IKLH 9 DAS PRIORITAS JAWA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV KONDISI UMUM. Gambar 3 Peta Lokasi Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

14/06/2013. Tujuan Penelitian Menganalisis pengaruh faktor utama penyebab banjir Membuat Model Pengendalian Banjir Terpadu

Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah 2013 BAB I PENDAHULUAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN NGAWI

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

BAB III METODE PENELITIAN

STUDI POTENSI BEBAN PENCEMARAN KUALITAS AIR DI DAS BENGAWAN SOLO. Oleh : Rhenny Ratnawati *)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BAB III GAMBARAN UMUM KECAMATAN GUNUNGPATI

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

KEADAAN UMUM WILAYAH

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

PELAKSANAAN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI LINGKUNGAN HIDUP DAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP KALIMANTAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB III TINJAUAN KAWASAN / WILAYAH

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

19 Oktober Ema Umilia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul dikatakan sebagai daerah miskin air dan bencana kekeringan menjadi permasalahan yang sering dihadapi oleh

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

18 Media Bina Ilmiah ISSN No

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani

ANALISIS SPASIAL KEMAMPUAN INFILTRASI SEBAGAI BAGIAN DARI INDIKASI BENCANA KEKERINGAN HIDROLOGIS DI DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN-BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Implementasi dan Koordinasi Antar Lembaga Kegiatan RHL Dalam Rangka Penggulangan Banjir dan Tanah Longsor di Sub DAS Solo Bagian Hulu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III ISU STRATEGIS

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

Transkripsi:

Dokumen Laporan 2013 IKLH 9 DAS PRIORITAS JAWA http://tripholiday.net/bengawan-solo-river.html PUSAT PENGELOLAAN EKOREGION JAWA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP 2013

Daftar Isi I. Pendahuluan. I-1 1. Latar Belakang. I-1 2. Tujuan. I-4 3. Ruang Lingkup. I-4 II. Indikator dan Paramter IKLH berbasis DAS. II-1 1. Aspek Sumberdaya Air. II-1 a. Kualitas Air Sungai. II-1 b. Kekritisan Air. II-4 2. Aspek Udara. II-8 a. Kualitas Udara Ambien. II-8 b. Pengatur Kualitas Udara. II-10 3. Aspek Vegetasi-Lahan. II-12 a. Kualitas Tutupan Vegetasi. II-12 b. Kekritisan Lahan. II-23 4. Aspek Keamanan Kehati. II-25 III. Profil 9 DAS 1. DAS Bengawan Solo. III - 1 2. DAS Brantas. III - 11 3. DAS Ciliwung. III - 20 4. DAS Cisadane. III - 26 5. DAS Cimanuk. III - 32 6. DAS Citanduy. III - 40 7. DAS Citarum. III - 50 8. DAS Progo. III - 60 9. DAS Serayu. III - 67

IV. Hasil Analisis dan Pembahasan IV-1 1. Aspek Sumberdaya Air... IV-1 2. Aspek Udara... IV-3 3. Aspek Vegetasi-Lahan... IV-5 4. Aspek Keamanan Kehati... IV-7 5. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 9 DAS... IV-9 6. IKLH dan Kependudukan.. IV-10 V. Kesimpulan dan Rekomendasi V-1 1. Kesimpulan V-1 2. Rekomendasi V-3

BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (PP No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1). Bagi keperluan Pengelolaan Lingkungan, DAS dapat dijadikan sebagai satuan pengelolaan, dengan demikian DAS dapat diukur secara mandiri kualitas lingkungannya. Selama ini untuk mengukur kualitas lingkungan umumnya dilakukan secara parsial berdasarkan media, yaitu air, udara, dan lahan sehingga sulit untuk menilai apakah kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah bertambah baik atau sebaliknya. Salah satu cara untuk mereduksi banyaknya data dan informasi tersebut adalah dengan menggunakan indeks. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2007 telah mengembangkan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) untuk 30 ibukota provinsi. Selain itu pada tahun 2009 Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bekerja sama dengan Dannish International Development Agency (DANIDA) juga mulai mengembangkan indeks lingkungan berbasis provinsi yang pada dasarnya merupakan modifikasi dari EPI. I - 1

Hingga saat ini Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) telah digunakan KLH untuk mengetahui kualitas lingkungan hidup pada tiaptiap wilayah dengan basis administrasi dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. IKLH yang dikembangkan KLH menggunakan tiga komponen sebagai penentu nilai, yaitu kualitas udara, kaulitas air, dan tutupan hutan. Mengacu kepada konsep yang digunakan oleh KLH, untuk kepentingan pelaksanaan koordinasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Ekoregion Jawa, Pusat Pengelolaan Ekoregion Jawa (PPE Jawa) melakukan pengukuran Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) berbasis Daerah Aliran Sungai. Ada beberapa pertimbangan yang menjadi latar belakang mengapa dilakukan kajian IKLH berbasis DAS ini; Pertimbangan pertama adalah IKLH berbasis administrasi mengandung kelemahan jika dibandingkan antara satu dengan yang lain. Pada umumnya kabupaten/kota yang berada di kawasan hulu cenderung memiliki nilai IKLH yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah hilir. Wilayah yang telah mengantongi nilai IKLH tinggi akan bertindak seolah acuh tak acuh terhadap tetangganya yang sedang kerepotan membenahi nilai IKLH yang rendah. Padahal rendahnya nilai IKLH kabupaten/kota wilayah hilir bisa jadi sebagai akibat dari aktivitas pembangunan di wilayah hulu. Oleh karena itu pendekatan IKLH berbasis DAS akan lebih konfrehensif, dapat menjadi perekat kerjasama antara hulu dan hilir, dengan berpegang pada satu dasar niali IKLH yang sama. I - 2

Pertimbangan berikutnya adalah, bahwa IKLH berbasis administrasi yang digunakan oleh KLH masih menggunakan aspek atau komponen yang sedikit, hanya tiga komponen. Jumlah komponen yang sedikit akan mengakibatkan bias yang besar. Oleh karena itu IKLH berbasis DAS yang dikembangkan oleh PPE Jawa ini menggunakan jumlah komponen yang lebih banyak, 7 (tujuh) komponen yaitu; - Untuk pengukuran indeks kualitas pada aspek sumberdaya air, tidak hanya kualitas air sungai yang dikaji, juga ditambahkan komponen kekritisan air. Kekritisan air ini menyangkut besarnya perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan akan sumberdaya air. - Pada pengukuran indeks kualitas pada aspek udara, selain kualitas udara ambien juga dihitung faktor pengatur kualitas udara yaitu perbandingan tutupan vegetasi dan jumlah penduduk. - Komponen yang berikutnya, dan ini sangat berbeda adalah penggunaan komponen tutupan vegetasi untuk pengukuran indeks kualitas vegetasi atau lahan, bukan menggunakan tutupan hutan saja. Selain dari itu juga ditambahkan komponen lainnya yaitu lahan kritis (kekritisan lahan). - Komponen yang terakhir yang menjadi faktor penentu IKLH berbasis DAS adalah keanekaragaman hayati. Dalam hal ini penekanan pada aspek keamanan ekosistem yang menjadi tempat mengamankan keanekaragaman hayati, flora dan fauna. Pertimbangan terakhir adalah perlunya indikator atau pengukur kinerja dalam pengelolaan lingkungan hidup. Setiap Instansi I - 3

Pemerintah (Pusat dan Daerah) atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mempunyai program dan kegiatan sendiri-sendiri yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kualitas lingkungan suatu DAS. Untuk melihat sejauh mana dampak yang terjadi atau pengaruh yang ditimbulkan oleh adanya Program dan Kegiatan tersebut terhadap lingkungan secara menyeluruh, diperlukan sebuah pengukur. Indeks kualitas lingkungan dapat dimanfaatkan untuk mengukur keberhasilan program-program atau kegiatan pembangunan dan/atau pengelolaan lingkungan tersebut. Selain sebagai sarana untuk mengevaluasi efektifitas program-program pengelolaan lingkungan, IKLH juga mempunyai peranan dalam hal membantu perumusan kebijakan, membantu dalam mendisain program-program lingkungan, serta mempermudah komunikasi dengan publik sehubungan dengan kondisi lingkungan. 2. Tujuan Memberikan informasi kepada para pengambil keputusan di tingkat pusat dan daerah tentang kondisi lingkungan di suatu wilayah tertentu -dalam hal ini DAS- dengan menampilkan nilai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), khususnya pada 9 (Sembilan) DAS prioritas yang ada di Pulau Jawa. 3. Ruang Lingkup IKLH berbasis DAS yang dikerjakan oleh PPE Jawa dasar teorinya menggunakan IKLH yang digunakan oleh KLH dengan sedikit modifikasi. Modifikasi yang dimaksud meliputi indikator tutupan I - 4

vegetasi, kualitas udara dan kualitas air serta penambahan komponen keanekaragaman hayati. Selain dari itu juga modifikasi dalam jumlah komponen yang diukur. Mengingat bahwa yang diukur adalah DAS maka pokok bahasan sumberdaya air menjadi fokusnya. Oleh karena itu tutupan vegetasi yang dimaksud adalah tutupan lahan oleh vegetasi dalam penggunaanya sebagai lahan hutan (hutan primer dan hutan sekunder), kebun campuran dan perkebunan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa hutan, kebun campuran dan perkebunan mempunyai fungsi optimal sebagai penyerap dan penyimpan air. Sebagai pembanding atau target untuk setiap indikator adalah standar atau ketentuan yang berlaku berdasarkan peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti ketentuan tentang baku mutu air dan baku mutu udara ambien. Sealin dari itu juga digunakan literatur yang didapat dari hasil-hasil penelitian ilmiah. Berdasarkan ketersediaan data untuk setiap indikator sebagaimana tersebut di atas, maka indeks yang dihasilkan adalah untuk 9 DAS prioritas yang ada di pulau Jawa yaitu; DAS Brantas, DAS Bengawan Solo, DAS Progo, DAS Serayu, DAS Citanduy, DAS Cimanuk, DAS Citarum, DAS Ciliwung dan DAS Cisadane. Data utama yang dihimpun untuk melakukan kajian ini adalah Data sekunder tahun 2011 s.d. 2012, dan paling rendah data tahun 2010. Hasil-hasil kajian ini ditetapkan sebagai baseline kajian untuk Tahun 2012. Jadi IKLH 9 DAS Prioritas Jawa yang dikeluarkan dari hasil kajian ini adalah IKLH Tahun 2012. I - 5

BAB II Indikator dan Paramter IKLH berbasis DAS 1. Aspek Sumberdaya Air Pada aspek sumberdaya air, ada dua indikator yang digunakan untuk mengukur indeks kualitas lingkungannya, yaitu; kualitas air sungai dan neraca air (water balance). Kualitas air yang diukur hanya pada air sungai utama saja dengan sebaran lokasi yang proporsional dari hulu hingga hilir, sedangkan air tanah untuk saat ini belum dilakukan pengukuran. Neraca air dapat diartikan pula sebagai evaluasi ketersediaan air, yang mempertimbangkan antara air yang tersedia (suplay) dan kebutuhan/permintaan (demand). a. Kualitas Air Sungai Air, terutama air sungai mempunyai peranan yang sangat strategis dalam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Air sungai menjadi sumber air baku untuk berbagai kebutuhan lainnya, seperti industri, pertanian dan pembangkit tenaga listrik. Di lain pihak sungai juga dijadikan tempat pembuangan berbagai macam limbah sehingga tercemar dan kualitasnya semakin menurun. Karena peranannya tersebut, maka sangat layak jika kualitas air sungai dijadikan indikator kualitas lingkungan hidup. Selain kualitasnya, sebenarnya ketersediaan air sungai juga perlu II - 1

dijadikan indikator. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan mengukur daya dukung air (ketersediaan air). Perhitungan indeks untuk indikator kualitas air sungai dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Dalam pedoman tersebut dijelaskan antara lain mengenai penentuan status mutu air dengan metoda indeks pencemaran (Pollution Index PI). Menurut definisinya PI j adalah indeks pencemaran bagi peruntukan j yang merupakan fungsi dari C i /L ij, dimana C i menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i dan L ij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i yang dicantumkan dalam baku peruntukan air j. Dalam hal ini peruntukan yang akan digunakan adalah klasifikasi mutu air kelas II berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Formula penghitungan indeks pencemaran adalah: ( ) ( ) dimana: (C i /L ij ) M adalah nilai maksimum dari C i /L ij (C i /L ij ) R adalah nilai rata-rata dari C i /L ij Evaluasi terhadap PI j adalah sebagai berikut: Memenuhi baku mutu atau kondisi baik jika 0 PI j 1,0 II - 2

Tercemar ringan jika 1,0 < PI j Tercemar sedang jika 5,0 < PI j Tercemar berat jika PI j > 10,0. Pada prinsipnya nilai PI j > 1 mempunyai arti bahwa air sungai tersebut tidak memenuhi baku peruntukan air j, dalam hal ini mutu air kelas II. Penghitungan indeks kualitas air dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: Setiap lokasi dan waktu pemantauan kualitas air sungai dianggap sebagai satu sampel; Hitung indeks pencemaran setiap sampel untuk parameter TSS, DO, BOD, dan COD; Hitung persentase jumlah sampel yang mempunyai nilai PI j > 1, terhadap total jumlah sampel pada tahun yang bersangkutan. Melakukan normalisasi dari rentang nilai 0% - 100% (terbaik terburuk) jumlah sampel dengan nilai PI j > 1, menjadi nilai indeks dalam skala 0 100 (terburuk terbaik). Setiap DAS diwakili oleh sungai utama dan beberapa sungai cabang (orde-1) yang dipilih berdasarkan kriteria sebagai berikut: Sungai tersebut ada di dalam wilayah suatu DAS. Sungai prioritas untuk dikendalikan pencemarannya. Keterwakilannya meliputi wilayah hulu, tengah dan hilir DAS. Pemantauan setiap sungai paling sedikit dilakukan tiga kali setahun pada tiga lokasi sehingga setidaknya ada sembilan sampel II - 3

(data) kualitas air sungai setiap tahunnya. Pemilihan parameter TSS, BOD, dan COD didasarkan pada ketersediaan data setiap tahunnya. b. Kekritisan Air Sub indeks kualitas lingkungan berikutnya adalah evaluasi kekritisan air, yaitu dengan membandingkan antara kebutuhan dan ketersediaan air. Perhitungan estimasi jumlah air yang tersedia dan jumlah kebutuhan air menggunakan metode yang dipakai dalam Permen-LH No. 17 Tahun 2009. Evaluasi keritisan air ini dapat disebut juga dengan penentuan daya dukung air. Indikator ini penting untuk diukur mengingat pentingnya ketersediaan air dalam sebuah DAS. Evaluasi ini dapat digambarkan secara skematis seperti pada gambar 2.1. di bawah ini. Gambar 2.1. Diagram Penentuan Daya Dukung Air Evaluasi kekritisan Air ditentukan dengan menggunakan metode koefisien limpasan berdasarkan informasi penggunaan lahan serta data curah hujan tahunan. Sementara itu, kebutuhan air dihitung dari hasil konversi terhadap kebutuhan hidup layak. Penghitungan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: II - 4

1) Penghitungan Ketersediaan (Supply) Air Perhitungan dengan menggunakan Metode Koefisien Limpasan yang dimodifikasi dari metode rasional. Keterangan: S A = ketersediaan air (m 3 /tahun) C = koefisien limpasan tertimbang Ci = Koefisien limpasan penggunaan lahan i (lihat Tabel 2.1) A i = luas penggunaan lahan i (ha) dari Peta Tutupan Lahan. R = rata-rata aljabar curah hujan tahunan wilayah (mm/tahunan) R i = curah hujan tahunan pada stasiun i m = jumlah stasiun pengamatan curah hujan A = luas wilayah (ha) 10 = faktor konversi dari mm.ha menjadi m 3 Tabel 2.1. Koefisien Limpasan II - 5

Sementara itu data mengenai penggunaan lahan diperoleh dari Peta Tutupan Lahan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dalam Program MIH. Berdasarkan peta tersebut, wilayah terbagi-bagi atas tutupan lahan untuk penggunaan; hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, perkebunan, tegalan/ladang, sawah, permukiman, lahan terbuka, semak belukar dan tubuh air. Dengan mengacu pada koefisien limpasan sebagaimana tabel di atas, maka ditetapkan koefisen limpasan untuk kajian ini adalah sebagaimana tabel 2.2 berikut ini. Tabel 2.2. Koefisien Limpasan (penyesuaian) No. Deskripsi Permukaan C i 1. Hutan primer 0,10 2. Hutan sekunder 0,18 3. Perkebunan 0,15 4. Kebun campuran 0,18 5. Permukiman 0,65 6. Sawah 0,30 7. Tegalan/ladang 0,25 8. Semak belukar 0,25 9. Tanah terbuka 0,35 10. Tubuh air 1,00 2) Penghitungan Kebutuhan (Demand) Air Setelah diukur ketersediaan air (permukaan), selanjutnya dilakukan pengukuran akan kebutuhan air, dengan rumus sebagai berikut: D A = N x KHL A Keterangan: D A = Total kebutuhan air (m 3 /tahun) II - 6

N = Jumlah penduduk (orang) KHL A = Kebutuhan air untuk hidup layak Besarnya kebutuhan air untuk hidup layak diperoleh dari tetapan yang sudah ada sebagaimana tabel 2.3 berikut ini. Tabel 2.3. Total Kebutuhan Air Sumber: Permen-LH No. 17 Tahun 2009 3) Penentuan Kekritisan Air Indeks kekritisan air merupakan perbandingan antara kebutuhan dengan ketersediaan air, yang dapat dirumuskan sebagai berikut : Indeks kekritisan = (kebutuhan air / ketersediaan air) x 100% Klasifikasi yang digunakan disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 2.4. Klasifikasi Kekritisan Air menurut Notohadiprodjo Indeks Klasifikasi < 50 % Belum kritis 50 75 % Mendekati kritis 76 100 % Keadaan kritis > 100 % Telah kritis Sumber : Notohadiprodjo, 1982 II - 7

Selanjutnya, untuk menentukan indeks kualitas air, faktor kualitas air sungai sama pentingnya dengan faktor kekritisan air, dengan demikian maka proporsi nilai kualitas air dan kekritisan air masing-masing ditetapkan sebesar 50%. 2. Aspek Kualitas Udara Pada aspek udara, ada dua indikator yang digunakan untuk mengukur indeks kualitas lingkungannya, yaitu; kualitas udara ambien dan pengatur kualitas udara. Berikut ini dijelaskan masingmasing indikator yang akan dievaluasi. a. Kualitas Udara Ambien Kualitas udara, terutama di kota-kota besar dan metropolitan, sangat dipengaruhi oleh kegiatan transportasi. Perhitungan indeks untuk indikator kualitas udara dilakukan berdasarkan Keputusan Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997 tentang Pedoman Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Nilai ISPU mempunyai rentang dari 0 (baik) sampai dengan 500 (berbahaya). Menurut pedoman tersebut di atas, parameterparameter dasar untuk ISPU adalah partikulat (PM10), sulfur dioksida (SO 2 ), karbon monoksida (CO), ozon (O 3 ), dan nitrogen dioksida (NO 2 ). Setiap nilai hasil pengukuran parameter-parameter tersebut dikonversikan menjadi nilai ISPU dengan berpedoman pada Tabel 2.4. II - 8

