Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

Disampaikan dalam acara Focus Working Group 2017 Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Jakarta, 18 Mei 2017

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

Cakupan Paparan : Outlook industri pulp dan kertas (IPK) Gambaran luasan hutan di indonesia. menurunkan bahan baku IPK

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Gambar 1 Produksi dan ekspor CPO tahun 2011 (Malaysian Palm Oil Board (MPOB))

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

BAB I PENDAHULUAN. strategis dalam perekonomian Indonesia. Bahkan komoditi teh juga menjadi

BAB I PENDAHULUAN. pada sektor pertanian. Wilayah Indonesia yang luas tersebar diberbagai. meningkatkan perekonomian adalah kelapa sawit. Gambar 1.

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

Upaya Menuju Kemandirian Pangan Nasional Jumat, 05 Maret 2010

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC)

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

Peremajaan Kelapa Sawit Rakyat Tantangan dan Hambatan Di Masa Depan. Oleh : Asmar Arsjad APKASINDO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian, Semester I 2014 Ekspor Impor Neraca

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Industri pertekstilan merupakan industri yang cukup banyak. menghasilkan devisa bagi negara. Tahun 2003 devisa ekspor yang berhasil

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

PT AUSTINDO NUSANTARA JAYA Tbk. TANYA JAWAB PUBLIC EXPOSE Senin, 14 Mei Bagaimana target produksi dan penjualan Perseroan pada tahun 2018?

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Permintaan domestik dan internasional akan kayu jati untuk industri

BAB I PENDAHULUAN. pada 2020 dan berdasarkan data forecasting World Bank diperlukan lahan seluas

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT: PERSPEKTIF LINGKUNGAN. Mukti Sardjono, Saf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan,

I. PENDAHULUAN. ini adalah industri pulp dan kertas. Ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BAB I PENDAHULUAN. interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perkebunan memegang peranan penting dalam meningkatkan

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk pada saat

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT PADA IUPHHK-HTI. Oleh : Dr. Bambang Widyantoro ASOSIASI PENGUSAHA HUTAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

Peluang untuk Meningkatkan Produktivitas dan Profiabilitas Petani Kecil Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

