BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku bangsa (etnik) yang tersebar di seluruh

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dunia ini banyak hal yang tidak terbaca karena selalu ada sesuatu

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Agama ini pernah berkembang pesat dan menjadi bagian

I. PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan dipandang sebagai sarana bagi manusia dalam beradaptasi terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus penduduk terpadat di Kabupaten Langkat. Kecamatan ini dilalui oleh

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang masalah. Suku Karo adalah salah satu suku yang ada di Provinsi Sumatera

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN. sistem religi/kepercayaan terhadap sesuatu menjadi suatu Kebudayaan. Sistem

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang majemuk, yang terdiri dari

BAB IV PENUTUP. dengan masuknya etnik Tionghoa di Indonesia. Medio tahun 1930-an dimulai. dan hanya mengandalkan warisan leluhurnya.

BAB I PENDAHULUAN. mereka sebut sebagai kepercayaan Tri Dharma. Perpindahan masyarakat Tiongkok

BAB I PENDAHULUAN. keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perdagangan. Ramainya perdagangan di daerah pesisir Tenggara

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa pemerintahan Orde Baru, keberadaan etnis Tionghoa merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang s2ampai Merauke dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki beranekaragam budaya yang berbeda-beda, namun saling

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989: 33).

BAB I PENDAHULUAN. meliputi segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional

BAB I PENDAHULUAN. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu. buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Senakin kabupaten Landak Kalimantan Barat. Teori-teori tersebut dalah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia dikenal dengan keberagaman tradisinya, dari

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara TIPOLOGI DAN MAKNA SIMBOLIS RUMAH TJONG A FIE DI KOTA MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. lampau dimana kawasan Sumatera Utara masuk dalam wilayah Sumatera Timur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota Binjai merupakan kota multi etnik yang dihuni oleh etnis Melayu,

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut sejarah Cina kuno dikatakan bahwa orang-orang Cina mulai

BAB I PENDAHULUAN. Budaya merupakan sistem nilai suatu masyarakat, meliputi cara-cara berlaku,

BAB I PENDAHULUAN. Kontak antara Cina dengan Nusantara sudah terjadi sejak berabad-abad

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. rancangan, ide atau pengertian yang diabstrakkan dalam istilah kongkret,

BAB I PENDAHULUAN. dimana arsitektur itu berada (Rapoport, 1969). Rapoport membagi arsitektur menjadi

BAB I PENDAHULUAN. formal dalam bentuk sebuah negara. Sub-sub etnik mempunyai persamaanpersamaan

Makna Arsitektur Klenteng Teng Swie Bio di Kecamatan Krian, Sidoarjo. Muhammad Nizar Alieffudin.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dalam kehidupan masyarakat Tionghoa. Seni meramal ini muncul

BAB I PENDAHULUAN. kearifan nenek moyang yang menciptakan folklor (cerita rakyat, puisi rakyat, dll.)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya. Terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Moses, 2014 Keraton Ismahayana Landak Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

BAB II KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA, DAN LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Menurut sejarah, sesudah Kerajaan Pajajaran pecah, mahkota birokrasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sumatera Timur adalah wilayah yang ada di Pulau Sumatera. Kawasan ini

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

Bab I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Koentjaranigrat (2009:144) mendefenisikan

BAB I PENDAHULUAN. yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata.

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mancanegara. Dapat dikatakan sebagai kerajinan tradisional. Baik sebagai bentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat Indonesia dikenal dengan keberagaman tradisinya, dari

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan kebudayaan. Budaya

BAB II DATA DAN ANALISA

gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 1990 : 456).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Agama memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap etnik (suku) di Indonesia memiliki kebudayaan masing-masing yang berbeda

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam budaya Batak Toba terdapat jenis Ragam Hias (Ornamen) yang

BAB I PENDAHULUAN. di Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar, dan wilayah Pekanbaruyang merupakan kekuatan

STUDI PENGEMBANGAN PECINAN LASEM SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA TUGAS AKHIR. Oleh : Indri Wahyu Hastari L2D

BAB I PENDAHULUAN. Karo merupakan etnis yang berada di Sumatera Utara dan mendiami

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. akan memunculkan sebuah budaya dan musik baru. Walaupun biasanya terkadang

Nama : Charnan A/L Murliah COUSE CODE: MPU 2323.(G2) LECTURER S NAME: ENCIK AHMAD TARMIZI BIN ZAKARIA. SUBJECT: AGAMA-AGAMA DI MALAYSIA.

