BAB I PENDAHULUAN. Telah disepakati oleh beberapa ahli bahwa ajaran agama merupakan aspek

dokumen-dokumen yang mirip
EKSISTENSI DAN DISTRIBUSI BERINGIN (Ficus spp.) SEBAGAI MITIGASI PENCEMARAN UDARA DI KOTA YOGYAKARTA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Distribusi Pohon Beringin di Kota Yogyakarta. a. Kategori jumlah beringin di Kota Yogyakarta

BAB III METODE PENELITIAN. Sugiyono (2015: 7-8), penelitian kuantitatif berlandaskan pada filsafat positivisme

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Keanekaragaman Hayati dan Norma Masyarakat Adat. 1. Pengelolaan Lingkungan Hidup dari Norma Masyarakat Adat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat

BAB I PENDAHULUAN. sempurna. Kegiatan tersebut mengakibatkan adanya unsur-unsur gas, baik itu karbon

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Manfaat hutan kota diantaranya adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

REKOMENDASI Peredam Kebisingan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu

BAB III METODE PENELITIAN

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PENDAHULUAN. Tabel 1 Lokasi, jenis industri dan limbah yang mungkin dihasilkan

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk

ANALISIS DAN SINTESIS

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Gambaran Umum Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah alat transportasi. Akibat dari kebutuhan masyarakat akan alat

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

BAB VI R E K O M E N D A S I

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43),

KONSEP DASAR EKOLOGI DAN LINGKUNGAN P E R T E M U A N K E D U A

I. PENDAHULUAN. kelompok besar, yaitu masyarakat pedesaan (rural) dan perkotaan (urban). Dua

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO,

SMP NEGERI 3 MENGGALA

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini kota-kota di Indonesia telah banyak mengalami. perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pembangunan massa dan

BAB I. PENDAHULUAN A. PENDAHULUAN

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I. K e l a s. Kurikulum 2013

BAB I PENDAHULUAN. ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

KATA KUNCI UTAMA PERMASALAHAN LANSKAP PERKOTAAN KUALITAS UDARA & PENCEMARAN PERAN POHON. Data Ilmiah dari Hasil Penelitian Terapan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

TINJAUAN PUSTAKA Karakter Lanskap Kota

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi masalah kesehatan lingkungan utama di dunia, terutama di negara-negara

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Sejarah Singkat Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat

RENCANA AKSI DINAS LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN KERINCI TAHUN 2017

BAB 1 PENDAHULUAN. Perhatian dunia terhadap lingkungan hidup telah diawali sejak konferensi

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 %

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelestarian fungsi danau. Mengingat ekosistem danau memiliki multi fungsi dan

WALIKOTA PALANGKA RAYA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sumber daya alam yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. untuk memotivasi berkembangnya pembangunan daerah. Pemerintah daerah harus berupaya

BAB I PENDAHULUAN. Sementara Pasal 2, Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (Convention

BAB I PENDAHULUAN. 1 Panduan Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka 2 Ibid

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah disepakati oleh beberapa ahli bahwa ajaran agama merupakan aspek fundamental dalam pengelolaan lingkungan khususnya dalam konservasi keanekaragaman hayati. Agama dipahami dan dihayati oleh masyarakat tradisional sebagai sebuah pedoman hidup, dengan tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam relasi yang harmonis dengan sesama manusia dan alam. Berdasarkan pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang spiritual menyatu dengan yang material, ajaran agama memberikan pengaruh melalui filsafat, aksi, dan dampaknya. Hal tersebut ditunjukkan dari cara pandang para pengikutnya yang memandang tentang perlindungan alam. Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan (Keraf, 2010; Suryadarma, 2009; Mangunjaya, 2007). Salah satu pengaruh yang timbul oleh adanya ajaran agama ialah menganggap tempat-tempat sakral atau pohon-pohon tertentu sebagai sesuatu yang harus dilindungi dan dikeramatkan. Bentuk anggapan tersebut bervariasi pada setiap masyarakat tradisional yang ada di suatu daerah tertentu. Bentuk penghormatan terhadap alam ditunjukkan oleh sebagian masyarakat tradisional Jawa yang menganggap bahwa pohon beringin (Ficus spp.) sebagai pohon angker sedangkan 1

