TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika tanaman karet adalah sebagai berikut:kingdom: Plantae,

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Fabaceae. Kedudukan tanaman kacang hijau dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

TINJAUAN PUSTAKA. agak cerah, panjangnya 5-35 cm dan lebar 2,5-12,5 cm (Sianturi, 2001).

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Mansur (2006) menyebutkan bahwa Nepenthes ini berbeda dengan

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut hanya menembus lapisan tanah atas sedalam cm, tergantung jenis

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi,

TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar ( Jatropha curcas L.) Kultur Jaringan Tanaman

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman panili termasuk famili Orchidaceae, yang terdiri dari 700 genus

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Suhadirman (1997) menyebutkan bahwa Musa acuminata ini berdasarkan. klasifikasi tumbuhan ini sebagai berikut : Kingdom : Plantae;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan

TINJAUAN PUSTAKA. banyak mengandung air. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut: Divisio:

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi Tanaman Anggrek Vanda tricolor Lindl. var. suavis

LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TANAMAN

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hidup, terkontaminasi dan eksplan Browning. Gejala kontaminasi yang timbul

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan jenis tanaman polong-polongan

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

PENDAHULUAN. stroberi modern (komersial) dengan nama ilmiah Frageria x ananasa var

GAHARU. Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan

TEKNOLOGI KULTUR JARINGAN PERBANYAKAN TANAMAN SELAIN BENIH. Oleh : Nur Fatimah, S.TP PBT Pertama BBP2TP Surabaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Anggrek termasuk dalam famili Orchidaceae. Orchidaceae merupakan famili

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Anggrek Tebu (Grammatophyllum speciosum) Anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) merupakan anggrek yang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu mempunyai banyak nama daerah, di antaranya adalah ketela pohon,

KULTUR JARINGAN TANAMAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Benua Amerika, tepatnya

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Benua Amerika,

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan

RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman manggis merupakan tanaman tropis yang berasal dari Asia Tenggara,

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah

BAB I PENDAHULUAN. dan siklamat semakin meningkat. Hal ini nampak pada industri makanan, meningkatkan gizi makanan, dan memperpanjang umur simpan.

PEMBUATAN MEDIA KULTUR JARINGAN TANAMAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil pengatnatan terhadap parameter saat muncul tunas setelah dianalisis. Saat muncul tunas (hari)

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk

BAB III METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan ZipcodeZoo.com (2012) klasifikasi tanaman. Boesenbergia flava Holttum adalah Kingdom: Plantae, Class: Magnoliopsida

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu merupakan salah satu sumber pangan penting di Indonesia dan di dunia,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. energi utama umat manusia diperoleh dari bahan bakar fosil. Masalahnya

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

TINJAUAN PUSTAKA Botani Melon

BAB I PENDAHULUAN. 2011). Alfalfa termasuk tanaman kelompok leguminose yang berkhasiat

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Jati Emas (Cordia subcordata) kultur in vitro dengan induk tanaman pada mulanya berasal dari Myanmar.

I. TINJAUAN PUSTAKA. 2-9 m yang mempunyai batang dibawah tanah atau rhizom. Pisang merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Kombinasi BAP dan IBA terhadap Waktu Munculnya Tunas Akasia (Acacia mangium Willd.)

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

RESPON PERTUMBUHAN MERISTEM KENTANG (Solanum tuberosuml) TERHADAP PENAMBAHAN NAA DAN EKSTRAK JAGUNG MUDA PADA MEDIUM MS

Kultur Jaringan Tanaman Kopi. Rina Arimarsetiowati 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 90 Jember 68118

TINJAUAN PUSTAKA. Kenaf (Hibiscus cannabinus L.)