Faktor-faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional

BAB I PENDAHULUAN. oleh situasi politik di wilayah kerajaan-kerajaan yang didatangi (I G.N. Anom,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Rumah Ibadat Kelenteng. Gondomanan, Jl. Brigjend. Katamso No.3, Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memiliki nilai spiritual. Anggapan ini membuat hewan, tumbuhan, dan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

BAB I PENDAHULUAN. Ragam hias di Indonesia merupakan kesatuan dari pola pola ragam hias

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami

Sambutan Presiden RI pd Penganugerahan Gelar Kehormatan Adat Budaya Banjar tgl. 24 Okt 2013 Kamis, 24 Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. etnis Tionghoa sudah terjadi sejak lama. Orang-orang China yang bermukim

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Prasetya dalam bukunya yang berjudulilmu

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. pelestarian budaya lokal oleh pemprov Bangka dan proses pewarisan nilai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, bentuk imajinasi dan ide ide kreatif yang diwujudkan dalam

BAB I PENDAHULUAN. saja, melainkan negara yang berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa, karena

BAB I PENDAHULUAN. dari beragamnya kebudayaan yang ada di Indonesia. Menurut ilmu. antropologi, (dalam Koentjaraningrat, 2000: 180) kebudayaan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Koentjaraningrat (1947), wujud kebudayaan ada tiga macam: 1)

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB I PENDAHULUAN. pemberontakan, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Bab 1. Pendahuluan. menjadi pemimpin bagi negara-negara lain di sekitarnya dalam berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. halnya di daerah Sumatera Utara khususnya di kabupaten Karo, rumah adat

BAB l PENDAHULUAN. pencapaian inovasi tersebut manusia kerap menggunakan kreativitas untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk menunjukkan tingkat peradaban masyarakat itu sendiri. Semakin maju dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Arti kata Vernakular itu sendiri berasal dari bahasa latin yaitu verna yang

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia lahir, hidup dan berinteraksi secara sosial-bekerja, berkarya,

BAB I (Times New Roman 16, Bold) PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Moyang terdahulu. sebagai mana dikemukakannya bahwa: c. Seni musik yang disebut gondang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prima Suci Lestari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumatera Utara memiliki beberapa Kesultanan pada masanya, yang

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan kebudayaan mulai dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI. Tinjauan pustaka adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, sesudah

BAB 5 RINGKASAN. keatas dari penduduk Indonesia yang beragama Islam, masih terdapat agama Kristen,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak suku bangsa (etnik) yang tersebar di seluruh wilayahnya. Berbagai suku bangsa ini ada yang dipandang sebagai penduduk asal Nusantara dan ada pula penduduk pendatang. Keduanya menyatu dalam sebuah negara bangsa tanpa membeda-bedakan asal-usul dan keturunan. Hal ini tercermin dalam konsep bhinneka tunggal ika (biar berbeda-beda tetapi tetap satu juga), yang didasari oleh filsafat kenegaraan bangsa kita yaitu Pancasila. Masing masing suku bangsa memiliki tradisi dan kebudayaan yang berbedabeda, salah satunya masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang awalnya berada di dalam wilayah budaya Cina dan migrasi ke Indonesia. Mereka secara khas disebut dengan masyarakat Tionghoa. Istilah Tionghoa sesuai hukum dan konstitusional tercantum dengan jelas pada penjelasan pasal 26 UUD 1945 yang menjadi Warga Negara adalah orang oramg bangsa Indonesia asli dan orang orang bangsa lain yang disahkan dengan undang undang sebagai Warga Negara. Kemudian dalam penjelasan pasal 26 tersebut ditegaskan bahwa yang dimaksud orang orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, Tionghoa, dan peranakan Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia mengakui sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia, dapat menjadi warga Negara.