Tabel 2.4. Batas Indeks Pencemar Udara ISPU PM10 (24 jam) SO 2 (24 jam) CO (8 jam) O3 (1 jam) NO 2 (1 jam) (μg/m3) (μg/m3) (μg/m3) (μg/m3) (μg/m3) 0 0 0 0 0 0 50 50 80 5 120 282 100 150 365 10 235 565 200 350 800 17 400 1130 300 420 1600 34 800 2260 400 500 2100 46 1000 3000 500 600 2620 57,5 1200 3750 Penentuan indeks kualitas udara diolah dari data-data kualitas udara dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh kabupaten atau kota-kota di seluruh Jawa. Di mana pada masing-masing kabupaten/kota dipilih tiga lokasi yang mewakili wilayah padat kendaraan bermotor (transportasi), wilayah industri, dan wilayah permukiman. Pengukuran kualitas udara dilakukan empat kali dalam setahun, masing-masing selama 12 hari dengan menggunakan metoda passive sampler. Mengingat keterbatasan data yang ada, maka parameter yang diukur adalah SO 2 dan NO2. Nilai ISPU dari kedua parameter tersebut, dapat dilihat pada Tabel 3 di atas. Sedangkan formula untuk menghitung indeks dari setiap parameter adalah sebagai berikut (KLH, 2010): IP NO2 = ( -0,2 x (0,177 x Konsentrasi NO2 )) + 100 IP SO2 = ( -0,2 x (0,625 x Konsentrasi SO2 )) + 100 Nilai indeks yang menggambarkan kualitas udara suatu wilayah adalah nilai maksimum dari indeks semua parameter pada semua lokasi pemantauan di wilayah tersebut. II - 9

b. Pengatur Kualitas Udara Pengatur kualitas udara yang utama adalah vegetasi. Pada dasarnya semakin banyak jumlah vegetasi, kualitas udara ambien semakin baik. Manusia, dalam keadaan istirahat, membutuhkan oksigen (O 2 ) sejumlah 1,8 2,4 gram per menit, atau sekitar 155,52 373,25 kg perhari (24 jam) (sumber: Wikipedia). Berdasarkan hitungan (penelitian) Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia-Jawa Barat, 1 hektare area yang dipenuhi pohon, perdu, semak, dan rumput akan menghasilkan kanopi seluas 5 hektare. Dalam 12 jam, kanopi ini dapat menarik 1.800 kilogram karbon dioksida (CO 2 ) dan melepaskan 1.200 kilogram oksigen (O 2 ). Dengan demikian untuk kebutuhan oksigen yang cukup, setiap 1 orang manusia membutuhkan sekitar 0,13 0,31 hektare (13 31 are) lahan bervegetasi rapat. Dalam banyak kasus yang terjadi, turunnya kualitas udara di suatu wilayah, selain karena makin tingginya emisi gas buang, di sisi lain juga karena makin berkurangnya lahan-lahan bervegetasi. Lahan-lahan bervegetasi semakin terdesak dan berkurang jumlahnya (luasnya) akibat dari pengalihan fungsi, terutama untuk kebutuhan perumahan, perkantoran dan industri. Pertumbuhan jumlah perumahan, perkantoran dan industri sangat berkorelasi positif terhadap pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu penting untuk dievaluasi sejauh mana perbandingan antara luas kawasan bervegetasi dan jumlah penduduk. Yang dimaksudkan sebagai kawasan bervegetasi di sini adalah kawasan (lahan) yang tertutup atau bisa tertutup vegetasi berupa; hutan (hutan primer dan II - 10

sekunder), perkebunan, kebun campuran, mangrove, sawah, semak belukar, tegalan/ladang dan lahan terbuka (dalam Peta Penggunaan Lahan). Untuk melakukan evaluasi pengatur kualitas udara, menggunakan formula sebagai berikut: Keterangan: PKU = pengendali kualitas udara Ltv = luas tutupan vegetasi (Ha) Pdd = jumlah penduduk (org) 100 = faktor konversi ke skala 100 Sebelum menjumlah luas semua tutupan vegetasi (Ltv), masingmasing penggunaan lahan diberi skor sebagai berikut: No. Penggunaan Lahan skor 1 Hutan primer 5 2 Hutan sekunder 4 3 Hutan mangrove 3 4 Kebun campuran 4 5 Perkebunan 3 6 Tegalan/ladang 2 7 Semak belukar 2 8 Sawah 2 9 Tanah/lahan terbuka 1 Luas tutupan vegetasi (Ltv) merupakan penjumlahan dari masingmasing penggunaan lahan setelah dikalikan dengan bobot. Untuk menentukan indeks kualitas udara, hasil pengukuran kualitas udara ambien lebih dipentingkan ketimbang faktor II - 11

pengatur kualitas udara, dengan demikian maka bobot kualitas udara ambien lebih besar. Dalam hal ini proporsi nilai kualitas udara ambien sebesar 60% dan pengatur kualitas udara diberikan proporsi sebesar 40%. 3. Aspek Vegetasi-Lahan Pada aspek vegetasi-lahan ada dua parameter yang digunakan untuk pengukuran indeks kualitas lingkungannya, yaitu; tutupan vegetasi dan lahan kritis. Metode perhitungan masingmasing dari kedua parameter tersebut dijelaskan sebagaimana uraian berikut ini. a. Tutupan Vegetasi Vegetasi atau tumbuhan merupakan salah satu komponen yang penting dalam ekosistem. Selain berfungsi sebagai penjaga tata air, vegetasi juga mempunyai fungsi mencegah terjadinya erosi tanah, mengatur iklim, tempat tinggal bagi berbagai jenis fauna, dan tempat tumbuhnya berbagai plasma nutfah yang sangat berharga bagi kehidupan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengukuran IKLH berbasis DAS, menggunakan tiga peta utama yang dikeluarkan oleh KLH, yaitu: Peta batas wilayah DAS; Peta Tutupan Lahan; dan Peta Ekoregion tingkat Pulau dan Kepulauan, yang masing-masing berskala 1 : 500.000. Di dalam Peta Tutupan Lahan, ada 13 (tiga belas) kategori tutupan yaitu; hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, perekebunan, sawah, permukiman, semak belukar, rawa, tambak/empang, tanah II - 12

terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh air. Yang digunakan sebagai parameter penentu indeks tutupan vegetasi disepakati hanya menggunakan 4 (empat) macam saja yaitu: hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran dan perkebunan, dengan pertimbangan bahwa keempat jenis tutupan lahan tersebut cukup baik bagi kepentingan konservasi air. Sedangkan pada peta ekoregion terdapat 15 (lima belas) satuan yaitu; satuan dataran fluvial, dataran organik, dataran pantai, dataran struktural, dataran vulkanik, dataran solusional (krast), perbukitan denudasional, perbukitan organik/koral, perbukitan solusional (karst), perbukitan struktural, perbukitan vulkanik, pegunungan denudasional, pegunungan struktural, pegunungan vulkanik dan danau. Satuan ekoregion ini dipertimbangkan sebagai faktor koreksi bagi kepentingan konservasi lahan. Ada tujuh macam satuan ekoregion yang digunakan sebagai faktor koreksi tersebut yakni: perbukitan vulkanik, perbukitan struktural, perbukitan denudasional, perbukitan karst, pegunungan vulkanik, pegunungan denudasional, dan pegunungan struktural. Untuk menghitung indeks tutupan vegetasi, ada beberapa langkah yang harus dilakukan yaitu: Langkah-1. Menghitung luas (prosentase) tutupan vegetasi. Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa yang dimaksud tutupan vegetasi disini adalah tutupan lahan oleh hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran dan perkebunan. Tutupan II - 13

vegetasi diukur dalam satuan prosen, yaitu perbandingan luas tutupan vegetasi terhadap luas DAS. Keterangan: TV = tutupan vegetasi LHP = luas hutan primer LHS = luas hutan sekunder LKC = luas kebun campuran LP = luas perkebunan LDAS = luas total DAS Untuk menentukan indeks tutupan vegetasi, tidak cukup hanya dengan mempertimbangkan tutupan vegetasi saja, akan tetapi perlu dipertimbangkan faktor lain seperti; faktor kesesuaian dan faktor kemanfaatan (koservasi lahan). Ada banyak lahan yang karena kondisi/karakter lahannya semestinya harus tertutup oleh vegetasi (berhutan) akan tetapi pada kenyataannya justru terbuka. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (pasal 18) bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah berikutnya. Langkah-2. Menghitung prosentase kecukupan luas kawasan hutan. II - 14

Yang dimaksud kawasan hutan di sini adalah kawasan berhutan (secara kenampakan citra satelit mencirikan hutan), yang dikategorikan sebagai hutan primer dan hutan sekunder. Langkah kedua ini disebut dengan Faktor Pemenuhan Kecukupan (memenuhi syarat cukup sesuai dengan ketentuan UU 41/1999, bahwa luas hutan minimal 30%). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: Keterangan: FCH = faktor kecukupan hutan LHP = luas hutan primer LHS = luas hutan sekunder Langkah-3. Menghitung Tutupan Vegetasi Konservasi Yang dimaksud sebagai tutupan vegetasi konservasi bagi keperluan pengukuran IKLH berbasis DAS ini adalah besarnya prosentase tutupan vegetasi pada satuan perbukitan dan pegunungan vulkanik, struktural, denudasional dan solusional/karst (berdasarkan peta ekoregion Pulau Jawa). Faktor ini dipertimbangkan dengan tujuan untuk melindungi lahan (konservasi lahan), dimana berdasarkan arahan pemanfaatan lahan, satuan-satuan ini merupakan kawasan yang harus dikonservasi untuk melindungi lahan/tanah dan sebagai resapan dan penyimpan II - 15

air. Selanjutnya faktor ini disebut sebagai faktor konservasi lahan. Rumus yang digunakan adalah: Keterangan: TVKi = tutupan vegetasi untuk konservasi lahan i TV i = tutupan vegetasi pada satuan ekoregion i LS i = luas satuan ekoregion i Selanjutnya dihitung faktor konservasi lahan dengan rumus sebagai berikut: Keterangan: FKL = faktor konservasi lahan TVK i = tutupan vegetasi konservasi lahan i BSE i = bobot penilaian untuk satuan ekoregion i Di bawah ini disajikan tabel nama untuk masing-masing satuan ekoregion dengan penjelasan karakteristiknya sebagai dasar penetapan skor. Besarnya skor ditentukan berdasarkan tutupan vegetasi dominan dan arahan penggunaan lahan terbaik pada masing-masing satuan ekoregion. II - 16

Secara prinsip satuan ekoregion vulkanik merupakan lahan yang penting untuk dikonservasi (dengan tutupan vegetasi yang maksimal), hal ini dengan pertimbangan bahwa; Kerapatan tutupan vegetasi sangat diperlukan sebagai pengaman (buffering) dari bahaya letusan gunung berapi. Tutupan vegetasi yang optimal juga penting artinya bagi konservasi tanah (mempertahankan kesuburan) dan konservasi air, mengingat kawasan ini merupakan satuan lahan yang sangat subur dan penyuplai air untuk kawasan bawahnya. Vegetasi vulkanik juga merupakan Bank KEHATI, sumber plasma nutfah yang sangat kaya, sehingga tutupan vegetasi harus dipertahankan secara maksimal. Demikian pula satuan ekoregion solusional (karst), juga merupakan bentangalam yang cukup penting untuk dikonservasi dengan tutupan vegetasi yang optimal, dengan pertimbangan bahwa; Tutupan vegetasi yang optimal penting artinya untuk mempertahankan sumberdaya air, berupa sungai-sungai bawah tanah, yang merupakan ciri khas satuan ekoregion ini. Kawasan ini juga sangat kaya dengan gua-guanya yang menarik, atraktif, yang berfungsi sebagai obyek wisata maupun obyek penelitian. II - 17

Secara ringkas, karakteristik dan kepentingan dari masingmasing satuan ekoregion tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.5. Penjelasan Karakteristik Satuan Ekoregion No. Satuan Ekoregion Karakteristik 1. Pegunungan Vulkanik 2. Pegunungan Struktural Topografi bergunung dengan lereng curam hingga sangat curam, dengan kemiringan lereng >30%. Pada umumnya mempunyai iklim basah (hujan tropis) dengan curah hujan tinggi (800 hingga >1.800 mm/tahun). Lereng curam hingga sangat curam, dan elevasi yang tinggi, maka tidak memungkinkan terdapatnya airtanah pada satuan ini. Namun lebih utama satuan ini berfungsi sebagai daerah tangkapan hujan (cathment area) dan peresapan air hujan (recharge area). Batuan didominasi oleh material hasil proses vulkanik, yang dapat berupa bahan-bahan piroklastik akibat aliran lahar, atau batuan dasar yang keras dan kompak berupa aliran lava. Tanah sangat berkembang dengan baik, berwarna gelap yang menunjukkan kandungan air dan bahan-bahan organik tinggi sehingga menyebabkan tingkat kesuburan yang tinggi, yang sering disebut dengan tanah Andosol. Morfologi atau relief bergunung dengan lereng curam hingga sangat curam (40-65% atau >65%). Relatif beriklim kering dengan curah hujan rendah. Jalur utara tersusun atas material batugamping berselang-selang dengan lapisan lempung marin. Jalur selatan tersusun atas material volkanik tua yang terbentuk pada kala Oligosen yang membentuk pegunungan blok patahan zona selatan Jawa, dan pada beberapa lokasi terdapat sisipan batuan metamorfik berupa sekis, filit, gneis, kuarsit, dan marmer. relatif termasuk wilayah yang miskin airtanah. Sumberdaya air kemungkinan berupa mataair yang muncul pada tekuk lereng kaki perbukitan berupa mataair kontak, atau mataair struktur akibat patahan atau retakan batuan. Jasa ekosistem sebagai kawasan konservasi tanah (erosi, longsor, dan rayapan atanah), dan biologis (konservasi hayati). Perlindungan plasma nutfah melalui zonasi kawasan hutan produksi terbatas, kawasan konservasi dan penyangga. II - 18

3. Pegunungan Denudasional 4. Perbukitan Vulkanik 5. Perbukitan Denudasional Material dominan adalah batuan-batuan beku gunungapi tua yang telah mengalami pelapukan tingkat lanjut, dan batuan sedimen berupa batugamping napal. Morfologi bergunung dengan lereng curam (>40%), dengan proses utama berupa denudasional yang dicirikan oleh tingkat pelapukan batuan yang telah lanjut, erosi lereng dan gerakan massa batuan sangat potensial. Akibat proses erosional dan longsor lahan yang intensif, maka pola aliran sungai seperti cabang-cabang pohon (dendritik), dengan alur rapat sejajar menuruni lereng, dan bertemu di lembah perbukitan menyatu menjadi sungai yang lebih besar. Namun demikian sifat aliran sungai relatif epimeral atau perenial dengan fluktuasi debit aliran sangat tinggi antara musim penghujan dengan kemarau. Airtanah sulit didapatkan. Jasa ekosistem dapat sebagai penyedia bahan dasar mineral bangunan. Perlindungan plasma nutfah melalui zonasi kawasan lindung dan penyangga. Topografi berupa perbukitan, dengan kelerengan lebih dari 15% dengan amplitudo relief 0-300m. Terbentuk sebagai hasil proses erupsi (letusan) gunungapi yang penyebarannya dibantu oleh proses aliran sungai (fluvial). Secara umum berpotensi sebagai kawasan lindung terhadap mataair, tanah, dan lahan-lahan di bawahnya, dan secara orohidrologis berfungsi sebagai kawasan tangkapan dan resapan air hujan, banyak dijumpai mata-mata air dan air terjun. Proses perkembangan tanah sangat intensif, yang dapat membentuk jenis tanah Latosol dan Andosol. Jasa lingkungan sebagai penyedia lahan pertanian, sumber air bersih, perlindungan sumberdaya alam dan plasma nutfah. Material dominan adalah batuan-batuan beku gunungapi tua yang telah mengalami pelapukan tingkat lanjut, dan batuan sedimen berupa batugamping napal. Morfologi berbukit dengan lereng curam (30-40%), dengan proses utama berupa denudasional yang dicirikan oleh tingkat pelapukan batuan yang telah lanjut. Pola aliran sungai seperti cabang-cabang pohon (dendritik), dengan alur rapat sejajar menuruni lereng, dan bertemu di lembah perbukitan menyatu menjadi sungai yang lebih besar. Sifat aliran sungai relatif epimeral atau perenial dengan fluktuasi debit aliran sangat tinggi antara musim penghujan dengan kemarau. Airtanah relatif sulit didapatkan. Jasa ekosistem dapat sebagai penyedia bahan dasar mineral bangunan. II - 19

6. Perbukitan Struktural 7. Perbukitan Solusional (Karst) Topografi berupa perbukitan, dengan morfologi atau relief berbukit rendah (lereng 15-30%) hingga berbukit tinggi (lereng 30-40%). Relatif beriklim kering dengan curah hujan rendah. Terbentuk oleh proses pengangkatan tektonik yang membentuk struktur lipatan (antiklinal) pada zona utara Jawa akibat materialnya yang bersifat plastis; sedangkan pada zona selatan Jawa membentuk struktur blok patahan dengan bidang-bidang sesar (escarpment) yang tegak dan curam akibat material penyusunnya yang kompak dan keras. Relatif termasuk wilayah yang miskin airtanah. Sumberdaya air kemungkinan berupa mataair yang muncul pada tekuk lereng kaki perbukitan berupa mataair kontak. Umumnya terdapat tanah-tanah berlempung dengan indeks plastisitas yang tinggi berupa tanah Grumusol atau Vertisol. Kemiringan lereng rendah (15-30%) hingga curam (30-40%). Material dominan adalah batuan sedimen organik atau non klastik, berupa batugamping terumbu (limestone, CaCO 3 ), batugamping napal, atau batugamping dolomit. Menempati daerah dengan iklim basah bercurah hujan tinggi. Hidrologi permukaan berupa telaga-telaga karst (logva), dan sungai bawah tanah dengan potensi aliran yang besar. Umumnya bertanah merah (terrarosa atau mediteran), dan tanah bersolum tipis yang disebut tanah litosol (rendzina). Pemanfaatan lahan secara umum berupa ladang tadah hujan dan kebun campuran. Jasa ekosistem sebagai pengatur tata air, budaya dan wisata minat khusus, penelitian dan pendidikan. Sumber: Deskripsi Peta Ekoregion Pulau/Kepulauan Untuk menentukan bobot tutupan vegetasi masing-masing satuan ekoregion terlebih dahulu dilakukan analisis penggunaan lahan. Diambil tiga (3) macam penggunaan lahan eksisting yang paling dominan. Dari ketiga macam penggunaan lahan eksisting tersebut kemudian ditetapkan nilai bobotnya. Secara umum penentuan nilai bobot menggunakan tabel berikut ini (berdasarkan expert judgement). II - 20

No Satuan Ekoregion Bobot Penjelasan 1 Pegunungan Vulkanik 90 Umumnya berupa hutan dengan kerapatan 80-90%. 2 Pegunungan Struktural 80 Umumnya berupa kebun campuran, dengan kerapatan 80% atau lebih 3 Perbukitan Vulkanik 80 Minimal 80% kawasan tertutup vegetasi 4 Perbukitan Denudasional 70 Minimal 70% kawasan tertutup vegetasi 5 Perbukitan Struktural 70 Minimal 70% kawasan tertutup vegetasi 6 Perbukitan Karst 70 Minimal 70% kawasan tertutup vegetasi Penjelasan atas penentuan besarnya bobot di atas, adalah berdasarkan analisis penggunaan lahan eksisting. Penggunaan lahan (atau land cover) satuan ekoregion pegunungan vulkanik pada umumnya berupa hutan primer dan hutan sekunder dengan kerapatan tegakan mencapai 90% atau lebih. Pada umumnya juga, pegunungan vulkanik 90% atau lebih kawasannya tertutup oleh vegetasi, baik berupa hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, ataupun perkebunan. Penjelasan yang sama juga berlaku untuk satuan ekoregion yang lain, misal perbukitan karst. Hasil analisis penggunaan lahan eksisting, kawasan ini pada umumnya berupa perkebunan dan tegalan dengan kerapatan tegakan sekitar 70%, atau hanya sekitar seluas 70% dari total luas kawasan tertutup oleh vegetasi. Demikian juga untuk kawasan-kawasan perbukitan yang lainnya. II - 21

Dengan demikian, artinya bahwa jika 90% dari wilayah satuan ekoregion pegunungan vulkanik itu tertutup vegetasi, berarti dinyatakan baik. Atau jika seluruh wilayah tertutup vegetasi yang kerapatannya hanya 90% saja, sudah dianggap baik. Hal yang sama berlaku untuk satuan ekoregion yang lain. Kawasan perbukitan karst, yang memang merupakan daerah yang minim air permukaan, dianggap cukup baik jika hanya memiliki vegetasi penutup tanahnya hanya memiliki kerapatan tegakan 70%. Langkah-4. Menjumlah semua faktor koreksi Maksud dari Faktor Koreksi adalah menjumlahkan faktor kecukupan hutan dan faktor konservasi, kemudian membagi dengan banyaknya faktor tersebut, rumus yang digunakan adalah : Keterangan: FK = faktor koreksi FCH = faktor kecukupan hutan FKL= faktor konservasi lahan Langkah-5. Menghitung Indeks Tutupan Vegetasi Indeks tutupan vegetasi dihitung dengan cara mengalikan hasil perhitungan tutupan vegetasi dengan faktor koreksi. ITV = TV x FK Keterangan: II - 22

ITV= indeks tutupan vegetasi TV = tutupan vegetasi FK = faktor koreksi b. Kekritisan Lahan Data lahan kritis yang digunakan untuk pengukuran parameter kekritisan lahan adalah data-data lahan kritis yang dikeluarkan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS). Pembagian kekritisan lahan meliputi kategori; sangat kritis, kritis, agak kritis, potensial kritis dan tidak kritis. Untuk keperluan pengukuran indeks kualitas lingkungan DAS ini hanya digunakan kategori sangat kritis dan kritis saja. Pada prinsipnya pengukuran kekritisan lahan adalah mengkaji seberapa besar (proporsi) luas lahan yang terkategori kritis jika dibandingkan dengan luas DAS-nya. Metode yang digunakan dalam pengukuran parameter ini adalah dengan cara membandingkan luas lahan kritis (kategori sangat kritis dan kritis) dengan luas DAS. Rumus yang digunakan adalah: Keterangan: PLK = Porsi Lahan kritis LSK = luas lahan sangat kritis LK = luas lahan kritis LDAS= luas DAS II - 23