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stevia (Stevia rebaudiana) merupakan salah satu jenis tanaman obat di

Gambar 3 Peningkatan jumlah tunas aksiler pada perlakuan cekaman selama 7 hari ( ( ), dan 14 hari ( )

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH KONSENTRASI NAA DAN KINETIN TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS PISANG (Musa paradisiaca L. cv. Raja Bulu ) SECARA IN VITRO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Larutan Stok, Media Kultur Dan Sterilisasi Alat Kultur Jaringan Tumbuhan. Nikman Azmin

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BIBIT PISANG ABAKA DENGAN KULTUR JARINGAN DR IR WENNY TILAAR,MS

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman hias khususnya bunga merupakan salah satu komoditas hortikultura

REGENERASI EKSPLAN MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK

PENGARUH NAA DAN BAP TERHADAP INISIASI TUNAS MENGKUDU (Morinda citrifolia) SECARA IN VITRO ABSTRAK

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. dan lain-lain. Selain itu, kencur juga dapat digunakan sebagai salah satu bumbu

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai macam tanaman hias. Pengembangan komoditi tanaman hias dilakukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D.

PENGARUH KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) INDOLEBUTYRIC ACID (IBA) TERHADAP PERTUMBUHAN STEK TANAMAN JERUK

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Murashige-Skoog dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D dan

TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan, termasuk klasifikasi sebagai berikut; divisio : spermatophyta;

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

Kultur biji steril tomat

BAB I PENDAHULUAN. Stevia rebaudiana Bertoni termasuk tanaman famili Asteraceae

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sistematika tanaman karet adalah sebagai berikut:kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Dicotyledonae, Ordo :Euphorbiales, Famili: Euphorbiaceae, Genus: Hevea, Spesies: Hevea brasiliensismuell Arg.(Setiawan dan Andoko, 2005). Akar tanaman karet merupakan akar tunggang. Akar tanaman karet merupakan akar batang bawah yang berfungsi menyerap air dan garam-garam mineral. Akar tumbuh pada stadia kaki burung (Syamsulbahri, 1996). Tanaman karet adalah anggota famili Euphorbiaceae. Berbentuk pohon, tinggi 10-20 m, bercabang dan mengandung banyak getah susu. Daun berselangseling, tangkai daun panjang, 3 anak daun yang licin bertangkai, petiola pendek, hijau dan memiliki panjang 3,5-30,0 cm. Helaian anak daun bertangkai pendek dan berbentuk elips atau bulat telur, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing, sisi atas daun hijau tua dan sisi bawah agak cerah, panjangnya 5-35 cm dan lebar 2,5-12,5 cm (Sianturi, 2001). Daun tanaman karet adalah trifoliata. Tangkai daun panjang, serat daun tampak jelas, kasar. Daunnya tersusun melingkar batang (spiral), berambut. Bunganya bergerombol muncul dari ketiak daun (axilary), individu bunga bertangkai pendek, bunga betina terletak diujung (Syamsulbahri, 1996). Bunga yang keluar dari ranting ranting yang baru bersemi itu berbentuk bunag majemuk dimana satu tangkai bunga tersusun dari banyak bunga. Bunga majemuk ini terdapat pada ujung ranting yang berdaun. Tiap tiap karangan bunga bercabang cabang (Setyamidjaja, 1993).

Buah beruang tiga, jarang yang beruang empat hingga enam, diameter buah 3-5 cm dan terpisah 3,4 atau 6 cocci berkatup dua, perikarp berbatok, endokarp berkayu (Sianturi, 2001). Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jadi, jumlah biji biasanya tiga, kadang enam, sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warnanya cokelat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas (Tim Penulis PS, 2008). Kultur Jaringan Kultur jaringan merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro. Teknik ini dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (zat pengatur tumbuh), serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita, 2003). Teknik kultur jaringan dimulai ketika Schwan dan Schleiden mengemukakan teori totipotensi yang menyatakan bahwa sel-sel bersifat otonom dan pada prinsinya mampu beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Jaringan tanaman dapat diisolasi dan di kultur hingga berkembang menjadi tanaman normal dengan melakukan manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan nutrisinya (Zulkarnain, 2009). Perbanyakan in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu melalui organogenesis dan embriogenesis. Organogenesis adalah suatu proses untuk membentuk dan menumbuhkan tunas dari jaringan meristematik. Regenerasi eksplan menjadi organ dan planlet dapat diperoleh melalui jalur organogenesis langsung dan tidak langsung. Organogenesis langsung yaitu

