ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan yaitu untuk memperbaiki warna,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kehatan RI No.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS RHODAMIN B DALAM SAOS DAN CABE GILING DI PASAR KECAMATAN LAWEYAN KOTAMADYA SURAKARTA DENGAN METODE KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS II REGULER C AKADEMI ANALIS KESEHATAN NASIONAL SURAKARTA TAHUN AKADEMIK 2011/2012

METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Tambahan Pangan (Food Additive)

ANALISIS RHODAMIN B DAN METANIL YELLOW DALAM JELLY DI PASAR KECAMATAN JEBRES KOTAMADYA SURAKARTA DENGAN METODE KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS SKRIPSI

ANALISIS PEWARNA RHODAMIN B DALAM ARUM MANIS SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DAN SPEKTROFOTOMETRI UV-Vis DI DAERAH SUKOHARJO DAN SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi saat ini, penggunaan zat warna alami semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan manusia.dalam kehidupan sehari-hari.

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kandungan rhodamin

UNIVERSITAS PANCASILA FAKULTAS FARMASI LAPORAN PENELITIAN DAN PUBLIKASI ILMIAH

BAB 1 PENDAHULUAN. kebanyakan masyarakat. Meskipun memiliki beberapa keunggulan, tetapi

ANALISIS KANDUNGAN RHODAMIN B SEBAGAI PEWARNA PADA SEDIAAN LIPSTIK IMPOR YANG BEREDAR DI KOTA MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut WHO, makanan adalah : Food include all substances, whether in a

BAB I PENDAHULUAN. Makanan selalu dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Cara penyajian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Kita hidup di dunia ini dilengkapi dengan lima indra yaitu penglihatan,

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan harga mutlak bagi setiap orang. Menurut Undangundang

ANALISIS PENGGUNAAN RHODAMIN B PADA CABE GILING BASAH YANG DIJUAL DI PASAR KOTA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai upaya sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. diminati oleh mayoritas masyarakat Indonesia, karena rasanya yang gurih dan

balado yang beredar di Bukittinggi, dalam Majalah Kedokteran Andalas, (vol.32, No.1, Januari-juni/2008), hlm. 72.

I. PENDAHULUAN. additive dalam produknya. Zat tambahan makanan adalah suatu senyawa. memperbaiki karakter pangan agar mutunya meningkat.

(asam sitrat), Pengawet (natrium benzoat), Pewarna makanan. Komposisi: Gula, Glukosa, Buah nanas, Asam Sitrat, Perasa dan Pewarna

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

PENDAHULUAN. Gambar 1 Ilustrasi hukum Lambert Beer (Sabrina 2012) Absorbsi sinar oleh larutan mengikuti hukum lambert Beer, yaitu:

Kuesioner Penelitian

Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2 Juni Identifikasi rhodamin B pada kembang gula yang beredar di Kota Jambi ABSTRAK

Tabel Pelarut Dalam Percobaan Metode Kromatografi. A n-butanol 40 bagian volume. B Iso-butanol 30 bagian volume

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di zaman modern sekarang ini begitu banyak terjadi perkembangan di

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 239/Men.Kes/Per/V/85 TENTANG ZAT WARNA TERTENTU YANG DINYATAKAN SEBAGAI BAHAN BERBAHAYA

GAMBARAN ZAT WARNA RHODAMIN B PADA KOSMETIK PEMERAH BIBIR YANG BEREDAR DIPASAR BERINGHARJO YOGYAKARTA

SPEKTROFOTOMETRI. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan generasi penerus bangsa. Kualitas anak-anak akan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Seluruh masyarakat merupakan konsumen dari makanan sekaligus

Lampiran 1. Data Penentuan Operating Time Senyawa Kompleks Fosfor Molibdat pada λ = 708 nm

Jarak yang digerakkan oleh pelarut dari titik asal = 17 cm = 0,9235 = 0,9058 = 0,8529. Harga Rf untuk sampel VIII + baku pembanding = = 0,8588

BAB I PENDAHULUAN. mengandung zat gizi untuk dapat memenuhi fungsinya dan aman dikomsumsi karena

BAB 1 PENDAHULUAN. aman dapat menimbulkan gangguan kesehatan bahkan keracunan. Penentuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LAPORAN KIMIA ANALITIK KI 3121 Percobaan modul 2 PENETAPAN ANION FOSFAT DALAM AIR

