BAB IV ANALISIS. IV.1.1 Perbandingan Antara Peta Garis Dasar Normal dengan Peta Generalisasi Pemendagri 1/2006

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PROSES GENERALISASI GARIS PANTAI DALAM PETA KEWENANGAN DAERAH DI WILAYAH LAUT MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUGLAS-PEUCKER

BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

BAB III IMPLEMENTASI PENENTUAN BATAS LAUT KABUPATEN SELAYAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT

Jaringan kawat baja las untuk tulangan beton

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

Pendekatan Aspek Hukum, Geomorfologi, dan Teknik Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

BAB IV ANALISIS. 4.1Analisis Peta Dasar yang Digunakan

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

2. TINJAUAN PUSTAKA. hingga 11 15' LS, dan dari 94 45' BT hingga ' BT terletak di posisi

BAB IV ANALISIS. 4.1 Analisis terhadap Seleksi Unsur Pemetaan Laut Teritorial Indonesia

BAB III PERANCANGAN PETA BATAS LAUT TERITORIAL INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB III IMPLEMENTASI ASPEK GEOLOGI DALAM PENENTUAN BATAS LANDAS KONTINEN

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kajian Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Perairan Barat Laut Sumatra

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2017

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab IV Analisis dan Pembahasan

BAB 3 PROSES REALISASI PENETAPAN BATAS LAUT (ZONA EKONOMI EKSKLUSIF) INDONESIA DAN PALAU DI SAMUDERA PASIFIK

ASPEK TEKNIS PEMBATASAN WILAYAH LAUT DALAM UNDANG UNDANG NO. 22 TAHUN 1999

BESARAN DAN SATUAN. 1. Pengertian Mengukur

Jurnal Geodesi Undip Juli 2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR

APROKSIMASI. Purnami E. Soewardi. Direktorat Pembinaan Tendik Dikdasmen Ditjen GTK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

Suatu kriteria yang dipakai Perancang sebagai pedoman untuk merancang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

ANALISIS ALTERNATIF BATAS WILAYAH LAUT KOTA SEMARANG DAN KABUPATEN KENDAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

III-11. Gambar III.13 Pengukuran arus transek pada kondisi menuju surut

BAB IV PERHITUNGAN SISTEM PROTEKSI PENANGKAL PETIR DI GEDUNG PT BHAKTI WASANTARA NET JAKARTA

BAB 2 DATA DAN METODA

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DI PERAIRAN LAUT

BAB II KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. tantangan pembangunan kota yang harus diatasi. Perkembangan kondisi Kota

EKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN. Ko-Manajemen: Rezim Desentralisasi

1. Jika f ( x ) = sin² ( 2x + ), maka nilai f ( 0 ) =. a. 2 b. 2 c. 2. Diketahui f(x) = sin³ (3 2x). Turunan pertama fungsi f adalah f (x) =.

BAB I PENDAHULUAN. Analisis regresi merupakan sebuah alat statistik yang memberi penjelasan

Trestle : Jenis struktur : beton bertulang, dengan mtu beton K-300. Tiang pancang : tiang pancang baja Ø457,2 mm tebal 16 mm dengan panjang tiang

LATIHAN PEMAHAMAN SOAL APROKSIMASI KESALAHAN

GUBERNUR SULAWESI UTARA

Geografi. Kelas X ATMOSFER II KTSP & K-13. E. Suhu Udara. 1. Kondisi Suhu Udara di Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB XII MENCARI DATA MAKSIMUM DAN MINIMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

LATIHAN TURUNAN. Materi Pokok : Turunan dan Turunan Berantai. 1. Jika f(x) = sin² ( 2x + π/6 ), maka nilai f (0) =.

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

ASPEK-ASPEK GEODETIK DALAM HUKUM LAUT

Keuntungan. Perhitungan dapat dilakukan lebih cepat. Mampu menyelesaikan masalah yang kompleks. Proses perancangan lebih ekonomis

Tabel 1 Sudut terjadinya jarak terdekat dan terjauh pada berbagai kombinasi pemilihan arah acuan 0 o dan arah rotasi HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III LANDASAN TEORI. dasar ke permukaan tanah untuk suatu situs, maka situs tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Jaring kontrol vertikal dengan metode sipatdatar

MODUL 2 APROKSIMASI. Disusun oleh: Ani Ismayani S.Pd

BAB III PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA - FILIPINA DI LAUT SULAWESI. Tabel 3.1 Tahapan Penetapan Batas Laut

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim

6 FUNGSI LINEAR DAN FUNGSI

Pengaruh Perubahan UU 32/2004 Menjadi UU 23/2014 Terhadap Luas Wilayah Bagi Hasil Kelautan Terminal Teluk Lamong antara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Hukum Laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah

BAB I PENDAHULUAN I.1.