eksplan langsung menumbuhkan sel meristematik yang kemudian berdiferensiasi menjadi organ (tunas, daun atau akar), sedangkan organogenesis tidak langsung terjadi pembentukan kalus terlebih dahulu. Embriogenesis merupakan proses perkembangan sel vegetatif atau sel-sel somatik yang diperoleh dari berbagai sumber eksplan (Zulkarnain 2009). Kultur in vitro tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dapat dilakukan dengan microcutting dan embriogenesis somatik (Nayanakantha dan Seneviratne, 2007; Montoro et al., 2010). Teknologi in vitro microcutting karet dikembangkan untuk menghasilkan batang bawah klonal (Carron dan Enjalric, 1983) guna memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas batang bawah yang selama ini dihasilkan dari biji. Meningkatnya kebutuhan batang bawah menyebabkan ketersediaan biji tidak mencukupi lagi karena tergantung pada beberapa klon karet penghasil biji batang bawah dan pada musim biji yang hanya berlangsung satu kali dalam setahun. Di samping itu, kelemahan lain dari penggunaan bibit asal biji sebagai batang bawah adalah adanya keragaman batang bawah dan kekurang-mampuan kombinasi batang atas dan batang bawah menampilkan potensi produksi dan karakter unggul lain secara maksimal karena perbedaan tingkat juvenilitas (Abbas dan Ginting, 1981). Microcutting merupakan salah satu teknik mikropropagasi tanaman berbasis kultur in vitro dan telah berhasil diaplikasikan untuk perbanyakan tanaman karet asal biji (seedling) dengan menggunakan tunas aksilar sebagai eksplan (Carron dan Enjarlic, 1983). Proses perbanyakan tanaman karet melalui teknologi microcutting terdiri atas beberapa tahap, yaitu kultur primer (primary culture), multiplikasi, conditioning (hardening), induksi dan inisiasi perakaran serta aklimatisasi (Carron et al., 2005). Kultur primer merupakan tahap

penanaman eksplan pada medium pertumbuhan steril untuk menginisiasi kultur aseptik, yang merupakan tahap awal dalam teknologi kultur jaringan (Ahloowalia et al., 2002). Eksplan pada tahapan kultur primer merupakan potongan batang tanaman karet muda yang dipelihara dalam polibeg di rumah kaca dan eksplan tersebut memiliki minimal satu mata tunas aksilar (auxiliary bud). Dalam kondisi in vitro, eksplan yang bebas dari kontaminan dan tumbuh baik dapat diperbanyak melalui subkultur berulang-ulang sehingga kultur primer merupakan tahap yang menentukan untuk keberhasilan dan keberlanjutan perbanyakan tanaman menggunakan teknologi tersebut (Haris et al., 2009). Teknik kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang diperlukan terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan eksplan, penggunaan medium yang cocok, keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik. Meskipun pada prinsipnya semua jenis sel dapat ditumbuhkan, tetapi sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh yaitu bagian meristemnya misalnya daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji dan sebagainya. Apabila menggunakan embrio atau bagian-bagian biji yang lain sebagai eksplan, yang perlu diperhatikan adalah kemasakan embrio, waktu imbibisi, temperatur dan dormansi (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Eksplan Dalam perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, eksplan merupakan faktor penting penentu keberhasilan. Umur fisiologis, umur ontogenetik, ukuran eksplan, serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur. Umumnya, bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif. Jaringan tanaman yang masih muda

