nama Anggota Tawun Formasi Tuban. Van Bemmelen (1949 dalam Kadar dan Sudijono, 1994) menggunakan nama Lower Orbitoiden-Kalk (Lower OK) dan dimasukkan dalam apa yang disebut Rembang Beds. Selanjutnya, oleh Pringgoprawiro (1983) memperkenalkan istilah Formasi Tawun. 3.3.2 Satuan Batupasir Penyebaran dan Ketebalan Satuan batupasir menempati sekitar 30% dari luas daerah penelitian, ditunjukkan dengan warna kuning pada peta geologi (Lampiran Peta Geologi F1). Singkapan dengan kondisi yang cukup baik tersingkap dari utara Desa Plantungan hingga ke arah utara Desa Ngampel dan Desa Tempuran. mumnya singkapan ditemukan di sepanjang jalan desa dan sungai. Ketebalan untuk satuan batuan ini sulit untuk diketahui karena ketidakmenerusan singkapan. Akan tetapi, dari rekonstruksi penampang geologi, dapat diperkirakan bahwa ketebalan Satuan Batupasir di daerah penelitian diperkirakan sekitar 1351 meter. (Lampiran Peta Geologi F1) Ciri Litologi Satuan batupasir didominasi oleh litologi batupasir kuarsa, batugamping bioklastik, serpih, dan batulempung. Batupasir Batugamping Batupasir Batugamping Batupasir 33
Foto 3.4 Perselingan antara batugamping dan batupasir pada daerah penelitian (Lokasi 4-7) Berdasarkan pengamatan di lapangan, batupasir kuarsa memiliki ciri litologi putih keabu-abuan, fragmen kuarsa dominan, loose, matriks non-karbonatan, pemilahan baik, kemas terbuka, bentuk butir menyudut-menyudut tanggung, ukuran butir sangat halus hingga halus, porositas baik (Gambar 3.13). Terkadang terdapat sisipan gipsum (Gambar 3.14) dan sisipan lignit (Gambar 3.15). T B Foto 3.5 Gipsum yang teramati pada daerah penelitian (Lokasi 1-7) Pada sayatan tipis, batupasir memiliki tekstur klastik, terpilah baik, kontak antar butiran point contact, kemas terbuka, porositas intergranular, tersusun oleh butiran yang tediri atas kuarsa, plagioklas, mikroklin, dan litik, berukuran pasir sangat halus-halus (0,0625-0,25 mm), bentuk butir menyudut tanggung-menyudut. Matriks terdiri atas mineral lempung dan semen berupa semen silika dan oksida besi (Lampiran A). Berdasarkan pengamatan di lapangan, batugamping memiliki ciri litologi berwarna abu-abu keputihan, fragmen terdiri atas fosil foraminifera dan alga merah. Pemilahan buruk, bentuk butir menyudut tanggung hingga membundar tanggung, porositas baik, kompak, besar butir pasir sedang hingga pasir kasar. Pada sayatan tipis, batugamping bioklastik adalah berupa Foraminifera Packstone (Dunham, 1962). Batuan teramati memiliki tekstur bioklastik, terpilah buruk, kemas terbuka, butiran terdiri atas foraminifera dan alga, kuarsa, dan kalsit, matriks berupa lumpur karbonat yang telah terkristalisasi menjadi mikrokristalin kalsit, semen berupa mikrosparikalsit, porositas berupa interpartikel, intrapartikel, dan moldic. Batulempung yang teramati di lapangan terdiri atas dua macam. Batulempung pertama memiliki ciri litologi berwarna abu-abu kehitaman, semen atau matriks karbonat, kompak, berukuran lempung. Batulempung kedua memiliki ciri litologi berwarna abu- 34
abu keputihan, semen atau matriks non-karbonat, kompak, berukuran lempung (Gambar 3.16). Foto 3.6 Sisipan lignit pada batupasir (Lokasi 1-9) Foto 3.7 Singkapan batulempung (Lokasi 8-14) 35
Serpih yang teramati di lapangan memiliki ciri litologi berwarna abu-abu kecokelatan, semen atau matriks non-karbonat, agak getas, berukuran lempung, menyerpih (Gambar 3.17). Foto 3.8 Serpih yang teramati pada daerah penelitian (Lokasi 1-7) mur Berdasarkan sampel-sampel yang dipreparasi untuk menentukan interval umur, terdapat tiga sampel yang memiliki kandungan foraminifera planktonik. Didapatkan fosil-fosil berupa Globigerina praebulloides, Orbulina universa, Globigerinoides sacculifer, Globigerinoides trilobus, Globorotalia menardii "A", Globoquadrina altispira, dan Globorotalia fohsi fohsi. Adanya kemunculan awal Globorotalia menardii "A" pada sampel 1-1 dapat menandakan bahwa umur dari sampel tersebut adalah N-12. Dapat diinterpretasikan pula bahwa sampel-sampel yang berada di bawah sampel 1-1 menurut stratigrafi, yaitu sampel 4-4 memiliki umur antar N9 hingga N11 (Lampiran E). Di atas sampel 1-1 terdapat sampel 5-4 yang diinterpretasikan memiliki rentang umur yang sama dengan sampel 1-1 yaitu N12-N15. Dari sampel foraminifera besar, didapatkan pula umur sampel yaitu Te-Tf (Miosen Awal-Tengah). Berdasarkan data-data di atas, dapat disimpulkan bahwa Satuan ini diendapkan pada Kala Miosen Tengah yaitu antara N9 hingga N15 (Lampiran E). 36