sebagian yang lain menganggapnya sebagai pohon keramat, pohon suci, dan pohon kehidupan. Simbol pohon Beringin dalam lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Garuda Pancasila maupun pada logo pemerintahan dan partai politik merupakan salah satu wujud pemaknaan tumbuhan beringin (Ficus spp.). Di dalam kultural Kota Yogyakarta tumbuhan beringin (Ficus spp.) memiliki makna dan peran tersendiri dalam tata keruangan dari zaman Kerajaan Mataram hingga saat ini. Konsep pembentukan struktur ruang Kota Yogyakarta divisualisasikan melalui formasi linier dalam bingkai warisan budaya yang disebut sumbu imajiner yang meliputi Gunung Merapi, Kraton, dan Laut Selatan. Tata rakit keruangan tersebut memiliki formasi linier tampak dalam garis lurus yang meliputi Gunung Merapi, Tugu Golong Gilig, Alun-alun Utara, Keraton Yogyakarta, Alun-alun Selatan, Panggung Krapyak dan Laut Selatan (Kurniawan & Sadali, 2005). Alun-alun Selatan merupakan halaman paling selatan dalam kompleks Keraton Yogyakarta. Pada bagian tengah Alun-alun Selatan terdapat dua pohon beringin (Ficus spp.) yang dipagari dengan susunan batu bata dan mempunyai dekorasi berupa bulatan dan bentuk busur. Beringin kurung tersebut dinamakan supit urang. Begitupula di tengah Alun-alun Utara juga terdapat dua pohon beringin (Ficus spp.) pagar yang disebut ringin kurung. Keduanya mempunyai kedudukan yang terhormat di dalam keraton dibandingkan dengan jenis tanaman keraton lainnya (Dinas Kebudayaan DIY, 2009). Kedua alun-alun tersebut seringkali bahkan hampir setiap hari dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Dengan 2

adanya fenomena seperti ini merupakan suatu kesempatan bagi pemerintah untuk menjadikan dan memperkenalkan pohon beringin (Ficus spp.) sebagai pohon maskot dalam rangka pembangunan ruang terbuka hijau Kota Yogyakarta mengingat popularitas pohon beringin (Ficus spp.) dalam sejarah pembangunan Kota Yogyakarta. Selain hal-hal tersebut di atas, tumbuhan beringin (Ficus spp.) memiliki peran penting dalam ekologi. Beringin (Ficus spp.) memiliki bunga tipe sikonium yang berasosiasi dengan tawon (fig wasps). Beringin (Ficus spp.) sebagai penyedia makanan utama bagi berbagai satwa di sekitarnya karena kemampuannya yang dapat berbuah sepanjang tahun (Harrison, 2005; Shanahan, 2001). Selain itu, tumbuhan beringin (Ficus spp.) bersifat hijau sepanjang tahun (evergreen) berbeda dengan tumbuhan meranggas (deciduous) yang menggugurkan daun pada musimnya. Dengan demikian, tumbuhan beringin (Ficus spp.) tepat digunakan sebagai tanaman penghijau dalam fungsi estetika, ekologi, konservasi flora, reduksi polutan udara, dan fungsi sosial. Popularitas dan persebaran tumbuhan beringin (Ficus spp.) di Kota Yogyakarta tidak lepas dari peran dan inisiaif masyarakat dari zaman dahulu hingga sekarang. Popularitasnya merupakan wujud eksistensi beringin (Ficus spp.) yang melekat pada kehidupan masyarakat Kota Yogyakarta. Persebaran beringin (Ficus spp.) merupakan manifestasi dari inisiatif dan aksi masyarakat Kota Yogyakarta untuk melestarikan eksistensi beringin (Ficus spp.). Masyarakat Kota Yogyakarta menanam beringin (Ficus spp.) di tepi jalan raya sebagai pohon penghijauan. 3

