TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

KIAT PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM BURAS

VII. ANALISIS PENDAPATAN

I. PENDAHULUAN. Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN

I. PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan dan kecerdasan bangsa. Permintaan masyarakat akan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sudah melekat dengan masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. ( Populasi Ternak (000) Ekor Diakses Tanggal 3 Oktober 2011.

A. Kesesuaian inovasi/karakteristik lokasi

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

Karya Ilmiah Bisnis ayam jawa super online

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan produktivitas ayam buras agar lebih baik. Perkembangan

PROFIL USAHATANI UNGGAS DI KABUPATEN BREBES (STUDI KASUS)

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pola kemitraan ayam broiler adalah sebagai suatu kerjasama yang

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan penetasan final stock ayam petelur selalu mendapatkan hasil samping

LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KELEMBAGAAN AGRIBISNIS TERNAK UNGGAS TRADISIONAL (AYAM BURAS, ITIK DAN PUYUH) Oleh :

ANALISIS PENDAPATAN DAN KEUNTUNGAN INVESTASI USAHA TERNAK Deskripsi Organisasi Produksi Usaha Ternak Ayam Buras Petelur Kelompok Hidayah Alam

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

AYAM HASIL PERSILANGAN SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA TERNAK UNGGAS

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

1. PENDAHULUAN. Salah satu produk peternakan yang memberikan sumbangan besar bagi. menghasilkan telur sepanjang tahun yaitu ayam arab.

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, yang menyatakan bahwa kemitraan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemberian Pakan Ayam KUB Berbasis Bahan Pakan Lokal

V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

RANGKUMAN HASIL PENGKAJIAN AYAM BURAS DI KABUPATEN BENGKULU UTARA

PENGANTAR. Latar Belakang. Peternakan merupakan salah satu subsektor yang berperan penting dalam

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan umum Ayam Broiler. sebagai penghasil daging, konversi pakan irit, siap dipotong pada umur relatif

BISNIS PETERNAKAN BEBEK

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

LINGKUNGAN BISNIS USAHA TERNAK ITIK. : Wahid Muhammad N. Nim : SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

TINJAUAN PUSTAKA. dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan

Sutrisno Hadi Purnomo*, Zaini Rohmad**

POTENSI PENGEMBANGAN AYAM BURAS DI KALIMANTAN SELATAN

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

BAB I PENDAHULUAN. Ayam pedaging atau yang sering disebut sebagai ayam broiler (ayam

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

I. PENDAHULUAN an sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat,

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peran Kemitraan Dalam Pengelolaan Risiko


[Pengelolaan dan Evaluasi Kegiatan Agribisnis Ternak Unggas]

PENDAHULUAN. Indonesia, ayam kampung sudah bukan hal asing. Istilah "Ayam kampung" semula

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat dan meningkatkan. kesejahteraan peternak. Masalah yang sering dihadapi dewasa ini adalah

PENDAHULUAN. dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada

AGROVETERINER Vol.5, No.1 Desember 2016

I. PENDAHULUAN. serta dalam menunjang pembangunan nasional. Salah satu tujuan pembangunan

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

I. PENDAHULUAN. Secara umum, ternak dikenal sebagai penghasil bahan pangan sumber protein

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

INTENSIFIKASI TERNAK AYAM BURAS

RINGKASAN EKSEKUTIF DASLINA

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Peternakan Ayam Broiler di Indonesia

PRODUKTIVITAS AYAM LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Ayam Broiler

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas ayam buras salah satunya dapat dilakukan melalui perbaikan

VI. PELAKSANAAN KEMITRAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Budidaya ayam ras khususnya ayam broiler sebagai ayam pedaging,

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN

PENDAHULUAN. Kemitraan merupakan hubungan kerjasama secara aktif yang dilakukan. luar komunitas (kelompok) akan memberikan dukungan, bantuan dan

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III KERANGKA PEMIKIRAN

Budidaya Bebek Peking Sangat Menjanjikan

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. industri dan sektor pertanian saling berkaitan sebab bahan baku dalam proses