Lingkungan Pengendapan Berdasarkan sampel-sampel yang dipreparasi untuk menentukan lingkungan pengendapan, didapatkan tiga sampel yang memiliki kandungan foraminifera bentonik. Posisi relatif stratigrafinya dapat terlihat pada Lampiran Analisis Mikropaleontologi (Lampiran G). Pada sampel-sampel tersebut didapatkan fosil foraminifera bentonik berupa Quinqueloculina sp., Amphistegina sp., Nodosaria sp., Elphidium sp., dan Textularia sp. Dari analisis foraminifera kecil bentonik dan foraminifera besar yang ada, didapatkan bahwa lingkungan pengendapan pada satuan batupasir adalah berupa zona transisi hingga neritik dalam (Lampiran E). Hubungan Stratigrafi Hubungan stratigrafi antara Satuan Batupasir dan Satuan Batugamping di bawahnya adalah selaras. Sinonim Trooster (1937; dalam Pringgoprawiro, 1983) pertama kali menggunakan istilah pper Orbitoiden-Kalk, kemudian oleh van Bemmelen (1949) dinamakan pper Rembang Beds. Nama Batupasir Anggota Nrayong telah diperkenalkan Brouwer (1957; dalam Pringgoprawiro, 1983), yang mengajukan lokasi tipe pada Desa Ngrayong, Jatirogo, dengan susunan utamanya berupa batupasir dengan sisipan batubara dan batulempung pasiran. Pringgoprawiro (1983), mendeskripsikan Ngrayong sebagai Anggota Ngrayong Formasi Tawun, terdiri dari orbitoid limestone dan shale pada bagian bawah dan batupasir dengan sisipan batugamping dan lignit di bagian atas. Kadar dan Sudijono (1994) menggunakan Ngrayong sebagai suatu Formasi. 3.3.3 Satuan Napal Penyebaran dan Ketebalan Satuan napal menmpati sekitar 35% dari luas penelitian, ditunjukkan dengan warna biru muda. Singkapan batuan dalam kondisi baik terutama dijumpai di Desa Sitirejo. Ketebalan satuan napal tidak dapat diketahui secara pasti jika berdasarkan pengamatan di lapangan, karena ketidak menerusan singkapannya. Akan tetapi, berdasarkan hasil rekonstruksi penampang geologi dapat diketahui bahwa Satuan Napal pada daerah penelitian diperkirakan memiliki ketebalan sekitar 1711 meter. 37
Ciri Litologi Satuan Napal tersusun atas litologi napal. Pada pengamatan di lapangan, napal memiliki ciri berwarna abu-abu, berukuran lempung, matriks atau semen karbonat, dan masif (Gambar 3.18). Sampel batuan yang telah diambil dari lapangan (7-12) selanjutnya dianalisis kalsimetri (Tabel 3.2) dan didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 3.2 Klasifikasi campuran lempung-gamping (Pettijohn, 1957) Berikut adalah data kalsimetri dari dua singkapan pada baratdaya daerah penelitian (Tabel 3.3): Tabel 3.3 Tabel data kalsimetri No Kode Batuan Berat (gram) 0,25 % 0,5 % 0,75 % 1 % 1 Karbonat Murni 56 100 111 100 160 100 206 100 2 12-7 35 62,5 67 60,36036 103 64,4 134 65 Dari hasil perhitungan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa batuan tersebut adalah berupa napal. 38
mur Sampel yang dipreparasi untuk mengetahui umur relatif Satuan Napal berjumlah dua buah, yaitu 7-12 dan 7-13 (Lampiran E). Pada kedua sampel tersebut ditemukan adanya fosil foraminifera planktonik berupa Globigerinoides sacculifer, Globorotalia acostaensis, Globigerina praebulloides, Orbulina universa, Globorotalia humerosa, Globigerinoides trilobus, Globoquadrina altispira, Sphaeroidinella dehiscens, Globorotalia margaritae, Globorotalia tumida, Globorotalia hirsuta, dan Globorotalia plesiotumida. Pada sampel 7-13 terdapat adanya kemunculan Globorotalia acostaensis dan terdapat adanya kemunculan akhir berupa Globigerina