Lampiran 1. Perhitungan Pembuatan Larutan Natrium Tetraboraks 500 ppm. Untuk pembuatan larutan natrium tetraboraks 500 ppm (LIB I)

III. METODOLOGI PERCOBAAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 sampai Juni 2015 di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan minuman olahan dalam bentuk bubuk atau cair yang mengandung

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Spektrum Derivatif Metil Paraben dan Propil Paraben

I. PENDAHULUAN. setiap orang. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) dalam. terbawa hingga dewasa. Kegemaran masyarakat akan jajan atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam buku British pharmacopoeia (The Departemen of Health, 2006) dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Ilotidea, Tualango, Tabumela, Tenggela dan Tilote. Kecamatan Tilango memiliki

ANALISIS KANDUNGAN ZAT PEWARNA TARTRAZIN DALAM MINUMAN JAJANAN DI SEKOLAH DASAR KECAMATAN WARA KOTA PALOPO

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pembuatan larutan induk standar fenobarbital dan diazepam

DAFTAR ISI.. ABSTRAK.. KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMA KASIH. DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN..

Gambar 2. Perbedaan Sampel Brokoli (A. Brokoli yang disimpan selama 2 hari pada suhu kamar; B. Brokoli Segar).

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai upaya sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kualitatif

BAB I PENDAHULUAN. Makanan atau minuman adalah salah satu kebutuhan dasar manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sasaran pembangunan pangan adalah menyediakan pangan

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. digunakan dalam makanan. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering

PERCOBAAN 1 PENENTUAN PANJANG GELOMBANG MAKSIMUM SENYAWA BAHAN PEWARNA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan di dalam kehidupannya (Effendi, 2012). Berdasakan definisi dari WHO

BAB IV ANALISIS DENGAN SPEKTROFOTOMETER

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II METODE PENELITIAN. Universitas Sumatera Utara pada bulan Januari-April 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata saus berasal dari bahasa Perancis (sauce) yang diambil dari bahasa

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

Spektrofotometri uv & vis

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif.

BAB I PENDAHULUAN. Bahan pangan adalah bahan yang memungkinkan manusia tumbuh dan

ANALISIS Pb PADA SEDIAAN EYESHADOW DARI PASAR KIARACONDONG DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

Tabel jenis pewarna alami pada produk makanan dan batas maksimum penggunaannya

Gambar 6. Kerangka penelitian

ANALISIS SECARA BIOKIMIA METHANYL YELLOW PADA TAHU YANG BEREDAR DI PASAR TRADISIONAL KODYA BANDUNG

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metodologi Penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metodologi

ANALISIS ZAT PEWARNA RHODAMIN B PADA SAOS BAKSO TUSUK YANG BEREDAR DI SEKITAR KAMPUS UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO

PEMERIKSAAN DAN PENETAPAN KADAR ZAT PEWARNA RHODAMIN B PADA SAUS DAN KERUPUK DI KOTA MEDAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memerlukan makanan untuk menunjang kelangsungan hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. gizi dan mempunyai bentuk yang menarik, akan tetapi juga harus aman dalam arti

A. Judul B. Tujuan C. Dasar Teori

4 Hasil dan Pembahasan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Merck, kemudian larutan DHA (oil) yang termetilasi dengan kadar akhir

PEWARNA ALAMI; Sumber dan Aplikasinya pada Makanan & Kesehatan, oleh Dr. Mutiara Nugraheni, S.T.P., M.Si. Hak Cipta 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko

ANALISA KANDUNGAN RHODAMIN B SEBAGAI PEWARNA PADA SEDIAAN LIPSTIK YANG BEREDAR DI MASYARAKAT TAHUN 2011

UJI KUANTITATIF DNA. Oleh : Nur Fatimah, S.TP PBT Ahli Pertama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengembangan metode dapat dilakukan dalam semua tahapan ataupun

BAB 1 PENDAHULUAN. produsen makanan sering menambahkan pewarna dalam produknya. penambahan

ANALISIS RHODAMIN B PADA JAJANAN ANAK-ANAK SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN TIGA LINGGA KABUPATEN DAIRI

