BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Anemia adalah keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah rendah. Hemoglobin merupakan salah satu komponen sel darah merah yang berfungsi membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Dalam pembentukannya, diperlukan beberapa mineral penting, diantaranya besi (Fe), zink (Zn), vitamin B9, dan vitamin B12. Apabila tubuh kekurangan salah satu zat tersebut, dapat terjadi gangguan pembentukan Hb yang mengakibatkan kondisi anemia. Anemia merupakan salah satu permasalahan gizi yang tak kunjung usai di Indonesia. Sekitar dua milyar penduduk dunia menderita anemia. Menurut data WHO, prevalensi anemia di negara berkembang yaitu 50% pada wanita hamil dan bayi < 2 tahun, 40% pada anak usia sekolah, dan 25-55% pada wanita dan anak. Defisiensi zat besi merupakan penyebab utama dari seluruh kejadian anemia di dunia (Allen et al., 2006). Sebagian besar kasus anemia di Indonesia disebabkan oleh defisiensi zat besi. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi penduduk umur > 1 tahun dalam keadaan anemia mencapai 21,7% secara nasional. Ibu hamil merupakan kelompok resiko tinggi mengalami anemia. Kejadian anemia pada ibu hamil mencapai angka 31,7% (Kemenkes, 2013). Berbagai gangguan kesehatan dapat disebabkan oleh anemia. Secara luas, anemia dapat berdampak pada penurunan sumber daya manusia dan produktivitas kerja. Anak anak penderita anemia dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pertumbuhan fisik dan mental. Pada kondisi hamil, dapat meningkatkan resiko komplikasi kehamilan, pendarahan saat persalinan, resiko kematian ibu, 1
2 berat bayi lahir rendah (BBLR), serta meningkatkan resiko persalinan prematur (Sinsin, 2008; Hayati, 2010). Kejadian anemia pada ibu hamil umumnya berhubungan dengan kondisi fisiologis, namun juga tidak lepas dari konsumsi zat besi. Ibu hamil yang mengonsumsi tablet besi secara rutin, sebagian besar tidak mengalami keadaan anemia (Rejeki dan Huda, 2014). Beberapa cara yang telah dilakukan oleh pemerintah guna menangani anemia pada populasi, diantaranya yaitu pemberian tablet besi dan fortifikasi bahan makanan. Pemberian tablet besi secara gratis dilakukan pada ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia. Namun program ini dirasa belum efektif karena terdapat keluhan rasa besi yang kuat sehingga banyak ibu hamil yang tidak patuh konsumsi tablet besi. Strategi lain dalam menangani anemia defisiensi besi ialah dengan fortifikasi bahan makanan. Tepung terigu merupakan salah satu bahan makanan yang wajib difortifikasi zat besi dengan kadar minimal 50 mg/kg (BSN, 2009). Beberapa bahan pangan lain yang dapat difortifikasi dengan zat besi diantaranya ialah tepung singkong, flakes, mie, susu, dan lain sebagainya. Fortifikasi dianggap sebagai salah satu langkah strategis dalam menangani berbagai masalah kekurangan zat besi di dunia. Sebanyak 76 negara kini telah mewajibkan tepung terigu difortifikasi dengan zat besi (Mason et al., 2013). Beberapa kelebihan metode fortifikasi ialah efektif untuk jangka menengah dan panjang, dapat menjangkau semua populasi sasaran, biaya pengembangan rendah, dan tersedianya teknologi yang memadai (Siagian, 2013).