Nama : MILA SILFIA NIM : Kelas : S1-SI 08

I. PENDAHULUAN. mempunyai peranan dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan

E

POTENSI AYAM GALUR BARU KUB LITBANG PERTANIAN DALAM MENDUKUNG RUMAH PANGAN LESTARI DI PROVINSI JAMBI.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi di negara berkembang dalam. meningkatkan kualitas sumber daya manusianya adalah pada pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN BABI TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK

I. JUDUL Prospek Budidaya Burung Puyuh

PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

PENDAHULUAN. percobaan, penghasil bulu, pupuk kandang, kulit maupun hias (fancy) dan

BAB III MATERI DAN METODE. Daging ayam merupakan salah satu produk hasil ternak yang diminati

PENGEMBANGAN AYAM NUNUKAN DAN PERMASALAHANNYA DI KALIMANTAN TIMUR

I. PENDAHULUAN. juga mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memilki daya adaptasi yang

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PELUANG DAN POTENSI USAHA TERNAK ITIK DI LAHAN LEBAK ABSTRAK

KELAYAKAN USAHA PETERNAKANN AYAM RAS PEDAGING POLA KEMITRAAN INTI-PLASMA

Transkripsi:

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia Beberapa penelitian yang mengkaji permasalahan usaha ternak ayam buras banyak menunjukkan pertumbuhan produksi ayam buras yang berbeda dengan pertumbuhan produksi yang terjadi pada usaha ternak ayam ras. Salah satunya adalah seperti yang diungkapkan oleh Bamualim, Inounu dan Talib (2007), bahwa pengembangan ayam buras yang dilakukan sebagian besar masyarakat Indonesia adalah untuk mendapatkan bibit ayam yang spesifik sifatnya dan berfungsi untuk hiburan atau hobi karena warna dan keunikannya. Tidak banyak yang membudidayakan ternak ayam buras ini berdasarkan orientasi produksi daging atau telur dalam jumlah besar. Peternak budidaya ayam buras memilih ternak tersebut sebagai tabungan yang mudah untuk dijual dan menghasilkan uang tunai. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa usaha ternak ayam buras hanya ditujukan untuk melestarikan salah satu plasma nutfah di Indonesia. Masih rendahnya usaha ternak ayam buras yang ditujukan untuk produksi daging dan telur dalam jumlah yang besar juga didukung oleh penelitian Amrawaty (2009) bahwa usaha ternak ayam buras pada peternak berada pada kategori usaha sambilan, karena tingkat pendapatan usaha ternak tidak lebih tinggi dari 30 persen total pendapatannya. Besarnya kontribusi usaha ternak ayam buras terhadap total pendapatan usahatani untuk rata-rata skala kepemilikan ayam buras sebesar 30 ekor adalah 11,65 persen, skala kepemilikan 31 ekor sebesar 5,8 persen dan skala kepemilikan 28 ekor sebesar 2,43 persen. Usaha sambilan ternak ayam buras ini yang telah menjadi tulang punggung penyedia ternak di tanah air yang persentasenya mencapai 90 persen. Kedua penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pengembangan usaha ternak ayam buras di Indonesia sebagian besar diusahakan sebagai usaha sambilan atau sampingan dan belum berorientasi kepada peningkatan produksi daging dan telur dalam jumlah yang besar.