Asumsi dasarnya adalah bahwa semakin besar prosentase luas lahan kritis suatu DAS berarti semakin buruk, dan sebaliknya semakin kecil berarti semakin baik. Akan tetapi, tidaklah mungkin bisa ditolerir jika lahan kritis di suatu DAS bisa mencapai 100%, oleh karena itu perlu ditetapkan toleransi maksimal jumlah lahan kritis adalah 70%. Toleransi ini dipertimbangkan dengan asumsi bahwa minimal 30% luas lahan dalam suatu DAS yang harus dipertahankan sebagai hutan (sesuai amanat UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Oleh karena itu perhitungan IKL (indeks kekritisan lahan) diperoleh dengan rumus: IKL = {1 (PLK/70)} x 100 Dimana: IKL = Indeks Kekritisan Lahan PLK= Porsi Lahan Kritis Berdasarkan asumsi ini maka, jika suatu DAS terdapat 70% berupa lahan kritis artinya ia mendapatkan nilai kekritisan lahan 0. 70% lahan kritis sebagai batas paling buruk. Dan jika tidak terdapat lahan kritis (lahan kritis mendekati 0) maka nilainya 100. Terakhir, untuk menentukan indeks kualitas lahan, hasil pengukuran tutupan vegetasi lebih dipentingkan ketimbang faktor lahan kritis, dengan demikian maka proporsi nilai tutupan vegetasi lebih besar. Dalam hal ini nilai tutupan vegetasi diberi bobot sebesar 60%, dan kekritisan lahan diberi bobot sebesar 40%. II - 24

4. Aspek Keamanan Keanekaragaman Hayati Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas Kawasan Suaka Alam (KSA), yang terdiri dari Hutan Cagar Alam (CA), dan Hutan Suaka Margasatwa (SM); dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), yang terdiri dari Hutan Taman Nasional (TN), Hutan Taman Wisata Alam (TWA), dan Hutan Taman Hutan Raya (Tahura); serta Taman Buru (TB) (pasal 27 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Kawasan konservasi merupakan kawasan yang memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung dalam suatu tipe ekosistem atau secara fisik masih asli dan belum terganggu, juga merupakan komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka dan/atau keberadaannya terancam punah. Kawasan ini sangat penting untuk dilindungi dan dipertahannkan keberadaannya. Selain kawasan konservasi, terdapat juga kawasan hutan yang memiliki arti yang sangat penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, yaitu hutan lindung. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Dari pengertian di atas tersirat bahwa hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan II - 25

hujan (catchment area), di sepanjang aliran sungai bilamana dianggap perlu, di tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan bakau), dan tempat-tempat lain sesuai fungsi yang diharapkan. Oleh karena itu kawasan konservasi dan hutan lindung dipertimbangkan sebagai indikator bagi penentuan keanekaragaman hayati. Namun yang perlu diketahui adalah bahwa kawasan-kawasan ini pada kenyataannya tidak semuanya dalam kondisi berhutan yang masih baik. Bisa saja terdapat daerah yang berupa tegalan, semak belukar, kebun campuran, bahkan sawah dan permukiman. Mengingat kondisi yang demikian, maka metode yang digunakan untuk mengukur indeks kehati adalah dengan membandingkan luas hutan primer dan hutan sekunder (berdasarkan peta penggunaan lahan) yang berada di dalam kawasan koservasi dan hutan lindung dengan luas kawasan koservasi dan hutan lindung itu sendiri (berdasarkan TGHK). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: Keterangan: IKH = indeks keanekaragaman hayati LHp = luas hutan primer (berdasar data Peta LC) LHs = luas hutan sekunder (berdasar data Peta LC) LKK = luas hutan konservasi (berdasar TGHK) LHL = luas hutan lindung (berdasar TGHK) II - 26

BAB III Profil Lingkungan 9 DAS 1. DAS Bengawan Solo Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo merupakan DAS terbesar di Pulau Jawa, terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan luas wilayah 1.529.568 Ha. Lokasi DAS Bengawan Solo berada pada posisi 110 o 18 BT sampai 112 o 45 BT dan 6 o 49 LS sampai 8 o 08 LS. DAS Bengawan Solo dibagi ke dalam tigasub DAS, yang meliputi SubDAS Bengawan Solo Hulu, Sub DAS Kali Madiun dan Sub DAS Bengawan Solo Hilir. DAS Bengawan Solo berbatasan dengan: a. Bagian barat : berbatasan dengan DAS Serang dan DAS Progo b. Bagian selatan : berbatasan dengan DAS Grindulu dan DAS Lorong c. Bagian timur : berbatasan dengan DAS Brantas d. Bagian utara : berbatasasn dengan Laut Jawa Gambar 3.1. Peta DAS Bengawan Solo(Sumber: PPE Jawa, 2013) III - 1

1.1. Karakteristik Lingkungan a. Karatkeristik Fisik Karakteristik fisik lingkungan dapat digambarkan dari satuan-satuan ekoregion yang ada di dalamnya. Satuan ekoregion terluas di DAS Bengawan Solo yaitu dataran vulkanik jalur Gunung Karang - Merapi - Raungseluas 21.19%. Sebaran ekoregion DAS Bengawan Solo terlihat pada Gambar 3.2. berikut: Gambar 3.2. Peta Ekoregion DAS Bengawan Solo Secara lebih rinci, satuan-satuan ekoregion yang terdapat di dalam DAS Bengawan Solo dan luas masing-masingnya, dapat dilihat pada Tabel 3.1. berikut ini. Tabel 3.1. Luas masing-masing Ekoregion di DAS Bengawan Solo Ekoregion KODE Luas (ha) (%) Danau 5.955 0,39% Dataran Fluvial Jawa F 198.591 12,98% Dataran Struktural Blok Selatan Jawa S31 5.393 0,35% Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S32 255.318 16,69% Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V3 324.126 21,19% III - 2

Ekoregion KODE Luas (ha) (%) Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 62.662 4,10% Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng - Rembang K2 20.470 1,34% Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - K1 26.181 1,71% Gunungsewu Blambangan Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S21 109.452 7,16% Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S22 236.918 15,49% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 284.336 18,59% Jenis tanah terbesar berupa grumusol kelabu tua sebesar 23,45%. Sebaran jenis tanah yang terdapat di DAS Bengawan Solo dapat dilihat pada Gambar 3.3. Sedangkan besarnya luasan masing-masing jenis tanah, secara rinci disajikan pada Tabel 3.2. Gambar 3.3. Peta Jenis Tanah DAS Bengawan Solo Tabel 3.2. Luas Masing Masing Jenis Tanah di DAS Bengawan Solo MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Mediteran Coklat Kemerahan dan Grumusol Kelabu 90.937 5,96% Aluvial Kelabu 42.227 2,77% Aluvial Kelabu Tua 94.228 6,17% Aluvial Coklat Kekelabuan 31.773 2,08% III - 3

MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Aluvial Hidromorf 14.544 0,95% Aluvial Kelabu 8.557 0,56% Aluvial Kelabu dan Aluvia Coklat Kekelabuan 21.760 1,43% Andosol Coklat 2.202 0,14% Andosol Coklat dan Latosol Coklat Kemerahan 6.774 0,44% Andosol Coklat, Andosol Coklat Kekuningan, Litosol 16.166 1,06% Asoiasi Andosol Kelabu dan Regosol Kelabu 9.460 0,62% Asosiasi Aluvial Kelabu dan Coklat KekelabuanAsosi 34.975 2,29% Asosiasi Litosol dan Grumusol Kelabu Tua 1.335 0,09% Asosiasi Litosol dan Mediteran Coklat 22.737 1,49% Asosiasi Litosol dan Mediteran Coklat Kemerahan 743 0,05% Asosiasi Mediteran Coklat Litosol 30.568 2,00% Grumusol Coklat Kekelabuan dan Kelabu Kekuningan 18.373 1,20% Grumusol Kelabu 74.025 4,85% Grumusol Kelabu Tua 354.769 23,23% Kompleks Andosol Kelabu Tua dan Litosol 3.328 0,22% Kompleks Grumusol Hitam dan Litosol 3.497 0,23% Kompleks Grumusol Kelabu dan Litosol 27.484 1,80% Kompleks Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol 10.598 0,69% Kompleks Litosol, Mediteran dan Renzina 169.195 11,08% Kompleks Mediteran Coklat dan Litosol 13.524 0,89% Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol 44.873 2,94% Kompleks Mediteran Merah dan Litosol 20.890 1,37% Kompleks Regosol Kelabu dan Grumusol Kelabu Tua 24.340 1,59% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 9.693 0,63% Latosol Coklat 25.835 1,69% Latosol Coklat Kemerahan 19.114 1,25% Latosol Coklat dan Regosol Kelabu 2.515 0,16% Latosol Merah Kekuningan 3.748 0,25% Litisol 4.681 0,31% Litosol 72.555 4,75% Mediteran Coklat 7.841 0,51% Mediteran Coklat Kemerahan 86.662 5,68% Mediteran Merah Tua dan Regosol 9 0,00% Regosol Coklat Kekelabuan 18.201 1,19% Regosol Kelabu 82.155 5,38% Penggunaan lahan terbesar DAS Bengawan Solo berupa sawah. Berdasarkan data curah hujan, curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.245 mm/tahun. Curah hujan minimum sebesar 1.415 mm/tahun dan curah hujan maksimum 3.034 III - 4

mm/tahun. Gambaran secara spasial penggunaan lahan di DAS Bengawan Solo dapat dilihat pada Gambar 3.4. sedangkan rincian luas masing-masing penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 3.3. Gambar 3.4. Peta Penggunaan Lahan DAS Bengawan Solo Tabel 3.3. Luas Penggunaan Lahan DAS Bengawan Solo PENGGUNAAN LAHAN LUAS (HA) (%) Hutan Primer 921 0,06% Hutan Sekunder 58.077 3,80% Kebun Campuran 193.531 12,65% Perkebunan 222.447 14,54% Permukiman 184.335 12,05% Rawa 144 0,01% Sawah 483.162 31,59% Semak/Belukar 23.994 1,57% Tambak/Empang 16.686 1,09% Tanah Terbuka 41.869 2,74% Tegalan/Ladang 292.612 19,13% Tubuh Air 11.789 0,77% III - 5

b. Karakteristik Sosial Perkiraan jumlah Penduduk di DAS BengawanSolo tahun 2012 sebesar 16.394.053 jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan luas DAS sebesar 1.529.568 Ha, maka kepadatan penduduk di DAS Solo adalah 10,72 Jiwa/Ha atau sekitar 1.072 Jiwa/Km 2. Tabel 3.4. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Bengawan Solo Tahun 2012 Provinsi Kabupaten/ Kota % Luas Dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk 2012 DI Yogyakarta Gunung Kidul 0.07 675,382 0.06 47,505 DI Yogyakarta Sleman 0.01 1,093,110 1.92 14,624 Jawa Tengah Blora 0.53 829,728 0.10 440,538 Jawa Tengah Boyolali 0.60 930,531 0.27 564,602 Jawa Tengah Grobogan 0.01 1,308,696 0.21 15,643 Jawa Tengah Karanganyar 1.00 813,196 0.60 822,984 Jawa Tengah Klaten 0.97 1,130,047 0.07 1,098,875 Jawa Tengah Kota Surakarta 1.00 499,337 0.08 500,136 Jawa Tengah Magelang 0.00 118,227 0.62 327 Jawa Tengah Rembang 0.11 591,359 0.48 66,129 Jawa Tengah Semarang 0.05 930,727 1.02 48,770 Jawa Tengah Sragen 0.96 858,266 0.05 820,598 Jawa Tengah Sukoharjo 1.00 824,238 0.51 832,667 Jawa Tengah Wonogiri 0.99 928,904-0.44 907,134 Jawa Timur Bojonegoro 1.00 1,209,973 0.38 1,219,186 Jawa Timur Gresik 0.44 1,177,042 1.60 529,063 Jawa Timur Kota Madiun 0.90 170,964 0.42 154,698 Jawa Timur Lamongan 0.82 1,179,059-0.02 970,356 Jawa Timur Madiun 0.87 662,278 0.35 582,655 Jawa Timur Magetan 1.00 620,442 0.08 621,435 Jawa Timur Nganjuk 0.01 1,017,030 0.44 11,208 Jawa Timur Ngawi 1.00 817,765 0.06 818,747 Jawa Timur Pacitan 0.06 540,881 0.29 34,001 Jawa Timur Ponorogo 0.90 855,281 0.16 770,718 Jawa Timur Trenggalek 0.01 674,411 0.37 3,553 Jawa Timur Tuban 0.62 1,118,464 0.62 698,190 Jumlah Penduduk 16.394.053 III - 6

1.2. Permasalahan Lingkungan Berbagai masalah lingkungan telah terjadi di DAS Bengawan Solo. Permasalahan tersebut berupa banjir, lahan kritis, pencemaran air, erosi, sedimentasi dan permasalahan sosial lainnya. a. Banjir Banjir besar di DAS Bengawan Solo Hulu pernah terjadi pada tahun 1966. Puncak banjir diperkirakan sebesar 4.000 m 3 /det di Wonogiri, 2.000 m 3 /det di Surakarta dan 1.850 m 3 /det di Ngawi. Luas daerah genangan banjir di sebelah hulu Kota Surakarta sekitar 18.000 ha dan di Sragen sekitar 10.000 ha. Pemerintah telah banyak membangun fasilitas pengendali banjir. Fasilitas pengendalian banjir yang terutama dalam Wilayah DAS Bengawan Solo adalah Bendungan Serbaguna Wonogiri (Waduk Gajah Mungkur) yang terletak sekitar 55 km disebelah hulu Kota Surakarta. b. Erosi dan Sedimentasi Erosi lahan terutama terjadi di wilayah hulu DAS yaitu SubDAS Bengawan Solo Hulu dan SubDAS Madiun. Selanjutnya erosi akan mengakibatkan sedimentasi di daerah bawahnya hingga ke muara Sungai Bengawan Solo di Selat Madura. Besarnya laju erosi permukaan yang terjadi di tiap-tiap daerah aliran (catchment area) dalam wilayah DAS Bengawan Solo secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3.5.Produksi Sedimen Erosi Lahan Sub-DAS Bengawan Solo Hulu dan Kali Madiun No. Catchment Area Luas (km2) Volume Erosi Permukaan (m3/th) No. Catchment Area Luas (km2) Volume Erosi Permukaan (m3/th) 1 K. Keduang 421 1.684.000 17 K. Ketonggo 477 1.908.000 2 Waduk Wonogiri 1.006 4.024.000 18 K. Gurdo 121 484.120 3 K. Walikan 137 548.000 19 K. Winongo 155 620.000 4 K. Juranggempol 107 428.000 20 K. Muneng 106 424.000 5 K. Jlantah 190 760.000 21 K. Kedung 112 448.000 6 Hilir K.Dengkeng 130 520.000 22 K. Jeroan 446 1.784.000 7 Hulu K.Dengkeng 355 1.420.000 23 K. Banjarsari 76 304.000 8 K. Gawe 269 1.076.000 24 K. Gandong 146 584.000 9 K. Brambang 263 1.052.000 25 K. Catur 186 744.000 10 Hilir K. Samin 63 252.000 26 K. Jati 81 324.000 11 Hulu K. Samin 275 1.100.000 27 K. Gede 156 624.000 12 K. Jurug 108 432.000 28 K. Gonggang 356 1.424.000 13 K. Pepe 543 2.172.000 29 K. Asin 303 1.212.000 III - 7

14 K. Mungkung 549 2.196.000 30 K. Tempuran 354 1.416.000 15 K. Pondok 232 928.000 31 K. Kenyang 285 1.140.000 16 K. Sawur 1,34 5.360.000 32 K. Plapar 304 1.216.000 Sumber:Pola Pengelolaan SDA Bengawan Solo, 2010 Untuk mengatasi masalah sedimentasi yang terjadi di Selat Madura, pemerintah Belanda telah membuat sudetan sungai kearah utara melalui daerah rawa menuju Laut Jawa, menghubungkan DAS Bengawan Solo dengan laut di sebelah timur perkampungan nelayan Ujung Pangkah pada tahun 1890-an. Sampai saat ini arah (alignment) saluran tersebut masih tetap seperti kondisi awal dikarenakan oleh material lempung padat yang terdapat di daerah rawa tersebut, tetapi telah terjadi perubahan di muara sungai. Perkembangan perubahan muara sungai menunjukkan perubahan memanjang sekitar 11 km kearah utara menuju Laut Jawa selama kurun waktu 110 tahun sejak dibangunnya saluran tersebut. Pada sekitar tahun 1922, telah terjadi perubahan muara sepanjang 9 km ke arah utara sepanjang saluran memotong endapan pasir dangkal sampai ke garis pantai. Pada tahun 2000, di muara telah terbentuk tiga alur ke arah samping, dan tidak terjadi perubahan pada saluran utama yang akhirnya tertutup. Ketika salah satu alur kearah samping berubah menjadi lebih panjang dari yang lainnya, ada kecenderungan akan tertutup akibat peningkatan endapan sedimen. Pada saat yang bersamaan, alur yang lain menjadi besar karena ada tambahan debit yang masuk. Muara tersebut telah berkembang membentuk beberapa alur melalui proses yang sama dan berulang seperti di atas. Proses tersebut di atas merupakan proses yang normal dimana terjadi gerusan dan endapan pada dasar sungai dan tidak terpengaruh oleh perubahan akibat proses yang terjadi di pantai. Tidak terjadi endapan pasir di muara sehingga tidak akan terjadi penyumbatan muara yang dapat menyebabkan banjir. Studi mengenai teknik pantai dalam studi CDMP menyimpulkan bahwa tidak akan terjadi pergerakan muara kearah utara, tetapi akan melebar kearah timur dan barat dan dengan volume angkutan sedimen pada kondisi saat ini, maka Selat Madura akan tertutup dalam waktu 200 tahun. c. Lahan Kritis Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan DAS III - 8

Bengawan Solo (tahun 2010) disebutkan bahwa lahan yang terkategori sangat kiritis mencapai luas 770,21 Ha dan lahan yang terkategori kritis mencapai luas 48.056,47 Ha. Tabel berikut ini menjelaskan secara rinci proporsi masing-masing sesuai dengan tingkat kekritisannya. Tabel 3.6. Lahan Kritis di DAS Bengawan Solo No. Kategori Luas (Ha) (%) 1 Sangat Kritis 770,21 0,05 2 Kritis 48.056,47 3,01 3 Agak Kritis 478.753,89 30,02 4 Potensial Kritis 462.759,36 29,02 5 Tidak Kritis 604.374,67 37,90 Total 1.594.714,59 100,00 Sumber : BPDAS Bengawan Solo, 2010 d. Pencemaran Selain menghadapi persoalan kerusakan lingkungan, DAS Bengawan Solo juga mengalami pencemaran air sungai-sungainya. Pencemaran lingkungan yang terjadi di Sungai Bengawan Solo disebabkan oleh limbah industri maupun limbah domestik. Adanya pencemaran oleh limbah cair ini telah mengakibatkan penurunan kualitas air sungai. Kualitas air terus menurun dari tahun ke tahun, hal ini tergambar dari hasil pengukuran beban pencemaran untuk BOD, COD dan NH3-N yang dilakukan dalam Prokasih Jawa Tengah. Berikut ini tertera tabel beban pencemaran Sungai Bengawan Solo, segmen Jawa Tengah. Tabel 3.7. Beban Pencemaran Sungai Bengawan Solo Parameter (kg/th) Tahun I (1989/90) Tahun II (1990/91) Tahun XV (2003) Tahun XVI (2004) Tahun XVII (2005) BOD 22.966,0 5.936,180 347.682,89 414.071,63 241.305,27 COD 181.937 26.958,81 1.018.598,12 1.344.496,89 899.338,88 TSS 6.622,19 6.952,838 304.843,97 837.087,92 214.835,30 NH3-N - - 89.594,69 22.746,13 20.536,72 Sumber: PROKASIH Jawa Tengah, 2005 Sumber data lain juga memberikan gambaran bahwa kualitas air Sungai Bengawan Solo telah mengalami pencemaran lingkungan. Data hasil pengukuran kualitas air oleh Perum Jasa Tirta yang tercantum di dalam statistik lingkungan hidup berikut ini memberikan gambaran hal tersebut. Dari tabel tersebut tertulis bahwa parameter kunci (BOD, COD dan DO) di beberapa titik sampel telah melampaui baku mutu lingkungan. III - 9