3 Fortifikan yang ditambahkan sangat tergantung pada karasteristik bahan makanan. Hal ini disebabkan karena kemungkinan fortifikan dapat mempengaruhi kualitas sensoris dari bahan makanan (Kruger, 2016). Seperti penelitian yang dilakukan oleh Goucheron (2000), penambahan zat besi secara langsung pada susu mengakibatkan interaksi dengan komponen susu (lemak dan protein) yang berakibat pada perubahan kualitas organoleptik. Beberapa fortifikan zat besi yang sering digunakan diantaranya ialah besi sulfat (FeSO 4 ), besi glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lainnya. Besi sulfat (FeSO 4 ) merupakan senyawa yang paling sering digunakan sebagai fortifikan. Senyawa ini memiliki bioavaibilitas yang relatif tinggi pada manusia. FeSO 4 biasanya dijadikan acuan untuk membandingkan Fe pada senyawa lain dan telah ditetapkan sebagai fortifikan dengan nilai avaibilitas relatif 100 (Allen et al., 2006). Penambahan bahan fortifikan kemungkinan dapat mempengaruhi kualitas sensoris dari bahan makanan (Kruger, 2016). Untuk meminimalisir terjadinya perubahan kualitas organoleptik karena zat besi, dikembangkanlah teknik mikroenkapsulasi. Teknik ini telah banyak digunakan untuk melindungi zat besi dari oksidasi dan interaksi dengan zat gizi dalam bahan makanan (De Souza et al., 2013). Mikroenkapsulasi dapat dilakukan dengan berbagai macam bahan, diantaranya gum arab, maltodextrin, dan pati modifikasi (Gupta et al., 2015). Untuk menghasilkan enkapsul yang memiliki stabilitas dan bioavabilitas yang baik, pemilihan bahan penyusun harus tepat, seperti polisakarida (pektin) (Allen et al., 2006). Enkapsulasi zat besi dapat menyamarkan rasa dari besi
4 sehingga meningkatkan daya terima bahan makanan terfortifikasi besi (Liyanage et al,. 2002). Pektin dapat diperoleh dari berbagai macam buah, misalnya apel, jeruk, dan pisang. Kulit pisang merupakan salah satu limbah pertanian yang bernilai ekonomis rendah, dimana hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Padahal kulit pisang ini memiliki kandungan pektin yang tinggi. Kulit pisang mengandung 0.9% pektin dari berat keringnya. Dari sekian banyak jenis pisang, pisang kepok dan pisang raja merupakan pisang yang banyak dikonsumsi dan menghasilkan limbah yang banyak. Kedua jenis pisang ini memiliki kulit yang tebal. Beberapa penelitian telah berhasil mengekstraksi pektin dari kedua jenis pisang ini. Hasilnya, pektin kulit pisang kepok dan raja termasuk dalam pektin metoksil rendah (LMP) yang dapat digunakan untuk membentuk mikroenkapsul yang stabil untuk mikronutrien (Hanum et al., 2012; Fitria, 2013; Sandoval-Castilla et al., 2010) Pemilihan bahan makanan yang akan difortifikasi hendaknya mempertimbangkan kebiasaan makan masyarakat. Fortifikasi pangan apabila dilakukan pada bahan yang tepat, akan memberikan cakupan yang luas pada masyarakat. Tempe merupakan produk olahan kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Harga yang terjangkau dan rasa yang relatif enak menjadi alasan masyarakat gemar mengonsumsi tempe. Tempe juga mengandung nilai gizi yang tinggi sebagai akibat dari proses fermentasi, seperti daya cerna yang tinggi serta mengandung senyawa bioaktif (seperti vitamin B 12, isoflavon, dan asam folat) yang tinggi (Mo et al, 2013).
5 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh fortifikasi zat besi (FeSO 4 ) enkapsulasi berbasis matriks kulit pisang dan non-enkapsulasi terhadap daya terima? 2. Bagaimana pengaruh fortifikasi zat besi (FeSO 4 ) enkapsulasi berbasis matriks kulit pisang dan non-enkapsulasi terhadap kadar besi tempe? C. Tujuan 1. Mengetahui pengaruh enkapsulasi FeSO 4 pada tempe terhadap daya terima produk. 2. Mengetahui pengaruh enkapsulasi FeSO 4 pada tempe terhadap kadar zat besi akhir produk. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan sebagai sarana penerapan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan selama perkuliahan. 2. Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan produk pangan terfortifikasi yang siap masak. 3. Bagi Ilmu Pangan dan Gizi Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penelitian lebih lanjut mengenai fortifikasi bahan makanan.