praebulloides, maka dapat diinterpretasikan bahwa sampel ini memiliki umur N16-N17. Dari fosil-fosil yang ada pada sampel 7-12 didapatkan bahwa umur sampel tersebut adalah N18 dan lebih tua. Dari data-data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Satuan Napal memiliki umur Miosen Akhir (Lampiran E). Lingkungan Pengendapan Sampel yang dipreparasi untuk mengetahui lingkungan pengendapan Satuan Napal berjumlah dua buah, yaitu 7-12 dan 7-13. Kedua sampel tersebut memiliki kandungan foraminifera planktonik yang lebih banyak daripada foraminifera bentonik, yang mengindikasikan bahwa lingkungan pengendapan kedua sampel tersebut makin menjauhi daerah litoral. Pada kedua sampel tersebut didapatkan adanya fosil foraminifera bentonik berupa Quinqueloculina sp., Amphistegina sp., Nodosaria sp., Textularia sp., Bolivina sp., Dentalina sp., Lagena sp., dan Pyrgo sp.. Kedua sampel tersebut megindikasikan bahwa Satuan Napal diendapkan pada neritik tengah. Hubungan Stratigrafi Hubungan satuan batuan ini tidak dapat diketahui dengan satuan di bawahnya karena tidak tersingkap di daerah penelitian. Dari data umur menurut analisis mikropaleontologi, satuan ini diendapkan selaras dengan satuan batupasir karena tidak ditemukan adanya kekosongan waktu. 39
T B Foto 3.9 Napal yang tersingkap pada daerah penelitian (Lokasi 1-11) Sinonim Satuan ini pada awalnya dinamakan Jenjang Solorejo (Selorejo Bed) oleh Trooster (1937; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) dan memasukkannya ke dalam Formasi Tambakromo berumur Pliosen. Koesoemadinata (1978; dalam Kadar dan Sudijono, 1994) menempatkan satuan ini sebagai anggota dalam Formasi Lidah. Pringgoprawiro (1983) menyebutnya Anggota Solorejo Formasi Mundu. 3.3.4 Satuan Endapan Aluvial Endapan aluvial pada daerah penelitian tidak terpetakan, karena memiliki lebar tidak lebih dari 10 meter. Ketebalan satuan ini sulit untuk ditentukan secara pasti. Ciri Litologi Satuan endapan aluvial terdiri atas fragmen-fragmen aluvial, lepas-lepas, butir membundar-menyudut, fragmen terdiri atas batugamping dan batupasir, dan berukuran pasir hingga bongkah (Gambar 3.19). 40
Foto 3.10 Endapan aluvial yang tersingkap pada Kali Braholo mur dan Hubungan Stratigrafi Berdasarkan pengamatan di lapangan, satuan aluvial ini diperkirakan berumur Resen, terendapkan di lingkungan darat (sungai), dan hubungan stratigrafi dengan lapisan di bawahnya adalah ketidakselarasan karena mengalami jarak waktu dalam pengendapannya. 3.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian Struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian diamati dan dianalisis berdasarkan peta topografi, citra satelit, dan pengamatan pada lapangan. Pola-pola kelurusan diinterpretasikan berdasarkan citra satelit serta data SRTM (Shuttle Radar Topografic Mission) (Gambar 3.20). Berdasarkan pengamatan di lapangan, ditemukan indikasi adanya shear fracture, yang kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak. 41
Gambar 3.10 Kelurusan pada peta SRTM Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian adalah berupa kemiringan lapisan, perlipatan, dan sesar. Sumbu lipatan pada daerah penelitian diinterpretasikan berdasarkan pembalikan arah dip pada dua tempat yang berbeda. Struktur sesar diamati pada lapangan dengan bukti adanya kelurusan-kelurusan yang terlihat pada citra satelit, data DEM, kelurusan sungai pada peta topografi, dan bukti lapangan berupa shear fracture, breksiasi, dan adanya sumber mata air panas. Penamaan struktur sesar pada daerah penelitian ini diambil dari nama desa yang dilalui oleh sesar tersebut. 3.3.1 Struktur Perlipatan Struktur perlipatan berupa sebuah antiklin yang diberi nama Antiklin Plantungan (nama desa yang dilalui oleh sumbu antiklin tersebut) dengan sumbu berarah relatif barattimur. Antiklin ini berada pada bagian utara daerah penelitian (Gambar 3.21) Pada pengamatan lapangan, antiklin tersebut terlihat sebagai sebuah perbukitan yang memanjang berarah barat-timur serta singkapan yang memperlihatkan jurus dan kemiringan yang berarah utara-selatan yang diduga sebagai sayap antiklin. 42