2.2. Perkembangan Penampilan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia Usaha ternak ayam lokal dengan sistem pemeliharaan yang intensif melalui perbaikan pakan, manajemen dan pengendalian penyakit yang baik dapat menghasilkan produksi telur per tahun 51 butir per ekor dengan daya tetas 78-80 persen (Sumanto dan Zainuddin 2005). Penelitian tersebut juga menjelaskan perbaikan koefisien teknis penampilan usaha ayam lokal melalui perbaikan pakan dan sistem perkandangan disertai pembinaan teknis bagi peternak yang meningkatkan produksi telur hingga 63 butir per induk per tahun dengan daya tetas 86 persen per ekor per periode. Namun demikian, produksi ayam lokal ini masih belum menunjukkan tingkat produktivitas ayam yang maksimum. Perkembangan penelitian selanjutnya menyebutkan bahwa rata-rata jumlah ayam yang dipelihara peternak di Indonesia dengan sistem intensif yaitu 104 ekor setiap peternak dan dapat memproduksi telur sebesar 80,30 butir per ekor induk per tahun (Sinurat dalam Hasbianto dan Suryana 2008). Upaya dalam meningkatkan produktivitas tersebut dapat dilakukan melalui introduksi teknologi pemeliharaan intensif dengan melaksanakan Sapta Usaha ayam buras, yang meliputi pemilihan bibit, pencegahan penyakit, perkandangan, pemberian pakan dengan gizi seimbang, sistem reproduksi, pasca panen, pemasaran dan manajemen usaha. Pada usaha ternak ayam buras yang dilakukan dengan sistem tersebut, induk baru dapat memproduksi telur pada umur pertama bertelur rata-rata 7,5 bulan dan daya tetas telur mencapai 83,70 persen. Tingkat mortalitas ternak hingga umur enam minggu rata-rata 27,20 persen, sedangkan ternak yang berumur produktif hingga afkir memiliki tingkat mortalitas kurang dari 27 persen. Namun, produktivitas telur ayam buras akan semakin menurun dengan bertambahnya umur induk. Septiwan (2007) menggambarkan respons produktivitas dan reproduktivitas ayam buras dengan umur induk yang berbeda bahwa induk ayam buras yang berumur 6 bulan dapat memproduksi telur 3,24 butir per ekor per minggu, umur 12 bulan memproduksi 2,21 butir per ekor per minggu dan umur 18 bulan dapat memproduksi 1,78 butir per ekor per minggu. Pertambahan umur induk ini juga diikuti dengan menurunnya daya tetas telur ayam buras hingga 88,21 persen pada induk yang berumur 18 bulan untuk telur yang fertil. Sapta Usaha sebagai upaya meningkatkan produktivitas telur ayam 12

dapat dilakukan dengan memelihara tatalakana perkandangan yang baik, pengendalian penyakit dan perbaikan mutu genetik untuk memperoleh bibit dengan produksi telur yang baik. Kondisi perkandangan yang gelap, ventilasi kurang cahaya, lembab, kotor dan kapasitas kandang yang tidak berimbang dengan jumlah ternak serta manajemen dan iklim, merupakan media yang sangat bagus untuk berkembangnya penyakit koksiodisis, dimana penyakit ini dapat menghambat pertumbuhan, menurunkan berat badan, menurunkan jumlah telur, mengundurkan masa bertelur hingga lima sampai tujuh minggu serta menimbulkan kematian 20-90 persen (Salvina, et al dalam Jarmani 2005). Upaya pencegahan penyakit yang menggunakan ramuan jamu berasal dari tanaman-tanaman berkhasiat obat seperti kunyit, lempuyang, jahe, daun sambiloto, kencur, bawang merah dan daun papaya yang dicampurkan ke dalam pakan dan minum ayam dapat meningkatkan produktivitas. Di samping itu, perbaikan mutu genetik ayam lokal petelur untuk mengurangi sifat mengeram, salah satunya dapat dilakukan dengan persilangan antara ayam lokal dengan ayam ras (Setioko dan Iskandar 2005). Penelitian tersebut menyebutkan juga besarnya produksi telur hasil seleksi generasi ketiga mencapai 178 butir per ekor per tahun. Diwyanto et al. dalam Hasbianto dan Suryana (2008) menjelaskan juga mengenai konsumsi pakan ayam buras dengan sistem pemeliharaan intensif yaitu antara 80-100 gram per ekor per hari. Kebutuhan pakan dalam pemeliharaan tersebut 30 persen lebih besar daripada penggunaan pakan yang dikeluarkan dalam sistem pemeliharaan semi intensif dan tradisional. Beberapa nilai yang dijelaskan tersebut dapat menggambarkan parameter produksi atau koefisien teknis dalam usaha ternak ayam buras pada umumnya, antara lain produktivitas telur per ekor induk per tahun dapat mencapai 92,56 168,48 butir pada umur berbeda (Septiwan 2007). Daya tetas telur terrendah dan tertinggi masing-masing adalah 78 persen (Sumanto dan Zainuddin 2005) dan 88,21 persen (Septiwan 2007) per periode bertelur. Tingkat mortalitas pada pemeliharaan intensif yaitu kurang dari 27,2 persen (Septiwan 2007). 13