mempunyai daya regenerasi lebih tinggi, sel-sel masih aktif membelah diri, dan relatif lebih bersih (mengandung lebih sedikit kontaminan) (Yusnita, 2003). Menurut Gunawan (1995), ukuran eksplan yang dikulturkan turut menentukan keberhasilan dari suatu teknik kultur jaringan. Ukuran eksplan yang terlalu kecil akan kurang daya tahannya bila dikulturkan. Sedangkan bila ukurannya terlalu besar akan sulit didapatkan eksplan yang steril. Kondisi fisiologi eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan teknik kultur jaringan. Pada umumnya bagian-bagian vegetatif lebih siap beregenerasi daripada bagian generatif. Eksplan mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang istirahat, lebih sulit berproliferasi daripada mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang aktif tumbuh. Sama halnya dengan kasus dormansi pada eksplan biji (Zulkarnain, 2009). Kajian kultur in vitro pada Hevea telah dilakukan melalui pendekatan kultur tunas pucuk, kultur tunas, somatik embriogenesis, dan transformasi genetik. Sebuah studidilakukandilembaga PenelitianKaret Indiadenganklon unggul karetmenggunakaneksplan pucukyang berasal daripohon dewasa Menurut Sinhaetal. (1985), awalnyatunasyangberegenerasidari beberapaklonkaretmengalami kegagalan dalam hal pembentukan akar. Asokaetal.(1988) mengkulturkan tunas ujung pucuk yangberasal daripohonklonaldan melaporkan bahwa terjadi perkembangan pada tunas dan akar.planlet yang telah berakardariempatklon karetberhasil dipindahkanke lapangandanprogramevaluasi lapangandapat dilaksanakan(thulaseedharan, 2002). Terdapat beberapa informasi tentang mikropropagasihevea yang menggunakaneksplan yang berbeda, sebagian besar berasal dari bibit (Thulaseedharan et al., 2000). Akan tetapi, bagian tanaman karet yang efisien

untuk perbanyakan skala besar klon Hevea masih belum berkembang. Paranjothy dan Glandimethi (1976) mencoba mengkulturkan tunas ujung pucuk (panjang 2-3 cm), yang berasal dari perbanyakan pertama dengan biji. Walaupun tunas ini mengalami perakaran di medium cair MS, namun tunas tersebut mengalami kegagalan pertumbuhan pada medium MS padat. Kemudian Enjarlic dan Carron (1982), menggunakan tunas yang berasal dari tanaman asal biji yang berumur 1-3 tahun di rumah kaca sebagai eksplan untuk dikembangkan menjadi tanaman berakar. Media Kultur Jaringan Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Media kultur tersebut, fisiknya dapat berbentuk cair atau padat. Kebutuhan nutrisi mineral untuk tanaman yang dikulturkan secara invitro pada dasarnya sama dengan kebutuhan hara tanaman yang ditumbuhkan di tanah, meliputi hara-hara makro dan mikro Komponen media kultur yang lengkap sebagai berikut. 1. Air distilasi (akuades) atauair bebas ion sebagai pelarut atau solven. 2. Hara makro dan mikro 3. Gula (umumnya sukrosa) sebagai sumber energi 4. Vitamin, asam amino dan bahan organik lain 5. Zat Pengatur Tumbuh 6. Suplemen berupa bahan-bahan alami, jika diperlukan 7. Agar-agar atau gelrite sebagai pemadat media (Yusnita, 2003). Teknik kultur jaringan menekankan lingkungan yang cocok agar eksplan dapat tumbuh dan berkembang. Lingkungan yang cocok, sebagian akan terpenuhi