Pembangunan Kota Yogyakarta khususnya penataan Ruang Terbuka Hijau Jalan (RTHJ) memanfaatkan beberapa pohon seperti yang banyak dijumpai meliputi Beringin, Angsana, Glodogan, Pohon Kupu-kupu, Palem, Asem, dan Tanjung. Tumbuhan tersebut banyak dijumpai di tepi jalan raya sebagai tumbuhan penghijau jalan. Pohon beringin (Ficus spp.) ini banyak ditanam di tepi jalan raya dengan label keterangan nama ilmiah beringin (Ficus benjamina) dari DLH Kota Yogyakarta walaupun belum seluruhnya. Namun demikian, kemelimpahan distribusi beringin (Ficus spp.) di Kota Yogyakarta belum dilakukan oleh pihak DLH Kota Yogyakarta. Beringin (Ficus spp.) yang tersebar khususnya di RTHJ Kota Yogyakarta dapat dijadikan sebagai salah satu upaya dalam mitigasi pencemaran udara. Beringin (Ficus spp.) memiliki tajuk yang rapat dan tebal sehingga pohon ini dapat digunakan sebagai tanaman penghijauan yang berfungsi dalam mereduksi polutan khususnya dari aktivitas kendaraan bermotor. Aktivitas transportasi kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Diperkirakan pada tahun 2020 setengah dari jumlah penduduk Indonesia akan menghadapi permasalahan pencemaran udara perkotaan yang didominasi oleh emisi kendaraan bermotor. Logam berat timbal (Pb) merupakan salah satu emisi kendaraan bermotor yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Selain timbal, debu juga merupakan komponen yang ikut serta dalam mencemari udara (Kusminingrum & Gunawan, 2008). 4

Perlu dilakukan program pengelolaan dan pengendalian pencemaran udara di daerah perkotaan. Sebagai langkah awal dapat dilakukan kegiatan observasi untuk mengetahui kemelimpahan distribusi beringin (Ficus spp.) dan efektivitasnya dalam menyerap komponen pencemar udara khususnya timbal (Pb) dan debu. Sejauh mana masyarakat memandang pohon beringin (Ficus spp.) dari perspektif lingkungan, mitologi dan sejarah juga perlu dilakukan. Dengan demikian, dapat ditentukan prioritas pengelolaan dan pengendalian yang tepat. B. Identifikasi Masalah Perlunya pemaknaan eksistensi dan distribusi pohon beringin dalam perspektif ilmiah sebagai upaya pemantapan perlindungan warisan budaya, pemantauan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan upaya mitigasi pencemaran udara perkotaan. Beberapa permasalahan yang terdapat pada pohon beringin adalah sebagai berikut: 1. Pemaknaan terhadap eksistensi pohon beringin oleh masyarakat Kota Yogyakarta. 2. Distribusi pohon beringin di berbagai lokasi di Kota Yogyakarta. 3. Ukuran batang, tajuk, dan akar beringin. 4. Kemampuan organ-organ tumbuhan beringin dalam menjerap dan menyerap logam-logam berat dari tanah, udara, dan air. 5. Peran arsitektur pohon beringin dalam siklus hidrologi (intersepsi dan transpirasi). 5

6. Respon masyarakat Kota Yogyakarta terhadap beringin sebagai pohon penghijauan. 7. Kerusakan infrastruktur kota oleh pohon beringin karena tingginya daya adaptasi pohon beringin. 8. Peran pohon beringin dalam ekologi hutan. 9. Simbiosis mutualisme antara tawon (Agaonidae) dengan bunga sikonium beringin. 10. Stabilitas mutualisme antara tawon dengan bunga sikonium beringin (satu spesies beringin bersimbiosis dengan beberapa jenis tawon). 11. Profil bunga sikonium beringin. 12. Preferensi habitat pohon, hemi-epifit dan epifit beringin. 13. Keanekaragaman jenis beringin di Kota Yogyakarta. C. Pembatasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini meliputi: 1. Bagaimanakah perspektif eksistensi beringin bagi masyarakat tradisional Kota Yogyakarta? 2. Bagaimanakah distribusi dan kemelimpahan jumlah beringin di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Yogyakarta? 3. Bagaimanakah variasi ukuran beringin di Kota Yogyakarta? 4. Apakah beringin dapat mereduksi polutan udara? 5. Apakah masyarakat tradisional Kota Yogyakarta mengetahui pengetahuan tentang beringin? 6

D. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi: 1. Bagaimanakah perspektif masyarakat tradisional Kota Yogyakarta terhadap eksistensi beringin? 2. Bagaimanakah distribusi dan kemelimpahan jumlah beringin di Kota Yogyakarta? 3. Bagaimanakah ukuran pohon beringin di Kota Yogyakarta? 4. Bagaimanakah kemampuan tumbuhan beringin dalam mereduksi polutan di udara dalam upaya mitigasi pencemaran udara di Kota Yogyakarta? 5. Bagaimanakah pengetahuan masyarakat tradisional Kota Yogyakarta tentang beringin? E. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk mengetahui: 1. Perspektif masyarakat tradisional Kota Yogyakarta terhadap eksistensi beringin. 2. Distribusi dan kemelimpahan jumlah beringin di Kota Yogyakarta. 3. Ukuran pohon beringin di Kota Yogyakarta. 4. Kemampuan tumbuhan beringin dalam mereduksi polutan di udara dalam upaya mitigasi pencemaran udara. 5. Pengetahuan masyarakat tradisional Kota Yogyakarta tentang pohon beringin. 7

F. Manfaat Penelitian Kegunaan penelitian ini meliputi: 1. Bagi Instansi Terkait a. Memberikan informasi distribusi beringin di Kota Yogyakarta. b. Memberikan informasi peran pohon beringin dalam mitigasi kerusakan lingkungan. 2. Bagi Masyarakat a. Memantapkan peran masyarakat dalam menjaga keunikan tumbuhan sebagai warisan budaya (cultural ancient) dalam upaya pemantapan mitigasi kerusakan lingkungan melalui perspektif ilmiah. G. Batasan Operasional Batasan operasional dalam penelitian ini meliputi: 1. Berdasarkan hasil survei lapangan terdapat dua jenis marga Ficus yang memiliki ciri morfologi hampir sama. Akan tetapi, jika diteliti dengan seksama keduanya memiliki perbedaan. Kedua jenis tersebut adalah beringin (Ficus benjamina) dan preh (Ficus ribes). Kedua jenis berasal dari marga yang sama, masyarakat lebih mengenal kedua jenis tersebut dengan sebutan beringin. Istilah beringin digunakan untuk mewakili kedua jenis ini. Observasi distribusi beringin dilakukan pada semua beringin yang berada di jalur hijau jalan (tepi jalan) Kota Yogyakarta, lapangan terbuka, halaman perkantoran/instansi, dan Kebun Binatang Gembira Loka (KBGL). 8

2. Data ukuran pohon meliputi diameter batang setinggi dada dan ketinggian pohon. 3. Peran beringin dalam mitigasi pencemaran udara diukur menggunakan parameter debu pada permukaan daun dan timbal (Pb) pada daun dan kulti batangnya. 4. Pengetahuan masyarakat tradisional Kota Yogyakarta tentang beringin hanya dibatasi pada aspek lingkungan, sejarah dan mitologi. H. Batasan Istilah 1. Eksistensi Eksisitensi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keberadaan beringin ditinjau dari perspektif masyarakat tradisional bukan eksistensi yang dipengaruhi oleh faktor alam (komponen ekosistem). 2. Distribusi Distribusi beringin yang dimaksudkan ialah persebaran beringin yang diakibatkan adanya budidaya Beringin oleh masyarakat bukan karena faktor alam yang mempengaruhi terjadinya dispersal. 3. Mitigasi Mitigasi yang dimaksudkan ialah mengatasi/menanggulangi polutan di udara. 4. Pencemaran Udara Pencemaran udara yang dimaksudkan ialah pencemaran udara yang berasal dari aktivitas kendaraaan bermotor. 9

5. Masyarakat tradisional Masyarakat tradisional yang dimaksud ialah populasi abdi dalem Keraton Yogyakarta. 10