3. BAHAN DAN METODE. dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15

UNDANG UNDANG NOMOR 4 Prp TAHUN 1960 Tentang PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Posisi Foot Of Slope (FOS) Titik Pangkal N (m) E (m) FOS N (m) E (m) Jarak (M)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (Juni, 2013) ISSN: ( Print)

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS

K13 Revisi Antiremed Kelas 10 FISIKA

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

Analisis Penerapan Metode Penyusutan Aktiva Tetap Terhadap Laba Perusahaan PT. Hutama Trans Kencana

Perkembangan Hukum Laut Internasional

BAB 1 PENDAHULUAN. perhitungan analisis struktur akan dihasilkan gaya-gaya dalam dari struktur baja

BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB V PENUTUP. Pencegahan Illegal Fishing di Provinsi Kepulauan Riau. fishing terdapat pada IPOA-IUU. Dimana dalam ketentuan IPOA-IUU

Gambar 2. Zona Batas Maritim [AUSLIG, 2004]

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS IV.1 Perbandingan Peta IV.1.1 Perbandingan Antara Peta Garis Dasar Normal dengan Peta Generalisasi Pemendagri 1/2006 Berikut ini ditampilkan perbandingan antara peta garis dasar normal dengan peta generalisasi Pemendagri 1/2006. Peta garis dasar normal merupakan peta penarikan garis batas menggunakan acuan garis dasar normal. Peta generalisasi Permendagri 1/2006 merupakan peta penarikan garis batas menggunakan acuan garis setelah digeneralisasi. Generalisasi ini menggunakan kombinasi garis dasar lurus dan garis dasar normal. Tabel 4.1 Perbandingan Titik dan Garis Dasar Normal dengan Generalisasi Pemendagri 1/2006 Peta Jumlah Titik Dasar Garis Dasar Luas ( ) Garis Dasar Normal 1 115599.4228 Pemendagri 1/2006 62 61 127898.1913 Tabel 4.2 Perbandingan Kesesuaian Garis Dasar Normal dengan Generalisasi Pemendagri 1/2006 Peta Perbedaan terhadap garis Kesesuaian terhadap garis Maksimum Minimum Garis Dasar Normal 0 meter 0 meter Garis asli Permendagri 1/2006 18849 0 meter Tidak sesuai 24

Perbandingan untuk kedua jenis peta ini dapat dilihat pada Lampiran 1. IV.1.2 Perbandingan Antara Peta Garis Dasar Normal dengan Peta Generalisasi Berikut ini ditampilkan perbandingan antara peta garis dasar normal dengan peta generalisasi. Peta garis dasar normal merupakan peta penarikan garis batas menggunakan acuan garis dasar normal. Peta generalisasi merupakan peta penarikan garis batas menggunakan acuan garis setelah digeneralisasi. Generalisasi ini menggunakan algoritma. Tabel 4.3 Perbandingan Titik dan Garis Dasar Normal dengan Peta Jumlah Titik Dasar Garis Dasar Luas Garis Dasar Normal 1 115599.4228 41 40 112816.7579 Tabel 4.4 Perbandingan Kesesuaian Garis Dasar Normal dengan Peta Perbedaan terhadap garis Kesesuaian terhadap garis Maksimum Minimum Garis Dasar Normal 0 meter 0 meter Garis asli 200 0 Sesuai Perbandingan untuk kedua jenis peta ini dapat dilihat pada Lampiran 2. 25

V.1.3 Perbandingan Antara Peta Generalisasi Pemendagri 1/2006 dengan Peta Berikut ini ditampilkan perbandingan antara peta Generalisasi Pemendagri 1/2006 (disebut peta 2) dengan peta generalisasi (disebut peta 3). Peta generalisasi Permendagri 1/2006 merupakan peta penarikan garis batas menggunakan acuan garis setelah digeneralisasi. Generalisasinya menggunakan kombinasi garis dasar lurus dan garis dasar normal. Sedangkan peta generalisasi merupakan peta penarikan garis batas menggunakan acuan garis setelah digeneralisasi. Generalisasinya menggunakan algoritma. Tabel 4.5 Perbandingan Titik dan Garis Generalisasi Pemendagri 1/2006 dengan Peta Jumlah Titik Dasar Garis Dasar Luas Pemendagri 1/2006 62 61 127898.1913 41 40 112816.7579 Tabel 4.6 Perbandingan Kesesuaian Garis Generalisasi Pemendagri 1/2006 dengan Peta Perbedaan terhadap garis Kesesuaian terhadap garis Maksimum Minimum Pemendagri 1/2006 18849 0 meter Tidak sesuai 200 0 Sesuai Perbandingan untuk kedua jenis peta ini dapat dilihat pada Lampiran 3. 26

