BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobin merupakan salah satu komponen sel darah merah yang berfungsi. pembentukan Hb yang mengakibatkan kondisi anemia.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. negara maju maupun negara berkembang adalah anemia defisiensi besi.

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah kesehatan global yang prevalensinya terus

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

I PENDAHULUAN. juta penduduk Indonesia (Siagian, 2003). Asupan yang cukup serta ketersediaan

Peluang Aplikasi Mikroenkapsulat Vitamin A dan Zat Besi sebagai. Chance of Microencapsulat Application of Vitamin A and Iron as

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan perhatian lebih dibandingkan permasalahan kesehatan lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. setelah padi dan jagung bagi masyarakat Indonesia. Tanaman ini dapat

PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang,

BAB I PENDAHULUAN. Proses penggilingan padi menjadi beras tersebut menghasilkan beras sebanyak

BAB I PENDAHULUAN. di pasar saat ini adalah berbentuk flake. Sereal dalam bentuk flake dianggap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN. kandungan gizinya belum sesuai dengan kebutuhan balita. zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan.

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian yang dilakukan oleh WHO (2013). Di Indonesia sendiri, didapatkan bahwa anemia pada balita cukup tinggi yaitu 28%.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan.

METODE. Waktu dan Tempat

BAB I PENDAHULUAN. Ketidak cukupan asupan makanan, misalnya karena mual dan muntah atau kurang

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok

BAB I PENDAHULUAN. dan Afrika. Menurut World Health Organization (dalam Briawan, 2013), anemia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. KEP disebabkan karena defisiensi zat gizi makro. Meskipun

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kesehatan ibu merupakan salah satu tujuan Millenium Development

BAB I. PENDAHULUAN. fisiologis namun, berbagai penelitian hanya dilakukan pada mineral yang

3. plasebo, durasi 6 bln KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Dalam periode kehamilan ini ibu membutuhkan asupan makanan sumber energi

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan kesehatan di suatu

kabar yang menyebutkan bahwa seringkali ditemukan bakso daging sapi yang permasalahan ini adalah berinovasi dengan bakso itu sendiri.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nurfahmia Azizah, 2015

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh masalah Kurang Energi

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Berbasis Sumber Daya Lokal yang tertulis dalam Peraturan Presiden RI

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi.

BAB I PENDAHULUAN. Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi salah satu indikator penting. dalam menentukan derajat kesehatan masyatakat.

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi

BAB I PENDAHULUAN. Pisang ( Musa paradisiaca L) adalah salah satu buah yang digemari oleh

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat.

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bahan utama pembuatan biskuit pada umumnya adalah dengan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB 1 PENDAHULUAN. bahwa folat berperan sebagai koenzyme pada berbagai metabolisme asam amino

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan

BAB I PENDAHULUAN. defisiensi vitamin A, dan defisiensi yodium (Depkes RI, 2003).

1 I PENDAHULUAN. Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai masalah yang berkaitan dengan pangan dialami banyak

BAB I PENDAHULUAN. Masa Kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin. Lamanya

I. PENDAHULUAN. pangan yang disukai anak-anak (Sardjunani, 2013).

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan.

4. PEMBAHASAN 4.1. Analisa Kimia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang selalu berupaya melakukan

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR TABLET TAMBAH DARAH BAGI WANITA USIA SUBUR DAN IBU HAMIL

BAB 1 PENDAHULUAN. kapasitas/kemampuan atau produktifitas kerja. Penyebab paling umum dari anemia

BAB I PENDAHULUAN. oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan mulai

BAB 1 PENDAHULUAN. anemia pada masa kehamilan. (Tarwoto dan Wasnidar, 2007)

BAB I PENDAHULUAN. melalui alat indra (Lukaningsih, 2010: 37). Dengan persepsi ibu hamil dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Esa Unggul

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asupan gizi yang baik selama kehamilan merupakan hal yang penting,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. indikator yang tertuang di dalam Millenium Development Goals (MDGs).