Tabel 3.8. Kualitas Air Sungai Bengawan Solo, Segmen Jawa Tengah 1.3. Upaya yang Telah Dilakukan Sebagai upaya pengendali banjir telah dibangun waduk Gadjah Mungkur mencakup daerah seluas 1.350 Ha. Waduk tersebut mempunyai kapasitas tampungan sebesar 220 juta m 3 untuk mereduksi puncak banjir sebesar 4.000 m 3 /det menjadi 400 m 3 /det. Fasilitas lain yang berfungsi untuk mengurangi kerusakan akibat banjir adalah Flood Forecasting and Warning System (FFDAS). FFDAS yang berada di Bendungan Wonogiri adalah satu-satunya yang ada dalam wilayah studi. Sistim tersebut telah dipasang pada tahun 1982 sebagai peralatan tambahan bendungan untuk memantau dan memperkirakan banjir yang masuk ke dalam waduk dan memberikan peringatan dini di daerah disebelah hilir. Namun demikian, FFDAS dalam seluruh basin sungai yang akan memberikan peringatan dini dan informasi banjir kepada penduduk dan instansi terkait yang berwenang masih sangat dibutuhkan dalam BBDAS Bengawan Solo. Selebihnya, juga terdapat sejumlah bangunan-bangunan sungai yang lain seperti bendungan dan embung untuk penyediaan air irigasi dan keperluan lain. Berikut ini disajikan daftar waduk atau embung yang terdapat di DAS Bengawan Solo. III - 10

Tabel 3.9. Waduk atau Embung di DAS Bengawan Solo Kabupaten Waduk/Embung Kabupaten Waduk/Embung Sub DAS Bengawan Solo Hulu Sub DAS Bengawan Solo Hilir Wonogiri Nawangan Bojonegoro Pacal Ngancar Lamongan Prijetan Parangjoho Gondang Plumbon Blora Embung Jegong Song Putri Sub DAS Kali Madiun Wonogiri Magetan Telogo Pasir Kedungguling Embung Nglompang Klaten Jombor Embung Taman Arum Sukoharjo Mulur Embung Titang Krajan Karanganyar Lalung Ponorogo Telogo Ngebel Delingan Madiun Dawuhan Boyolali Cengklik Notopuro Ketro Ngawi Pondok Sragen Embung Pare Sangiran Embung Kedungsono 2. DAS Brantas DAS Brantas terletak di Provinsi Jawa Timur dan secara geografis berada pada 110 30 BT-112 55 BT dan 7 01 LS - 8 15 LS. DAS Brantas memiliki luas 1.194.593 ha dengan panjang sungai utama 320 Km.DAS Brantas berbatasan dengan: DAS Bengawan Solo di bagian barat; DAS Lamongan dan Selat Madura di bagian utara; DAS Welang di bagian timur; dan DAS DAS kecil di bagian selatan. Secara spasial DAS Brantas dapat dilihat pada Gambar 3.5. Secara administrasi, DAS Brantas mencakup 16 Kabupaten dan 6 Kota dimana persentase luas kabupaten dan Kota dalam DAS paling besar berada pada Kabupaten Kediri, Kota Batu, Kota Blitar, Kota Kediri, Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Nganjuk, dan Kabupaten Sidoarjo dimana 100% wilayahnya berada pada DAS Brantas, menyusul Kabupaten Jombang yaitu 96,29 % dan Kabupaten Blitar yaitu 94,65% dan kabupaten/kota lainnya seperti terlihat pada tabel 3.10. dan peta administrasi dapat dilihat pada Gambar 3.6. III - 11

Gambar 3.5. Peta Batas DAS Brantas Tabel 3.10. Persentase Luas Kabupaten dalam DAS Brantas No Kabupaten Luas Kabupaten (Ha) Luas Kabupaten dalam DAS (Ha) % luas dalam DAS 1 Blitar 133.648 126.494,44 94,65% 2 Bojonegoro 219.879 654,18 0,30% 3 Gresik 119.125 12.084,88 10,14% 4 Jombang 111.509 107.373,39 96,29% 5 Kediri 138.605 138.605 100,00% 6 Kota Batu 13.674 13.674 100,00% 7 Kota Blitar 3.257 3.257 100,00% 8 Kota Kediri 6.340 6.340 100,00% 9 Kota Malang 14.528 7.376,01 50,77% 10 Kota Mojokerto 1.647 1.647 100,00% 11 Kota Surabaya 35.054 27.154,84 77,47% 12 Lamongan 178.205 188,03 0,11% 13 Lumajang 179.090 458,18 0,26% 14 Madiun 103.758 19.968,61 19,25% 15 Malang 353.065 229.390,82 64,97% 16 Mojokerto 71.783 71.783 100,00% 17 Nganjuk 122.425 122.425 100,00% 18 Pasuruan 147.402 41.153,55 27,92% 19 Ponorogo 130.570 8.588,85 6,58% 20 Sidoarjo 63.438 63.438 100,00% 21 Trenggalek 114.722 97.705,08 85,17% 22 Tulungagung 105.565 94.364,46 89,39% III - 12

Gambar 3.6. Peta Administrasi DAS Brantas 2.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik DAS Brantas terdiri dari 13 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa, Dataran Organik/Koral Jawa, Dataran Pantai Utara Jawa, Dataran Struktural Blok Selatan Jawa, Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - Gunungsewu Blambangan, Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa, Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang dan Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Brantas dapat dilihat pada Gambar peta ekoregion DAS Brantas. III - 13

Gambar 3.7. Peta Ekoregion DAS Brantas Satuan ekoregion terluas di DAS Brantas berupa Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung (V3) yaitu seluas 456.071 Ha (38.18%) menyusul Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung (V2) seluas 229.127 Ha (19.18%). Masing-masing luasan ekoregion dalam DAS Brantas dapat dilihat pada Tabel ekoregion DAS Brantas berikut. Tabel 3.11. Luas Satuan Ekoregion DAS Brantas NAMA KODE LUAS (ha) (%) Danau 2.452 0,21% Dataran Fluvial Jawa F 120.860 10,12% Dataran Organik/Koral Jawa O2 28 0,00% Dataran Pantai Utara Jawa M1 20.364 1,70% Dataran Struktural Blok Selatan Jawa S31 36.858 3,09% Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S32 28.350 2,37% Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V3 456.071 38,18% Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S11 2.166 0,18% Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 155.806 13,04% Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng - Rembang K2 4.317 0,36% Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - K1 33.495 2,80% Gunungsewu - Blambangan Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S21 53.729 4,50% Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S22 50.969 4,27% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 229.127 19,18% III - 14

Jenis tanah pada DAS Brantas sangat bervariasi yaitu terdiri dari 32 jenis tanah dimana jenis tanah Regosol Coklat Kekelabuan menempati luasan yang tertinggi yaitu 174.150,15 Ha (14,01%) dan menyusul jenis tanah Aluvial Kelabu dengan luas 140.466,83 Ha (11,30%). Untuk melihat sebaran jenis tanah pada DAS Brantas dapat dilihat pada gambar peta jenis tanah DAS Brantas. Gambar 3.8. Peta Jenis Tanah DAS Brantas Penggunaan lahan pada DAS Brantas dibagi ke dalam 11 penggunaan lahan yaitu Hutan Primer, Hutan Sekunder, Kebun Campuran, Perkebunan, Permukiman, Rawa, Sawah, Semak/Belukar, Tambak/Empang, Tanah Terbuka, Tegalan/Ladang. Sebaran penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar peta penggunaan lahan DAS Brantas. III - 15

Gambar 3.9. Peta Penggunaan Lahan DAS Brantas Penggunaan lahan untuk sawah menempati luasan terbesar yaitu 384.720,12 Ha (30,90%) menyusul tegalan/ladang 301.991,79 Ha (24,26%). Luasan tiap-tiap penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel penggunaan lahan DAS Brantas berikut. Tabel 3.12. Luas Penggunaan Lahan DAS Brantas LC_2011 LUAS (ha) (%) Hutan Primer 72.073 6,03% Hutan Sekunder 55.113 4,61% Kebun Campuran 49.541 4,15% Mangrove 114 0,01% Perkebunan 155.241 13,00% Permukiman 153.865 12,88% Rawa 141 0,01% Sawah 377.601 31,61% Semak/Belukar 1.379 0,12% Tambak/Empang 21.073 1,76% Tanah Terbuka 6.234 0,52% Tegalan/Ladang 297.840 24,93% Tubuh Air 4.377 0,37% III - 16

b. Karakteristik Sosial Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Brantas tahun 2012 kurang lebih adalah 15.021.100jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk Provinsi JawaTimur. Dengan luas DAS sebesar 1.194.593 Ha, maka kepadatan penduduk di DAS Citarum adalah 12.57 Jiwa/Ha atau sekitar 1.257 Jiwa/Km 2. Pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk pada DAS Brantas dapat dilihat pada Tabel perkiraan jumlah penduduk DAS Brantas. Tabel 3.13. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Brantas Tahun 2012 Jumlah % luas Jumlah Pertumbuhan Penduduk No Provinsi Kabupaten dalam Penduduk Penduduk DAS Tahun DAS 2010 (%) 2012 1 Jawa Timur Blitar 94,65% 1116639 0,48 1.067.041 2 Jawa Timur Bojonegoro 0,30% 1209973 0,38 3.627 3 Jawa Timur Gresik 10,14% 1177042 1,60 123.259 4 Jawa Timur Jombang 96,29% 1202407 0,66 1.173.146 5 Jawa Timur Kediri 100,00% 1499768 0,64 1.519.026 6 Jawa Timur Kota Batu 100,00% 190184 1,25 194.968 7 Jawa Timur Kota Blitar 100,00% 131968 1,02 134.674 8 Jawa Timur Kota Kediri 100,00% 268507 0,95 273.633 9 Jawa Timur Kota Malang 50,77% 820243 0,81 423.219 10 Jawa Timur Kota Mojokerto 100,00% 120196 1,00 122.612 11 Jawa Timur Kota Surabaya 77,47% 2765487 0,62 2.168.952 12 Jawa Timur Lamongan 0,11% 1179059-0,02 1.244 13 Jawa Timur Lumajang 0,26% 1006458 0,42 2.597 14 Jawa Timur Madiun 19,25% 662278 0,35 128.352 15 Jawa Timur Malang 64,97% 2446218 0,87 1.617.114 16 Jawa Timur Mojokerto 100,00% 1025443 1,23 1.050.824 17 Jawa Timur Nganjuk 100,00% 1017030 0,44 1.026.000 18 Jawa Timur Pasuruan 27,92% 1512468 1,03 431.013 19 Jawa Timur Ponorogo 6,58% 855281 0,16 56.440 20 Jawa Timur Sidoarjo 100,00% 1941497 2,21 2.028.259 21 Jawa Timur Trenggalek 85,17% 674411 0,37 578.633 22 Jawa Timur Tulungagung 89,39% 990158 0,64 896.467 Total Jumlah Penduduk 15.021.100 III - 17

2.2. Permasalahan Lingkungan Permasalahan lingkungan di DAS Brantas dapat dilihat dari 2 kondisi yaitu kondisi DAS Brantas hulu dan kondisi DAS Brantas tengah-hilir. Penjabaran mengenai kondisi dan permasalahan lingkungan yang terdapat di DAS Brantas hulu adalah sebagai berikut: a. Kota Batu terdapat lahan kritis di dalam kawasan hutan + 925 Ha dan diluar kawasan hutan + 1.899 Ha; b. Kabupaten Malang lahan kritis di dalam kawasan hutan seluas 10.473 Ha dan diluar kawasan hutan sebesar 46.315 Ha; c. DAS Brantas hulu erosi mencapai 2,268 ton/ha/tahun terjadi peningkatan 300%; d. Kondisi Mata Air terutama di enam gunung yang menjadi hulu mata air DAS Brantas telah hilang sebanyak 200 titik mata air dari 421 mata air, di Batu sebanyak 109 mata air atau tinggal 57 mata air; e. Alih fungsi lahan yang mempunyai kemiringan lereng lebih dari 45% seharusnya merupakan kawasan lindung saat ini sudah beralih fungsi dengan pola tanam tanaman semusim. Sedangkan permasalahan dan kondisi DAS Brantas bagian tengah-hilir digunakan untuk mencuci dan mandi walaupun dengan kondisi sungai sudah tercemar, drainase tersumbat oleh sampah, MCK langsung dialirkan ke sungai, industri terletak di sempadan sungai, jamban yang letaknya dibantaran sungai, serta pembuangan liar lumpur tinja. 2.3. Upaya yang Telah Dilakukan Upaya yang telah dilakukan dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan di DAS Brantas sebagai berikut : Sosialisasi dan pendampingan pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian pencemaran; Perencanaan dan pembangunan IPAL Komunal sistem Cluster; Bimbingan teknis program produksi bersih/ produktivitas ramah lingkungan dan demplot sarana pengolahan limbah; III - 18

Evaluasi kinerja sarana pengolahan limbah/ IPAL industri dan domestik serta pemanfaatannya untuk masyarakat; Penerapan audit lingkungan dan Sistem Manajemen Lingkungan bagi industri potensi pencemaran dan penegakan hukum lingkungan bagi industri; Program patroli air dan garda lingkungan wilayah DAS Brantas; Monitoring kualitas air, perhitungan daya tampung dan indeks biodiversitas DAS Brantas. Sebagai indikator terjadinya penurunan beban pencemaran air DAS Brantas adalah Hasil penelitian terhadap biodiversitas/keanekaragaman jenis biota air di DAS Brantas tahun 2012 semakin meningkat yang diperoleh jumlahspesies 42 jenis, Hasil pengamatan Tim Patroli Air pada kondisi saat ini, semakin meningkatnya masyarakat memanfaatkan air sungai Brantas sebagai sarana memancingan Hasil pengujian kandungan logam berat pada air badan air dan sedimen di Kali Surabaya pada 10 titik lokasi (stasiun Kedung klinter s/d Gunungsari) secara umum memenuhi Baku Mutu Lingkungan antara lain : pada ABA -Chrom (Cr)=0.02 mg/l; Tembaga (Cu) = 0,0169 mg/l; Air Raksa (Hg) = 0.0002 mg/l, Pada sedimen : Chrom (Cr)=0.02 mg/l; Tembaga (Cu)= 0,291 mg/l; Air Raksa (Hg) = 0.0002 mg/l. Sementara upaya yang telah dilakukan dalam rangka pengendalian kerusakan lingkungan di DAS Brantas sebagai berikut : Rencana tindak vegetatif dimana arahan lokasi kegiatan adalah sasaran lokasi hanya yang terdapat di dalam Sub-DAS prioritas. Dilakukan pada area dengan tingkat kelerengan kurang dari 40% atau area-area yang masih dapat dijangkau dalam operasional kegiatan vegetatif, sedangkan selebihnya dibiarkan terjadi suksesi secara alami. Tidak dilakukan di dalam taman nasional dan cagar alam. Di luar kawasan hutan hanya dilakukan di area lahan terbuka dan semak belukar, lainnya diharapkan muncul sebagai inisiatif masyarakat melalui kegiatan pendampingan yang mendorong untuk alih komoditas dari tanaman musiman ke tanaman tahunan terutama di area lahan kritis. Tidak hanya dilakukan di lahan kritis melainkan juga di areal-areal yang mempunyai tutupan III - 19

lahan terbuka dan semak belukar untuk di luar kawasan hutan dan ditambah dengan pertanian lahan kering untuk area kawasan hutan. Rencana tindak sipil teknis untuk DAM pengendali pada 59 lokasi di 9 kabupaten. DAM penahan 162 unit berada di dlm kawasan dan dan 243 di luar kawasan hutan. Embung ada 547 embung. Program sumur resapan dan biopori ada 119.120 buah. 3. DAS Ciliwung DAS Ciliwung merupakan salah satu pemasok air yang penting bagi DKI Jakarta. Disisi lain, apabila DAS Ciliwung meluap dampak yang ditimbulkannya akan langsung mengenai jantung Ibukota dan pusat-pusat ekonomi yang penting di DKI Jakarta.Luas areal DAS Ciliwung sebesar 44.007 Ha. Panjang sungai utamanya adalah kurang lebih 117 km.das Ciliwung berbatasan dengan: a. Bagian barat : berbatasan dengan DAS Angke dan DAS Krukut b. Bagian selatan : berbatasan dengan DAS Citarum dan DAS Citarik c. Bagian timur : berbatasan dengan DAS Bekasi dan DAS Sunter d. Bagian utara : berbatasasn dengan Laut Jawa Gambar 3.10. Peta Batas DAS Ciliwung Gambar 3.11. Peta Administrasi DAS Ciliwung III - 20

Berdasarkan wilayah administrasi, DAS Ciliwung mencakup dalam 2 provinsi yang terdiri dari 10 kota/kabupaten. Secara rinci, besarnya kota/kabupaten yang masuk dalam DAS Ciliwung dapat terlihat pada Tabel berikut: Tabel 3.14. Persentase Luas Kota/Kabupaten dalam DAS Ciliwung Luas Kab. No. Kabname Luas (Ha) (%) (Ha) 1 Bogor 20.421 271.062 7,53% 2 Cianjur 390 384.016 0,10% 3 Kota Bogor 3.068 11.850 25,89% 4 Kota Depok 5.815 20.029 29,03% 5 Kota Jakarta Barat 575 12.444 4,62% 6 Kota Jakarta Pusat 3.810 5.238 72,74% 7 Kota Jakarta Selatan 3.996 15.432 25,89% 8 Kota Jakarta Timur 2.817 18.270 15,42% 9 Kota Jakarta Utara 3.070 13.999 21,93% 10 Sukabumi 44 414.570 0,01% 3.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik DAS Ciliwung terdiri dari 4 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa, Dataran vulkanik jalur Gunung Karang-Merapi-Raung, Perbukitan vulkanik jalur Gunung Karang-Merapi-Raung, dan Pegunungan vulkanik jalur Gunung Karang- Merapi-Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Ciliwung dapat dilihat pada Gambar peta ekoregion DAS Ciliwung. Tabel 3.15. Luas Satuan Ekoregion DAS Ciliwung NAMA KODE LUAS (ha) (%) Dataran Fluvial Jawa F 8.494 19,30% Dataran Vulkanik V3 14.492 32,93% Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung Pegunungan Vulkanik V1 8.735 19,85% Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 12.284 27,92% III - 21

Gambar 3.10. Peta Ekoregion DAS Ciliwung Gambar 3.11. Peta Tanah DAS Ciliwung Tanah yang terbentuk pada umumnya berasal dari bahan induk abu volkan dan batuan piroklastik. Berdasarkan Peta Tanah Semi Detil Tahun 1992 skala 1:50.000 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian meliputi order Aluvial, Andosol, Regosol dan Latosol.Andisol terbentuk dari pelapukan bahan induk volkan yang menghasilkan bahan amorf. Bahan amorf terdiri dari alofan, ferrihidrit, dan senyawa kompleks humus-aluminium. Tanah ini berwarna hitam kelam, berbobot isi rendah (<0,85g/cm 3 ), dan dikenal terasa berminyak (smeary) bila diremas karena mengandung 36 bahan organik antara 8 hingga 30%. Andisol banyak ditemukan di daerah berelevasi tinggi seperti lereng atas dan sekitar puncak Gunung Mandalawangi, Gunung Joglog, Gunung Sumbul, dan Gunung Mas. Umumnya Andisol berada dalam bentuk Konsosiasi Typic Hapludands, dan Asosiasi Typic Hapludands dan TypicTropopsamments. Luas masing-masing jenis tanah DAS Ciliwung dan persebarannya dapat dilihat pada Tabel 3.16 dan Gambar 3.11. III - 22

Tabel 3.16. Luas Masing Masing Jenis Tanah DAS Ciliwung MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Aluvial Hidromorf 936 2,15% Aluvial Kelabu Tua 3.533 8,10% Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 5.180 11,87% Asosiasi Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu 161 0,37% Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat 5.150 11,80% Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan 21.242 48,69% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 229 0,52% Latosol Coklat 4.626 10,60% Latosol Coklat Tua Kemerahan 2.548 5,84% Regosol Coklat 23 0,05% Tingkat penggunaan lahan (land cover) merupakan indikator penting dalam mengenali kondisi keseluruhan DAS. Hal ini berkaitan dengan terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran permukaan serta pengendalian erosi saat musim penghujan dan mencegah kekeringan saat musim kemarau. Jenis dan luas penggunaan lahan yang terdapat di DAS Ciliwung dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3.17. Penggunaan Lahan DAS Ciliwung LUAS LC_2011 (%) (ha) Hutan Primer 312 0,71% Hutan Sekunder 3.055 6,94% Kebun Campuran 11.263 25,59% Perkebunan 2.228 5,06% Permukiman 23.686 53,81% Rawa 45 0,10% Sawah 183 0,41% Semak/Belukar 106 0,24% Tanah Terbuka 20 0,05% Tegalan/Ladang 3.035 6,89% Tubuh Air 85 0,19% Tabel 3.12. Penggunaan Lahan DAS Ciliwung III - 23