IV.2 Penggunaan Peta Dasar Peta yang digunakan untuk menentukan kewenangan batas laut provinsi adalah Peta Lingkungan Laut Nasional (Peta LLN). Peta ini memiliki skala 1:500.00 sehingga akan menghasilkan objek terkecil yang dapat diukur di lapangan sebesar 250 meter. Pemilihan skala dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Ketentuan peta batas provinsi pada Permendagri 1/2006 memiliki skala 1:500.000. b. Peta pada skala 1:500.000 memiliki 1 lembar peta. Peta skala ini dapat mencakup seluruh provinsi Jawa Barat. Ketelitian maksimum berdasarkan standar IHO adalah 0.4 mm. Maka perbedaan terhadap garis maksimum pada generalisasi Permendagri 1/2006 adalah 37.698 mm. Sedangkan perbedaan terhadap garis maksimum pada generalisasi Douglas- Peucker adalah 0.4mm. IV.3 Pemilihan Titik Awal dan Garis Dasar Di dalam UNCLOS 1982 serta dalam peraturan pemerintahan daerah di Indonesia yaitu UU 32/2004 dan Permendagri 1/2006 dapat dilihat bahwa hal yang paling utama dan penting dalam penentuan batas di laut adalah garis pangkal (garis dasar). Garis dasar menentukan dimana kedaulatan suatu Negara serta dimana kewenangan suatu pemerintah daerah. Secara alamiah yang dimaksud dengan garis dasar adalah garis dasar normal yang mana garis ini menandakan bentuk yang nyata dari suatu. Akan tetapi untuk situasi tertentu akan tidak ekonomis atau tidak praktis untuk menggunakan garis dasar normal, maka digunakanlah garis dasar lurus. Syarat penggunaan garis dasar lurus adalah garis lurus sepanjang 12 mil laut tanpa melihat bentuk dari suatu. Selain itu tidak ada keterikatan dengan geometris. Maka penggunaan garis dasar lurus menyebabkan bentuk suatu berubah dengan sangat signifikan. 27

Sementara itu generalisasi berperan dalam menyederhanakan garis tanpa mengubah bentuk itu sendiri. Dengan adanya pembatasan berupa toleransi yang diperbolehkan, maka proses generalisasi memiliki keterkaitan secara geometris dengan garis. Penetapan garis lurus sepanjang 12 mil laut tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap garis generalisasi. Hal ini karena terdapat parameter yang membatasi yaitu toleransi maksimum yang diperbolehkan dalam hal panjang garis yang tegak lurus terhadap garis basis. Di dalam generalisasi garis provinsi Jawa Barat, menghasilkan garis yang tidak jauh berbeda dengan garis nya.perbandingan antara ketika metode ini dapat dilihat pada peta Jawa Barat untuk masing-masing garis. IV.4 Jarak 12 Mil Garis Dasar Penentuan jarak sepanjang 12 mil untuk garis dasar telah disebutkan pada Permendagri 1 tahun 2006. Garis dasar tersebut nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk penentuan batas. Ada beberapa hal yang dapat dilihat dari penggunaan jarak 12 mil untuk garis dasar: 1. Penggunaan jarak 12 mil tidak memiliki landasan yang kuat untuk dijadikan sebagai rujukan. Tidak ada kondisi teknis yang logis untuk.hukum laut internasional tidak juga menggunakan penentuan 12 mil sebagai jarak pada garis pangkal normal. 2. Penggunaan garis dasar lurus 12 mil laut akan menyebabkan luas suatu wilayah bertambah besar dibandingkan dengan garis dasar normal. Berikut ini adalah gambarannya: 28

Gambar 4.1 Perbandingan antara Garis Dasar Normal dan Garis Dasar Lurus Keterangan Gambar: Garis A-B-C adalah garis pada pasut rendah (garis dasar lurus) Titik A, B, dan C merupakan titik-titik dasar yang dipilih = garis bata berdasarkan garis dasar normal = garis batas berdasarkan garis dasar lurus 29