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Makanan Jajanan Kebutuhan makan anak-anak sekolah dasar perlu mendapat perhatian karena anak-anak mulai mempunyai kesibukan-kesibukan dengan pelajaran di sekolah dan di sekitar lingkungan sosialnya. Minat makan anak-anak sangat dipengaruhi oleh emosinya. Oleh karenanya faktor kebiasaan makan dan pengetahuan tentang gizi untuk membina kesehatannya perlu dimiliki. Dengan demikian anak-anak dapat memilih makanan yang tepat untuk dimakan, andaikata ia harus membeli makanan atau jajan untuk memenuhi kebutuhannya (Poedjiadi, 1994). Pada umumnya kebiasaan yang sering menjadi masalah adalah kebiasaan makan di kantin atau warung di sekitar sekolah. Makanan jajanan yang dijual oleh pedagang kaki lima atau dalam bahasa Inggris disebut street food menurut FAO didefinisikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan dan dikonsumsi tanpa persiapan atau pengolahan lebih lanjut. Dari beberapa jajanan yang sering dikonsumsi oleh anak-anak sekolah ditemukan adanya mengandung Bahan Tambahan Pangan seperti pewarna (Judarwanto, 2009). 2.2 Bahan Tambahan Makanan Bahan tambahan makanan secara definitif dapat diartikan sebagai bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan yaitu untuk memperbaiki warna, bentuk, cita rasa, tekstur, atau memperpanjang masa simpan. Salah satu bahan tambahan makanan yang sering digunakan adalah pewarna makanan (Winarno,

1980). Keberadaan BTM ini membuat makanan tampak lebih berkualitas, lebih menarik, serta rasa dan teksturnya lebih sempurna. Zat-zat itu ditambahkan dalam jumlah sedikit, namun hasilnya sungguh menakjubkan (Khomsan, 2003). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan R.I. No. 329/Menkes/PER/XII/76, yang dimaksud dengan aditif makanan adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu. Termasuk kedalamnya adalah pewarna (Winarno, 1997). Bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila, tidak digunakan untuk menyembunyikan atau menutupi penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan dan tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk pangan serta tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan (BPOM, 2003). 2.3 Bahan Pewarna Warna dari suatu produk makanan ataupun minuman merupakan salah satu ciri yang sangat penting. Warna merupakan kriteria dasar untuk menentukan kualitas makanan, warna juga dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan, seperti pencoklatan (deman, 1997). Zat warna adalah senyawa organik berwarna yang digunakan untuk memberi warna pada suatu objek (Fessenden & Fessenden, 1999). Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya, disamping itu ada faktor lain, misalnya sifat mikrobiologis, tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki

warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya (Winarno, 1997). Zat pewarna makanan sering kali menimbulkan masalah kesehatan, terutama dalam penyalahgunaan pemakaiannya. Betapa tidak, zat warna untuk tekstil dan kulit terkadang dipakai untuk mewarnai makanan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut (Winarno, 1997). Penambahan bahan pewarna pangan dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu untuk memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan warna makanan, menutupi perubahan warna selama proses pengolahan dan mengatasi perubahan warna selama penyimpanan (BPOM, 2003). Zat pewarna dibagi menjadi dua kelompok yaitu certified color dan uncertified color. Certified color merupakan zat pewarna sintetik yang diijinkan penggunaannya dalam makanan (Tabel 1). Uncertified color adalah zat pewarna yang berasal dari bahan alami (Tabel 2) (Winarno, 1997). Beberapa zat pewarna sintetik yang dilarang penggunaannya dalam makanan (Tabel 3). Zat pewarna sintesis merupakan zat pewarna buatan manusia. Zat pewarna sintesis seharusnya telah melalui suatu pengujian secara intensif untuk menjamin keamanannya. Karakteristik dari zat pewarna sintesis adalah warnanya lebih cerah, lebih homogen dan memiliki variasi warna yang lebih banyak bila dibandingkan dengan zat pewarna alami. Disamping itu penggunaan zat pewarna sintesis pada makanan bila dihitung berdasarkan harganya, jauh lebih murah bila dibandingkan dengan zat pewarna alami (http://informasisehat.wordpress.com).