Berdasarkan tabel diatas penggunaan lahan di DAS Ciliwung dibedakan menjadi 8 kelas penggunaan lahan yaitu; perkebunan, permukiman, rawa, sawah, semak/belukar, tanah terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh air. Tutupan lahan di DAS Ciliwung sebagian besar merupakan permukiman yang mencakup kawasan seluas 23.686 Ha atau meliputi 53.81%. Penggunaan lahan terbesar kedua adalah tegalan atau ladang seluas 3.035 ha atau sebesar 6.89%. b. Karakteristik Sosial Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Ciliwung tahun 2012 kurang lebih adalah 7.370.265 jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk masing-masing kabupaten/kota yang berada di dalam DAS. Dengan luas DAS sebesar 44.007 Ha, maka kepadatan penduduk di DAS Citarum adalah 168jiwa/ha. Pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk pada DAS Citarum dapat dilihat pada Tabel perkiraan jumlah penduduk DAS Citarum. Tabel 3.18. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Ciliwung Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 jumlah penduduk DAS 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk DAS Tahun 2012 Bogor 0,08 4771932 366.602 3,15 390.062 Cianjur 0,00 2171281 2.211 1,11 2.261 Kota Bogor 0,30 950334 280.869 2,40 294.512 Kota Depok 0,52 1738570 908.903 4,32 989.128 Sukabumi 0,00 2341409 1.571 1,22 1.609 Kota Jakarta Barat 0,06 2.281.945 136.434 1,82 141.446 Kota Jakarta Pusat 0,82 902.973 744.288 0,31 748.909 Kota Jakarta Selatan 0,34 2.062.232 692.097 1,45 712.313 Kota Jakarta Timur 1,00 2.693.896 2.693.896 1,38 2.768.761 Kota Jakarta Utara 0,78 1.645.659 1.282.753 1,49 1.321.264 Jumlah Penduduk 7.370.265 3.2. Permasalahan Lingkungan Berdasarkan paparan BPLHD Prov. Jawa Barat permasalahan yang terdapat di DAS Ciliwung lebih disebabkan oleh adanya perubahan tata guna lahan sehingga menimbulkan degradasi DAS. Dampak dari adanya degradasi lahan terlihat pada menurunnya debit mata air, berkurangnya jumlah dan fungsi situ. III - 24

Permasalahan lain diangkat oleh BPLHD Prov. Jawa Barat di dalam DAS Ciliwung adalah adanya ketidaktaatan industri pada pengelolaan limbah B3 yang tidak sesuai. Hasil analisa permasalahan di DAS Ciliwung sebagaian besar dalam kondisi rusak dengan ditandai seringnya terjadi bencana alam banjir, longsor dan kekeringan sebagai konsekwensi dari penurunan kualitas lingkungan sehingga menyebabkan kerugian yang sangat luas bagi kepentingan hidup manusia baik yang hidup di daerah hulu maupun hilir DAS. Kejadian banjir yang diartikan sebagai luapan air hujan dari penampungan merupakan fenomena alam sebagai akibat hujan tidak tertampung oleh tanah dan penampungan permukaan baik dalam bentuk kolam, danau/situ, badan sungai dan saluran drainase. Faktor yang berpengaruh terhadap fenomena alam banjir ini dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu faktor bentukan alam, yang dipengaruhi tidak hanya oleh kondisi lokal tetapi juga kondisi global (iklim, pasang surut muka laut, morfologi) dan faktor bentukan manusia (penggunaan lahan, saluran drainase buatan). Permasalahan yang terjadi di DAS Ciliwung tidak hanya mengenai banjir tetapi juga kualitas air yang kurang baik. Hasil laporan tahun 2010 mengenai kualitas air sungai yang dilakukan oleh Badan pengelola lingkungan hidup daerah Provinsi DKI Jakarta secara umum diperoleh bahwa kondisi air sungai di DKI Jakarta dari hulu menuju ke hilir telah buruk kualitasnya, baik itu kualitas fisik, kualitas kimia maupun kualitas biologi. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengukuran di lapangan yang dilakukan oleh BPLHD Provinsi DKI Jakarta pada 13 sungai dengan pengambilan 45 titik pengambilah sempel yang meliputi; 3 peruntukan air baku air minum (golongan B), peruntukan perikanan dan peternakan (golongan C) serta peruntukan pertanian dan usaha perkotaan (golongan D). 13 sungai tersebut yaitu Sungai Ciliwung, Cipinang, Angke, Mookervart, Grogol, Sunter, Pesanggrahan, Krukut, Tarum Barat, Cengkareng, Kali Baru Timur, Buaran, Cakung Drain, Blencong, Petukangan dan Kamal. Dalam menentukan beban pencemar, pengelola lingkungan hidup daerah Provinsi DKI Jakarta menggunakan parameter yang sesuai dengan SK Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 582 tahun 1995 tentang penetapan III - 25

peruntukan dan baku mutu air sungai/ badan air serta baku mutu limbah cair di wilayah DKI Jakarta yang meliputi faktor fisik, kimia dan biologi. Parameter yang diukur meliputi; Parameter Fisik (DHL, TDS, TSS, Kekeruhan, DO, PH), Parameter Kimia (Hg, Fe, PB, Cl, NO3, SO4, BOD, COD, dll) dan Parameter Biologi (bakteri coli dan bakteri coli tinja). Dari seluruh parameter yang diukur, berdasarkan Indeks Pencemar Sungai, disimpulkan bahwa seluruh sungai di wilayah DAS Ciliwung (segmen hilir/wilayah Jakarta) berada dalam kisaran Cemar Sedang hingga Cemar Berat. Data selengkapnya mengenai kualitas air sungai-sungai di DAS Ciliwung, dilaporkan secara lengkap dalam Laporan Tahun 2010 Peningkatan Kualitas Air Sungai Provinsi DKI Jakarta. 4. DAS Cisadane DAS Cisadane secara geografis terletak pada posisi 106 0 28 50-106 0 56 0 BT dan 6 0 0 59-6 0 47 02 LS. Secara administratif DAS Cisadane terletak di 3 Kabupaten dan 2 Kota yaitu Kab. Bogor, Kab. Sukabumi, Kab. Tangerang, Kota Bogor dan Kota Tangerang dengan luasan areal DAS Cisadane sebesar 138.308 ha. Persentase masingmasing luas kabupaten dan kota dalam DAS terlihat pada Tabel 3.19. DAS Cisadane berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, DAS Citarik bagian selatan, DAS Ciliwung dan DAS Kali Angke di sebelah timur dan DAS Ciujung, DAS Cimanceri, DAS Cirarab dan DAS Ciasin dibagian baratnya (Gambar 3.14.). Tabel 3.19. Presentase Luas Kabupaten dalam DAS KABNAME LUAS (ha) (%) Bogor 106.464 76,98% Kota Bogor 5.193 3,75% Kota Tangerang 6.771 4,90% Sukabumi 930 0,67% Tangerang 18.938 13,69% III - 26

Gambar 3.14. Peta Batas DAS Cisadane Gambar 3.15. Peta Administrasi DAS Cisadane 4.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik DAS Cisadane terdiri dari 5 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa, Dataran Pantai Utara Jawa, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung dan Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Cisadane dapat dilihat pada Gambar 3.16. Sedangkan luas masing-masing Ekoregion dalam DAS Cisadane terlihat pada Tabel 3.20. Tabel 3.20. Satuan Ekoregion DAS Cisadane Nama Kode Luas (Ha) (%) Dataran Fluvial Jawa F 5.065 3,66% Dataran Pantai Utara Jawa M1 1.058 0,76% Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V3 40.751 29,46% Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 59.878 43,29% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 31.557 22,82% III - 27

Gambar 3.16. Peta Ekoregion DAS Cisadane Gambar 3.17. Peta Tanah DAS Cisadane Berdasarkan jenis tanahnya, DAS Cisadane memiliki 15 jenis tanah. Data luasan masing-masing jenis tanah disajikan dalam Tabel 3.21. Dominasi luas jenis tanah yang terbesar di DAS Cisadane adalah jenis Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan dengan luas 30.337 ha. Persebaran jenis tanah ini berada disepanjang wilayah timur Sub-DAS Cisadane bagian hulu. Latosol coklat merupakan jenis tanah pegunungan yang berbahan induk Tuf Volkan Intermedier yang termasuk dalam golongan ultisol. Tabel 3.21. Luas masing-masing Jenis Tanah DAS Cisadane MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Aluvial Hidromorf 133 0,10% Aluvial Kelabu Tua 90 0,07% Andosol Coklat Kekuningan 2.769 2,01% Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat 12.146 8,80% Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 4.857 3,52% Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Cokl 5.541 4,01% Asosiasi Latosol Coklat dan Latosol Coklat Kekunin 9.696 7,03% Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu 17.351 12,57% Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan d 30.337 21,98% Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat 8.078 5,85% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 6.859 4,97% Latosol Coklat 12.140 8,80% III - 28

MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Latosol Coklat Kekuningan 2.100 1,52% Latosol Coklat Tua Kemerahan 19.677 14,26% Podsolik Merah 6.237 4,52% Penggunaan lahan di DAS Cisadane dibedakan 12 kelas penggunaan lahan yaitu hutan primer, sekunder, kebun campuran, perkebunan, permukiman, rawa, sawah, semak/belukar, tambak/empang, tanah terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh air. Secara spasial penggunaan lahan DAS Cisadane terlihat pada Gambar 3.20. Penggunaan lahan di DAS Cisadane sebagian besar merupakan kebun campuran yang mencakup kawasan seluas 70.908 Ha atau meliputi 51.27%. Penggunaan lahan terbesar kedua adalah permukiman seluas 16.329 atau 11.81 %.Berikut ini disajikan tabel penggunaan lahan di DAS Cisadane. Tabel 3.22. Penggunaan Lahan DAS Cisadane LC_2011 LUAS (ha) (%) Hutan Primer 7.416 5,36% Hutan Sekunder 11.501 8,32% Kebun Campuran 70.908 51,27% Perkebunan 13.255 9,58% Permukiman 16.329 11,81% Rawa 179 0,13% Sawah 12.138 8,78% Semak/Belukar 2.725 1,97% Tambak/Empang 972 0,70% Tanah Terbuka 277 0,20% Tegalan/Ladang 1.804 1,30% Tubuh Air 808 0,58% Jumlah 138.312 100,00% Gambar 3.20. Peta Penggunaan Lahan DAS Cisadane b. Karakteristik Sosial Perkiraan jumlah penduduk di DAS Cisadane tahun 2012 kurang lebih adalah 4.164.964jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk masing-masing III - 29

kabupaten/kota yang berada di dalam DAS. Dengan luas DAS sebesar 138.308 Ha, maka kepadatan penduduk di DAS Cisadane adalah 30jiwa/ha. Pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk pada DAS Cisadane dapat dilihat pada Tabel perkiraan jumlah penduduk DAS Cisadane. Tabel 3.23. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Cisadane Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 jumlah penduduk DAS 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk DAS Tahun 2013 Kota Tangerang 0.50 1.798.601 894.205 3.12 950.874 Tangerang 0.26 2.834.376 749.322 4.02 810.778 Bogor 0.39 4.771.932 1.868.856 3.15 1.988.448 Kota Bogor 0.40 950.334 384.541 2.4 403.220 Sukabumi 0.00 2.341.409 11.365 1.22 11.644 Jumlah Penduduk 3.908.289 4.164.964 4.2. Permasalahan Lingkungan Kualitas air sungau Cisadane tidak semuanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan air domestik, peternakan, industri, perikanan, pemeliharaan sungai dan pertanian. Berdasarkan PP nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air maka sebagian besar sungai dilakukan pemantauan. Berdasarkan titik-titik pantau kualitas air DAS Cisadane diketahui bahwa Sungai Cisadane mengalami permasalahan kualitas air. Kualitasair sub-das Cisadane bagian hulu dipantau dari titik pantau air Pasir Buncir, Muara Jaya, Cimande Hilir, Batu beulah 1 dan Batu beulah 2. Kualitas air Sub-DAS Cisadane tengah dipantau dari titik pantau air Putat Nutug, Kerihkil, Pabuaran, PDAM, Gading Serpong dan Bendung Pasar. Sedangkan kualitas air Sub-DAS Cisadane hilir dipantau dari titik pantau air di Kali Baru. Tabel3.24. Permasalahan Kualitas Air di Sungai Cisadane No Titik Pantau BOD COD DO Koliform Fecal Coli Bulan Agustus 2005 1 Pasir Buncir IV ^ ^ ++ ++ 2 Muara Jaya IV ^ ^ ++ III 3 Cimande Hilir ++ III ^ III ^ 4 Legok Muncang III ^ ^ ^ ^ 5 Batu beulah 1 ^ ^ ^ ^ 6 Batu beulah 2 IV ^ ^ ^ ^ 7 Karihkil IV ^ ^ ++ ++ III - 30

No Titik Pantau BOD COD DO Koliform Fecal Coli 8 Putat nutung IV ^ ^ ++ ++ 9 Pabuaran ++ III ^ III ^ 10 Gunung sindur IV ^ ^ III ^ Bulan April 2005 & 2006 11 PDAM ^ III III ++ ^^ 12 Gading Serpong ^ III III ++ ^^ 13 Bendung Pasir Batu ^ III III ++ ^^ 14 Kali Baru ^ III ^ ^ v Bulan Desember 2005 1 Pasir Buncir IV ^ ^ ++ ++ 2 Muara Jaya IV ^ ^ ++ III 3 Cimande Hilir ++ III ^ III III 4 Legok Muncang III ^ ^ ^ ^ 5 Batu beulah 1 III ^ ^ ^ ^ 6 Batu beulah 2 III III ^ ^ ^ 7 Karihkil IV - ^ ++ ++ 8 Putat nutung IV - ^ ++ ++ 9 Pabuaran ++ III ^ ++ ^ 10 Gunung sindur IV ^ ^ III ^ Bulan November 2005 & 2006 11 PDAM ^ ^ IV ^ ^^ 12 Gading Serpong ^ ^ IV ++ ^^ 13 Bendung Pasir Batu ^ ^ IV ++ ^^ 14 Kali Baru ^ ^ ^ III ^^ Sumber : Pramesti (2007) Keterangan Angka romawi : kualitas ke i (++) : Melebihi ambang batas (^) : Memenuhi syarat kualitas air 1 atau 2 (^^) : Tidak ada data Kualitas air sungai berdasarkan titik pantau Sub-DAS Cisadane bagian hulu mengalami permasalahan pencemaran karena BOD yang tinggi. Dimulai dari titik pantau awal kualitas air di Sb-DAS bagian hulu yaitu di Pasir Buncir, sudah mengalami pencemaran BOD, koliform dan fecal coli. Hal tersebut akan berdampak pada kualitas air sungai pada bagian bawahnya. Pencemaran disebabkan oleh beberapa sumber pencemar, diantaranya adalah penduduk, ternak, industri dan lahan kritis yang berupa erosi dan zat organik serta kegiatan pertanian. Secara umum permasalahan dalam pengelolaan sumber daya air dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Ketersediaan air di Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane secara umum telah sangat kritis, III - 31

2. Belum terkendalinya pemanfaatan ruang baik di sepanjang sempadan sungai maupun pengelolaan di badan sungainya, 3. Ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan semakin mahal dan langka baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga menimbulkan berbagai konflik antar sektor maupun antar wilayah, 4. Fluktuasi ketersediaan air permukaan sangat tinggi, sehingga sering terjadi kebanjiran di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Hal tersebut merupakan wujud dari hulu DAS yang fungsi konservasinya telah jauh berkurang, 5. Belum adanya kesinergian antar wilayah dalam bentuk role sharing antara Propinsi/Kabupaten/Kota Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah hilir dalam rangka penanganan hulu DAS. 6. Kondisi tersebut memberikan gambaran tentang telah terjadinya kerusakan DAS yang berdampak terhadap permasalahan surplus/defisit neraca air sepanjang tahun 5. DAS Cimanuk DAS Cimanuk memiliki panjang 337,67 km merupakan sungai terpanjang kedua di Jawa Barat yang mampu menyediakan 2,2 miliar m 3 air per tahun, yang sebagian besar di digunakan untuk irigasi lahan pertanian. DAS Cimanuk terbentang dari 9 Kabupaten yakni Bandung, Ciamis, Cirebon, Garut, Indramayu, Kuningan, Majalengka, Sumedang dan Tasikmalaya seperti terlihat pada Gambar 3.22. DAS Cimanuk berbatasan dengan Laut Jawa di bagian utara, DAS Ciwulan dan DAS Cikandang bagian selatan, DAS Citanduy dan DAS Cisanggarung di sebelah timur dan DAS Citarum di sebelah baratnya.das Cimanuk merupakan penopang utama sumberdaya air di Jawa Barat (Gambar 3.21.). Luas DAS Cimanuk 374.153 ha. III - 32

Gamba3 3.21. Peta Batas DAS Cimanuk Gambar 3.22. Peta Administrasi DAS Cimanuk Tabel 3.25. Presentase Luas Kabupaten/Kota dalam DAS Cimanuk KABNAME LUAS (ha) (%) Bandung 1.527 0,41% Ciamis 854 0,23% Cirebon 141 0,04% Garut 116.621 31,18% Indramayu 50.576 13,52% Kuningan 234 0,06% Majalengka 97.853 26,17% Sumedang 105.657 28,25% Tasikmalaya 503 0,13% 5.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik DAS Cimanuk terdiri dari 8 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa, Dataran Organik/Koral Jawa, Dataran Pantai Utara Jawa, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang dan Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung. Sebaran satuan ekoregion DAS Cimanuk dapat III - 33

dilihat pada Gambar 3.23. Sedangkan luas masing-masing Ekoregion dalam DAS Cisadane terlihat pada Tabel 3.26. Gambar 3.23. Peta Ekoregion DAS Cimanuk Gambar 3.24. Peta Jenis Tanah DAS Cimanuk Tabel 3.26. Satuan Ekoregion DAS Cimanuk NAMA KODE LUAS (ha) (%) Dataran Fluvial Jawa F 60.221 16,10% Dataran Organik/Koral Jawa O2 18 0,00% Dataran Pantai Utara Jawa M1 9.713 2,60% Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V3 51.016 13,64% Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S11 3.334 0,89% Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 89.324 23,87% Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S22 62.109 16,60% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 98.418 26,30% Jenis tanah DAS Cimanuk bagian hulu lebih kurang dari 32% adalah Regosol. Jenis tanah yang ada berupa Regosol Abu-abu hingga Regosol Coklat Abu-abu, yang memiliki kedalaman sedang hingga dalam dan bertekstur lempung (Loam) hingga lempung berpasir (Sandy Loam). Jenis tanah lain yang ada berupa Latosol (25%). Andosol merupakan jenis tanah lain yang banyak ditemui, dengan sebaran luasan 17%, berupa tanah coklat dengan kedalaman sangat dalam dan bertekstur lempung. III - 34

Pada ruas DAS bagian Tengah hampir 70% berupa tanah Latosol. Pada daerah sekitar sungai dan tributary, tanah yang ditemui adalah Aluvial dengan kedalaman agak dalam dan tekstur tanah liat berat berwarna keabu-abuan. Pada DAS Cimanuk bagian Hulu dan Tengah, jenis tanah yang banyak dijumpai adalah Latosol, Regosol, dan Andosol. Jenis tanah yang ada di bagian hilir pada umumnya adalah Tanah Gley (78%) dan Alluvial (18%) sedangkan sisanya berupa tanah Mediteran dan Podzolik. Tabel 3.27. Luas masing-masing Jenis Tanah DAS Cimanuk MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Aluvial Coklat Kelabu 11.809 3,18% Aluvial Hidromorf 3.630 0,98% Aluvial Kelabu Tua 2.803 0,76% Andosol Coklat 5.563 1,50% Andosol Coklat Kekuningan 3.609 0,97% Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat 45.662 12,30% Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 54.300 14,63% Asosiasi Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu 22.604 6,09% Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Cokl 39.133 10,54% Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu 8.289 2,23% Asosiasi Mediteran Coklat dan Litosol 7.458 2,01% Asosiasi Podsolik Kuning dan Hidromorf Kelabu 6.191 1,67% Asosiasi Podsolik Kuning dan Regosol 175 0,05% Grumusol Kelabu 2.758 0,74% Kompleks Grumusol, Regosol dan Mediteran 26.878 7,24% Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol 6.155 1,66% Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kunin 18.148 4,89% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 5.761 1,55% Kompleks Regosol dan Litosol 20.721 5,58% Latosol Coklat 35.691 9,62% Latosol Coklat Kekuningan 338 0,09% Latosol Coklat Kemerahan 31.731 8,55% Latosol Coklat Tua Kemerahan 7.541 2,03% Regosol Coklat 3.908 1,05% Regosol Kelabu 319 0,09% Penggunaan lahan di DAS Cimanuk dibedakan 12 kelas penggunaan lahan yaitu hutan primer, sekunder, kebun campuran, perkebunan, permukiman, rawa, sawah, semak/belukar, tambak/empang, tanah terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh III - 35

air. Secara spasial pemggunaan lahan yang terdapat di DAS Cimanuk terlihat pada Gambar 3.25. Penggunaan lahan di DAS Cimanuk sebagian besar merupakan sawah yang mencakup kawasan seluas 122.436 ha atau meliputi 32.72%. Penggunaan lahan terbesar kedua adalah Kebun Campuran seluas 70.765 ha atau 18.91 %. Berikut ini disajikan Tabel penggunaan lahan di DAS Cimanuk. Tabel 3.28. Luas Penggunaan Lahan DAS Cimanuk LC_2011 LUAS (ha) (%) Hutan Primer 1.548 0,41% Hutan Sekunder 33.078 8,84% Kebun Campuran 70.765 18,91% Perkebunan 1.110 0,30% Permukiman 14.781 3,95% Rawa 6 0,00% Sawah 122.436 32,72% Semak/Belukar 6.306 1,69% Tambak/Empang 1.605 0,43% Tanah Terbuka 5.938 1,59% Tegalan/Ladang 114.782 30,68% Tubuh Air 1.797 0,48% Jumlah 374.153 100,00% Gambar 3.25. Peta Penggunaan Lahan DAS Cimanuk b. Karakteristik Sosial Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Cimanuk tahun 2012 sebesar 3.263.247 jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk kabupaten/kota yang berada di DAS Cimanuk. Tabel 3.29. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Citanduy Tahun 2012 Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk DAS Tahun 2012 Jawa Barat Bandung 0.01 3178543 2.57 39,135 Jawa Barat Ciamis 0.01 1532504 0.47 9,572 III - 36

Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk DAS Tahun 2012 Jawa Barat Garut 0.37 2404121 1.61 922,680 Jawa Barat Indramayu 0.26 1663737 0.46 442,495 Jawa Barat Kuningan 0.00 1035589 0.51 4,048 Jawa Barat Majalengka 0.90 1166473 0.4 1,054,971 Jawa Barat Sumedang 0.70 1093602 1.23 786,661 Jawa Barat Tasikmalaya 0.00 1675675 1.15 3,684 Jumlah Penduduk 3,263,247 5.2. Permasalahan Lingkungan Degradasi kualitas lingkungan DAS Cimanuk ditengarai dengan tingginya prosentasi lahan kritis (di dalam maupun diluar kawasan hutan) sehinga laju erosi lahan dan sedimentasi disungai meningkat, yang selanjutnya akan mempercepat sedimentasi di danau, waduk dan saluran-saluran irigasi. Secara umum, permasalahan lingkungan yang terjadi di DAS Cimanuk berupa: 1. Salah satu indikator yang menjadikan DAS Cimanuk sebagai DAS yang paling kritis adalah fluktuasi debit pada saat musim kemarau dan musim hujan. Fluktuasi debit pada saat musim kemarau dan musim hujan terlihat pada Gambar berikut: (Sumber : Balai Data dan Informasi SDA, PSDA Jawa Barat) 2. Kekeringan sering terjadi di pantura Ciayu pada musim kemarau yang mengancam lahan pertanian. Disisi lain, banjir mengancam lahan pertanian dan perekonomian daerah pada saat musim hujan. Bencana kekeringan pada musim kemarau selalu melanda daerah Pantura Cirebon Indramayu. Di Kabupaten Indramayu terdapat 13 lokasi rawan banjir seluas 8.834 ha yang perlu mendapat perhatian dan penanganan lebih lanjut. Sedang lokasi kritis sungai-sungai di III - 37

wilayah Indramayu mencapai 30 tempat. Di daerah hilir terutama di musim hujan S. Cimanuk sering meluap dan menggenangi lahan persawahan. 3. Neraca air pada periode bulan Januari - Oktober 2013 berdasarkan data menunjukkan neraca air maksimum tertinggi terjadi pada bulan Maret dengan nilai 523,93 dan neraca air minimum terendah terjadi pada bulan Oktober dengan nilai 17,36. Nilai Q rata-rata tertinggi pada bulan Januari yaitu 330,93 dan Q rata-rata minimum terendah pada bulan September yaitu 46,17. 4. Daerah Tangkapan air sepanjang DAS Cimanuk banyak terdapat lahan kritis, disertai peningkatan erosi lahan. Kerusakan dan lahan kritis pada daerah aliran sungai atau DAS Cimanuk, yang melintas dari Kabupaten Garut hingga Indramayu, ternyata relatif parah. 5. Berdasarkan data BPDAS Cimanuk Citanduy terkait dengan perubahan tutupan lahan dianggap menjadi salah satu permasalahan yang benimbuklan dampak yang sangat besar terhadap kerusakan lingkungan. Gambar perubahan tutupan lahan tahun 1999, 2005 dan 2011 terlihat pada Gambar Berikut. 6. Data BPDAS Cimanuk Citanduy Menunjukkan bahwa kondisi lahan sangat kritis seluas 1.137,20 Ha dan luas lahan kritis seluas 13.532,20 Ha yang seluruhnya menjadi prioritas untuk perbaikan tutupan vegetasi. Sedangkan data tahun 2013 menunjukkan perluasan lahan kritis yaitu luasan lahan sangat kritis 1.966,39 Ha, luas lahan kritis 14.854,88 Ha. Namun terjadi penurunan luas lahan agak kritis yaitu 77.250 ha. Beberapa program dan kegiatan terkait rehabilitasi hutan dan lahan yang telah dilakukan pada DAS Cimanuk berupa; III - 38

reboisasi kawasan konservasi, rehabilitasi kawasan fungsi lindung, rehabilitasi hutan dan lahan melalui kebun bibit rakyat, rehabilitasi lahan melalui pembangunan hutan kota, rehabilitasi mangrove dan hutan pantai, pengembangan hutan kemitraan, pembangunan infrastruktur untuk konservasi tanah dan air. 7. Erosi di DAS Cimanuk menimbulkan sedimentasi di Sungai Cimanuk. Erosi banyak terjadi di bagian hulu sungai dan sedimentasi terjadi di bagian tengah maupun hilir sungai. Data BPDAS Cimanuk Citanduy menujukkan bahwa tingginya tingkat erosi pada DAS Cimanuk disebabkan akibat penggunaan lahan di wilayah hulu tidak sesuai dengan kaidah konservasi tanah. Juga akibat kawasan lindung yang dijadikan pertanian intensif. Selain erosi praktek ini juga menyebabkan sedimentasi dan banjir. 8. Kajian kebutuhan komposting untuk timbulan sampah 2,5 L/orang/hari dengan komposisi 60% sampah organik, pada segmen Majalengka diperlukan 164 unit, Garut 112 unit, Indramayu 21 unit, Sumedang 24 unit 9. Kualitas air di DAS Cimanuk dapat dikategorikan buruk karena hal-hal sebagai berikut: a) Hampir semua sungai membawa zat padat terlarut dalam alirannya, dengan kadar yang tinggi, sebagai indikasi adanya erosi lahan di DAS. b) Parameter COD dan BOD melebihi baku mutu yang disyaratkan. c) Parameter Phosfat (PO4) dan Chlorida (Cl) melebihi baku mutu yang disyaratkan, kemungkinan dari limbah pertanian dan perkebunan. III - 39

d) Hampir seluruh aliran sungai tercemar sulfat (SO4), sulfida (H2S), besi (Fe), mangaan (Mn) dan seng (Zn) secara berlebihan. Data BPLHD Jabar menunjukkan bahwa status mutu air rata-rata DAS Cimanuk pada tahun 2012 berdasarkan hasil evaluasi dengan menggunakan metode Storet berdasarkan BMA PP nomor 82 tahun 2001 pada kelas II menunjukkan bahwa seluruh lokasi tercemar berat. Segmentasi DAS Cimanuk terdiri segmen 1 yaitu bagian hulu meliputi kabupaten Garut, segmen 2 di kabupaten Sumedang, segmen 3 kabupaten Majalengka, segmen 4 atau bagian hilir di kabupaten Indramayu. Berdasarkan Pergub Jabar Nomor 12 tahun 2013 BMA DAS Cimanuk ditetapkan bahwa segmen 1 sampai segmen 3 ditetapkan sebagai klas II dan segmen 4 ditetapkan sebagai klas 3. Kondisi BMA DAS Cimanuk saat ini segmen 1 sampai segmen 4 adalah cemar berat atau masuk klas IV. Sedangkan telah ditetapkan mutu air sasaran DAS Cimanuk untuk segmen 1 dan 2 adalah klas II serta segmen 3 dan 4 adalah klas III. Berdasarkan hasil uji kualitas Air pada beberapa segmen, terdapat beberapa parameter yang melebihi baku mutu berdasar BMA PP 82/2001 yaitu BOD, COD, Nitrat, Sulfida, Koli Tinja dan Koli Total di lokasi Boyongbong, Sukaregang, Wado, Tomo, Jatibarang. Upaya mitigasi yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas air DAS Cimanuk akibat limbah domestik antara lain melalui intervensi pembangunan IPAL komunal dan komposting. Kajian terhadap kebutuhan IPAL untuk skala 250 orang atau 50 KK masing-masing 5 jiwa pada segmen Majalengka diperlukan 230 unit, segmen Garut 405 unit, Indramayu 120 unit, Sumedang 144 unit. 6. DAS Citanduy Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan luas wilayah365.172 Ha. DAS Citanduy mencakup 11 kabupaten/kota yaitu Kab. Banyumas, Kab. Brebes, Kab. Ciamis, Kab. Cilacap, Kab. Garut, Kota Banjar, Kota Tasikmalaya, Kab. Kuningan, Kab.Majalengka, Kab. Sumedang dan Kab. Tasikmalaya. DAS Citanduy berbatasan dengan Samudera Hindia dibagian selatan, dengan DAS Pemali dan DAS Cibeureum di bagian timur, DAS Cimanuk dan DAS Cisanggarung di bagian utara dan DAS Cimanuk di bagian barat. III - 40

Gambar 3.26. Peta Batas DAS Citanduy Gambar 3.27. Peta Administrasi DAS Citanduy III - 41

Tabel 3.30. Presentasi Luas Kabupaten/Kota dalam DAS Citanduy KABNAME LUAS (ha) (%) Banyumas 332 0,09% Brebes 48 0,01% Ciamis 178.939 49,00% Cilacap 95.612 26,18% Garut 1.956 0,54% Kota Banjar 12.812 3,51% Kota Tasikmalaya 13.374 3,66% Kuningan 11.917 3,26% Majalengka 575 0,16% Sumedang 3 0,00% Tasikmalaya 49.601 13,58% 6.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik Gambar 3.28. Peta Ekoregion DAS Citanduy DAS Citanduy terdiri dari 11 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa, Dataran Pantai Selatan Jawa, Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa, Pegunungan Struktural Jalur Bogor - Kendeng III - 42

Rembang, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - Gunungsewu Blambangan, Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa, Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung. Sebaran satuan ekoregion DAS Citanduy dapat dilihat pada Gambar 3.28. Sedangkan luas masing-masing Ekoregion dalam DAS Citanduy terlihat pada Tabel 3.31 berikut Tabel 3.31. Satuan Ekoregion DAS Citanduy LUAS NAMA KODE (%) (ha) Dataran Fluvial Jawa F 46.183 12,65% Dataran Pantai Selatan Jawa M2 36 0,01% Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S32 10.339 2,83% Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V3 45.324 12,41% Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S11 12.695 3,48% Pegunungan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S12 44.574 12,21% Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 31.529 8,63% Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - K1 421 0,12% Gunungsewu - Blambangan Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S21 36.469 9,99% Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S22 82.045 22,47% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 55.573 15,22% Secara umum jenis tanah dominan yang terdapat di DAS Citanduy berupa latosol dengan bahan induk Tuff Vilkan yang sangat peka erosi. Jenis tanah ini mendominasi luasan Sub-DAS. Jenis tanah akan berbeda sejalan dengan relief atau topografi yang berbeda. Tanah pada lahan atas DAS Citanduy terdiri dari residu incesed yang terbentuk dari bahan vulkanis. Debu vulkanis dan debris dari hasil letusan Gunung Galunggung tercampur dengan tanah ini. Jenis tanahnya berupa kambisol, gleisol, latosol mediteran dan pedsolik merah kuning. Jenis tanah pada elevasi yang lebih tinggi adalah andosol, sedangkan pada elevasi yang lebih rendah berupa tanah latosol. Jenis tanah ini merupakan batuan induk yang selama ini tererosi dan terangkut oleh aliran sungai dan akhirnya terendapkan di Segara Anakan. Tanah latosol merupakan tanah dengan tingkat perkembangan sedang-lanjut (virile-senile stage), dicirikan oleh solum tanah yang dalam, berwarna coklat III - 43

kemerahan-coklat kekuningan, mempunyai horizon kambik atau oksik, bertekstur liat lempung berliat, kandungan aluminum dan besi oksida yang cukup tinggi dan kesuburannya relative rendah. Gambar 3.29. Peta Jenis Tanah DAS Citanduy Tanah podsolik merupakan tanah dengan tingkat perkembangan lanjut, mempunyai horizon timbunan liat (argilik), kejenuhan basa yang rendah (< 30%), kandungan bahan organik dan unsur hara yang rendah sehingga tingkat kesuburannya rendah. Karena kesuburan tanahnya maka penggunaan tanah tersebut untuk lahan pertanian harus disertai dengan pemupukan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas tanaman yang diusahakan. Tanah alluvial merupakan tanah yang terbentuk akibat proses fluvial yang terbentuk pada wilayah tanggul sungai (kanan kiri sungai) dan dataran banjir. Karena terbentuk dari bahan yang baru diendapkan tanah ini biasanya mempunyai kesuburan tanah yang tinggi dan banyak dimanfaatkan untuk lahan persawahan. Tanah andosol terbentuk dari bahan abu volkan hasil letusan gunung api, bertekstur lempung berdebu lempung berpasir, dan terdapat pada wilayah dataran tinggi dan perbukitan. Tanah tersebut mempunyai kandungan mineral yang cukup baik, terletak pada wilayah dataran III - 44

tinggi, dan mempunyai tekstur tanah ideal untuk menunjang pertumbuhan dan produksi tanaman hortikultura. Tanah litosol merupakan tanah dengan solum yang dangkal (biasanya < 25 cm), sehingga tanah tersebut langsung duduk diatas bahan induk tanah atau batuan keras baik batu kapur, batu liat maupun batuan vulkanik. Grumusol adalah tanah yang berbentuk dari batuan kapur pada wilayah yang mempunyai curah hujan tidak terlalu tinggi dan memungkinkan terbentuk mineral montmorilonit (liat tipe 2:1). Tanah ini mempunyai kemampuan mengembang dan mengkerut yang tinggi sehingga akan retak pada musim kemarau. Organosol merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada kondisi tergenang (jenuh) air. Karena terbentuk dari bahan organik, tanah tersebut mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi, kejenuhan basa yang rendah dan kandungan unsur hara yang rendah. Tabel 3.32. Luas masing-masing Jenis Tanah DAS Citanduy MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Aluvial Kelabu Tua 3.698 1,01% Aluvial Coklat Kekelabuan 4.975 1,36% Aluvial Coklat Kelabu 1.103 0,30% Aluvial Hidromorf 11.827 3,23% Aluvial Kelabu Kekuningan 9.226 2,52% Aluvial Kelabu dan Aluvia Coklat Kekelabuan 5.232 1,43% Andosol Coklat Kekuningan 7.643 2,09% Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat 14.229 3,89% Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 11.603 3,17% Asosiasi Glei Humus dan Aluvial Kelabu 8.603 2,35% Asosiasi Podsolik Kuning dan Regosol 22.621 6,19% Grumusol Hitam 10.607 2,90% Grumusol Kelabu 6.273 1,72% Grumusol Kelabu Tua 2.434 0,67% Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat, 29.402 8,04% Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol 6.602 1,81% Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kunin 18.578 5,08% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 8.009 2,19% Kompleks Regosol dan Litosol 7.391 2,02% Kompleks Resina, Litosol Batukapur dan Brown Fores 86 0,02% Latosol Coklat 70.477 19,27% Latosol Coklat Kemerahan 4.012 1,10% Latosol Coklat Tua Kemerahan 79.775 21,81% Mediteran Merah Tua dan Regosol 19.203 5,25% Organosol 2.093 0,57% III - 45

Penggunaan lahan di DAS Citanduy dibedakan 9 kelas penggunaan lahan yaitu Hutan Sekunder, Kebun Campuran, Perkebunan, Permukiman, Sawah, Semak/Belukar, Tanah Terbuka, Tegalan/Ladang dan Tubuh Air. Secara spasial penggunaan lahan yang terdapat di DAS Citanduy terlihat pada Gambar 3.30. Penggunaan lahan di DAS Citanduy sebagian besar merupakan kebun campuran yang mencakup kawasan seluas 234.502 ha atau meliputi 64,21%, selengkapnya penggunaan lahan di DAS Citanduy dapat dilihat pada Tabel 3.33. Gambar 3.30. Peta Penggunaan Lahan DAS Citanduy Tabel 3.33. Luas Penggunaan Lahan DAS Citanduy LC_2011 LUAS (ha) (%) Hutan Sekunder 38.280 10,48% Kebun Campuran 234.502 64,21% Perkebunan 11.674 3,20% Permukiman 4.879 1,34% Sawah 38.362 10,50% Semak/Belukar 4.089 1,12% Tanah Terbuka 76 0,02% Tegalan/Ladang 32.676 8,95% Tubuh Air 650 0,18% III - 46

b. Karakteristik Sosial Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Citanduy tahun 2012 sebesar 3.263.247 jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk kabupaten/kota yang berada di DAS Citanduy. Tabel 3.34. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Citanduy 2012 Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 jumlah penduduk DAS 2010 Laju Pertum buhan (%) Jumlah Penduduk DAS Tahun 2013 Jawa Barat Ciamis 76,09% 1.532.504 1.166.033 0,47 1.177.020 Jawa Barat Garut 0,51% 2.404.121 12.201 1,61 12.597 Jawa Barat Kota Banjar 100,00% 175.157 175.157 1,14 179.173 Jawa Barat Kota Tasikmalaya 80,89% 635.464 514.045 1,13 525.728 Jawa Barat Kuningan 10,47% 1.035.589 108.465 0,51 109.574 Jawa Barat Majalengka 0,02% 1.166.473 267 0,4 269 Jawa Barat Tasikmalaya 19,60% 1.675.675 328.364 1,15 335.960 Jawa Tengah Banyumas 0,15% 1.554.527 2.290 0,59 2.317 Jawa Tengah Brebes 0,18% 1.733.869 3.125 0,11 3.132 Jawa Tengah Cilacap 40,59% 1.642.107 666.454 0,2 669.122 Jumlah Penduduk 3.014.892 6.2. Permasalahan Lingkungan Permasalahan lingkungan yang terjadi di DAS Citanduy salah satunya adalah penggunaan pupuk buatan yang mengandung nitrogen dan fosfat yang tinggi. Selain itu, adalah pencemaran air oleh limbah domestik dari rumah tangga. Berdasarkan pengamatan BBWS Citanduy tahun 2008 terhadap 3 lokasi yang berada di DAS Citanduy yaitu Pataruman, Tunggilis dan Panumbangan selama pemantauan, tidak satu lokasipun yang kualitas airnya memenuhi kriteria baku mutu air kelas II, karena tingginya kandungan koli tinja. Parameter lainnya yang tidak memenuhi kriteria umumnya adalah kadar BOD. Kualitas air yang sudah tidak sesuai untuk digunakan pada kelas 1 dan kelas 2. Berdasar data BPLHD Jawa Barat 2012, Status mutu air di DAS Citanduy dengan metode Storet berdasar BMA PP 82/2001 seluruh lokasi tercemar berat. Data kualitas air Citanduy berdasar PP 82/2001 Klas II yang tidak memenuhi baku mutu adalah TSS, BOD, COD, Nitrat, Sulfida, Koli tinja, Koli total. III - 47

Perubahan tata guna lahan di DAS terutama di daerah catchment area tidak diimbangi dengan usaha dan upaya konservasi menyebabkan erosi dan sedimentasi. Serta menambah jumlah kategori luas lahan kritis di DAS. Terjadinya lahan-lahan kritis di DAS tidak saja menyebabkan penurunan produktivitas tanah, tetapi juga menyebabkan rusaknya fungsi hidrologis DAS. Berdasarkan data BPDAS Citanduy tahun 2012 luas lahan sangat kritis terbesar berada di wilayah kabupaten Ciamis seluas 1.090,08 ha dan luas lahan kritis seluas 6.118,57 ha. Wilayah kedua terbesar adalah kabupaten Cilacap dengan luas lahan sangat kritis seluas 700,29 Ha dan lahan kritis seluas 7.571,99 Ha. Berdasar data BPDAS 2012, beberapa kawasan sepanjang DAS Citanduy yang merupakan daerah rawan banjir meliputi Kota Banjar terdiri dari Kecamatan Purwaharja seluas 210 Ha, Kecamatan Pataruman seluas10 Ha. Kabupaten Ciamis meliputi Kecamatan Pamarican seluas 400 Ha, Kecamatan Banjarsari seluas 450 Ha, Kecamatan Lakbok seluas 800 Ha, Kecamatan Padaherang seluas 1.200 Ha, Kecamatan Kali pucang seluas 403 Ha. Di Kabupaten Cilacap meliputi Kecamatan Dayeuh luhur seluas 80 Ha,Kecamatan Wanareja seluas 750 Ha, Kecamatan Majenang seluas 300 Ha, Kecamatan Cipari seluas 260 Ha, Kecamatan Cimanggu seluas 20 Ha, Kecamatan Karangpucung seluas 10 Ha, Kecamatan Lumbir seluas 10 Ha, Kecamatan Kawunganten seluas 1.050Ha, Kecamatan Bantarsari seluas 700 Ha, Kecamatan Gandrungmangu seluas 500 Ha, Kecamatan Sidareja seluas 540 Ha, Kecamatan Kedungreja seluas 95 Ha, Kecamatan Patimuan seluas 300 Ha. III - 48