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA

I. PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhan pangan menurut Indrasti (2004) adalah dengan

BAB I PENDAHULUAN. akan zat gizi makro dan zat gizi mikro. Zat gizi makro yaitu karbohidrat, protein, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Periode Kehamilan merupakan masa dimulainya konsepsi

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini ketergantungan masyarakat terhadap tepung terigu untuk

MAKALAH GIZI ZAT BESI

BAB I PENDAHULUAN. anemia masih tinggi, dibuktikan dengan data World Health Organization

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

BAB I PENDAHULUAN. muda, apalagi mengetahui asalnya. Bekatul (bran) adalah lapisan luar dari

BAB I PENDAHULUAN. hemoglobin dalam sirkulasi darah. Anemia juga dapat didefinisikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. bahan dalam pembuatan selai adalah buah yang belum cukup matang dan

BAB I PENDAHULUAN. Produk olahan yang paling strategis untuk dikembangkan dalam. rangka menunjang penganekaragaman (diversifikasi) pangan dalam waktu

I. PENDAHULUAN. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat, baik perkotaan maupun di pedesaan. Anak-anak dari berbagai

111. KERANGKA PEMIKIRAN & HIPOTESIS

BAB 1 : PENDAHULUAN. kelompok yang paling rawan dalam berbagai aspek, salah satunya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar terhadap kualitas sumber daya manusia. Menurut Manuaba (2010),

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu produk olahan susu di Indonesia yang berkembang pesat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. berasal dari gandum yang ketersediaannya di Indonesia harus diimpor,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. oleh terpenuhinya kebutuhan gizi dalam makanannya. Pada usia 6 bulan pertama,

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Anemia adalah keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah rendah. Hemoglobin merupakan salah satu komponen sel darah merah yang berfungsi membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Dalam pembentukannya, diperlukan beberapa mineral penting, diantaranya besi (Fe), zink (Zn), vitamin B9, dan vitamin B12. Apabila tubuh kekurangan salah satu zat tersebut, dapat terjadi gangguan pembentukan Hb yang mengakibatkan kondisi anemia. Anemia merupakan salah satu permasalahan gizi yang tak kunjung usai di Indonesia. Sekitar dua milyar penduduk dunia menderita anemia. Menurut data WHO, prevalensi anemia di negara berkembang yaitu 50% pada wanita hamil dan bayi < 2 tahun, 40% pada anak usia sekolah, dan 25-55% pada wanita dan anak. Defisiensi zat besi merupakan penyebab utama dari seluruh kejadian anemia di dunia (Allen et al., 2006). Sebagian besar kasus anemia di Indonesia disebabkan oleh defisiensi zat besi. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi penduduk umur > 1 tahun dalam keadaan anemia mencapai 21,7% secara nasional. Ibu hamil merupakan kelompok resiko tinggi mengalami anemia. Kejadian anemia pada ibu hamil mencapai angka 31,7% (Kemenkes, 2013). Berbagai gangguan kesehatan dapat disebabkan oleh anemia. Secara luas, anemia dapat berdampak pada penurunan sumber daya manusia dan produktivitas kerja. Anak anak penderita anemia dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pertumbuhan fisik dan mental. Pada kondisi hamil, dapat meningkatkan resiko komplikasi kehamilan, pendarahan saat persalinan, resiko kematian ibu, 1

2 berat bayi lahir rendah (BBLR), serta meningkatkan resiko persalinan prematur (Sinsin, 2008; Hayati, 2010). Kejadian anemia pada ibu hamil umumnya berhubungan dengan kondisi fisiologis, namun juga tidak lepas dari konsumsi zat besi. Ibu hamil yang mengonsumsi tablet besi secara rutin, sebagian besar tidak mengalami keadaan anemia (Rejeki dan Huda, 2014). Beberapa cara yang telah dilakukan oleh pemerintah guna menangani anemia pada populasi, diantaranya yaitu pemberian tablet besi dan fortifikasi bahan makanan. Pemberian tablet besi secara gratis dilakukan pada ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia. Namun program ini dirasa belum efektif karena terdapat keluhan rasa besi yang kuat sehingga banyak ibu hamil yang tidak patuh konsumsi tablet besi. Strategi lain dalam menangani anemia defisiensi besi ialah dengan fortifikasi bahan makanan. Tepung terigu merupakan salah satu bahan makanan yang wajib difortifikasi zat besi dengan kadar minimal 50 mg/kg (BSN, 2009). Beberapa bahan pangan lain yang dapat difortifikasi dengan zat besi diantaranya ialah tepung singkong, flakes, mie, susu, dan lain sebagainya. Fortifikasi dianggap sebagai salah satu langkah strategis dalam menangani berbagai masalah kekurangan zat besi di dunia. Sebanyak 76 negara kini telah mewajibkan tepung terigu difortifikasi dengan zat besi (Mason et al., 2013). Beberapa kelebihan metode fortifikasi ialah efektif untuk jangka menengah dan panjang, dapat menjangkau semua populasi sasaran, biaya pengembangan rendah, dan tersedianya teknologi yang memadai (Siagian, 2013).

