Bab I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah 1.1.1. Pariwisata Yogyakarta Gambar 1. 1 Peta Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta Sumber: http://visitingjogja.com/assets/uploads/files/bank_ data/peta_wisata_2015_uplod_21012016083713.jpg Pariwisata adalah salah satu sektor yang menandakan sebuah daerah maju dan dikenal dari seluruh penjuru. Pariwisata juga merupakan devisa terbesar yang digunakan banyak daerah untuk mengembangkan daerahnya. Maka dari itu, banyak pemerintah daerah berlomba-lomba untuk melakukan perbaikan dan pengembangan daerah pariwisata masing-masing untuk mendapatkan devisa lebih dari tempat wisata tersebut. Perkembangan pariwisata pada saat ini sudah sangat pesat, pesatnya perkembangan tersebut tentu melibatkan banyak orang, baik kalangan masyarakat, industri pariwisata maupun kalangan pemerintah. Masyarakat maupun kalangan industri dan pengusaha pariwisata, keduanya tentu terkadang harus bergandengan tangan dalam menciptakaan kondisi yang baik dalam perkembangan industri pariwisata secara nasional maupun internasional. Banyak sekali objek wisata dan daya tarik wisata yang dimiliki Indonesia dan dapat dijadikan sebagai sarana pemicu keinginan wisatawan domestik ataupun 1
mancanegara untuk berkunjung. Objek wisata dan daya tarik wisata tersebut tersebar di seluruh tanah air dengan berbagai macam perbedaan kebudayaan dan keunikan yang dimiliki tiap-tiap daerah, salah satunya DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi di daerah selatan Pulau Jawa, salah satu dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Provinsi ini beribukota di Kota Yogyakarta, kota yang terkenal dengan berbagai julukannya, seperti kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata. Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati. Yogyakarta berarti Yogya yang kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti Yogya yang makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari nama ibu kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya seharihari, Yogyakarta biasa disebut juga dengan sebutan Jogja, Jogjakarta atau Ngayogyakarta. Kota budaya diberikan atas berkat dukungan Kraton Kesultanan Yogyakarta yang merupakan salah satu upaya dan pelindung kebudayaan tetap terjaga di provinsi ini. Biasanya pemerintah daerah tidak memiliki gerak yang cukup luas untuk mengatur daerahnya karena terkait dengan pemerintahan pusat, namun berbeda dengan Yogyakarta ini, bergerak di bawah pemerintahan istimewa membuat Sri Sultan Hamengku Buwono memiliki kekuasaan lebih terhadap pemerintahan yang dipimpinnya. Termasuk mencampur adukkan urusan kebudayaan dan pemerintahan. 1.1.2. Prospek Wisata Edukasi-Industri Tempe di Yogyakarta Gambar 1. 2 Tempe Kita, Rumah Tempe Indonesia Sumber: http://assets.kompasiana.com/items/album/2015/10/18/tem-7-562316a9cd92737011463acd.jpg?v=600&t=o?t=o&v=700 2
Tahu dan tempe merupakan makanan warisan budaya bangsa Indonesia yang sangat terkenal di dunia. Kaya akan nilai gizi dan bermanfaat bagi kesehatan ini menyebabkan Tahu dan tempe menjadi makanan yang sangat tidak asing untuk dijumpai di meja makan di berbagai kesempatan di Indonesia. Makanan yang berbahan baku kedelai dengan kandungan nutrisi dan protein yang tinggi, harga yang murah, serta rasa yang enak ini menjadikan tahu dan tempe menjadi makanan favorit bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Tempe sudah dikenal di seluruh dunia sebagai makanan asli