f f f i I. PENDAHULUAN

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan

LINGKUNGAN BISNIS PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017 A. Overview Sektor agribisnis perkebunan Kelapa Sawit Indonesia telah berkembang dari waktu ke waktu dan memiliki berbagai tantangannya yang berkaitan dengan keberlanjutan daya dukung lingkungan. Berbagai kampanye anti sawit Indonesia diyakini memiliki tujuan tertentu agar peran sawit Indonesia di dunia internasional dan domestik semakin terkucilkan. Kampanye-kampanye tersebut terutama dilakukan oleh negara penghasil minyak nabati non-sawit, khususnya di saat Indonesia menjadi leader pemasok minyak nabati sawit di dunia. Untuk meredam tekanan akibat kampanye tersebut, sudah semestinya industri dan perkebunan kelapa sawit didukung penuh oleh seluruh pemangku kepentingan dikarenakan perannya dalam menghasilkan pangan dan energi yang efisien sekaligus mampu melindungi permukaan tanah secara baik. Nilai ekonomis sawit dan ketersediaan lahan untuk perkebunan dan pertanian telah mendorong para wirausahawan turun ke daerah dan pedesaan yang terisolir untuk membuka kebun-kebun sawit. Maraknya perkebunan sawit adalah refleksi dari kekayaan alam Indonesia dan kebijakan publik yang berpihak pada pertumbuhan ekonomi. Pesatnya kemunculan perkebunan sawit adalah hasil dari kebijakan publik Pemerintah yang diformulasikan sedemikian rupa untuk membangun daerah dengan misi meningkatkan ketahanan ekonomi daerah. Kebijakan publik ini juga menunjukkan pada sisi supply dan demand sehingga kebutuhan strategis nasional dalam hal pemanfaatan lahan untuk penciptaan lapangan kerja, energi terbarukan dan pertumbuhan ekonomi dari sektor perkebunan dan pertanian dapat tumbuh dengan cepat. Saat ini Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terluas di dunia, mendekati 12 juta ha, dengan produksi di atas 30 juta ton CPO. Indonesia mampu menembus pasar ekspor sekitar 28 juta ton yang terdiri tidak hanya CPO namun juga produk-produk turunannya. Nilai total ekspor tersebut berkisar USD 19 milyar, yang ternyata melampaui nilai ekspor migas. Prestasi ini harus ditingkatkan, salah satunya melalui manajemen pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan, salah satunya melalui replanting yang diperkirakan harus dilakukan terhadap area seluas 2,4 juta hektar. Dengan total luas perkebunan sawit Indonesia sekitar 12 juta ha, sekitar 41% nya diusahakan oleh perkebunan rakyat. Pengusahaan kelapa sawit menyerap lebih dari 5,5 juta tenaga kerja di sektor on farm. Dengan produksi diatas 30 juta ton (data 2016) CPO, Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia, yang apabila digabung dengan Malaysia, maka kedua negara menguasai sekitar 85% produksi minyak sawit dunia. Perkembangan itu memperlihatkan bahwa sawit merupakan komoditas strategis dengan nilai ekonomis tinggi. Untuk itu dikeluarkanlah PP No. 57/2016 untuk mengatur pengelolaan sawit secara berkelanjutan di lahan gambut agar dapat berkontribusi bagi pendapatan masyarakat dan negara. B. Perkembangan Data Produk Sawit Indonesia Sebagai salah satu negara penghasil produk minyak sawit terbesar di dunia, maka tentunya produk tersebut tidak habis dikonsumsi di dalam negeri dan dapat menjadi produk ekspor non-migas unggulan Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI 2016, negara Asia tujuan ekspor seluruh produk non-migas Indonesia terbesar adalah China (USD 15,11 milyar). Sementara Belanda merupakan negara tujuan ekspor seluruh non-migas Indonesia terbesar untuk lingkup Uni Eropa dengan nilai ekspor USD 3,22 milyar (terbesar ke-10) dengan nilai 2,4% dari total ekspor non migas Indonesia. Page 1

Grafik 1. Sumber : Kementerian Perdagangan RI, BPS, 2016. Dari sisi impor produk non-migas berdasarkan negara asal, China menempati urutan teratas 2016 dengan nilai USD 30,7 milyar, meningkat 5% vs 2015. Impor dari negara Uni Eropa terbesar masih ditempati oleh Jerman dengan total nilai impor Indonesia dari negara tersebut USD 3,15 milyar. Namun nilai impor nonmigas Indonesia dari Jerman terus menurun rata-rata 7% dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Sebagai salah satu produk non-migas andalan Indonesia, prospek industri kelapa sawit Indonesia kedepannya masih diperkirakan terus positif. Selama tahun 2016, nilai ekspor kelapa sawit mencapai USD 18,23 milyar, meningkat kembali setelah pada 2015 sedikit mengalami penurunan. Kenaikan nilai ekspor kelapa sawit disebabkan adanya kenaikan harga CPO global sekitar 41,4% selama 2016. Tabel 1. Ekspor Sawit Indonesia (milyar USD) Pertumbuhan Ekspor Sawit (%) Sumber : BPS 2017, diolah. Nilai Ekspor Sawit Indonesia Dan Pertumbuhannya (2006-2016) 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016* 4,82 7,87 12,38 10,37 13,47 17,26 17,60 15,84 17,47 15,39 18,23 63,32% 57,28% -16,23% 29,91% 28,16% 1,98% -10,02% 10,27% -11,91% 18,49% Grafik 2. Sumber : Diolah Ditjen Bea dan Cukai & Publikasi Statistik Indonesia, 2016. Page 2