bila media yang dipilih mempertimbangkan apa saja yang diperlukan oleh tanaman. Secara umumkebutuhan nutrisi kebanyakan tanaman sama, tetapi secara khusus hal tersebut berbeda. Kesamaannya adalah tanaman memerlukan hara makro dan mikro, vitamin vitamin, karbohidrat (gula), asam amino dan N- organik, zat pengatur tumbuh, zat pemadat dan kadang ada penambahan bahan bahan seperti air kelapa, ekstrak ragi, jus tomat, ekstrak kentang, buffer organik, ataupun arang aktif. Kebutuhan setiap tanaman berdeda pada hal komposisi dan jumlah yang diperlukan (Santoso dan Nursandi, 2001). Medium yang digunakan untuk kultur in vitro tanaman dapat berupa medium padat atau cair. Medium padat digunakan untuk menghasilkan kalus yang selanjutnya diinduksi membentuk tanaman yang lengkap (disebut sebagai planlet), sedangkan medium cair biasanya digunakan untuk kultur sel. Medium yang digunakan mengandung lima komponen utama yaitu senyawa anorganik, sumber karbon, vitamin, zat pengatur tumbuh dan suplemen organik (Yuwono, 2008). Lingkungan In Vitro Kondisi lingkungan yang menentukan keberhasilan pembiakan tanaman dengan kultur jaringan meliputi cahaya, suhu, dan komponen atmosfer. Cahaya dibutuhkan untuk mengatur proses morfogenetik tertentu. Dalam teknik kultur jaringan tanaman, cahaya dinyatakan dengan dimensi lama penyinaran, intensitas, dan kualitasnya. Kebutuhan lama penyinaran pada kultur jaringan tanaman merupakan pencerminan dari kebutuhan periodisitas tanaman yang bersangkutan di lapangan. Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan. Energi radiasi mendekati spektrum ultra violet dan biru merupakan kualitas cahaya yang paling efektif untuk merangsang pembentukan tunas, sedangkanpembentukan akar dirangsang oleh cahaya merah dan sedikit cahaya biru. Untuk itu, pada tahap

inisiasi dan multiplikasi tunas digunakan pencahayaan dengan lampu fluorescent (TL). Secara umum, intensitas cahaya yang optimal untuk tanaman pada kultur tahap inisiasi kultur adalah 0 1.000 lux, tahap multiplikasi sebesar 1.000 10.000 lux, tahap pengakaran sebesar 10.000 30.000 lux, dan tahap aklimatisasi sebesar 30.000 lux (Yusnita, 2003). Kultur jaringan tumbuh pada umumnya tumbuh di bawah tabung fluorscens pada intensitas 1000-5000 lux selama 26 jam (Yeoman, 1986). Dimana menurut Gunawan (1995), cahaya berperan didalam perkembangan dan pertumbuhan tanaman yang disebut fotomorfogenesis yang artinya cahaya dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bagian-bagian tanaman, misalnya tunas, pucuk dan lain-lain. Cahaya meliputi kualitas, intensitas cahaya dan lama penyinaran. Faktor pentìng lain yang juga perlu mendapat perhatian, adalah ph yang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu fungsi membran sel dan ph dari sitoplasma. Pengaturan ph selain memperhatikan kepentingan fisiologi sel, juga harus mempertimbangkan faktor faktor kelarutan dari garam garam penyusun media, pengambilan (uptake) dari zat pengatur tumbuh dan garamgaram lain, dan efisiensi pembekuan agar-agar. Sel-sel tanaman membutuhkan ph yang sedikit asam berkisar antara 5.5-5.8 Pengaturan ph, biasa dilakukan dengan menggunakan NaOH (kadang-kadang KOH) atau HCl pada waktu semua komponen sudah dicampurkan, seringkali setelah sterilisasi ph-nya berubah. Pada umumnya terdapat penurunan ph setelah disterilkan dalam autoclave. Untuk mencapai ph sekitar 5.7-5.9, George dan Sherrington (1984) membuatph 7.0 dalam media yang belum disterilkan. Untuk menghindarkan perubahan ph yang cukup besar, Murashige dan Skoog (1962) dalam George dan Sherrington (1984)