Indonesia, berbeda dengan tahu yang tidak asli Indonesia melainkan berasal dari Cina, namun dapat berkembang baik di Indonesia. Menurut pakar tempe dari Universitas Gadjah Mada, Mary Astuti, tempe benar-benar asli dari Indonesia (Jawa Kuno). Di dalam Bunga Rampai Tempe Indonesia, Mary Astuti mengemukakan bahwa tempe sudah dikenal dari abad 19. Hal itu diyakini kebenarannya karena ditemukannya kata tempe di dalam serat Centhini jilid ketiga. Di dalamnya menggambarkan perjalanan Cebolang dari candi Prambanan menuju Pajang, mampir di dusun Tembayat wilayah Kabupaten Klaten dan dijamu makan siang oleh Pangeran Bayat dengan lauk seadanya: brambang jae santen tempe asem sambel lethokan sambel lethok dibuat dengan bahan dasar tempe yang telah mengalami fermentasi lanjut. Pada jilid 12 kedelai dan tempe disebut bersamaan: kadhele tempe srundengan. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tempe memang benarbenar berasal dari Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Sensus Ekonomi Nasional (Susenas) 2006 tercatat bahwa terdapat 115.000 pengrajin tahu dan tempe di seluruh Indonesia. Dan industri tempe sendiri menyerap sekitar 2,2 juta ton kedelai/tahun. Namun, dari 2,2 juta ton kedelai/tahun tersebut hanya 600 ribu ton yang mampu dipenuhi oleh petani kedelai lokal. Sementara 1,6 juta ton lainnya harus diimpor dari Amerika Serikat (Survei Kementrian Pertanian, 2011). Dari 1,6 juta ton itu, kurang lebih 80% diolah menjadi tempe dan tahu, sementara 20% lainnya untuk makanan lain seperti susu kedelai. Dan dalam bentuk rupiah pun, industri tempe dapat menghasilkan hingga mencapai jumlah yang fantastis, sekitar Rp. 37 Triliun. Jumlah yang tidak bisa dianggap sedikit ini tentu cukup memberi nilai bagi perekonomian rakyat. Dari wilayah-wilayah penghasil kedelai di seluruh Indonesia yang merupakan bahan baku tempe, Yogyakarta merupakan salah satu penghasil kedelai terbanyak keenam di Indonesia setelah Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dengan luas lahan panen kedelainya mencapai 13886 Ha 3
(Badan Pusat Statistik, 2015). Maka dari itu, Yogyakarta dapat menjadi salah satu komoditas kedelai yang dapat diandalkan di Indonesia. 1.1.3. Isu Industri Tempe Tradisional Gambar 1. 3 Grafik Luasan Panen Kedelai Sumber: Badan Pusat Statistika 2015 Dari 115.000 pengrajin tempe yang tersebar di Seluruh Indonesia, hampir semuanya memproduksi dengan cara tradisional dan alat seadanya. Hal tersebut dikarenakan industri tempe merupakan industri skala kecil/rumahan. Dalam undangundang melalui Perpres No. 36 Tahun 2010 juga menyatakan bahwa industri tempe merupakan usaha yang dicadangkan bagi usaha mikro kecil dan menengah sehingga industri besar memang tidak memiliki izin untuk memproduksi tempe. Sesungguhnya peraturan tersebut merupakan sebuah kesempatan yang besar untuk UKM merajai pasaran tempe. Namun sayangnya, kuantitas produk dan kondisi UKM tempe sampai saat ini belum bisa optimal. Terkhusus untuk industri tempe tradisional karena mereka melakukan praktek produksi dengan seadanya tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan baik dari segi lingkungan maupun dampak terhadap produk yang dihasilkannya sendiri. Seperti misalnya, Pengrajin tempe Tradisioal berskala kecil biasa menggunakan drum bekas oli atau minyak seadanya tanpa mempertimbangkan faktor kebersihan dan efisiensi. Belum lagi terdapatnya proses-proses yang kurang higienis seperti adanya proses penginjakan dengan kaki pegawai untuk membantu pengupasan kulit dengan sempurna atau hanya sekedar untuk menghaluskan kedelai setelah penggilingan. Atau kurangnya sistem penghawaan yang optimal sehingga membuat tempat bekerja menjadi sangat panas dan membuat para pekerja bertelanjang dada dalam melakukan pekerjaannya karena suhu ruangan sudah melampaui batas nyaman yang dianjurkan. Dan masalah ruangan produksi yang menjadi kumuh karena bahan bakar menggunakan 4