Berdasarkan negara tujuan, India merupakan tujuan ekspor minyak sawit terbesar Indonesia di tahun 2015 dengan nilai FOB mencapai USD 3,22 milyar (20,91% dari total ekspor sawit Indonesia). Disusul Tiongkok (13,30%) yang mencapai USD 2,05 milyar. Sementara negara Uni Eropa pengimpor minyak sawit terbesar adalah Belanda dan Jerman dengan nilai USD 821,2 juta (5,34% dari total ekspor sawit Indonesia). Tabel 2. Negara Tujuan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Menurut Negara Tujuan Utama, 2000-2015 FOB (juta US$) 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Tiongkok 707,5 957,2 1519,3 1628,6 1866,5 2109,5 2600 1794,1 1789,8 2046,9 Singapura 245,4 406,4 488,5 392,6 565,6 782,5 905,3 650,1 602,9 436,7 Malaysia 240,6 253 599,7 719,4 1210,8 1603 1320,8 372,8 403,6 655,1 India 972,6 2180,3 4109,1 3340 4340,2 5256,4 4838,4 4281,6 3635,3 3217 Pakistan 337 543,7 387,7 139,9 81,2 296,8 714,3 814,4 1353,9 1313,5 Bangladesh 189,3 341,1 482,2 527,9 626,7 885,8 706,1 501,8 796,3 672 Sri Lanka 174,9 162,3 39,9 3,7 9,7 29,6 10,6 23,1 30,3 31,3 Mesir 207,9 262,2 403,9 325,4 409,2 841,3 462,6 563,8 751,9 672,8 Belanda 468,8 544,6 1054,4 811,9 1005,5 870,9 1249,8 1031 908,5 694,2 Jerman 135,8 319,4 347,2 267,5 280,7 270 197,8 216,8 141,9 127 Lainnya 1138 1898,4 2943,7 2210,7 3072,9 4315,4 4596,5 5589,4 7050,5 5518,8 Total 4817,8 7868,6 12375,6 10367,6 13469 17261,2 17602,2 15838,9 17464,9 15385,3 Sumber : Diolah Ditjen Bea dan Cukai & Publikasi Statistik Indonesia, 2016. Tren perkembangan yang tetap positif dari tahun ke tahun tersebut memperlihatkan bahwa sebagai salah satu produk ekspor non-migas andalan, maka minyak kelapa sawit beserta produk turunannya tentu memerlukan dukungan penuh dari kebijakan Pemerintah. Kebijakan-kebijakan tersebut tentunya berkaitan erat dengan tarif, pajak ekspor, pemasaran di negara-negara tujuan, maupun dari sisi kebijakan agraria domestik yang diharapkan dapat mendukung kelanjutan supremasi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, sekaligus kebijakan yang juga mendukung restorasi dan konservasi sumber daya alam secara berkelanjutan. Oleh karena itu, sangatlah diharapkan kebijakan Pemerintah dalam hal konservasi lahan produksi sawit yang bertujuan menjaga daya dukung lingkungan agar juga berpihak terhadap keberlangsungan produksi lahan sawit, sehingga keunggulan produk non-migas tersebut tetap terjaga dan terus meningkat untuk menopang surplus perdagangan Indonesia. C. Permasalahan Perkebunan Sawit & Isu Regulasi Lahan Gambut Perkembangan produksi minyak sawit Indonesia beserta tren ekspor yang dicapainya tentu tidak terlepas dari maraknya perkebunan sawit. Hal ini merupakan refleksi dari kekayaan alam Indonesia dan kebijakan publik yang berpihak pada pertumbuhan ekonomi. Nilai ekonomis sawit dan adanya ketersediaan lahan untuk perkebunan dan pertanian telah mendorong para wirausahawan turun ke daerah-daerah pedesaan yang terisolir untuk membuka kebun-kebun sawit. Muncul maraknya perkebunan sawit adalah hasil dari Page 3