2.3. Arah Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia Komoditi daging ayam buras memang merupakan salah satu komoditi yang terdiferensiasi, artinya komoditi tersebut memiliki permintaan yang spesifik. Namun, bukan berarti potensi pembudidayaannya hanya bertujuan untuk mendapatkan hasil yang spesifik dan melestarikan plasma nutfah. Ternak ayam buras yang telah menjadi akar dasar perekonomian bagi sebagian besar masyarakat pedesaan Indonesia ini dapat dikembangkan dengan berorientasi kepada produksi, sama halnya dengan pertumbuhan produksi yang terjadi pada komoditi ayam ras, baik ayam ras pedaging maupun petelur. Ilham, Sejati dan Yusdja (2003) menyebutkan bahwa populasi ayam ras pedaging yang tinggi di Pulau Jawa berhubungan dengan ketersediaan pasar yaitu kepadatan penduduk, ketersediaan modal, lahan, dan keterampilan. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya potensi pengembangan ayam karena adanya permintaan dari jumlah penduduk yang cukup besar untuk Pulau Jawa. Kenyataan ini memberikan peluang bagi pengembangan ayam buras, mengingat semakin bertambahnya populasi penduduk di Pulau Jawa sebagai potensi permintaan daging dan telur ayam yang semakin meningkat. Upaya pengembangan ayam buras untuk memenuhi potensi permintaan daging dan telur ayam buras yang dilakukan pemerintah sejak tahun 1980, yaitu dengan menetapkan kebijakan melalui program INTAB (Intensifikasi Ayam Buras) dan dilaksanakan dengan pendekatan kelompok tani yang menerapkan Sapta Usaha meliputi teknologi bibit, pakan, kandang, kesehatan, manajemen, pasca panen dan pemasarannya. Bakrie et al (2003) menyebutkan bahwa pemeliharaan ayam buras pada kandang batere menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi dibandingkan dengan produksi telur pada kandang umbaran terbatas. Sistem pemeliharaan untuk memproduksi telur konsumsi merupakan implementasi dari pemeliharaan ayam buras secara intensif. Pada sistem ini, ayam dipelihara pada kandang batere individu, sehingga produksi telur masing-masing ayam dapat diketahui. Kandang yang digunakan untuk pemeliharaan ayam buras untuk tujuan memproduksi telur konsumsi adalah kandang individu dengan ukuran 20 x 20 x 40 cm dengan posisi lantai miring agar telur yang diproduksi dapat keluar dari kandang. Di samping itu juga, peternak mengurangi lama 14