kayu sehingga menyebabkan ruangan menjadi penuh asap dan berwarna hitam pada atap dan dindingnya. Dan juga pencemaran udara yang dihasilkan akibat pembakaran kayu bakar berupa asap, debu, dan lingkungan yang tidak sehat bagi para pekerjanya. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa hal-hal tersebut tentu jauh dari standar produksi pangan. Proses Produksi yang tidak memenuhi standar produksi pangan tersebut menghasilkan kesan tempe Indonesia sebagai makanan masyarakat kelas bawah yang tidak higienis sehingga menyebabkan umur simpan tempe yang pendek pula. 1.1.4. Prospek Industri Tempe Modern Gambar 1. 4 Rumah Tempe Indonesia (Produksi Tempe Modern) Sumber: Rumah Tempe Indonesia. Profil Rumah Tempe Indonesia, Pusat Produksi Tempe Higienis dan Ramah Lingkungan Dampak-dampak merugikan dari proses produksi tempe yang tidak higienis ini menimbulkan keprihatinan para penggerak organisasi yang mengurusi perihal tempe di Indonesia ini. Berawal dari keprihatinan tersebut, tiga organisasi: Mercy Corps Indonesia, Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Kabupaten Bogor (KOPTI Kab Bogor) dan Forum Tempe Indonesia (FTI) mulai membangun Rumah Tempe Indonesia (RTI) di Bogor pada tahun 2011, yaitu sebuah industri tempe yang mengedepankan proses produksi yang higienis serta ramah lingkungan. Peralatan serba stainless steel, prosedur pengolahan yang mengikuti kaidah Good Hygienic Practices (GHP) serta pengolahan limbah menggunakan teknologi biogas dilakukan RTI Bogor untuk memujudkan tujuan awal dari dibangunnya industri tempe ini, yaitu Sebagai percontohan produksi tempe higienis dan ramah lingkungan, sebagai pusat pengembangan produk olahan berbasis tempe, sebagai fasilitas pendidikan dan 5
penelitian bagi produsen tempe, mahasisawa, pelajar dan masyarakat umum yang tertarik dengan tempe. Proses produksi tempe yang tidak higienis itu secara tidak langsung juga menjatuhkan citra tempe dan menyebabkan tempe tidak dapat berkembang untuk dijadikan industri besar dan disebarkan secara global karena tidak memenuhi standar yang ada. Dengan proses produksi tempe di RTI yang telah menerapkan standarstandar yang berlaku diharapkan dapat mendorong perubahan dan memperbaiki kualitas dan citra tempe di Indonesia sesuai visi dari Rumah Tempe Indonesia sendiri. 1.1.5. Industri Tempe Modern Sebagai Wisata Edukasi Tempe pernah diisukan telah diklaim hak patennya oleh Negara Sakura, Jepang. Padahal setelah ditelisik lebih lanjut, tempe merupakan makanan yang yang sudah akrab dengan kita, para penduduk Jawa bahkan Indonesia dan tetap diyakini berasal dari Indonesia. Jepang hanya mengklaim paten dari ragi Rhizopus oligosporus, ragi yang dipakai untuk tempe yang dibungkus plastik karena tempe sesungguhnya tidak bisa dipatenkan karena Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 1). Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa sesuatu yang ingin mendapatkan paten harus memiliki penemu sedangkan tempe tidak memiliki terkait siapa yang menemukannya pertama kali. Yang kita ketahui hanyalah tempe merupakan sebuah hasil eksperimen dari fermentasi tahu, makanan asli cina yang sudah terlebih dahulu masuk dan berkembang di Indonesia. Isu paten tempe oleh Jepang itu tidak dapat kita abaikan begitu saja, karena secara tidak langsung hal itu telah menunjukkan ketidakpedulian kita sebagai warga Indonesia untuk menjaga produk lokal. Namun, tidak ada kata terlambat untuk memulai sebuah usaha, termasuk usaha untuk menanamkan rasa kepedulian dan rasa bangga terhadap produk lokal, salah satunya tempe dan produk olahannya. Galeri dan workshop Rumah Tempe Indonesia ini diharapkan mampu memberikan edukasi secara menarik terhadap siapapun yang datang. 6
1.2. Permasalahan 1.2.1. Permasalahan umum (non arsitektur) 1. Kurangnya wawasan dan pemahaman mengenai tempe sebagai kuliner asli Indonesia, baik dari segi proses produksinya maupun hasil olahan maupun proses pengelolaan limbahnya 2. Rendahnya minat wisata edukasi sebagai tujuan wisata 3. Kurang adanya tempat wisata yang menyediakan berbagai macam tempat sekaligus, sehingga membutuhkan waktu lebih untuk mengunjungi semua tempat yang berkolerasi. 1.2.2. Permasalahan khusus ( arsitektur) 1. Bagaimana penerapan konsep arsitektural dari wisata edukasi, yang mengangkat tempe sebagai objek edukasinya 2. Bagaimana penerapan pendekatan biomimikri yang mencerminkan proses industri tempe dalam bangunan edukasi yang kompak dan berkesan 3. Bagaimana cara menerapkan lokalitas dan karakter dalam bangunan yang dapat dijadikan sebagai bangunan percontohan yang mengedukasi masyarakat 1.3. Tujuan & sasaran 1.3.1. Tujuan Tujuan penulisan Wisata Edukasi Industri Tempe adalah sebagai upaya untuk memperkenalkan industri tempe modern, menaikkan citra tempe dan memberikan wisata edukasi yang dirangkum dengan konsep One Stop, untuk menggabungkan berbagai macam fungsi bangunan, dari mulai galeri, industri, workshop, hingga kafe sehingga see, do, play, and learn dapat diterapkan untuk memberikan wadah bermain dan belajar dalam satu tempat untuk lebih memaksimalkan pengetahuanpengetahuan yang didapat oleh pengunjung. Penerapan pendekatan biomimikri diharapkan agar kesan tempe lebih terasa dan mudah diingat oleh pelaku edukasi dan lokalitas sebagai ciri khas dari wisata edukasi tempe Gunung kidul. 1.3.2. Sasaran 1. Mempelajari olah ruang dan pola aktivitas pada wisata edukasi industri terkait konsep ruang dan kegiatan yang ingin dimunculkan 2. Mampu mengkobinasikan sisi rekreatif dan edukatif dari sebuah industri dalam sebuah alur wisata 3. Merumuskan sebuah konsep wisata industri tempe dengan alur cerita tertentu dengan metode penyampaian yang menarik 7
1.4. Lingkup Pembahasan Lingkup pembahasan pada landasan konseptual perancangan dibatasi pada penyelesaian kebutuhan ruang bagi industri tempenya sendiri dan juga permasalahan arsitektural untuk menciptakan industri tempe modern berbasis wisata edukasi yang mencakup: konsep ruang, pola aktivitas, analisa kebutuhan dan program ruang, zonasi, konsep massa bangunan, alur sirkulasi, penataan lansekap, utilitas, dan konsep evaluasi. 1.5. Metode Pembahasan 1. Studi literatur Metode pengumpulan data melalui studi literatur merupakan proses pengumpulan data berdasarkan literatur, sumber sumber tertulis baik berupa desain, artikel dan teori dari berbagai sumber, baik buku, majalah, internet, dan lain lain. 2. Observasi dan Survei Lapangan Metode pengumpulan data melalui survei lapangan dan mengumpulkan informasi-informasi yang dapat berupa data lokasi, foto, gambar untuk lebih jauh mendapatkan gambaran tentang lokasi site dan permasalahan dalam desain. 