kebijakan publik dari Pemerintah yang diformulasikan sedemikian rupa untuk membangun daerah dengan misi meningkatkan ketahanan ekonomi daerah. Tabel 3. Perusahaan Sawit Yang Sudah ISPO Di 7 Propinsi No Propinsi Jumlah Perusahaan Sawit Jumlah Yang Sudah ISPO 1 Sumatera Utara 300 27 2 Sumatera Barat 21 10 3 Sumatera Selatan 243 14 4 Kalimantan Barat 455 11 5 Kalimantan Timur 373 54 6 Sulawesi Barat 17 7 7 Papua 30 5 Sumber : LeadershipPark Institute & Komisi ISPO, 2017. Kebijakan publik ini juga menunjukkan keberpihakan pada sisi supply dan demand sehingga kebutuhan strategis nasional dalam hal pemanfaatan lahan untuk penciptaan lapangan kerja, energi terbarukan dan pertumbuhan ekonomi dari sektor perkebunan dan pertanian dapat tumbuh dengan cepat. Oleh karena itu, pengelolaan kepala sawit secara berkelanjutan akan sangat memerlukan pemahaman yang holistik. Seperti kita ketahui bersama, saat ini kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat strategis sebagai sumber penghidupan masyarakat dan devisa negara. Pemahaman yang menyeluruh diperlukan, agar pengelolaan berkelanjutan atau tidak menimbulkan masalah di berbagai bidang. Hal ini penting agar tidak menimbulkan permasalahan di bidang ketahanan pangan, ekonomi, kerawanan sosial bahkan politik terutama di kawasan budidaya, khususnya terkait permasalahan konservasi lahan gambut. Dalam rangka mencegah kerusakan lahan gambut dan mengatur cara pengelolaannya, Pemerintah mengeluarkan regulasi pengelolaan gambut yang diatur dalam PP No. 57/2016 jo PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan peraturan pelaksanaannya yang terdiri dari 4 Peraturan Menteri yaitu Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 14/2017, No. 15/2017, No. 16/2017, serta Keputusan Menteri LHK No SK.129 Tahun 2017 dan No SK.130 Tahun 2017. Dari implementasi regulasi-regulasi tersebut, keseimbangan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan belum terlalu diaplikasikan secara berimbang, yang menimbulkan terjadinya permasalahan-permasalahan baru. Sebenarnya, sejarah pembukaan lahan gambut sudah dimulai sejak jaman orde baru saat lahan gambut dijadikan sebagai area transmigrasi dan pertanian pada periode 1969-1995. Selanjutnya, di awal tahun 2017 telah dikeluarkan Peraturan Menteri LHK No. P.17 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri LHK No. P.12.MENLHK-II/2015 (berdasarkan PP No. 57 Tahun 2016 tentang perubahan PP No. 71 Tahun 2014 terkait perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut). Perubahan PP No. 71/2014 menjadi PP No. 57/2016 secara substansial mengatur Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung dan Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya. Namun, perubahan tersebut belum menjawab semua persoalan pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya berkelanjutan, baik yang diusahakan oleh perusahaan maupun petani pekebun. Page 4