mengeram dengan mencampur ayam pejantan. Pada sistem kandang batere ini, teknologi seleksi ayam secara sederhana dengan mengeluarkan ayam-ayam yang produksinya rendah dan diganti dengan ayam baru yang diperkirakan mempunyai produktivitas tinggi, sehingga produktivitas telur secara keseluruhan dapat relatif seragam dan sesuai dengan yang diharapkan. Namun, permasalahan dalam pengembangan ayam buras terutama adalah penggunaan teknologi budidaya yang selama ini menghasilkan produktivitas rendah dan tidak diikuti dengan upaya perbaikan. Rohaeni (2005) menjelaskan beberapa cara untuk mengatasi permasalahan tersebut melalui peningkatan pembinaan teknis dengan adanya penyuluhan dan pengkajian atau penelitian, perbaikan sistem kelembagaan, peningkatan hubungan dengan lembaga penyedia permodalan, baik bank atau perusahaan swasta untuk bermitra, perbaikan teknologi dengan memperhatikan tiga faktor seperti breeding, feeding dan tatalaksana yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan identifikasi dan optimalisasi bahan pakan lokal. Perbaikan pakan diarahkan dengan memperhatikan kandungan protein ransum dan efisiensi biaya pakan. Perbaikan pengendalian penyakit dapat mengurangi kematian ayam dan meningkatkan replacement sehingga mengurangi biaya bibit (Gunawan 2005). Bakrie et al. (2003) menjelaskan bahwa proses pembibitan ayam telah diarahkan untuk mencapai kualitas ayam yang diinginkan yaitu untuk memproduksi telur konsumsi dalam jumlah tinggi, sehingga dilakukan persilangan dengan ayam ras petelur. Selain itu, upaya pembibitan ini didukung oleh sistem perkandangan ayam berupa batere individu, sehingga peternak lebih mengetahui induk yang produksinya menurun karena adanya proses manajemen seleksi. Proses pembibitan dilakukan dengan melakukan pencatatan data atau seleksi pada sistem perkandangan batere individu, karena dengan data yang diperoleh dari pemeliharaan di kandang batere individu merupakan data individu, sehingga pemilihan ternak yang akan dijadikan tetua (pejantan dan induk) untuk dikawinkan akan lebih teliti. Ketelitian ini akan menghasilkan peluang dihasilkannya keturunan yang sesuai dengan tujuan perbibitan. Perkawinan pada kandang batere individu dalam pembibitan ini menggunakan teknologi IB 15

(Inseminasi Buatan) dengan pertimbangan lebih efisien dan biaya yang relatif murah. Penampilan ayam buras saat ini mulai dikembangkan untuk memperoleh kesamaan sifat seperti ayam ras, terutama dalam tingkat pertumbuhan atau produksi telurnya. Bakrie, Suwandi dan Lotulung (2005) menggambarkan persilangan Ayam Arab jantan dengan ayam buras betina seperti ayam Kedu merah, Sentul dan Wareng atau Ayam Buras Hibrida (Ayam Buras Super) yang merupakan persilangan antara ayam buras jantan dengan ayam ras petelur atau ayam broiler dengan ayam buras betina dapat meningkatkan produksi telur konsumsi pada ayam buras. Hal ini juga diungkapkan oleh Juarini, Sumanto dan Zainuddin (2005), bahwa untuk meningkatkan produktivitas ayam lokal, maka bibit harus diseleksi sehingga harus ada pemeliharaan secara mantap yaitu persilangan antar ayam lokal yang menghasilkan peningkatan performans, dengan memperhatikan segi pemuliaan dan efisiensi biaya pakan. Kebutuhan telur konsumsi selain dipenuhi dari ayam buras, terutama sebagian besar diproduksi oleh ayam ras petelur. Pertumbuhan produksi ayam ras petelur yang cukup besar salah satunya dipengaruhi faktor harga jual hasil produksi ayam ras dan luas kandang ternak (Nurwanti 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurwanti (2005) di Desa Sukamulya, Kecamatan Ciamis, faktor harga jual hasil produksi ternak memiliki pengaruh terbesar, yaitu sebesar 95 persen terhadap pengembangan usaha ternak tersebut. Harga jual yang dimaksudkan adalah harga jual yang dapat menutupi biaya operasionalnya dan cenderung stabil, dimana harga jual yang diamati pada objek peternak plasma adalah harga jual yang disepakati dengan pihak inti. Demikian juga dengan luas kandang ternak yang memiliki pengaruh sebesar 90 persen terhadap pengembangan usaha ternak ayam ras pedaging tersebut dapat dicapai pada skala efisiennya ketika peternak melakukan kerjasama dengan pihak inti. Hal ini terutama dikarenakan adanya penyediaan modal dalam pembuatan kandang tersebut. Fitriyani (2006) dan Kesuma (2006) yang mengkaji usaha ternak ayam ras pun mendukung alternatif pengembangan melalui peningkatan skala produksi. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kesejahteraan peternak yang dilihat 16