3 Fortifikan yang ditambahkan sangat tergantung pada karasteristik bahan makanan. Hal ini disebabkan karena kemungkinan fortifikan dapat mempengaruhi kualitas sensoris dari bahan makanan (Kruger, 2016). Seperti penelitian yang dilakukan oleh Goucheron (2000), penambahan zat besi secara langsung pada susu mengakibatkan interaksi dengan komponen susu (lemak dan protein) yang berakibat pada perubahan kualitas organoleptik. Beberapa fortifikan zat besi yang sering digunakan diantaranya ialah besi sulfat (FeSO 4 ), besi glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lainnya. Besi sulfat (FeSO 4 ) merupakan senyawa yang paling sering digunakan sebagai fortifikan. Senyawa ini memiliki bioavaibilitas yang relatif tinggi pada manusia. FeSO 4 biasanya dijadikan acuan untuk membandingkan Fe pada senyawa lain dan telah ditetapkan sebagai fortifikan dengan nilai avaibilitas relatif 100 (Allen et al., 2006). Penambahan bahan fortifikan kemungkinan dapat mempengaruhi kualitas sensoris dari bahan makanan (Kruger, 2016). Untuk meminimalisir terjadinya perubahan kualitas organoleptik karena zat besi, dikembangkanlah teknik mikroenkapsulasi. Teknik ini telah banyak digunakan untuk melindungi zat besi dari oksidasi dan interaksi dengan zat gizi dalam bahan makanan (De Souza et al., 2013). Mikroenkapsulasi dapat dilakukan dengan berbagai macam bahan, diantaranya gum arab, maltodextrin, dan pati modifikasi (Gupta et al., 2015). Untuk menghasilkan enkapsul yang memiliki stabilitas dan bioavabilitas yang baik, pemilihan bahan penyusun harus tepat, seperti polisakarida (pektin) (Allen et al., 2006). Enkapsulasi zat besi dapat menyamarkan rasa dari besi

4 sehingga meningkatkan daya terima bahan makanan terfortifikasi besi (Liyanage et al,. 2002). Pektin dapat diperoleh dari berbagai macam buah, misalnya apel, jeruk, dan pisang. Kulit pisang merupakan salah satu limbah pertanian yang bernilai ekonomis rendah, dimana hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Padahal kulit pisang ini memiliki kandungan pektin yang tinggi. Kulit pisang mengandung 0.9% pektin dari berat keringnya. Dari sekian banyak jenis pisang, pisang kepok dan pisang raja merupakan pisang yang banyak dikonsumsi dan menghasilkan limbah yang banyak. Kedua jenis pisang ini memiliki kulit yang tebal. Beberapa penelitian telah berhasil mengekstraksi pektin dari kedua jenis pisang ini. Hasilnya, pektin kulit pisang kepok dan raja termasuk dalam pektin metoksil rendah (LMP) yang dapat digunakan untuk membentuk mikroenkapsul yang stabil untuk mikronutrien (Hanum et al., 2012; Fitria, 2013; Sandoval-Castilla et al., 2010) Pemilihan bahan makanan yang akan difortifikasi hendaknya mempertimbangkan kebiasaan makan masyarakat. Fortifikasi pangan apabila dilakukan pada bahan yang tepat, akan memberikan cakupan yang luas pada masyarakat. Tempe merupakan produk olahan kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Harga yang terjangkau dan rasa yang relatif enak menjadi alasan masyarakat gemar mengonsumsi tempe. Tempe juga mengandung nilai gizi yang tinggi sebagai akibat dari proses fermentasi, seperti daya cerna yang tinggi serta mengandung senyawa bioaktif (seperti vitamin B 12, isoflavon, dan asam folat) yang tinggi (Mo et al, 2013).