Tabel 1. Bahan Pewarna Sintesis yang diizinkan di Indonesia Warna Nomor Indeks Merah Carmoisine 14720 Merah Amaranth 16185 Merah Erythrosium 45430 Oranye Sunsetyellow FCF 15985 Kuning Tartrazine 19140 Kuning Quineline yellow 47005 Hijau Fast green FCF 42053 Biru Brilliant blue FCF 42090 Biru Indigocarmine (indigotine ) 42090 Ungu Violet GB 42640 Sumber: Winarno (1997). Tabel 2. Zat Pewarna Alami bagi Makanan dan Minuman yang diijinkan di Indonesia Warna Nomor Indeks Merah Alkanat 75520 Merah Cochineal red ( karmin ) 75470 Kuning Annato 75120 Kuning Karoten 75130 Kuning Kurkumin 75300 Kuning Safron 75100 Hijau Klorofil 75810

Biru Ultramarin - Coklat Karamel 77007 Hitam Carbon black 77266 Hitam Besi oksida 77499 Putih Titanium dioksida 77891 Sumber: Winarno (1997). Tabel 3. Bahan Pewarna Sintetis yang dilarang di Indonesia Nomor Indeks Citrus Red No. 2 12156 Ponceau 3R (Red G) 16155 Ponceau SX ( Food Red No. 1) 14700 Rhodamin B ( Food Red No. 15) 45170 Guinea Green B (Acid Green No. 3) 42085 Magenta (Basic Violet No. 14) 42510 Chrysoidine (Basic Orange No. 2) 11270 Butter Yellow (Solvent Yellow No. 2) 11020 Sudan I (Food Yellow No. 2) 12055 Metanil Yellow (Ext. D&C Yellow No.1) 13065 Auramine (Basic Yellow No. 2) 41000 Oil Orange SS (Solvent Orange No. 2) 12100 Oil Orange XO (Solvent Orange No. 7) 12140 Sumber: Cahyadi (2008).

2.4 Rhodamin B Rhodamin B merupakan pewarna yang dipakai untuk industri cat, tekstil dan kertas. lazim dari rhodamin B adalah tetraehylrhodamine; D&C Red No. 19; Rhodamine B chloride dan rumus kimia C 28 H 31 N 2 O 3 Cl, rumus bangun rhodamin B (pada Gambar 1), BM 479. (H 3 CH 2 C) 2 N O N + (CH 2 CH 3 ) 2 COOH Cl - Gambar 1. Rumus Bangun Rhodamin B. Rhodamin B adalah zat warna sintesis berbentuk Hablur hijau atau serbuk ungu kemerahan dan berfluoresensi. Rhodamin B sangat mudah larut dalam air dan dalam alkohol; sedikit larut dalam asam klorida dan natrium hidroksida. Rhodamin B digunakan sebagai pewarna untuk kulit, kapas, sutra, katun, wool, nilon, kertas, tinta dan pernis, sabun, pewarna kayu, dan bulu (Budavari, 1996). Penggunaan Rhodamin pada makanan dan minuman dalam waktu lama (kronis) akan mengakibatkan kanker dan gangguan fungsi hati. Namun demikian, bila terpapar Rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi gejala akut keracunan Rhodamin B. Bila Rhodamin B tersebut masuk melalui makanan akan menyebabkan iritasi pada saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan dengan urin yang berwarna merah maupun merah muda. Selain melalui makanan dan minuman, Rhodamin B juga dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, jika terhirup akan

terjadi iritasi pada saluran pernafasan. Mata yang terkena Rhodamin B juga akan mengalami iritasi yang ditandai dengan mata kemerahan dan timbunan cairan atau udem pada mata. Jika terpapar pada bibir dapat menyebabkan bibir akan pecah-pecah, kering, gatal, bahkan kulit bibir terkelupas (Suyanti, 2007). 2.5 Pemeriksaan Kualitatif dan Kuantitatif Rhodamin B Analisis Kualitatif Rhodamin B dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti Kromatografi Kertas dan Spektrofotometer Sinar Tampak, untuk analisis kuantitatif Rhodamin B dilakukan secara Spektrofotometer Sinar Tampak. 2.5.1 Kromatografi Kertas Analisis kualitatif Rhodamin B dengan menggunakan metode Kromatografi Kertas (BBPOM, 2007) dengan prinsip membandingkan harga Rf, jika dilihat secara visual berwarna merah jambu dan jika dilihat dibawah sinar UV 254nm berfluoresensi kuning. Kromatografi Kertas pada hakekatnya ialah KLT pada lapisan tipis sellulosa atau kertas dan merupakan metode kromatografi yang paling sederhana. Pengembangan terjadi karena kerja kapiler. Waktu pengembangan pada KKt berkisar mulai dari 30 menit sampai 12 jam, bergantung pada sifat kertas dan jarak pengembangan yang diinginkan. Data diberikan dalam bentuk harga Rf senyawa dari sampel yang diperiksa (Gritter, 1991). 2.5.2 Metode Spektrofotometri Sinar Tampak Analisis kualitatif dan kuantitatif Rhodamin B dapat dilakukan dengan metode spektrofotometer sinar tampak (BPOM, 2006). Untuk analisis kualitatif Rhodamin B dengan menggunakan spektrofotometer sinar tampak yaitu dengan membandingkan kurva absorbansi yang diukur secara spektrofotometer sinar tampak pada panajng gelombang 450 750nm (Kenkel, 1994) dan untuk analisis kuantitatif dengan spektrofotometer sinar