Berdasar data BPDAS Citanduy tahun 2012, akibat erosi dan sedimentasi menyebabkan terjadinya perubahan terhadap luasan Segara Anakan sebagai muara dari DAS Citanduy. Tahun 1903 luas Segara Anakan sebesar 6.450 Ha, pada tahun 1939 menyusut menjadi 6.060 Ha, tahun 1971 berkurang menjadi 4.290 Ha, tahun 1986 terus menyusut menjadi 2.700 Ha, tahun 1992 menjadi 1.800 Ha, tahun 2000 menjadi 600 ha, dapat dipastikan luas segara anakan pada tahun 2013 lebih kecil dibandingkan luas tahun 2000. Berdasar data BBWS 2012Di Wilayah Sungai Citanduy sering terjadi krisis ketersediaan air di beberapa wilayah tertentu mengingat kondisi sarana dan prasarana yang ada tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi. Dimana pada saat debit maksimum dapat terjadi banjir untuk kondisi lokasi lokasi yang rawan banjir, dan pada saat debit minimum dapat terjadi kekeringan. Sehingga perlu adanya strategi dalam pengelolaan Sumber Daya Air untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi di Wilayah Sungai Citanduy. Beberapa kawasan DAS Citanduy yang merupakan daerah rawan kekeringan KABUPATEN KECAMATAN DESA Cilacap a. Kedungreja Sidanegara (40 Ha) Cisumur (131 Ha) Gandrungmangu (43 Ha) Bulusari (30 Ha) Gandrungmanis (76 Ha) b. Sidareja Tegalsari (19 Ha) Margasari (11 ha) Sidamulya (7 Ha) Sidareja (32 Ha) Kunci (32 ha) Tinggarjaya (52 Ha) Karanganyar (31 ha) c. Patimuan Bulu Payung (290 Ha) Patimuan (69 Ha) Rawa Apu (303 Ha) Purwodadi (35 Ha) Sidamukti (388 Ha) Cimrutu (15 Ha) d. Lakbok Selatan Paledah (404 Ha) Sindangwangi (241,84 Ha) Sukanegara (496 Ha) Ciganjeng (174,79 ha) e. Lakbok Utara Sindang Angin (209,76 Ha) Tambakreja (190 Ha) f. Rawa Onom Randegan II ( 40 Ha) Sumber: BBWS Citanduy 2012 III - 49

6.3. Upaya yang Telah Dilakukan Upaya mengatasi masalah telah dan akan dilakukan oleh instansi terkait seperti Dinas Kehutanan, BBWS, BPDAS, BLH. Secara umum strategi dan arah penanganan masalah-masalah tersebut dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu aspek ekologis melalui rehabilitasi dan konservasi hutan dan lahan, aspek sosial ekonomi antara lain melalui pemberdayaan kelompok masyarakat /kelompok tani dalam kegiatan rehabilitasi dan konservasi, meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan /penataan kawasan Lindung DAS Citanduy. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bagi masyarakat melalui kegiatan vegetatif yaitu Rehabilitasi Kawasan Hutan, Hutan Rakyat, Rehabilitasi areal bakau/ pesisir, Penghijauan Kota/ Penghijauan Lingkungan, Turus Jalan. Serta kegiatan sipil teknis yaitu pembangunan Dam Penahan/ Pengendali, Pengendali Jurang (Gully- Plug), Sumur Resapan, Embung. Rencana pengembangan infrastruktur sumberdaya air, meliputi: pembangunan waduk Cibatarua di Kabupaten Garut, pembangunan waduk Lapangan Gagah Jurit, waduk Sukahurip, waduk Hyang, waduk Cikembang dan waduk Leuwikeris di Kabupaten Ciamis, dan Waduk Ciwulan di Kabupaten Tasikmalaya; rencana revitalisasi dan optimalisasi fungsi waduk dan danau/situ; Pengembangan infrastruktur pengendali banjir; Pembangunan Daerah Irigasi, Leuwigoong di Kabupaten Garut; dan Peningkatan kondisi jaringan irigasi. 7. DAS Citarum Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar dan terpanjang di Provinsi Jawa Barat, secara geografis berada pada 106 51 36-107 51 BT dan 7 19-6 24 LS. Daerah Aliran Sungai Citarum memiliki luas 661.015 Ha dengan panjang sungai utama 269 Km ini terdapat 12 Sub DAS yang terdiri dari Sub DAS Citarum Hilir, Sub DAS Cibeet, Sub DAS Cikaso, Sub DAS Cikundul, Sub DAS Cisokan, Sub DAS Cimeta, Sub DAS Cikapundung, Sub DAS Ciminyak, Sub DAS Ciwidei, Sub DAS Citarik/Cikeruh, Sub DAS Cisangkuy dan Sub DAS Citarum Hulu. DAS Citarum berbatasan dengan Laut Jawa dibagian utara, DAS Bekasi dan DAS Ciliwung dibagian barat, DAS Cibuni dan DAS Cimanuk di bagian selatan, DAS III - 50

Cimalaya dan DAS Cikarokrok di bagian timur seperti terlihat pada Gambar 3.31. DAS Citarum mencakup 10 Kabupaten dan 2 Kota dimana persentase luas kabupaten dan Kota dalam DAS paling besar berada pada Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi yaitu 100% wilayahnya berada pada DAS Citarum, menyusul Kota Bandung pada 90,02% dan kabupaten/kota lainnya seperti terlihat pada tabel persentase luas kabupaten dalam DAS Ciatrum. Sedangkan kabupaten yang berpengaruh sangat besar dilihat dari luas daerah dalam DAS terbesar adalah Kabupaten Bandung yaitu sebanyak 40,10%. Gambar 3.31. Peta Batas DAS Citarum Gambar 3.32. Peta Administrasi DAS Citarum Tabel 3.35. Presentase Luas Kabupaten/Kota dalam DAS Citarum KABNAME LUAS (ha) (%) Bandung 265.101 40,10% Bekasi 46.752 7,07% Bogor 43.828 6,63% Cianjur 130.278 19,71% Garut 1.718 0,26% Karawang 76.041 11,50% Kota Bandung 15.093 2,28% Kota Cimahi 4.064 0,61% Purwakarta 65.205 9,86% Subang 77 0,01% Sukabumi 168 0,03% Sumedang 12.736 1,93% III - 51

7.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik DAS Citarum terdiri dari 9 satuan ekoregion yaitu satuan Dataran Fluvial Jawa, Dataran Pantai Utara Jawa, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa, Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Citarum dapat dilihat pada Gambar peta ekoregion DAS Citarum. Gambar 3.33. Peta Ekoregion DAS Citarum Gambar 3.34. Peta Jenis Tanah DAS Citarum Ekoregion terluas terdapat pada Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung yaitu seluas 158.616 Ha (23.99%) menyusul Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang yaitu seluas 154.358 Ha (23.34%). Masingmasing luasan ekoregion dalam DAS Citarum dapat dilihat pada table ekoregion DAS Citarum. III - 52

Tabel 3.36. Satuan Ekoregion DAS Citarum NAMA KODE LUAS (ha) (%) 17.758 2,69% Dataran Fluvial Jawa F 71.762 10,85% Dataran Pantai Utara Jawa M1 8.830 1,34% Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V3 75.597 11,43% Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S11 8.355 1,26% Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 94.807 14,34% Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng - Rembang K2 4.503 0,68% Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S21 66.620 10,08% Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S22 154.358 23,34% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 158.616 23,99% Jenis tanah pada DAS Citarum sangat bervariasi yaitu terdiri dari 29 jenis tanah dimana jenis tanah Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat menempati luasan yang tertinggi yaitu 83.060Ha (12,57%) dan menyusul jenis tanah Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat dengan luas 69.594 Ha (10,53%). Untuk melihat sebaran jenis tanah pada DAS Citarum dapat dilihat pada Gambar 3.34. Tabel 3.37. Luas Masing-Masing Jenis Tanah DAS Citarum MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Aluvial Coklat Kelabu 50.810 7,69% Aluvial Hidromorf 3.771 0,57% Aluvial Kelabu Tua 13.603 2,06% Andosol Coklat 21.405 3,24% Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat 69.594 10,53% Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 83.060 12,57% Asosiasi Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu 7.303 1,10% Asosiasi Glei Humus dan Aluvial Kelabu 8.371 1,27% Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Cokl 17.355 2,63% Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu 2.796 0,42% Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan d 19.248 2,91% Asosiasi Podsolik Kuning dan Hidromorf Kelabu 8.969 1,36% Grumusol Kelabu 648 0,10% Grumusol Kelabu Tua 5.705 0,86% Kompleks Grumusol, Regosol dan Mediteran 35.574 5,38% Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat 30.922 4,68% Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat, 12.271 1,86% Kompleks Latosol Merah dan Latosol Coklat Kemeraha 36.973 5,59% Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol 3.247 0,49% III - 53

MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kunin 59.511 9,00% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 11.622 1,76% Kompleks Regosol dan Litosol 2.549 0,39% Kompleks Resina, Litosol Batukapur dan Brown Fores 2.372 0,36% Latosol Coklat 69.289 10,48% Latosol Coklat Kekuningan 5.048 0,76% Latosol Coklat Kemerahan 14.779 2,24% Latosol Coklat Tua Kemerahan 52.174 7,89% Podsolik Kuning 12.033 1,82% Regosol Kelabu 14 0,00% Penggunaan lahan pada DAS Citarum dibagi ke dalam 12 penggunaan lahan yaitu Hutan Primer, Hutan Sekunder, Kebun Campuran, Perkebunan, Permukiman, Rawa, Sawah, Semak/Belukar, Tambak/Empang, Tanah Terbuka, Tegalan/Ladang dan Tubuh Air. Penggunaan lahan untuk sawah menempati luasan terbesar yaitu 226.537 Ha (34,26%) menyusul tegalan/ladang 107.863 Ha (16,31%). Sebaran penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 3.35. sementara luasan tiap-tiap penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 3.38. Tabel 3.38. Penggunaan Lahan di DAS Citarum LC_2011 LUAS (ha) (%) Hutan Primer 5.430 0,82% Hutan Sekunder 43.726 6,61% Kebun Campuran 94.124 14,24% Perkebunan 75.576 11,43% Permukiman 60.372 9,13% Rawa 428 0,06% Sawah 226.537 34,26% Semak/Belukar 11.837 1,79% Tambak/Empang 11.530 1,74% Tanah Terbuka 6.099 0,92% Tegalan/Ladang 107.863 16,31% Tubuh Air 17.684 2,67% Gambar 3.35. Peta Penggunaan Lahan DAS Citarum III - 54

b. Karaktreistik Sosial Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Citarum tahun 2012 kurang lebih adalah 11.508.480jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Barat. Dengan luas DAS sebesar 719.406 Ha, maka kepadatan penduduk di DAS Citarum adalah 16 Jiwa/Ha atau sekitar 1.600 Jiwa/Km 2. Pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk pada DAS Citarum dapat dilihat pada table perkiraan jumlah penduduk DAS Citarum. Tabel 3.38. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Citarum Tahun 2012 Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk DAS 2012 Jawa Barat Bandung 100,00% 3.178.543 2,57 3.344.020 Jawa Barat Bekasi 53,75% 2.630.401 4,7 1.549.998 Jawa Barat Bogor 12,84% 4.771.932 3,15 651.888 Jawa Barat Cianjur 34,23% 2.171.281 1,11 759.880 Jawa Barat Garut 1,32% 2.404.121 1,61 32.838 Jawa Barat Karawang 75,04% 2.127.791 1,17 1.634.374 Jawa Barat Kota Bandung 90,02% 2.394.873 1,16 2.206.135 Jawa Barat Kota Cimahi 100,00% 541.177 2,06 563.703 Jawa Barat Purwakarta 76,05% 852.521 2,01 674.646 Jawa Barat Subang 0,04% 1.465.157 0,98 625 Jawa Barat Sukabumi 0,10% 2.341.409 1,22 2.504 Jawa Barat Sumedang 7,84% 1.093.602 1,23 87.869 Total 11.508.480 7.2. Permasalahan Lingkungan Permasalahan lingkungan DAS Citarum terbagi ke dalam 6 permasalahan yaitu sosial ekonomi, perubahan tata guna lahan, lahan kritis, pencemaran, banjir, kehati dan abrasi. Permasalahan yang terjadi di DAS Citarum pada dasarnya diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali yang berakibat pada meningkatnya eksploitasi ruang dan sumber daya alam. Penduduk di Cekungan Bandung tumbuh pada kisaran 3% pertahun, sebagai pengaruh migrasi ke daerah dengan pertumbuhan yang cepat. Berdasarkan Land-use change Urbanization (ADB-Package B) 2000 2025 in JanJaap Brinckman, Deltares 2010, diprediksi pengembangan perkotaan tahun 2025 adalah 50% penduduk tinggal di urban. III - 55

Tingginya tekanan kependudukan ini menyebabkan terjadinya peningkatan lahan kritis akibat perubahan tata guna lahan sehingga Citarum termasuk DAS utama di Jawa Barat yang memiliki luasan lahan kritis yang tinggi. Dimana tahun 2000-2009 telah terjadi laju penurunan luas hutan sebesar 86%, laju peningkatan kawasan permukiman sebesar 115 (Sumber : BPDAS CC dan BBWS) dan masih tersisa lahan kritis seluas 117.246,52 ha Sumber : BPLHD, 2012). Lahan kritis DAS Citarum terdiri dari agak kritis dengan luas 23.200,3 Ha, potensial kritis dengan luas 54.115,6 Ha, kritis dengan luas 36.505,07 Ha dan sangat kritis dengan luas 3.429,7 Ha (Sumber : BPLHD, 2012). Dampak dari lahan kritis adalah terjadinya sedimentasi dengan laju sedimentasi sebesar 112,3 juta ton/tahun dan mengendap di bendungan Saguling 2,8 juta ton/tahun (BPDAS CC, 2010). Untuk sumber pencemaran organik sungai Citarum adalah berasal dari limbah domestic, industry, pertanian dan peternakan dimana limbah domestic dan industry lebih mendominasi (Sumber : RIRW). Produksi sampah DAS Citarum tahun 2013 adalah 500.000 m3 (BBWS Citarum,2013). Sementara hasil pemantauan tahun 2012, nilai coli dan COD rata-rata berada di atas Baku Mutu. Pencemaran limbah pertanian berasal dari petani yang cenderung menggunakan pestisida untuk membasmi hama dimana 76% petani menggunakan pestisida secara berlebihan dan 89,2% petani tidak membuang wadah pestisida secara benar (BPLHD 2004). Pencemaran limbah peternakan diakibatkan dari sekitar 1.800 ton kotoran hewan berpotensi masuk ke sungai setiap hari (KPBS, 2010). Daerah banjir Citarum hulu berada pada daerah banjir Bandung Selatan yaitu daerah Ciputat, Citepus, Cieunteung dan Parung halang. Sementara daerah banjir Citarum hilir seperti terjadi pada banjir Karawang 2013 dimana 16.587 rumah tergenang dan 50.813 jiwa terdampak. Sementara permasalahan kehati dan abrasi berdampak kepada kerusakan mangrove, berkurangnya habitat burung, mamalia, dan ikan serta abrasi garis pantai.untuk memudahkan identifikasi terhadap semua permasalahan yang ada di Daerah Aliran Sungai Citarum tersebut, maka DAS Citarum dibagi menjadi 3 zona wilayah yaitu Zona Citarum Hulu (Hulu sungai di Gunung Wayang Ujung Saguling), Zona Citarum Tengah (Saguling Cirata Jatiluhur) dan Zona Citarum Hilir (Citarum Hilir Muara Citarum) III - 56

Permasalahan di Zona Citarum Hulu Permasalahan di daerah Citarum Hulu disebabkan oleh berkurangnya fungsi kawasan lindung (hutan dan non hutan), berkembangnya permukiman tanpa perencanaan yang baik, dan budi daya pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi yang menyebabkan banyaknya lahan kritis, kadar erosi yang semakin tinggi yang mengakibatkan sedimentasi di palung sungai, waduk, bahkan masuk ke jaringan prasarana air. Zona Citarum Hulu memiliki potensi erosi lahan sebesar 112,35 juta ton/tahun dimana wilayah yang sangat buruk berada pada Sub DAS Cirasea, Ciwidey dan Cisangkuy sementara wilayah yang buruk adalah pada Sub DAS Ciminyak, Cikapundung, Citarik, Cihaur dan Cikeruh (BPDAS CC). Sungai tercemar limbah permukiman, industri dan pertanian karena perilaku masyarakat. Baik industri ataupun rumah tangga yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan air limbah dikarenakan pengelolaan limbah belum tertata dengan baik sehingga sungai Citarum dominan akan genangan banjir, sampah, dan limbah industri dan domestik. Permasalahan utama lainnya di bagian hulu DAS Citarum meliputi degradasi fungsi konservasi sumber daya air seperti luas lahan kritis mencapai 26.022,47 ha, yang mengakibatkan run off aliran permukaan sebesar 3.632,50 juta m 3 /tahun serta sedimentasi sebesar 7.898,59 ton/ha. III - 57

Permasalahan lainnya adalah tingkat pengambilan air tanah yang diluar kendali dimana sebagian besar pengambilan air tanah tidak teregistrasi. Diperkirakan pengambilan air tanah mencapai tiga kali lipat dari jumlah yang dilaporkan oleh pemerintah. Diperkirakan 90 % penduduk dan 98 % industri di Cekungan Bandung menggantungkan kebutuhan air sehari - hari pada air tanah. Pengambilan air tanah yang berlebih dan tidak terkendali dapat mengakibatkan penurunan muka tanah dan kerusakan struktur pada bangunan gedung serta memperbesar potensi daerah rawan banjir.semua permasalahan di Citarum Hulu tersebut berakibat hampir setiap tahun luapan Sungai Citarum menyebabkan banjir. Banjir-banjir besar di Bandung dan sekitarnya tercatat pada tahun 1931, 1945, 1977, 1982, 1984, 1986, 1998, 2005, 2010 dan akan tetap terjadi pada tahun berikutnya bila tidak segera dilakukan penanganan. Permasalahan di Zona Citarum Tengah Zona Citarum tengah juga masih terlihat potensi erosi lahan dimana terjadi pada daerah tangkapan air waduk Cirata dengan erosi lahan sebesar 16,5 juta ton/tahun. Erosi lahan sangat buruk banyak ditemukan di sekitar bantaran sungai Cimeta, bagian hulu Sub DAS Cimeta dan Cikundul (BPDAS CC). Tingginya pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung berdampak terhadap bertambahnya pembuangan limbah domestik tanpa pengolahan, pembuangan sampah dan limbah industri yang menambah beban pencemaran ke Sungai Citarum. Berdasarkan PD Kebersihan Kota Bandung rata-rata produksi sampah sebesar 6.500 m3/hari, dimana1.500 m3 diantaranya tidak dikumpulkan dan dibuang secara benar. Dengan demikian sampah yang tidak terkumpul dengan benar akan masuk ke sistem drainase dan sungai sebesar 500.000 m 3 pertahun. Berdasarkan kantor pengelola Waduk Saguling diperkirakan jumlah sampah yang masuk ke Waduk Saguling adalah sebesar 250.000 m 3 per tahun.kualitas air yang masuk ke Waduk Saguling memiliki rata-rata kandungan BOD lebih dari 300 mg/liter. Pada tahun 2004 dilaporkan konsentrasi BOD sebanyak 55 mg/liter dan meningkat menjadi 130 mg/liter pada musim kemarau. Pencemaran waduk akibat sampah rumah tangga, sampah padat, dan industri, serta adanya penambangan pasir menyebabkan terjadinya pendangkalan waduk III - 58