melalui ukuran penerimaan atas total biaya yang dikeluarkan lebih baik pada peternak yang memiliki skala usaha besar dibandingkan dengan peternak berskala kecil. Kedua penelitian tersebut yang menggunakan pengambilan contoh secara purposive sampling rata-rata menyimpulkan bahwa semakin besar skala usaha yaitu semakin besar jumlah kepemilikan ayam, maka semakin besar pendapatan bersih dan semakin besar penerimaan yang dimiliki petani atas total biaya yang dikeluarkannya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor yang penting dalam mempengaruhi pengembangan atau meningkatkan pendapatan dan kelayakan usaha ternak tersebut adalah skala usaha, baik dari pemeliharaan ayam maupun luas kandang pemeliharaannya. Menurut Gunawan dalam Hasbianto dan Suryana (2008) menyatakan bahwa skala pemeliharaan ayam buras yang menguntungkan adalah lebih dari 50 ekor setiap peternak. Pengembangan produksi dengan skala pemeliharaan besar tersebut diusahakan dengan meningkatkan luas kandang ternak melalui penyediaan modal dalam pembuatan kandang bagi peternak. Hal tersebut merupakan salah satu alternatif pengembangan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan hasil produksi ayam buras. 2.4. Pengaruh Kemitraan dalam Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras Karakteristik usaha ternak ayam buras memiliki perbedaan dengan usaha ternak ayam ras. Pola usahatani ayam buras masih bersifat tradisional dan belum diusahakan secara komersial. Padahal ternak ayam buras dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga (cash income), sebagai tabungan dan sebagai sumber dalam membantu penyediaan pangan hewani bergizi bagi keluarga petani di pedesaan (Agustian dan Sehabudin 2001). Oleh karena itu, dalam meningkatkan pengembangan usaha ternak ayam buras, pola pengembangannya dapat diusahakan seperti halnya pengembangan ternak ayam ras. Pola kerjasama kemitraan seperti pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) pada peternakan ayam ras dapat ditempuh oleh peternak ayam buras dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam penanganan pemasaran hasil ternak, penyediaan sarana produksi peternakan dan melakukan pembinaan terhadap peternak. 17

Dalam upaya pengembangan ternak ayam buras masih belum terlihat secara nyata adanya kegiatan pola kerjasama antara peternak di satu sisi dengan pihak lainnya dimana kedua belah pihak mendapatkan keuntungan secara seimbang. Sedangkan pola kerjasama pada usaha ternak ayam ras telah terjalin antar peternak sebagai plasma dengan Poultry Shop sebagai inti (Taryoto et al dalam Agustian dan Sehabudin 2001). Struktur ongkos peternakan ayam buras yang dikaji dalam penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak ayam buras lebih ditujukan untuk menghasilkan pendapatan tunai (cash income) karena hanya sebagian kecil porsi telur ayam buras yang ditetaskan (digenerasikan menjadi ternak lagi). Sebagian besar adalah dijual untuk mendapatkan pendapatan tunai tersebut. Selama ini, petani lemah dalam menentukan harga produksi karena sulit mendapatkan akses informasi pasar. Petani harus melakukan konsolidasi yang bersifat horizontal dan memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam berusahatani. Maka, pihak swasta dapat memberikan penyuluhan (pendidikan dan pelatihan) yang sifatnya berkelanjutan. Keterkaitan dan kerjasama kelembagaan kelompok tani dengan pihak swasta tersebut identik dengan konsolidasi vertikal. Priyono, Nufus dan Dessy (2004) mengungkapkan bahwa strategi kemitraan usaha yang tepat untuk mendorong pengembangan agribisnis di pedesaan adalah melalui konsolidasi vertikal. Usahatani skala kecil dikonsolidasikan oleh suatu usaha agroindustri atau pemasaran dalam suatu usaha kemitraan sehingga tercipta satu unit industri pertanian (agroindustri). Hal ini dikarenakan peternak tidak mempunyai kemampuan finansial untuk membeli input dan akses mendapatkan informasi dan akibatnya, permintaan pasar yang tinggi tidak mendapatkan respon dari petani. Penelitian ini menyebutkan bahwa kebijakan yang dapat disarankan adalah membangun organisasi komunikasi yang dapat menggerakkan subsistem agribisnis bahwa model organisasi yang dibangun tersebut harus mampu: (1) Memadu kegiatan input dan output terintegrasi; (2) Bersifat agribisnis terintegrasi secara horizontal dan vertikal; dan 18