tampak dengan mengukur absorbansinya kemudian kadar Rhodamin B dalam sampel dapat dihitung dengan menggunakan kurva kalibrasi dengan persamaan y =ax + b. Spektrofotometer sinar tampak adalah pengukuran absorbansi energi cahaya oleh suatu sistem kimia pada suatu panjang gelombang tertentu (Day, 2002). Spektrum UV- Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer (Rohman, 2007). Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang anata 200-400 nm, dan sinar tampak mempunyai panjang gelombang 400-750 nm (Ditjen POM, 1995). Hukum Lambert-Beer (Beer s Law) adalah hubungan linieritas antara absorban dengan konsentrasi larutan analit. Menurut Rohman (2007) dan Day (2002), Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan dan berbanding terbalik dengan transmitan. Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam analisis dengan Spektrofotometri ultraviolet dan cahaya tampak yaitu:

1. Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang dimana terjadi absorbansi maksimum. Untuk memperoleh panjang gelombang maksimum dapat diperoleh dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku dengan konsentrasi tertentu. 2. Waktu kerja (operating time) Tujuannya ialah untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil. Waktu kerja ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran dengan absorbansi larutan. 3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Dilakukan dengan membuat seri larutan baku dalam berbagai konsentrasi kemudian absorbansi tiap konsentrasi diukur lalu dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. Kurva kalibrasi yang lurus menandakan bahwa hukum Lambert-Beer terpenuhi. 4. Pembacaan absorbansi sampel Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya terletak antara 0,2 sampai 0,8 atau 15% sampai 70% jika dibaca sebagai transmitan. Hal ini disebabkan karena kisaran nilai absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal. 5. Perhitungan Kadar Perhitungan Kadar dapat dilakukan dengan metode regresi yaitu dengan menggunakan persamaan garis regresi yang didasarkan pada harga serapan dan larutan standar yang dibuat dalam beberapa konsentrasi, palin sedikit menggunakan 5 rentang konsentrasi yang meningkat yang dapat memberikan serapan linier, kemudian di plot menghasilkan

suatu kurva kalibrasi, konsentrasi suatu sampel dapat dihitung berdasarkan kurva tersebut (Rohman, 2007). Rumus Perhitungan Kadar Rhodamin B. Κ = Χ. V. Fp Βs Keterangan K = Kadar total Rhodamin B dalam sampel (mcg/g) X = Kadar Rhodamin B sesudah pengenceran V = Volume sampel (ml) Fp = Faktor Pengenceran Bs = Berat sampel 2.6 Validasi Metode Analisis Validasi Metode Analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004). 2.6.1 Kecermatan Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai % perolehan kembali (recovery). Kecermatan/Ketepatan ditentukan dengan metode penambahan baku (standard addition method). Dalam metode penambahan baku, sampel dianalisis lalu sejumlah tertentu analit murni ditambahkan ke dalam sampel, campuran dianalisis lagi. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (yang sebenarnya) (Harmita, 2004).

2.6.2 Keseksamaan Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relative atau koefisien variasi 2% atau kurang (Harmita, 2004). 2.6.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi Batas Deteksi adalah konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi yang masih memberi respon signifikan dibandingkan dengan blanko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas Kuantitasi adalah kuantitatif analit terkecil dalam sampel yang masih dapat diukur dalam kondisi percobaan yang sama dan masih memiliki kriteria cermat dan seksama (WHO,1992).