Para imigran Tionghoa yang tersebar di wilayah Indonesia, khususnya Sumatera Utara mulai abad ke 16 sampai kira kira pertengahan abad ke 19, sebagian besar berasal dari suku bangsa Hokkien. Mereka berasal dari Provinsi Fukien bagian selatan. Daerah itu merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan masyarakat China. Seiring dengan merantaunya orang China ke Indonesia maka masuk pula kebudayaan mereka, seperti bahasa, religi, kesenian, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, teknologi, dan sistem mata pencaharian hidup. Dari segi religi, masyarakat China menganut tiga agama dari negara asal mereka yang disebut San Jiau/Sam Kauw, di Indonesia ajaran ini dikenal dengan Tridharma. Tiga agama yang banyak dianut masyarakat Cina yaitu Khong Hu Chu, Tao, dan Buddha. Dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan akan jasmani dan rohani sangat dibutuhkan oleh manusia. Untuk memenuhi kebutuhan jasmani manusia bisa melakukan berbagai macam aktivitas seperti berolahraga ataupun bekerja agar tetap sehat, sedangkan untuk kebutuhan rohani manusia dapat mendekatkan dirinya kepada sang penciptanya dengan meyakini sebuah kepercayaan dalam bentuk agama. Pemerintah Indonesia menghormati keberadaan masyarakat Tionghoa dengan tidak mendiskriminasikan dengan agama-agama lain yang ada di Indonesia, dimana masyarakat Tionghoa diberi kewenangan untuk mendirikan tempat ibadah yang sesuai dengan keyakinan yang diyakininya, dan tempat ibadah tersebut dikenal dengan sebutan klenteng ataupun vihara. Depdiknas (2000:22) berpendapat bahwa, Klenteng merupakan istilah dalam Bahasa Indonesia yang khusus untuk menyebut rumah ibadat masyarakat Tionghoa untuk melaksanakan ibadah sembahyang kepada Tuhan, Nabi-nabi, serta arwah-

arwah leluhur yang berkaitan dengan ajaran Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Pendapat lain mengatakan bahwa asal-mula istilah klenteng berasal dari kemiripan suara lonceng yang dibunyikan di bangunan tersebut untuk memanggil umat berdoa. Bunyi kilnting-klinting yang sering diperdengarkan dari dalam bangunan itu, menunjukkan waktu diadakannya upacara sembahyang (Setiawan dkk, 1990:11). Di samping klenteng, terdapat juga istilah untuk tempat ibadah umat Buddha, yaitu vihara. Vihara adalah pondok, tempat tinggal, tempat penginapan bhikkhu/bhikkhuni. Giriputra (1994:2) mengatakan, Vihara merupakan milik umum (umat Buddha) dan tidak boleh dijadikan miliki perseorangan, biasanya dibentuk suatu yayasan untuk mengatur kepentingan tersebut. Pendapat dari Departemen agama Republik Indonesia adalah sebagai berikut. Vihara merupakan tempat umum bagi umat Buddha untuk melaksanakan segala macam bentuk upacara atau kebaktian keagamaan menurut keyakinan dan kepercayaan agama Buddha (Peraturan Departemen Agama RI nomor H III/BA.01.1/03/1/1992, Bab II). Pada umumnya sebahagian besar masyarakat Indonesia tidak mengerti perbedaan arti antara klenteng dan vihara. Klenteng dan vihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat, dan fungsi. Klenteng pada dasarnya berarsitektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat selain daripada fungsi spiritual. Vihara berarsitektur lokal dan biasanya mempunyai fungsi spiritual saja. Namun, vihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa.

Perbedaan antara klenteng dan vihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa Gerakan 30 Septemnber (G30S) Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965. Akibat dari peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru. Klenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Banyak klenteng yang kemudian mengambil nama dari bahasa Sanskerta atau bahasa Pali, mengubah nama sebagai vihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan dan kepemilikan. Dari sinilah kemudian masyarakat sulit membedakan klenteng dengan vihara. Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak vihara yang kemudian mengganti nama kembali ke nama semula dan lebih berani menyatakan diri sebagai Klenteng daripada Vihara atau menamakan diri sebagai tempat Ibadah Tridharma. Ini sejalan dengan era tersebut yang lebih demokratis dan menghargai pluralism baik etnisitas maupun keagamaan. Dari segi arsitektur, bangunan vihara sangat menarik karena memiliki pola penataan ruang, struktur konstruksi, dan ornamentasi yang berbeda. Arsitektur yang menjadi bagian dari suatu bangunan, juga berfungsi sebagai upacara keagamaan. Klenteng maupun vihara di Indonesia jika diamati dari bentuk bangunan dan ornamennya cenderung memiliki ciri-ciri interior bangunan dan ornamen seperti klenteng ataupun vihara ayang ada di Cina. Dari setiap ornamen tersebut memiliki fungsi dan makna yang berbeda-beda. Ornamen merupakan salah satu bentuk ekspresi kreatif manusia zaman dulu. Ornamen dipakai untuk mendekorasi badan bangunan, tembikar-tembikar, hiasan pada baju, alat-alat perang, bangunan, serta