Isi pokok dari Permen LHK No. P.17 Tahun 2017 adalah pengubahan areal tanaman pokok (bahan baku industri) menjadi fungsi lindung ekosistem gambut setelah satu kali panen hasil. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, diperkirakan akan mengurangi 60% s/d 65% lahan yang digunakan perusahaan sebagai sumber bahan baku produksi dan berpotensi membatasi kegiatan produksi perusahaan. Pengurangan lahan yang menyebabkan pengurangan kegiatan produksi akan berimbas langsung pada tenaga kerja di wilayah tersebut. Adapun pertimbangan dari pihak Kementerian LHK adalah bahwa Permen LHK No. 17/2017 tersebut sebagai bentuk usaha Pemerintah dalam melakukan restorasi lahan gambut dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah adanya pembakaran hutan di kawasan Sumatera (khususnya Riau, Sumatera Selatan, dll) dan Kalimantan. Tabel 4. Hilangnya Potensi Pendapatan Negara (Pusat & Daerah) No Dampak Industri Pulp / Kertas Industri Sawit *) Total 1 2 Pendapatan Negara Berupa Pajak dan PNBP Efek Ganda Pada Karyawan Dan Kegiatan Ekonomi Masyarakat Rp 42,5 trilyun Rp 79,5 trilyun Rp 122 trilyun Rp 36,3 trilyun Rp 9,4 trilyun Rp 45,7 trilyun 3 Investasi Usaha Termasuk UMKM Rp 442 trilyun Rp 112 trilyun Rp 554 trilyun Keterangan : *) Perhitungan sawit sampai dengan CPO/CPKO (belum termasuk industri intermediate dan hilir dan kecil). Sumber : Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI). Dampak Kebijakan : Hilangnya potensi produksi kelapa sawit dan kayu HTI akibat berkurangnya areal tanaman pokok di fungsi budidaya yang berubah menjadi fungsi lindung di lahan gambut, dimana tercatat ada seluas 780.000 ha lahan HTI dan 1.020.000 ha lahan sawit. Hilangnya potensi ekspor kelapa sawit hingga 13% karena lahan yang ada harus dikembalikan menjadi fungsi lindung. Hilangnya potensi pertumbuhan usaha kehutanan dan perkebunan akibat tidak adanya aktivitas ekstenfisikasi. Hilangnya potensi pendapatan negara baik pusat maupun daerah, masyarakat dan investasi usaha (usaha besar, menengah dan kecil), termasuk masyarakat yang menggantungkan mata pencahariannya pada UMKM di sekitar area produksi. Hilangnya kesempatan kerja bagi masyarakat, baik sebagai tenaga kerja langsung maupun tidak langsung pada industri pulp / kertas dan perkebunan. Diperkirakan jumlah pekerja yang terimbas akan semakin membesar mengingat banyaknya perusahaan turunan (dalam rantai pasok) di sektor perkebunan. Terancamnya pengembalian nilai investasi dari industri hulu dan hilir usaha kehutanan dan perkebunan yang dibiayai oleh pinjaman dalam negeri, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kredit macet. Penurunan peringkat / rating investasi Indonesia saat ini atau berpotensi turun menjadi di bawah investment grade, sehingga upaya untuk meningkatkan investasi di Indonesia menjadi kurang menarik. Dampak terhadap lingkungan dimana areal yang tidak diusahakan akan rentan menjadi sasaran perambahan liar ataupun kerusakan lahan gambut. Page 5