menyarankan agar dilakukan pemanasan untuk melarutkan agar-agar dan memanaskan beberapa menit media dalam autoklaf, baru diadakan penetapan ph. Cara lain yang dilakukan adalah penetapan ph setelah media disterilkan dalam autoclave. Dalam wadah yang besar media disterilkan dan kemudian dititrasi dengan NaOH/HCl steril sampai ph yang diinginkan. Selanjutnya media dituang ke dalam wadah kultur steril yang telah dipersiapkan di dalam air flow cabinet. Cara ini juga digunakan pada penelitian yang menggunakan media dengan ph rendah untuk tujuan seleksi (Gunawan, 1988). Suhu yang umum digunakan untuk pengkulturan berbagai jenis tanaman adalah ± 26 C. Untuk kebanyakan tanaman, suhu yang terlalu rendah (kurang dari 20 C) dapat menghambat pertumbuhan dan suhu yang terlalu tinggi (lebih dari 32 C) menyebabkan tanaman merana (Yusnita, 2003). Zat Pengatur Tumbuh Keberadaan hormon dan zat pengatur tumbuh dalam kegiatan kultur jaringan adalah mutlak. Karena kegiatan kultur jaringan umumnya menggunakan bahan tanam yang tidak lazim (sel, jaringan atau organ) dan budidayanya adalah budidaya yang terkendali. Pengaturan proses tumbuh dan berkembangnya eksplan dapat dilakukan dengan mengatur macam dan konsentrasi hormon atau zpt tertentu sehingga menghasilkan kombinasi yang tepat sesuai dengan harapan (Santoso dan Nursandi, 2001). Dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin (Gunawan, 1992). NAA (Naftaleine Asetat Acid) adalah zat pengatur tumbuh yang tergolong auksin. Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan bahwa auksin dapat meningkatkan sintesa protein. Dengan adanya kenaikan sintesa protein, maka dapat digunakan

sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan. Adapun kinetin (6-furfury amino purine) tergolong zat pengatur tumbuh dalam kelompok sitokinin. Kinetin adalah kelompok sitokinin yang berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Dalam pertumbuhan jaringan, sitokinin bersama-sama dengan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap deferensiasi jaringan (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Auksin adalah sekelompok senyawa yang fungsinya merangsang pemanjangan sel-sel pucuk yang spektrum aktivitasnya menyerupai IAA (indole- 3-acetid acid). Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umumnya auksin meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel, dan pembentukan akar adventif. Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, namun kehadiranya dalam medium kultur dibutuhkan untuk meningkatkan embriogenesis somatik pada kultur suspensi sel. Konsentrasi auksin yang rendah akan meningkatkan pembentukan akar adventif, sedangkan konsentrasi tinggi merangsang pembentukan kalus dan menekan morfogenesis (Zulkarnain, 2009). Auksin yang paling banyak digunakan pada kultur in vitro adalah indole- 3-acetic acid (IAA), α-naphthylacetic acid (α-naa), dan 2,4-dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D). Jenis-jenis auksin yang lain seperti 2,4,5- trichlorophenoxyacetid acid (2,4,5-T), indole-3-butyric acid (IBA), dan P- chlorophenoxyyacetic acid (4-CPA) juga merupakan senyawa yang efektif, tetapi penggunaanya tidak sebanyak tiga jenis auksin yang disebut terlebih dahulu. 2,4,5-T dapat meningkatkan pembentukan kalus pada kultur in vitro tanaman bijibijian, sedangkan IBA sangat efektif untuk menginduksi perakaran.iaa merupan auksin yang disintesis secara alamiah di dalam tubuh tanaman, namun senyawa ini