benda bangunan seni lainnya. Jenis maupun peletakan ornamen vihara pada umumnya sudah ditentukan sesuai dengan maknanya. Ornamen pada pintu vihara di Indonesia seringkali menggambarkan bunga, bambu yang dikombinasikan dengan binatang seperti kijang, kilin, dan kelelawar. Di atas atap vihara selalu ditempatkan sepasang naga yang dibentuk dari pecahan porselen dalam kedudukan saling berhadapan untuk berebut sebuah mutiara alam semesta menyala. Ornamen pada tiang penyangga seringkali berupa dewa, panglima perang, tumbuh-tumbuhan, bunga, gajah, kilin, naga, dan lain-lain. Dimana dari setiap ornamen-ornamen itu memiliki fungsi dan makna. Biasanya fungsi dari ornamen itu sebagai estetika (keindahan), religius, dan identitas budaya. Sedangkan makna dari ornamen itu biasanya sebagai simbolis, lambang rezeki, keberhasilan hidu, lambing supranatural, dan lain sebagainya. Binjai adalah salah satu kota yang berada di wilayah provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Binjai terletak 22 km di sebelah barat ibukota Provinsi Sumatera Utara, Medan. Sebelum berstatus kotamadya dan kemudian menjadi Pemerintah Kota, Binjai adalah ibukota Kabupaten Langkat yang kemudian dipindahkan ke Stabat. Binjai berbatasan langsung dengan Kabupaten Langkat di sebelah barat dan utara serta Kabupaten Deli Serdang di sebelah timur dan selatan Di Kota Binjai terdapat vihara yang menarik. Vihara-vihara tersebut terdapat di pemukiman yang banyak dihuni oleh masyarakat Tionghoa. Terdapat tiga vihara yang memiliki ornamen arsitektur bangunan yang menarik dan berbeda, yaitu: Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin. Keunikan ketiga vihara tersebut dibandingkan dengan vihara-vihara lain terletak pada ornamen dan arsitektur bangunannya yang semakin modern sesuai dengan

perkembangan zaman. Namun ketiga vihara ini juga memiliki perbedaan dan persamaan bangunan satu sama lainnya. Beberapa perbedaan dapat terlihat dari ornamen bangunan pada atas atap vihara, ornamen bangunan pintu vihara, dan ornamen bangunan tiang penyangga vihara. Arsitektur ornamen bangunan pada atas atap Vihara Setia Dharma hanya terdapat genteng tanpa ada ornamen naga atau pun ornamen lainnya. Sedangkan pada atas atap Vihara Sanatha Maitreya terdapat sebuah ornamen yang berbentuk globe di mana di bawah globe tersebut terdapat tulisan Dunia Satu Keluarga, dan pada atas atap Vihara Thai Siong Li Lau Cin terdapat sepasang naga yang saling berhadapan pada sebuah mutiara. Ornamen pada pintu Vihara Setia Dharma terdapat gambar Panglima Ceng Sok Po, sedangkan pada ornamen pintu Vihara Sanatha Maitreya dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin hanya berupa pintu biasa tanpa ada ornamen bangunan gambar apapun. Tiang penyangga Vihara Setia Dharma hanya berupa tiang penyanggan panjang tanpa ada ornamen apapun, sedangkan pada Vihara Sanatha Maitreya berupa balok penyangga panjang yang di bawahnya terdapat pecahan batu. Tiang pada Vihara Thai Siong Li Lau Cin berupa balok penyangga panjang di mana terdapat ornamen naga yang melilitkan tubuhnya di tiang tersebut. Dari segi arsitektur, ketiga Vihara tersebut pun memliki perbedaan, di mana bangunan Vihara Sanatha Maitreya lebih modern dan hampir meyerupai bangunan rumah modern sekarang. Sedangkan bangunan Vihara Setia Dharma tetap memiliki unsur tradisional dibandingkan dengan kedua Vihara lainnya. Di samping perbedaan, Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin juga memiliki persamaan yaitu dimana di dalam ruangan vihara tersebut terdapat sebuah patung dewa dan umat Buddha anggap

