuh. Meskipun demikian Heaney menyarankan untuk menggunakan vitamin D 3000-5,000 IU perhari selama musim panas sebagai dosis pemeliharaan untuk kadar serum vitamin D dalam darah yang tidak adekuat. Sofiani dkk., (2014) yang melakukan penelitian secara double blind randomized control trial dan memberikan suplemen vitamin D dosis 5,000 IU perhari selama 12 minggu kepada penderita Diabetes melitus tipe II diketahui terjadi pertambahan konsentrasi kadar serum vitamin D dalam tubuh yang semula < 20 ng/ml menjadi > 30 ng/ml. Namun pada penelitian Wagner dkk. (2013) yang memberikan suplemen vitamin D pada dosis 400 IU, 10,000 IU, dan 40,000 IU per oral setiap hari selama 2 (dua) minggu pada penderita kanker prostat dilaporkan bahwa hanya dosis 40,000 IU yang memberi efek peningkatan jumlah kadar serum vitamin D sedangkan dosis 400 IU dan 10,000 IU tidak berefek. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan status vitamin D terhadap kejadian periodontitis kronis dan mengetahui efek pemberian suplemen vitamin D pada penderita periodontitis kronis namun hasil penelitian

masih menunjukkan kontroversi. Penelitian Garcia dkk. (2011) di kota Saint Louis terhadap 51 orang subyek yang mendapat terapi pemeliharaan periodontal dan mendapat suplemen vitamin D 400 IU plus kalsium 1000 mg serta memiliki gigi dengan 2 sisi interproksimal atau lebih yang mengalami kehilangan perlekatan klinis sebesar > 3 mm, dilaporkan terdapat sedikit perubahan yang signifikan setelah pemberian vitamin D dalam beberapa indikator klinis antara lain poket periodontal menjadi lebih dangkal, gigi dengan area perdarahan gingiva lebih sedikit saat diprobing, serta kehilangan perlekatan klinis menjadi lebih kecil (less attachment loss). Pada penelitian Perayil dkk. (2015) yang melakukan pemberian suplemen vitamin D (250 IU) dan kalsium (500 mg) pada laki-laki dan perempuan usia 35-55 tahun yang menderita periodontitis kronis dilaporkan bahwa terdapat perubahan yang signifikan hanya pada indeks gingiva dan indeks kebersihan mulut (OHIs) setelah 3 bulan, sedangkan terhadap kedalaman poket periodontal dan kehilangan perlekatan klinis tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Berdasarkan perbedaan hasil penelitian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti efek pemberian suplemen vitamin D terhadap beberapa indikator klinis penyakit periodontal pada penderita periodontitis kronis yang berdomisili di kota Medan. 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian : bagaimana efek pemberian suplemen vitamin D dalam terapi periodontal non bedah terhadap kondisi periodontal penderita periodontitis kronis?

1.3 Hipotesa Ho : Tidak ada efek pemberian suplemen vitamin D dalam terapi periodontal non bedah terhadap kondisi periodontal penderita periodontitis kronis. Ha : Ada efek pemberian suplemen vitamin D dalam terapi periodontal non bedah terhadap kondisi periodontal penderita periodontitis kronis. 1.3 Tujuan a. Umum Untuk mengetahui efek pemberian suplemen vitamin D dalam terapi periodontal non bedah terhadap kondisi periodontal penderita periodontitis kronis. b. Khusus 1. Untuk mengetahui kadar serum vitamin D pada penderita periodontitis kronis sebelum maupun sesudah pemberian suplemen vitamin D selama 6 minggu. 2. Untuk mengetahui efek pemberian suplemen vitamin D dalam terapi periodontal non bedah terhadap penurunan kedalaman poket periodontal (Periodontal Pocket Depth/PPD) pada penderita periodontitis kronis sebelum dan sesudah diberi vitamin D selama 6 minggu. 3. Untuk mengetahui efek pemberian suplemen vitamin D dalam terapi periodontal non bedah terhadap penurunan hilangnya perlekatan klinis (Clinical Attachment Loss/CAL) pada penderita periodontitis kronis sebelum dan sesudah diberi vitamin D selama 6 minggu.

4. Untuk mengetahui efek pemberian suplemen vitamin D dalam terapi periodontal non bedah terhadap penurunan derajat perdarahan gingiva (Bleeding On Probing/BOP) pada penderita periodontitis kronis sebelum maupun sesudah diberikan suplemen vitamin D selama 6 minggu. 1.4 Manfaat a. Masyarakat : 1. Menambah informasi mengenai gambaran kadar vitamin D pada penderita periodontitis kronis. 2. Menambah informasi kepada masyarakat tentang manfaat suplemen vitamin D terhadap kesehatan gigi dan mulut dalam upaya membantu proses penyembuhan pada penderita periodontitis kronis. b. Klinis Memberikan masukan kepada para dokter gigi maupun perawat gigi tentang manfaat pemberian suplemen vitamin D untuk menunjang penyembuhan jaringan periodontal. c. Pemerintah Memberikan masukan kepada dinas kesehatan terkait untuk mempromosikan manfaat vitamin D bagi peningkatan kualitas kesehatan gigi dan mulut sejak dini.