BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB III METODE PENELITIAN

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB IV GAMBARAN UMUM

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

GUBERNUR JAWA TENGAH

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

GUBERNUR JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

PENEMPATAN TENAGA KERJA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

ANALISIS DISTRIBUSI PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 PUBLIKASI ILMIAH. Disusun Oleh: FREDY ADI SAPUTRO B

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH

STRUKTUR EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH,

BAB I BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), tidak luput dari tantangan Millenium

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah)

BOKS PERKEMBANGAN KINERJA BPR MERGER DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG

BAB III METODE PENELITIAN

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DERAH

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

IR. SUGIONO, MP. Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961

GUBERNURJAWATENGAH. PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009

BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta menyeimbangkan pembangunan daerah, meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan taraf hidup, dan meningkatkan kemakmuran masyarakat. Ketimpangan antar daerah seringkali menjadi permasalahan yang serius. Beberapa daerah mencapai pertumbuhan yang signifikan, sementara daerah lainnya mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerahdaerah yang tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan karena kurangnya sumber-sumber yang dimiliki. Adanya kecenderungan pemilik modal (investor) memilih daerah perkotaan atau daerah yang memiliki fasilitas seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi, serta tenaga terampil (Barika, 2012). Sumber-sumber yang terbatas akan menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan dalam pembangunan daerah. Demikian pula dengan Provinsi Jawa Tengah yang merupakan salah satu Provinsi di Indonesia, di dalam proses pembangunan daerahnya tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang menghambat laju pembangunan daerah. Berbagai permasalahan yang timbul mendorong pemerintah daerah untuk 1

2 membuat suatu kebijakan karena pemerintah daerahlah yang memiliki hak dan wewenang dalam memperlancar jalannya pembangunan daerah. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena umum yang terjadi dalam proses pembangunan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan pembangunan ekonomi pada awalnya disebabkan oleh adanya perbedaan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah relatif maju (development region) dan wilayah relatif terbelakang (underdeveloped region). Terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah selanjutnya akan membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat pada wilayah yang bersangkutan. Maka aspek ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah ini perlu ditanggulangi melalui formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Sjafrizal, 2012). Potensi tingkat ketimpangan di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat dari seberapa besar tingkat PDRB di setiap kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Diharapkan pemerintah daerah lebih memperhatikan tentang pendapatan per kapita di setiap daerahnya. Perhatian ini bermaksud untuk menghindarkan pemerintah daerah dari kesalahan-kesalahan dalam

3 penentuan program pembangunan yang sesuai dengan masing-masing daerah, karena dari setiap masing-masing daerah memiliki permasalahan, kondisi dan potensi yang berbeda. Provinsi Jawa Tengah memiliki 35 Kabupaten/Kota antara lain Kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Semarang, Temanggung, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan dan Kota Tegal. PDRB atas dasar harga konstan 2010 Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2015 dapat dilihat pada Tabel I-1. Berdasarkan Tabel I-1 PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Terlihat dari rata-rata PDRB pada tahun 2012 sebesar Rp. 5,270,943.53 juta rupiah meningkat secara drastis pada tahun 2013 menjadi Rp. 20,761,488.89 juta rupiah, tetapi sedikit mengalami peningkatan pada tahun 2014 menjadi Rp. 21,806,277.54 juta rupiah. Sedangkan dari tahun 2014 ke tahun 2015 PDRB naik menjadi Rp. 23,001,231.96 juta rupiah. Menurut Tabel I-1 pada tahun 2012 Kabupaten/Kota yang memiliki PDRB tertinggi adalah Kabupaten Cilacap. Tetapi pada tahun 2013 PDRB tertinggi adalah Kota Semarang, karena mengalami peningkatan PDRB yang cukup drastis dari tahun sebelumnya.