sebagai Tuhan mereka beserta patung-patung dewa-dewi lainnya yang mereka anggap sebagai nabi mereka. Selain patung dewa-dewi, juga terdapat ornamen lainnya yang meyerupai gambar binatang. Berdasarkan uraian di atas, penulis hanya membahas mengenai Bentuk, Makna, dan Fungsi Ornamen pada Tiga Bangunan Vihara di Kota Binjai. Alasan penulis menjadikan Kota Binjai sebagai obek penelitian, karena Binjai merupakan daerah tempat tinggal penulis, sehingga akan mempermudah dalam melakukan penelitian. Selain itu, penulis mengetahui karakteristik masyarakat Tionghoa di Kota Binjai sehingga akan mempermudah dalam melakukan sebuah penelitian. Selain itu, banyak juga masyarakat khususnya masyarakat Tionghoa di Kota Binjai yang tidak mengetahui fungsi dan makna ornamen vihara. Alasan menjadikan tiga vihara ini yaitu Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin sebagai objek penelitian, karena ketiga vihara ini merupakan vihara yang terkenal di kota Binjai, selain itu ketiga arsitektur bangunan dan ornamen vihara ini berbeda-beda dibandingkan vihara lain yang ada di kota Binjai. Selain itu penulis akan mendeskripsikan makna ketiga ornamen tersebut berdasarkan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif serta menggunakan teori fungsionalisme dan teori semiotik. untuk menganalisis fungsi dan makna ornamen bangunan Vihara di kota Binjai. 1.2 Batasan Masalah Menghindari batasan masalah yang terlalu luas dan dapat mengaburkan penelitian, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian pada kajian ornamen bangunan Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li

Lau Cin. Penulis memfokuskan penelitian pada ornamen bangunan pintu vihara, ornamen bangunan atas atap vihara, dan ornamen bangunan pada tiang atau balok penyangga vihara. Alasan mengapa penelitian dilakukan di Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin, dikarenakan ketiga vihara merupakan vihara yang memiliki ornamen arsitektur bangunan yang menarik dan ketiga vihara memiliki perbedaan dan persamaan. 1.3 Rumusan Masalah Berkaitan dengan latar belakang di atas permasalahan yang akan di angkat dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaiman bentuk arsitektur bangunan dan ornament Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin? 2. Apa fungsi ornamen pintu, atas atap, dan tiang penyangga pada Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin? 3. Apa makna ornamen pintu, atas atap, dan tiang penyangga pada Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin? 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bentuk ornamen pintu, atas atap, dan tiang penyangga pada Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin.

2. Untuk mengetahui fungsi ornamen pintu, atas atap, dan tiang penyangga pada Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin. 3. Untuk mengetahui makna ornamen pintu, atas atap, dan tiang penyangga pada Vihara Setia Dharma, Vihara Sanatha Maitreya, dan Vihara Thai Siong Li Lau Cin. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu manfaat teoretis dan manfaat prkatis. Kedua manfaat ini berlandas kepada dua hal dasar yaitu manfaat keilmuan dan manfaat sosial budaya. Kedua manfaat ini diuraikan lebih jauh lagi seperti berikut ini. 1.5.1 Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian skripsi ini yaitu diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan tentang bentuk, fungsi, dan makna dari setiap ornamen bangunan vihara serta diharapkan juga dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti lainnya yang akan meneliti ornamen bangunan vihara. Manfaat teoritis ini dapat menambah khasanah keilmuan khususnya bahasa, sastra, dan budaya Cina di Indonesia, khususnya di Kota Binjai. Kemungkinan lebih jauh penelitian ini dpaat mempertkaya keilmuan disiplin terkait seperti antropologi, arsitektur, sejarah, seni, dan lain-lain.

1.5.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Tionghoa untuk lebih memahami kesenian khususnya seni rupa yang terdapat pada bangunan vihara. Bagaimana pun, di era globalisasi seperti sekarang, setiap kelompok manusia, selain menggunakan budaya global juga sekaligus memperkuat jati diri atau identitas kebudayaannya agar memiliki kekuatan kultural dari dalam dan luar. Termasuk juga masyarakat Tionghoa yang ada di Kota Binjai dapat merujuk dan mempertahankan kebudayaannya di tengah-tengah arus globalisasi, dan juga sebagai bahagian dari sumbangan kebudayaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai negara yang menjadi identitas kebangsaannya, dengan tanpa melupakan sejarah bahwa nenek moyang meraka memang berasal dari Negeri China yang migrasi ratusan tahun yang lampau ke kawasan ini. Namun mereka juga menjadi bahagian yang integral dari Republik Indonesia yang dicintainya.