(3) Memiliki azas kebersamaan dengan kriteria zero cost pada tingkat peternak dan atau biaya pokok pada tingkat lembaga input dan keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan. Kriteria zero cost ini merupakan salah satu prinsip yang dikembangkan dalam sistem kemitraan saat ini, dimana antara subsistem agribisnis suatu komoditi tersebut memiliki nilai biaya dan keuntungan yang sama besarnya pada setiap lini. Beberapa manfaat penting dari adanya pola kemitraan yang dapat diperoleh yaitu adanya pihak perusahaan yang berniat untuk bermitra akan menyediakan modal kepada peternak dalam memperluas skala usaha ternak dan membuka lapangan kerja baru. Manfaat lainnya adalah harga penjualan ayam stabil karena dijamin perusahaan, manfaat ini tergantung dari kondisi harga jual ayam, jika harga jual ayam cenderung tetap maka peternak dapat merasakan manfaatnya namun jika harga jual mengalami perubahan maka peternak tidak bisa komplain karena sudah terikat kontrak. Persentase terbesar yang ditunjukkan penelitian tersebut mengenai manfaat kemitraan adalah jaminan pemasarannya, dimana dalam pelaksanaan kemitraan pengusaha yang bermitra bertanggungjawab untuk memasarkan hasil produksi, maka dari itu peternak tidak khawatir dengan tidak lakunya hasil panen Hal ini dapat membantu peternak dalam menghindari risiko tidak terjualnya hasil panen dan sekaligus mendapatkan harga produk yang wajar. Pelaksanaan kemitraan memperkecil risiko karena masing-masing kedua belah pihak menanggung risiko yang berbeda. Sementara, kelemahan-kelemahan dalam mendukung usaha kemitraan meliputi terjadinya over supply apabila panen ayam terjadi bersamaan bagi perusahaan inti. Sementara penetapan harga jual ayam oleh perusahaan menyebabkan peternak tidak mendapatkan keuntungan maksimal, peternak tidak bisa memasarkan ayamnya kepada pihak lain, karena terikat perjanjian dengan pihak inti. Pembagian komposisi insentif antara perusahaan inti dengan peternak plasma dapat dideskripsikan dalam penelitian Andini (2005). Ada komposisi insentif inti yang diperoleh dari penjualan pakan, DOC, obat-obatan, vaksin dan vitamin serta dari selisih harga jual ayam di pasar dengan harga kesepakatan. Dalam hal pemasokan DOC, inti memperoleh insentif berupa keuntungan dari 19

selisih harga beli DOC dengan harga kesepakatan inti yang ditetapkan kepada plasmanya. Insentif dari pakan diperoleh inti berupa keuntungan dari selisih harga beli pakan dengan harga kesepakatan inti yang ditetapkan kepada plasma. Sedangkan dari komposisi insentif untuk obat-obatan, vaksin, vitamin dan bahan kimia lainnya, inti memperoleh potongan harga antara 15-25 persen karena melakukan pembelian dalam jumlah besar. Kesuma (2006) juga mendukung sistem kemitraan inti plasma ini dengan membandingkan usaha ternak yang dijalankan antara melalui Sistem Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dengan Sistem Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA). Kesejahteraan peternak yang melakukan kemitraan PIR tersebut lebih baik dibandingkan dengan peternak yang tergabung dalam pola KOA. Selain itu, jika pemerintah ingin melestarikan usaha rakyat maka perlu kebijakan pengembangan kemitraan (Ilham, Sejati dan Yusdja 2003). Peternakan rakyat membutuhkan suatu konsep kemitraan dengan pihak inti (perusahaan swasta skala besar) dengan sistem bagi hasil yang saling menguntungkan. Kemitraan ini harus berlangsung secara terbuka dan memudahkan pengawasan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. 20