4 Kabupaten Kota Tabel I-1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2010 Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2015 (Juta Rupiah) Kabupaten/Kota 2012 2013 2014 2015* 1 Cilacap 25,452,057.81 81,022,670.26 83,391,500.18 88,347,606.68 2 Banyumas 5,221,519.49 27,793,138.47 29,367,687.40 31,164,876.40 3 Purbalingga 2,845,663.33 12,778,311.23 13,397,712.78 14,125,812.26 4 Banjarnegara 3,189,651.65 11,043,083.01 11,629,845.85 12,266,046.35 5 Kebumen 3,242,111.77 14,333,333.50 15,163,091.84 16,115,554.01 6 Purworejo 3,327,672.40 9,870,969.95 10,312,937.79 10,866,645.98 7 Wonosobo 2,075,562.03 10,333,757.05 10,828,168.68 11,353,869.94 8 Magelang 4,542,888.65 17,020,755.61 17,936,288.38 18,838,351.97 9 Boyolali 4,725,558.65 16,266,498.68 17,148,350.76 18,160,983.95 10 Klaten 5,211,757.15 20,241,429.01 21,424,522.36 22,558,976.15 11 Sukoharjo 5,468,708.95 19,401,889.44 20,449,009.84 21,612,078.19 12 Wonogiri 3,325,089.57 15,303,280.47 16,107,795.17 16,977,198.56 13 Karanganyar 6,086,877.13 19,256,516.28 20,262,444.42 21,286,287.14 14 Sragen 3,485,992.03 19,102,181.74 20,169,824.79 21,390,871.20 15 Grobogan 3,578,062.78 14,474,728.93 15,064,456.66 15,962,619.43 16 Blora 2,354,139.78 11,712,504.85 12,227,201.29 12,882,587.70 17 Rembang 2,500,796.46 9,780,750.39 10,284,274.36 10,850,269.20 18 Pati 5,114,682.32 22,329,693.98 23,365,213.99 24,752,325.07 19 Kudus 13,754,585.17 59,944,556.52 62,600,680.87 65,041,047.55 20 Jepara 4,763,305.81 15,623,738.87 16,374,715.21 17,200,365.92 21 Demak 3,302,610.17 13,499,226.47 14,078,419.80 14,913,837.51 22 Semarang 6,223,188.31 25,758,121.08 27,264,112.96 28,769,677.95 23 Temanggung 2,648,488.46 11,299,342.97 11,867,679.59 12,486,494.54 24 Kendal 6,033,632.04 22,386,123.50 23,536,834.39 24,771,543.49 25 Batang 2,611,528.72 11,104,696.78 11,693,897.06 12,327,739.23 26 Pekalongan 3,564,599.07 12,034,805.89 12,630,368.82 13,234,564.04 27 Pemalang 3,813,839.22 13,172,063.61 13,898,669.42 14,673,696.23 28 Tegal 4,001,204.96 18,050,291.97 18,958,841.04 19,992,675.45 29 Brebes 6,082,267.39 23,812,056.92 25,074,171.51 26,572,834.89 1 Magelang 1,245,158.09 4,755,092.20 4,992,112.82 5,247,341.27 2 Surakarta 5,742,861.31 25,631,681.32 26,984,358.61 28,453,493.87 3 Salatiga 1,018,183.45 6,989,045.50 7,378,042.82 7,759,181.62 4 Semarang 24,196,487.78 96,985,402.04 103,109,874.91 109,088,689.61 5 Pekalongan 2,324,147.40 5,456,196.88 5,755,282.26 6,043,095.73 6 Tegal 1,408,144.10 8,084,175.73 8,491,325.37 8,953,879.56 Total 35 Kabupaten/Kota 184,483,023.39 726,652,111.09 763,219,714.00 805,043,118.61 Rata-rata 5,270,943.53 20,761,488.89 21,806,277.54 23,001,231.96 * Angka Sementara Sumber : BPS, Provinsi Jawa Tengah dalam angka 2012-2015, diolah.

5 Selanjutnya pada tahun 2014 dan tahun 2015 Kota Semarang masih mengalami kenaikan PDRB dan menjadikannya Kabupaten/Kota yang memiliki PDRB tertinggi. Pada Tabel I-1 secara keseluruhan dari 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012-2015 terdapat tiga Kabupaten/Kota yang PDRB-nya tinggi, antara lain Kota Semarang, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Kudus. Kota Semarang mengalami kenaikan PDRB secara pesat karena memang Kota Semarang merupakan pusat dari seluruh kegiatan yang ada di Provinsi Jawa Tengah sehingga pembangunannya pasti lebih di perhatikan serta di prioritaskan oleh pemerintah daerah. Kabupaten Cilacap juga mengalami peningkatan cukup tinggi karena Kabupaten Cilacap termasuk salah satu dari tiga kawasan industri utama di Jawa Tengah (selain Semarang dan Surakarta). Investor mungkin tertarik untuk berinvestasi di Kabupaten Cilacap karena selain memiliki industri kilang minyak, juga memiliki sektor perikanan laut yang sangat berpotensi jika di kembangkan. Kabupaten Kudus mengalami peningkatan PDRB setiap tahun karena banyaknya industri-industri rokok yang mengalami perkembangan. Di Kabupaten Kudus memiliki beberapa industri rokok yang tentunya membutuhkan tenaga kerja yang banyak sehingga tingkat pengangguran berkurang. Berdirinya industri-industri rokok juga menarik investor untuk berinvestasi sehingga membantu Kabupaten Kudus dalam hal pembangunan wilayah.