D. Kesimpulan dan Rekomendasi Untuk saat ini APINDO menganggap bahwa kebijakan demi kebijakan di sektor perkebunan sawit perlu disesuaikan dengan rencana target capaian Pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo. Dengan memperhitungkan kondisi terkini, pandangan dunia internasional dan beberapa pihak domestik masih ada yang perlu diluruskan, bukan hanya dengan statement, tetapi dengan regulasi dan implementasi yang proporsional dengan melibatkan partisipasi publik secara terbuka. Kebijakan-kebijakan terkait sektor perkebunan sawit harus dipantau agar terimplementasi yang baik, sehingga dunia usaha terkait di sektor ini dapat dilindungi, ditegur ataupun diarahkan apabila keliru dan bisa ditindak jika dengan kesengajaan menyalahgunakan hak dan kewajibannya. Berbagai kebijakan sinergis pada intinya adalah upaya anti deforestasi, ramah ketenagakerjaan dan zero burning. Sawit adalah penyumbang devisa terbesar dari sektor perkebunan, oleh karena itu Pemerintah perlu mengatur tata kelola sehingga mampu melindungi kepentingan strategis nasionalnya dengan baik. APINDO berpendirian bahwa upaya konservasi sangat diperlukan, akan tetapi potensi budidaya berkelanjutan juga diperlukan mengingat kelapa sawit juga telah sekian lama dikembangkan di lahan gambut dan telah memberikan manfaat sumber pendapatan yang utama bagi masyarakat dan negara. Kesimpulan : Yang APINDO pahami dari Peraturan Menteri LHK No. P.17/2017 tersebut adalah mengenai pengubahan areal tanaman pokok (bahan baku industri) menjadi fungsi lindung ekosistem gambut setelah satu kali panen hasil. Akibat diberlakukannya Peraturan tersebut, perusahaan diharuskan mereduksi jumlah lahan tempat operasionalnya di wilayah lahan gambut yang merupakan sumber bahan baku produksi yang berakibat mengurangi kegiatan produksi perusahaan. Implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri LHK No. 17 Tahun 2017 tersebut berimplikasi terhadap berkurangnya lahan yang berdampak terhadap pengurangan kegiatan produksi sehingga berimbas langsung pada pengurangan tenaga kerja (PHK). Sebagai Asosiasi yang merepresentasikan dunia usaha Indonesia secara khusus di bidang Ketenagakerjaan, APINDO telah memperoleh berbagai masukan dari perusahaan-perusahaan anggota APINDO dan juga Asosiasi-Asosiasi terkait seperti GAPKI, APKI, APHI, APKINDO, ASMINDO, APKASINDO, ASPEKPIR. Dari berbagai masukan dan informasi data yang APINDO peroleh, jumlah pekerja yang akan berpotensi terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah sekitar 20.700 pekerja dari sektor perkebunan pada 60% lahan yang berkurang akibat peraturan ini. Diperkirakan jumlah pekerja yang terimbas akan jauh lebih besar mengingat banyaknya perusahaan turunan (dalam rantai pasok) di sektor usaha yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Dengan berbagai kesimpulan yang ada dengan latar belakang kondisi-kondisi tersebut, maka APINDO menyatakan rekomendasi dunia usaha terkait sektor perkebunan sawit sebagai berikut : 1. Industri dan perkebunan masyarakat yang sudah beroperasi di lahan gambut yang memiliki izin resmi agar tetap dapat memanfaatkan lahan gambut sampai habisnya masa berlaku ijin sebagaimana dijamin dalam PP No. 71 Tahun 2014 dan tidak diubah dalam PP No. 57 Tahun 2016 tetapi diubah dalam Permen LHK No. 17 Tahun 2017 menjadi 1 daur (Permen LHK No. 17 Tahun 2017 bertentangan dengan PP diatasnya). Perubahan dengan ditetapkannya kawasan gambut tersebut sebagai kawasan lindung akan berdampak terhadap kelangsungan industri dan kesempatan kerja. 2. Untuk itu APINDO merekomendasikan agar Pemerintah dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat membatalkan / merevisi Peraturan Menteri LHK No. 17 Tahun 2017 untuk Page 6

meminimalkan resiko potensi kerusakan lahan gambut dikarenakan penghentian operasional di lahan gambut justru akan memberikan ketidakpastian mengenai pihak mana yang akan bertanggung-jawab terhadap lahan gambut yang akhirnya menganggur tersebut. Dengan demikian akan lebih bermanfaat bagi kelestarian lingkungan dan pemanfaatannya secara ekonomis apabila para pelaku usaha yang memiliki ijin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) tetap diberikan ijin pengelolaannya secara berkala dan berkelanjutan dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. 3. Revisi Peraturan Menteri LHK No. 17 Tahun 2017 diharapkan berfungsi mendidik dan mendisiplinkan semua pihak untuk melakukan pengelolaan ekosistem gambut secara lestari dengan tetap memperhatikan keberlangsungan fungsi Ekonomi, Sosial dan Lingkungan sekaligus juga tidak menimbulkan dampak negatif yang besar di bidang ekonomi dan sosial sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum, kepastian usaha dan keberlangsungan penciptaan lapangan kerja. **** -- **** Page 7