Sumbu antiklin Gambar 3.11 Sketsa interpretasi keberadaan antiklin Plantungan 3.3.2 Struktur Sesar Struktur sesar pada daerah penelitian berupa sebuah sesar naik dan dua buah sesar mendatar. Sesar naik pada daerah penelitian memanjang searah barat-timur, sedangkan sesar mendatar masing-masing berarah baratlaut-tenggara, dan timurlaut-baratdaya. Keberadaan sesar-sesar tersebut didasarkan atas hasil interpretasi kelurusan yang terlihat pada data SRTM. Selain itu, data di lapangan berupa adanya mata air panas, breksiasi, shear fracture, litologi yang memiliki jurus dan kemiringan yang acak, adanya gawir, kelurusan sungai, dan ketidakmenerusan bukit merupakan hal-hal yang membantu interpretasi lanjut atas keberadaan sesar pada daerah penelitian. Sesar Naik Tempuran (Gambar 3.22) Berdasarkan data lapangan seperti adanya jurus serta kemiringan yang acak pada beberapa lokasi, adanya gawir, serta pola kelurusan topografi, maka didapatkan Sesar Naik Tempuran memanjang searah Barat-Timur (E-W). Data-data lapangan yang mendukung sesar ini didapatkan pada daerah Plantungan. 43
Sesar naik Gambar 3.12 Sketsa interpretasi keberadaan sesar naik Tempuran Sesar Mendatar Menganan Braholo (Gambar 3.23) Berdasarkan data lapangan seperti adanya breksiasi, shear fracture (Gambar 3.24), kemunculan mata air panas, jurus serta kemiringan yang acak pada beberapa lokasi, serta pola kelurusan topografi, didapatkan Sesar Mendatar Menganan Braholo memanjang searah Baratlaut-Tenggara (NW-SE). Data-data lapangan yang mendukung sesar ini ditemukan pada Kali Braholo dan daerah Ngampel. Dari analisis kinematik (Lampiran D), didapatkan Sesar Menganan yang berkedudukan N260 E/25 NW. Sesar Mendatar Mengiri Ngampel (Gambar 3.25) Berdasarkan lapangan seperti adanya kemunculan mata air panas (Gambar 3.26), jurus serta kemiringan yang acak pada beberapa lokasi, serta pola kelurusan topografi, maka didapatkan Sesar Mendatar Mengiri Ngampel memanjang searah Timurlaut-Baratdaya (NE-SW). Data-data lapangan yang mendukung sesar ini ditemukan pada Kali Braholo dan daerah Plantungan. 44
Sesar Gambar 3.13 Sketsa interpretasi keberadaan sesar mendatar menganan Braholo Foto 3.11 Shear fracture yang ditemukan pada daerah penelitian (Lokasi 4-4) 45
Sesar Gambar 3.14 Sketsa interpretasi keberadaan sesar mendatar mengiri Ngampel Foto 3.12 Adanya kemunculan mata air panas pada Kali Broholo 46
3.3.3 Mekanisme Pembentukan Struktur Berdasarkan hasil analisis tegasan utama (Lampiran D), didapatkan bahwa pembentukan lipatan dan sesar-sesar pada daerah penelitian dipengaruhi oleh gaya kompresi yang relatif berarah tara-selatan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya lipatan dan sesar-sesar yang terbentuk pada daerah penelitian yang terjadi dalam satu fasa deformasi yang sama. Arah gaya kompresi tara-selatan ini diperkirakan berasal dari kompresi regional akibat subduksi Lempeng Hindia-Australia terhadap Lempeng Eurasia. Fasa deformasi ini mulai berlangsung pada Kala Plio-Pleistosen. Hal tersebut juga didukung oleh informasi regional (Satyana dkk., 2004), yang menyatakan bahwa pada Zaman Neogen daerah Cekungan Jawa Timur tara mengalami rezim kompresi. Gaya kompresi yang terjadi pada daerah penelitian menghasilkan adanya perlipatan yang berarah barat-timur, bersamaan dengan adanya perlipatan, terjadi sesar naik dengan bagian utara sebagai hangingwall dan bagian selatan sebagai footwall. Setelah itu, terjadi dua sesar mendatar pada bagian barat daerah penelitian. Gambar 3.27 memberikan ilustrasi tahap pembentukan struktur pada daerah penelitian. Arah gaya Antiklin Sesar naik (a) 47
Arah gaya Antiklin Sesar naik Sesar mendatar (b) (c) Gambar 3.27 Rekonstruksi (a) awal kemunculan antiklin dan sesar naik, (b) kemunculan sesar mendatar, dan (c) bentukan saat ini 48