6 Tabel I-1 menunjukkan bahwa ada beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah yang PDRB-nya masih rendah. Antara lain Kabupaten Banjarnegara, Purworejo, Wonosobo, Blora, Rembang, Temanggung, Batang. Pemerintah seharusnya memberi perhatian yang lebih serius pada Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota Pekalongan dan Kota Tegal, karena empat kota tersebut memiliki PDRB yang sangat rendah di bandingkan dengan Kabupaten/Kota lain yang ada di Provinsi Jawa Tengah supaya pembangunan daerahnya tidak tertinggal jauh dengan Kota yang lain. Penyebab rendahnya PDRB di karenakan beberapa faktor di antaranya besarnya tingkat pengangguran, pengeluaran belanja pemerintah serta kurang tertariknya investor menanamkan modalnya di daerah tersebut. Dengan uraian latar belakang inilah maka dalam skripsi ini penulis mengambil judul Analisis Determinan Ketimpangan Pembangunan Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2015 B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukaan di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini : 1. Seberapa besar tingkat ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Jawa Tengah? 2. Bagaimana pengaruh PDRB per kapita terhadap ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Jawa Tengah?

7 3. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi tingkat ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Jawa Tengah? C. TUJUAN Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui besarnya tingkat ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Jawa Tengah. 2. Menganalisis pengaruh PDRB per kapita terhadap ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Jawa Tengah. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Jawa Tengah. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan kebijaksanaan dalam pembangunan wilayah. 2. Sebagai referensi dan bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan masalah PDRB, pengangguran, belanja pemerintah dan penanaman modal asing di daerah. 3. Sebagai salah satu sumber informasi tentang perkembangan pembangunan wilayah.

8 E. METODOLOGI PENELITIAN E.1 Alat dan Model Analisis Penelitian ini menggunakan alat analisis Regresi Metode OLS (Ordinary Least Square) dengan model ekonometrika sebagai berikut: Di mana : Vw PM GE UE t = Indeks Williamson Provinsi Jawa Tengah = Penanaman modal asing dan dalam negeri = Belanja pemerintah = Pengangguran = Time = Koefisien = Error Indeks Williamson dihitung dengan rumus sebagai berikut (Sjafrizal, 2012) : Di mana: Iw = Indeks Williamson Yi = PDRB per Kapita Kabupaten atau Kota i Y = PDRB per Kapita Provinsi Jawa Tengah Fi = Jumlah Penduduk Kabupaten atau Kota i n = Jumlah Penduduk Provinsi Jawa Tengah E.2 Data dan Sumber Data Y Data ini diperoleh dari website Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Tengah dalam Angka. Jenis data yang

9 digunakan adalah data time series. Data time series periode tahun 1998-2015 di Provinsi Jawa Tengah. F. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II LANDASAN TEORI Dalam bab ini membahas tentang teori-teori yang berhubungan dengan ketimpangan pembangunan wilayah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, penelitian terdahulu serta hipotesis. BAB III METODE PENELITIAN Bab III menjelaskan mengenai jenis dan sumber data, serta alat dan metode analisis data. BAB IV ANALISIS DATA dan PEMBAHASAN Menjelaskan tentang deskripsi data ketimpangan pembangunan Provinsi Jawa Tengah, pembahasan serta hasil penelitian yang meliputi variabel yang paling berpengaruh terhadap kemiskinan dan interpretasi hasil.

10 BAB V PENUTUP Memuat tentang kesimpulan dan saran dari penelitian yang dilakukan.