5 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh fortifikasi zat besi (FeSO 4 ) enkapsulasi berbasis matriks kulit pisang dan non-enkapsulasi terhadap daya terima? 2. Bagaimana pengaruh fortifikasi zat besi (FeSO 4 ) enkapsulasi berbasis matriks kulit pisang dan non-enkapsulasi terhadap kadar besi tempe? C. Tujuan 1. Mengetahui pengaruh enkapsulasi FeSO 4 pada tempe terhadap daya terima produk. 2. Mengetahui pengaruh enkapsulasi FeSO 4 pada tempe terhadap kadar zat besi akhir produk. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan sebagai sarana penerapan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan selama perkuliahan. 2. Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan produk pangan terfortifikasi yang siap masak. 3. Bagi Ilmu Pangan dan Gizi Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penelitian lebih lanjut mengenai fortifikasi bahan makanan.

6 E. Keaslian Penelitian 1. Penelitian Wulandari (2014), mengenai fortifikasi enkapsulat zat besi pada tepung singkong dan Cassava flakes. Fe difortifikasi dalam bentuk mikroenkapsulat dan bebas. Teknik mikroenkapsulasi dilakukan dengan spray drying dengan bahan maltodekstrin dan whey. Tepung singkong yang telah difortifikasi kemudian diuji kadar besinya, dan kemudian dibuat produk cassava flakes. Cassava flakes yang telah dibuat kemudian dilakukan uji bioaksesibilitas, kimia, dan organoleptik. Hasilnya penambahan mikroenkapsulat Fe dosis 4,28 mgfe/0,7 kg meningkatkan kandungan Fe tepung singkong. Kadar air cassava flakes terfortifikasi mikroenkapsulat sama dengan sediaan bebas, namun memiliki tingkat kecerahan yang lebih baik. Bioaksesibilitas Fe cassava flakes terfortifikasi mikroenkapsulat Fe lebih besar (49,65%) dibandingkan cassava flakes terfortifikasi Fe sediaan bebas (34,40%). Untuk uji organoleptik, cassava flakes terfortifikasi Fe enkapsulat lebih disukai oleh panelis. Persamaan: a. Fortifikan yang digunakan dalam penelitian tersebut sama, yaitu FeSO 4 b. Dilakukan teknik mikroenkapsulasi fortifikan besi c. Dilakukan uji organoleptik dan kadar besi terhadap produk Perbedaan: a. Bahan mikroenkapsulasi yang digunakan, yaitu maltodekstrin b. Teknik mikroenkapsulasi yang digunakan c. Dilakukan uji bioaksesibilitas pada produk d. Produk akhir yang dibuat

7 2. Penelitian Sarbini et al. (2009), mengenai fortifikasi Fe dan Zn pada biskuit tempe-bekatul. Peneliti membuat formulasi biskuit dari tepung tempe dan bekatul dan ditambahkan Fe, Zn serta vitamin C, kemudian diamati sifat fisik, organoleptik, daya simpan, dan zat gizi produk. Terdapat tiga formulasi yaitu biskuit A (1 : 1), biskuit B (3 : 1), dan biskuit C (7 : 3). Hasilnya formulasi yang terbaik yaitu biskuit C dengan kadar protein tertinggi, total koloni terendah, dan daya terima (warna, tekstur, dan rasa) yang baik. Persamaan: a. Salah satu fortifikan yang digunakan dalam penelitian tersebut sama, yaitu FeSO 4 b. Dilakukan uji organoleptik produk. Perbedaan: a. Digunakannya fortifikan Zn dan vitamin C b. Dilakukan uji daya simpan dan nilai gizi c. Fortifikasi zat besi dilakukan tanpa teknik enkapsulasi zat besi d. Produk yang dihasilkan 3. Penelitian Astuti et al. (2012), mengenai nilai gizi tempe terfortifikasi zat besi berdasar teknik pemasakan. Produk tempe dibagi menjadi 5 perlakuan: control, FeSO 4 90 mg, FeSO 4 110 mg, FeSO 4 130 mg, dan FeSO 4 150 mg. Analisis zat gizi dilakukan pada tempe mentah dan dimasak bacem. Hasil analisis yaitu terdapat penurunan kadar zat gizi secara signifikan pada tempe yang dimasak, namun kadar karbohidrat dan abu mengalami peningkatan.

8 Persamaan: a. Fortifikan yang digunakan dalam penelitian tersebut sama, yaitu FeSO 4 b. Dilakukan pengukuran kadar besi produk Perbedaan: a. Variabel yang diamati yaitu kadar zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak, abu, air) b. Tidak dilakukan mikroenkapsulasi c. Tidak dilakukan uji organoleptik pada produk