mudah mengalami degradasi akibat pengaruh cahaya dan oksidasi enzimatik. Oleh karena itu, IAA biasanya diberikan pada konsentrasi yang relatif tinggi (1-30 mg L -1 ). Sementara itu α-naa yang merupakan auksin sintetik tidak mengalami oksidasi enzimatik seperti halnya IAA. Senyawa tersebut dapat diberikan pada medium kultur pada konsentrasi yang lebih rendah, berkisar antara 0,1-2,0 mg L -1 (Zulkarnain, 2009). Sitokinin merupakan nama kelompok hormon tumbuh yang sangat penting sebagai pemacu pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan. Seperti halnya pada auksin, selain sitokinin alami juga terdapat sintesisnya yang tergolong dalam zat pengatur tumbuh. Kinetin adalah merupakan sitokinin yang pertama kali ditemukan oleh mahasiswa profesor Skoog s bernama Carlos Miller (1954) pada laboratorium di Universitas Wisconsin, yaitu senyawa yang sangat aktif yang terbentuk dari hasil penguraian sebagian DNA tua sperma ikan hering atau DNA yang diautoklaf yang menyebabkan terus tumbuhnya kalus tembakau (Santoso dan Nursandi, 2001). Sitokinin yang paling banyak digunakan pada kultur in vitro adalah kinetin, benziladenin (BA atau BAP), dan zeatin. Zeatin adalah sitokinin yang disintesis secara alamiah, sedangkan kinetin dan BA adalah sitokinin sintetik (Zulkarnain, 2009). Dari beberapa penelitian yang utama dan sesuai dengan namanya jelas mempunyai kaitan erat dengan sel, Secara lebih luas peranya dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Sitokinin berperan dalam memacu pembentangan sel, pembesaran dan pembelahan sel. 2. Sitokinin berperan dalam penundaan senessen (penuaan). 3. Sitokinin berperan mengarahkan transport zat hara, yaitu memberi peran signal kearah mana zat hara akan dibawa atau ditransport. 4. Peran sitokinin

yang lain adalah: mendorong proses morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas, pembentukan umbi pada kentang, pemecahan dormansi, pembukaan stomata, pembungaan dan pembentukan buah partenokarpi. 5. dalam kultur jaringan sitokinin telah terbukti dapat menstimulir terjadinya pembelahan sel, proliferasi kalus, pembentukan tunas, mendorong proliferasi meristem ujung, menghambat pembentukan akar, mendorong pembentukan klorofil pada kalus (Santoso dan Nursandi, 2001). Terdapat kisaran interaksi yang luas antara kelompok auksin dengan kelompok sitokinin. Kedua kelompok zat pengatur tumbuh tersebut berinteraksi pula dengan senyawa senyawa kimia lainya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, seperti cahaya dan suhu. Pada kondisi tertentu auksin dapat bereaksi dengan menyerupai sitokinin, atau sebaliknya (Kyte, 1983). Meskipun demikian, baik auksin maupun sitokinin, keduanya sering kali diberikan secara bersamaan pada medium kultur untuk menginduksi pola morfogenesis tertentu, walaupun ratio yang dibutuhkan untuk induksi perakaran maupun pucuk tidak selalu sama, terdapat keragaman yang tinggi antargenus, antarspesies, bahkan antar kultivar dalam hal jenis takaran auksin dan sitokinin untuk menginduksi terjadinya morfogenesis (Zulkarnain, 2009). Umumnya sitokinin paling banyak terdapat di organ muda (biji, buah, daun) dan di ujung akar. Daun, buah dan biji muda, tidak mudah memindahkan sitokininnya ke tempat lain, baik melalui xilem maupun floem. Sitokinin eksogen menghambat pertumbuhan in vitro jika konsentrasi zpt dalam jaringan menjadi berlebihan. Tidak mudah untuk mengatasi masalah ini tanpa mengukur konsentrasi dalam sitokinin pada irisan jaringan, terutama pada sel epidermis yang diduga menghalangi keseluruhan laju pemanjangan (Salisbury and Ross, 2002).

Auksin terutama untuk pertumbuhan kalus, suspensi sel dan pertumbuhan akar. Bersama-sama sitokinin dapat mengatur tipe morfogenesis yang dikehendaki. Pemilihan konsentrasi dan jenis auksin ditentukan oleh kemampuan dari jaringan yang dikultur (eksplan) untuk mensintesis auksin secara alamiah. Pada sitokinin dengan konsentrasi tinggi yang mendorong proliferasi tunas sebaliknya menghambat penghambat akar. Zat pengatur pada eksplan tergantung dari zat pengatur tumbuh endogen dan zat pengatur eksogen yang diserap dari media tumbuh. Konsentrasi yang diperlukan dari masing-masing ZPT auksin dan sitokinin tergantung dari jenis eksplan, genotip, kondisi kultur serta jenis auksin dan sitokinin yang dipergunakan (Wattimena dkk, 1992).