6 E. Keaslian Penelitian 1. Penelitian Wulandari (2014), mengenai fortifikasi enkapsulat zat besi pada tepung singkong dan Cassava flakes. Fe difortifikasi dalam bentuk mikroenkapsulat dan bebas. Teknik mikroenkapsulasi dilakukan dengan spray drying dengan bahan maltodekstrin dan whey. Tepung singkong yang telah difortifikasi kemudian diuji kadar besinya, dan kemudian dibuat produk cassava flakes. Cassava flakes yang telah dibuat kemudian dilakukan uji bioaksesibilitas, kimia, dan organoleptik. Hasilnya penambahan mikroenkapsulat Fe dosis 4,28 mgfe/0,7 kg meningkatkan kandungan Fe tepung singkong. Kadar air cassava flakes terfortifikasi mikroenkapsulat sama dengan sediaan bebas, namun memiliki tingkat kecerahan yang lebih baik. Bioaksesibilitas Fe cassava flakes terfortifikasi mikroenkapsulat Fe lebih besar (49,65%) dibandingkan cassava flakes terfortifikasi Fe sediaan bebas (34,40%). Untuk uji organoleptik, cassava flakes terfortifikasi Fe enkapsulat lebih disukai oleh panelis. Persamaan: a. Fortifikan yang digunakan dalam penelitian tersebut sama, yaitu FeSO 4 b. Dilakukan teknik mikroenkapsulasi fortifikan besi c. Dilakukan uji organoleptik dan kadar besi terhadap produk Perbedaan: a. Bahan mikroenkapsulasi yang digunakan, yaitu maltodekstrin b. Teknik mikroenkapsulasi yang digunakan c. Dilakukan uji bioaksesibilitas pada produk d. Produk akhir yang dibuat
7 2. Penelitian Sarbini et al. (2009), mengenai fortifikasi Fe dan Zn pada biskuit tempe-bekatul. Peneliti membuat formulasi biskuit dari tepung tempe dan bekatul dan ditambahkan Fe, Zn serta vitamin C, kemudian diamati sifat fisik, organoleptik, daya simpan, dan zat gizi produk. Terdapat tiga formulasi yaitu biskuit A (1 : 1), biskuit B (3 : 1), dan biskuit C (7 : 3). Hasilnya formulasi yang terbaik yaitu biskuit C dengan kadar protein tertinggi, total koloni terendah, dan daya terima (warna, tekstur, dan rasa) yang baik. Persamaan: a. Salah satu fortifikan yang digunakan dalam penelitian tersebut sama, yaitu FeSO 4 b. Dilakukan uji organoleptik produk. Perbedaan: a. Digunakannya fortifikan Zn dan vitamin C b. Dilakukan uji daya simpan dan nilai gizi c. Fortifikasi zat besi dilakukan tanpa teknik enkapsulasi zat besi d. Produk yang dihasilkan 3. Penelitian Astuti et al. (2012), mengenai nilai gizi tempe terfortifikasi zat besi berdasar teknik pemasakan. Produk tempe dibagi menjadi 5 perlakuan: control, FeSO 4 90 mg, FeSO 4 110 mg, FeSO 4 130 mg, dan FeSO 4 150 mg. Analisis zat gizi dilakukan pada tempe mentah dan dimasak bacem. Hasil analisis yaitu terdapat penurunan kadar zat gizi secara signifikan pada tempe yang dimasak, namun kadar karbohidrat dan abu mengalami peningkatan.
8 Persamaan: a. Fortifikan yang digunakan dalam penelitian tersebut sama, yaitu FeSO 4 b. Dilakukan pengukuran kadar besi produk Perbedaan: a. Variabel yang diamati yaitu kadar zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak, abu, air) b. Tidak dilakukan mikroenkapsulasi c. Tidak dilakukan uji organoleptik pada produk