3. Analisis Data Analisis data adalah kegiatan pengolahan data dengan cara membandingakan dan mereview data yang didapat baik dalam studi literatur, observasi dan survei lapangan. 4. Sintesis Sintesis merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk menemukan solusi mau pun kesimpulan dengan mencari fakta, menarik kesimpulan dari analisis, hingga mendapatkan poin poin untuk desain perancangan. 1.6. Sistematika Penulisan BAB 1 Pendahuluan Bab ini berisi penjelasan latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan, sasaran dan lingkup pembahasan, metodelogi, sistematika penulisan, keaslian penulisan dan kerangka berfikir. BAB 2 Tinjauan Pustaka Bab ini berisi penjelasan dan pembahasan tentang hasil studi literature, observasi dan data lapangan, pencarian data pustaka, dasar dasar teori yang akan digunakan dalam proses perancangan. 8
BAB 3 Tinjauan Lokasi Bab ini berisi pembahasan mengenai kondisi lokasi perancangan dari tinjauan skala makro, messo dan mikro. BAB 4 Analisis dan Pendekatan Konsep Bab ini berisi analisis mengenai tapak, pembahasan mengenai pendekatanpendekatan yang akan dilakukan dalam proses perencanaan dan perancangan berdasarkan tinjauan teori dan studi kasus yang telah dijabarkan. BAB 5 Konsep Perancangan Bab ini berisi penjelasan tentang gambaran konsep perencanaan dan perancangan desain Pusat Wisata Edukasi Industri Tempe terkait dengan bentuk, tata ruang luar dan dalam, program, sirkulasi dan sistem dalam bangunan. 1.7. Keaslian Penulisan Dengan ini Saya menyatakan bahwa substansi dalam penyusunan Pra Tugas Akhir yang saya ajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Tugas Akhir sebagai bagian dari kurikulum untuk mendapat gelar S-1 Sarjana Teknik Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta adalah sepenuhnya hasil pekerjaan saya sendiri, dan dalam karya tersebut tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memenuhi kurikulum yang serupa. Untuk menunjukkan keaslian pada penulisan proposal ini, maka dibawah ini terdapat perbandingan yang diambil dari beberapa penulisan yang berkaitan dengan tema yang ada pada proposal ini; 1. Museum Batik Sebagai Pusat Edukasi dengan Konsep One Stop Edutainment, DTAP FT UGM. 2. Febaranti, Dita (2013), Perancangan Museum Tanaman Obat di Tlogodlingo dengan pendeketan Experiental Learning 3. Pintaloka, Rindang (2012), Workshop dan Galeri Kerajinan Industri Furniture Sintetik Daur Ulang di Bantul Yogyakarta dengan Penekanan Ramah Lingkungan, DTAP FT UGM. 4. Rakhmanita, Anisa Yulia (2013), Zero Waste Education Park di TPA Suwung dengan Pendekatan Ecomimicry, DTAP FT UGM. Kekhususan Pra-Tugas Akhir dibandingkan dengan judul-judul ini adalah mengangkat produk kuliner tradisional tempe sebagai sarana wisata edukasi dengan 9
konsep One Stop dengan beragam fungsi bangunannya yang disediakan, terdiri atas lahan pertanian kedelai, industri modern pembuatan tempe, galeri, workshop, merchandise shop, restoran dan kafe, tempat orang menyantap hidangan-hidangan hasil olahan tempe yang hangat dan fresh ketika kelelahan setelah menjalani serangkaian wisata industri Yang dimana kesemua fungsi itu bertujuan sebagai media promosi untuk memberi informasi dan menambah nilai jual tehadap tempe itu sendiri. 1.8. Kerangka Berpikir Gambar 1. 5 Kerangka Berpikir Sumber: Analisis penulis, 2017 10