akibat adanya sedimentasi. Selain itu, maraknya usaha keramba jaring apung memperburuk pencemaran air di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang disebabkan oleh pemberian makanan ikan jarring apung yang tidak tepat dan berlebihan sehingga menambah beban limbah yang menumpuk di dasar waduk serta membahayakan kelangsungan instalasi PLTA akibat korosif. Permasalahan di Zona Citarum Hilir Zona Citarum hilir juga masih terlihat potensi erosi lahan sebesar 112,85 juta ton/tahun. Potensi sangat jelek banyak ditemukan di bagian hulu Sub DAS Cikao dan Cibeet. Di Sub DAS Citarum hilir banyak terdapat lahan terbangun dan persawahan (Sumber : BPDAS CC). Permasalahan di Citarum Hilir dikarenakan banyaknya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi permukiman akibat berkembangnya permukiman tanpa perencanaan yang baik. Terjadinya degradasi prasarana pengendali banjir, menurunnya fungsi prasarana jaringan irigasi, kurangnya prasarana pengendali banjir di muara, dan terjadinya abrasi pantai di muara. Semua hal tersebut menyebabkan daerah Citarum Hilir pun merupakan daerah rawan banjir. Banjir terakhir yang terjadi di bagian hilir Sungai Citarum disebabkan oleh curah hujan tinggi yang berlangsung terus menerus, Waduk Jatiluhur tidak mampu menampung debit banjir sehingga limpas di pelimpah dengan tinggi maksimum 141 cm. akibatnya aliran keluar dari waduk mengalir ke Sungai Citarum adalah sebesar 700 m3 /detik. Bersamaan dengan meluapnya Sungai Cikao di Purwakarta mengakibatkan banjir Sungai Cibeet di Karawang yang mengalir ke Sungai Citarum, sehingga alur Sungai Citarum di Karawang tidak mampu lagi menampung debit banjir dari hulu, sehingga terjadi banjir di Teluk jambe, Karawang Kulon, Karawang Wetan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi. 7.3. Upaya yang Telah Dilakukan Solusi penanganan DAS Citarum dilakukan melalui pendekatan struktural dan non-struktural serta sosio-kultural simultan hulu-hilir dengan sinergi multi sector bersama masyarakat secara terintegrasi dalam wadah koordinasi badan strategis pengelolaan DAS Citarum. Pendekatan non-struktural meliputi manajemen hulu DAS, penataan ruang, pengendalian erosi dan alih fungsi lahan, III - 59

perijinan pemanfaatan lahan, pemberdayaan masyarakat kawasan hulu, manajemen daerah rawan banjir, sistem peringatan dini ancaman dan evakuasi banjir, peningkatan kapasitas kelembagaan dan partisipasi masyarakat untuk penanggulangan banjir, pengendalian penggunaan air tanah, pengelolaan dan perbaikan kualitas air sungai. Pendekatan struktural meliputi normalisasi sungai, tanggul penahan banjir, kolam penampungan banjir, sistem polder dan sumur-sumur resapan,pembangunan waduk dan embung, penyediaan prasarana air baku, pengembangan sistim penyediaan air minum dan air kotor, rehabilitasi jaringan irigasi, pengembangan pembangkitan tenaga listrik.sejak beberapa tahun lalu, sejumlah instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat berpartisipasi dalam serangkaian dialog yang menghasilkan Citarum Roadmap yaitu suatu rancangan strategis berisi hasil identifikasi program-program utama untuk meningkatkan sistem pengelolaan sumber daya air terpadu dan memperbaiki kondisi di sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum. 8. DAS Progo Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo merupakan kesatuan ekosistem yang meliputi wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas DAS Progo mencapai 245.854 ha. DAS Progo terdiri dari 5 Sub DAS yaitu Sub DAS Krasak, Sub DAS Tingal, Sub DAS Tangsi, Sub DAS Elo dan Sub DAS Bedog. Secara geografis Das Progo terletak pada 109 o 59 ' BT - 110 o 291 ' BT dan 07 o 12 ' LS - 08 o 04 ' LS. Batas DAS Progo sebelah utara berbatasan dengan DAS Bodri, sebelah timur berbatasan dengan DAS Tuntang, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan sebelah barat berbatasan dengan DAS Bogowonto dan DAS Serang seperti terihat pada Gambar 3.36. DAS Progo mencakup 11 Kabupaten/kota, diantaranya adalah Kab. Bantul, Kab. Boyolali, Kota Magelang, Kab. Kota Yogyakarta, Kab. Kulon Progo, Kab. Magelang, Kab. Purworejo, Kab. Semarang, Kab. Sleman, Kab. Temanggung dan Kab. Wonosobo seperti terlihat pada Gambar 3.37. untuk lebih jelasnya, presentase luas masing-masing kabupaten/kota terhadap luas DAS tersaji pada Tabel 3.39. III - 60

Gambar 3.36. Peta Batas DAS Progo Gambar 3.37. Peta Administrasi DAS Progo Tabel 3.39. Presentase Masing-Masing Kabupaten/Kota dalam DAS Progo KABNAME LUAS (ha) (%) Bantul 12.133 4,94% Boyolali 3.135 1,28% Kota Magelang 963 0,39% Kota Yogyakarta 27 0,01% Kulon Progo 35.013 14,25% Magelang 109.353 44,49% Purworejo 188 0,08% Semarang 2.124 0,86% Sleman 23.917 9,73% Temanggung 58.282 23,71% Wonosobo 647 0,26% 8.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik DAS Progo terdiri dari 10 satuan ekoregion yaitudataran Fluvial Jawa, Dataran Pantai Selatan Jawa, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Perbukitan Denudasional Jawa, Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - Gunungsewu Blambangan, Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa, Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng III - 61

Rembang, Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Progo dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 3.38. Peta Ekoregion DAS Progo Gambar 3.39. Peta Jenis Tanah DAS Progo Ekoregion terluas terdapat pada Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung yaitu seluas 124.924 Ha (50.81%) menyusul Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung yaitu seluas 39.907 Ha (16.23%). Masingmasing luasan ekoregion dalam DAS Progo dapat dilihat pada Tabel 3.40. Tabel 3.40. Satuan Ekoregion DAS Progo LUAS NAMA KODE (%) (ha) Dataran Fluvial Jawa F 7.630 3,10% Dataran Pantai Selatan Jawa M2 1.370 0,56% Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V3 39.907 16,23% Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S11 11.644 4,74% Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 33.422 13,59% Perbukitan Denudasional Jawa D2 17.796 7,24% Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - K1 362 0,15% Gunungsewu - Blambangan Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S21 3.132 1,27% Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S22 5.668 2,31% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 124.924 50,81% III - 62

Jenis tanah pada DAS Progo sangat bervariasi yaitu terdiri dari 18 jenis tanah dimana jenis tanah Asosiasi Mediteran Coklat Litosol menempati luasan yang tertinggi yaitu 71.946 Ha (29,33%) dan menyusul jenis tanah Regosol Coklat Kekelabuan dengan luas 36.359 Ha (14,82%). Untuk melihat sebaran jenis tanah pada DAS Progo dapat dilihat pada gambar peta jenis tanah DAS Progo. Tabel 3.41. Luas Jenis Tanah di DAS Progo MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Mediteran Coklat Kemerahan dan Grumusol Kelabu 1.277 0,52% Aluvial Coklat Kekelabuan 14.057 5,73% Aluvial Kelabu dan Aluvia Coklat Kekelabuan 10.357 4,22% Andosol Coklat 10.649 4,34% Andosol Coklat dan Latosol Coklat Kemerahan 2.469 1,01% Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 20 0,01% Asosiasi Mediteran Coklat Litosol 71.946 29,33% Grumusol Kelabu 6.220 2,54% Kompleks Andosol Kelabu Tua dan Litosol 1.371 0,56% Kompleks Grumusol Hitam dan Litosol 3.710 1,51% Kompleks Litosol, Mediteran dan Renzina 10.089 4,11% Kompleks Regosol Kelabu dan Grumusol Kelabu Tua 6.140 2,50% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 19.451 7,93% Kompleks Regosol dan Litosol 6.273 2,56% Latosol Coklat 33.837 13,79% Mediteran Merah Tua dan Regosol 10.092 4,11% Regosol Coklat Kekelabuan 36.359 14,82% Regosol Kelabu 975 0,40% Penggunaan lahan pada DAS Progo dibagi ke dalam 9 penggunaan lahan yaitu Hutan Sekunder, Kebun Campuran, Perkebunan, Permukiman, Sawah, Semak/Belukar, Tanah Terbuka, Tegalan/Ladang. Penggunaan lahan untuk tegalan/ladang menempati luasan terbesar yaitu 83.509 Ha (33,97%) menyusul penggunan lahan untuk sawah yaitu 71.254 Ha (28,98%). Sebaran penggunaan lahan dapat dilihat pada gambar peta penggunaan lahan, sementara luasan tiap-tiap penggunaan lahan dapat dilihat pada table penggunaan lahan DAS Progo. III - 63

Tabel 3.42. Luas Penggunaan Lahan DAS Progo LC_2011 LUAS (ha) (%) Hutan Sekunder 17.327 7,05% Kebun Campuran 17.365 7,06% Perkebunan 4.295 1,75% Permukiman 47.537 19,34% Sawah 71.254 28,98% Semak/Belukar 2.138 0,87% Tanah Terbuka 1.490 0,61% Tegalan/Ladang 83.509 33,97% Tubuh Air 940 0,38% Gambar 3.40. Peta Penggunaan Lahan DAS Progo b. Karakteristik Sosial Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Progo tahun 2012 kurang lebih adalah 3.336.814jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan luas DAS sebesar 245.854 Ha, maka kepadatan penduduk di DAS Progo adalah 14 Jiwa/Ha. Pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk pada DAS Progo dapat dilihat pada table perkiraan jumlah penduduk DAS Progo. Tabel 3.43. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Progo Tahun 2012 Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk DAS Tahun 2012 DIY Bantul 48,19% 911.503 1,55 452.997 DIY Kota Yogyakarta 66,64% 388.627-0,22 257.856 DIY Kulon Progo 64,96% 388.869 0,47 254.997 DIY Sleman 52,19% 1.093.110 1,92 592.581 Jawa Tengah Boyolali 1,29% 930531 0,27 12.058 Jawa Tengah Kota Magelang 59,96% 118227-0,05 70.824 III - 64

Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk DAS Tahun 2012 Jawa Tengah Magelang 98,00% 1181723 0,62 1.172.439 Jawa Tengah Purworejo 0,65% 695427-0,24 4.476 Jawa Tengah Semarang 1,21% 930727 1,02 11.474 Jawa Tengah Temanggung 69,21% 708546 0,59 496.166 Jawa Tengah Wonosobo 1,45% 754883 0,15 10.947 Total 3.336.814 8.2. Permasalahan Lingkungan Permasalahan lingkungan di DAS Progo meliputi: Permasalahan erosi : Tingkat erosi di DAS Progo terdiri dari tingkatan sedang, agak tingi, tinggi dan sangat tinggi. Tingkat erosi dengan kriteria agak tinggi menempati luasan tertinggi yaitu 372,66 km 2 tingkat erosi sedang dengan luas 116,35 km 2 (4,78%) (BPDAS). (15,30%) menyusul kriteria Permasalahan banjir : Banjir terjadi di 12 kecamatan, 23 Desa. Terutama di wilayah kab. Kulonprogo & kab. Bantul. Total genangan 12.437 Ha (Dinas PU). Permasalahan kekeringan : Kekeringan terjadi di 14 Kecamatan, 47 Desa. Terutama di (Sumber : Dinas PU). wilayah Kabupaten Gunungkidul, Sleman, dan Kulon Progo Permasalahan lahan kritis : Lahan kritis di DAS Progo terdiri dari agak kritis, kritis dan sangat kritis. Untuk lahan sangat kritis terdapat di Kabupaten Boyolali dengan luas 88,33 Ha, Kabupaten Magelang dengan luas 335,77 Ha dan Kabupaten Sleman dengan luas 38,18 Ha. Sementara dari total luas lahan kritis, Kabupaten Magelang adalah yang menempati luasan lahan kritis yang terluas yaitu 33.103,24 Ha, menyusul Kabupaten Temanggung yaitu 20.948,10 Ha dan kabupaten Kulonprogo yaitu 10.303,07 Ha (BPDAS). Pelanggaran terhadap sempadan sungai dan irigasi, Penambangan bahan mineral, Kemiskinan dan kerawanan pangan pada wilayah hulu, Pertumbuhan penduduk tinggi, Kontaminasi bahan organik dari pasar kota dan permukiman sepanjang sungai.limbah industri dari jenis industri pabrik gula, tepung tapioka, pabrik tekstil, pabrik susu, pabrik tahu dan kecap. Lahan pertanian yang menghasilkan sisa pupuk dan pestisida hanyut terbawa air ke sungai. III - 65

8.3. Upaya yang Telah Dilakukan Dalam pengendalian tata air DAS, upaya yang dilakukan dengan : Meningkatkan fungsi sarana dan prasarana konservasi sumber daya air untuk kelestarian air dan sumber air; Pengelolaan lahan kritis secara sipil teknis sederhana, gully plug, rorak, secara vegetatif serta sistem agronomi dan managemen lahan; Rehabilitasi Hutan dan Lahan; Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam. Dalam pengembangan kondisi lahan yang produktif sesuai daya dukung dan daya tampung secara berkelanjutan, upaya yang dilakukan dengan : Koordinasi dan fasilitasi dalam rangka sinkronisasi dan sinergitas antara RTRWN, RTRW Provinsi Jawa Tengah dan RTRW Kab/Kota (Jateng dan DIY) Pendekatan pengembangan dan pengelolaan wilayah sungai berbasis penataan ruang, yang sinergis antar sektor, antar daerah dan antar pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat dan swasta) Optimalisasi peningkatan kesadaran para pihak atas rencana tata ruang melalui pendekatan normatif dan partisipatif Meningkatkan kerjasama dan sinergitas perencanaan pembangunan antar daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi Mengembangkan perencanaan wilayah strategis dan cepat tumbuh Pengembangan komoditas pertanian dalam arti luas, penataan fisik lahan dan lingkungan sosial masyarakat Dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, upaya yang dilakukan dengan : Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan Peningkatan produksi hasil hutan non kayu untuk kesejahteraan masyarakat sekitar hutan Fasilitasi dan sosialisasi pengembangan Penyuluhan dalam paket teknologi pembangunan kehutanan III - 66

Mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia, membangun kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk berperan aktif dalam penanganan dan melakukan kontrol sosial terhadap pengelolaan lingkungan Peningkatan dukungan swadaya masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup Peningkatan pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat Dalam pengembangan kelembagaan masyarakat, upaya yang dilakukan dengan Koordinasi lintas sektor dan dengan lembaga non formal lainnya Penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat pedesaan, perkotaan dalam basis sistem agrobisnis Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Mengendalikan kerusakan lingkungan melalui upaya pengawasan dan penegakan hukum lingkungan serta fasilitasi penanganan pemulihan kerusakan lingkungan Membangun kerjasama keterpaduan dengan stakeholders untuk menangani sumber penyebab permasalahan lingkungan 9. DAS Serayu DAS Serayu terletak dibagian selatan Jawa Tengah dengan luas sebesar 373.800ha. Secara geografis berada pada koordinat 07 o 05-07 o 4 LS dan 108 o 56-110 o 05 BT. DAS Serayu berbatasan dengan Rangkaian Gunung api Sumbing dan Gunung api Sindorodi sebelah timur, sebelah utara berbatasan dengan Pegunungan Besar, pegunungan Rogojembangan, Gunungapi Slamet, sebelah selatan berbatasan dengan Pegunungan Serayu Selatan dan sebelah barat berbatasan dengan Perbukitan yang melintang sepanjang perbatasan Banyumas dan Cilacap. DAS Serayu mencakup 13 kabupaten yang terdiri dari 5 kabupaten dengan persentase besar dan 8 kabupaten lain dengan persentasi luas yang lebih kecil. Secara lebih rinci, besarnya persentase luas kabupaten yang masuk dalam DAS Serayu terlihat pada Tabel berikut: III - 67

Tabel 3.42. Persentase Luas Kabupaten dalam DAS Serayu No Provinsi Kabupaten Luas Kabupaten (Ha) Luas Kab. dalam DAS (Ha) % luas dalam DAS 1 Jawa tengah Banjarnegara 102.373 102.373 100,00% 2 Jawa tengah Purbalingga 67.755 67.755 100,00% 3 Jawa tengah Banyumas 133.530 115.962 86,84% 4 Jawa tengah Wonosobo 98.141 52.587 53,58% 5 Jawa tengah Cilacap 212.447 17.950 8,45% 6 Jawa tengah Pemalang 111.803 863 0,77% 7 Jawa tengah Brebes 190.237 1.043 0,55% 8 Jawa tengah Kebumen 121.174 414 0,34% 9 Jawa tengah Pekalongan 83.700 211 0,25% 10 Jawa tengah Batang 78.865 72 0,09% 11 Jawa tengah Temanggung 83.771 23 0,03% 12 Jawa tengah Tegal 87.610 6 0,01% 13 Jawa tengah Kendal 111.813 8 0,01% Sumber : Analisis data PPE Jawa, 2013 Gambar 3.40. Peta Admisnitrasi DAS Serayu III - 68

9.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik Gambar 3.41. Peta Administrasi DAS Serayu DAS Serayu terdiri dari 7 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa, Dataran Pantai Selatan Jawa, Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Pegunungan Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Serayu dapat dilihat pada Gambar peta ekoregion DAS Serayu. Tabel 3.43. Satuan Ekoregion DAS Serayu NAMA KODE LUAS (ha) (%) Dataran Fluvial Jawa F 81.612 21,83% Dataran Pantai Selatan Jawa M2 3.301 0,88% Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S32 1.080 0,29% Pegunungan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S12 50.780 13,58% Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V1 46.764 12,51% Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S22 120.230 32,16% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V2 70.034 18,74% III - 69

Gambar 3.42. Peta Ekoregion DAS Serayu Satuan-satuan tanah yang ada di DAS Serayu menurut Mangunsukardjo (1984) adalah sebagai berikut : a. Aluvialberasal dari proses pengendapan dengan periode yang berbeda. Macammacam tanah aluvial di DAS Serayu adalah Aluvial Hidromorf, Aluvial Kelabu Kekuningan dan Aluvial Coklat Kelabu Gelap. b. Regosol berasal dari bahan induk yang baru diendapkan atau karena ada prosesproses geomorfologi yang bekerja intensif sehingga proses pembentukan tanah tidak berlangsung. Regosol di DAS Serayu berkembang di tepian pantai dan di kerucut Gunung api Slamet, Sumbing, dan Sindoro. c. Litosol merupakan tanah yang tipis dengan solum < 50 cm dan mengalami kontak langsung dengan batuan induk yang keras yang ada di bawahnya. d. Andosols merupakan tanah yang terbentuk dari bahan induk abu gunung api. Tanah ini berwarna hitam kelam seperti arang sebagai akibat dari pelapukan dari material abu gunungapi yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan tingkat pelapukan ini adalah sebagai akibat dari suhu yang cenderung sejuk-dingin dengan curah hujan yang merata sepanjang tahun. III - 70

e. Latosolmerupakan tanah yang telah berkembang dibawah pengaruh iklim yang basah dengan membetuk profil tanah yang dalam. Latosol terbentuk pada bahan induk volkanik yang terletak pada kondisi relief yang memungkinkan terbentuknya drainase baik. Latosol merupakan tanah yang potensial untuk pengembangan pertanian, namun juga menyimpan potensi erosi yang besar sebagai akibat dari posisinya pada lereng-lereng perbukitan dan pegunungan. f. Grumusol merupakan tanah lempungan yang mempunyai daya kembang kerut tinggi sebagai akibat dari adanya tipe lempung smectite. Lempung tipe ini adalah spesifik terbentuk di bawah iklim tropik. Persebaran Grumusol di daerah kajian terdapat di bagian hilir dari Sungai Klawing, Pekacangan dan Merawu. g. Podsolik Merah Kuning (PMK) merupakan tanah yang telah berkembang sangat lanjut dengan hanya menyisakan unsur-unsur resisten dan sedikit unsur besi yang memberikan warna merah kekuningan PMK merupakan tanah yang kurang produktif sebagai akibat dari miskinnya kandungan unsur hara dan tingkat kelolosan air yang tinggi. Sebaran jenis tanah berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Puslitbangtanak terlihat pada Gambar 3.43. sedangkan luasan masing-masing jenis tanah disajikan pada tabel 3.45. Gambar 3.43. Peta Jenis Tanah DAS Serayu III - 71

Tabel 3.45. Luas Masing-Masing Jenis Tanah DAS Serayu MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Aluvial Coklat Kekelabuan 17.313 4,63% Aluvial Hidromorf 2.389 0,64% Aluvial Kelabu Kekuningan 18.673 5,00% Aluvial Kelabu dan Aluvia Coklat Kekelabuan 14.810 3,96% Andosol Coklat Kekuningan 7.745 2,07% Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 36.707 9,83% Asosiasi Mediteran Coklat Litosol 47.255 12,65% Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu 77 0,05% Glei Humus dan Aluvial Kelabu 7.593 2,03% Grumusol Hitam 44.211 11,83% Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol 33.218 8,89% Kompleks Mediteran Merah dan Litosol 14.228 3,81% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 18.306 4,90% Kompleks Regosol dan Litosol 837 0,22% Latosol Coklat 41.363 11,07% Latosol Coklat Kemerahan 34.318 9,19% Litosol 2.728 0,73% Mediteran Merah Tua dan Regosol 26.163 7,00% Organosol Eutrop 2.732 0,73% Regosol Coklat 1.308 0,35% Regosol Kelabu 1.498 0,40% Penggunaan lahanberdasarkan data Menuju Indonesia Hijau (MIH) 2011, DAS Serayu dibedakan menjadi10 kelas penggunaan lahan yaitu hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, perkebunan, permukiman, sawah, semak/belukar, tanah terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh air. Penggunaan lahan DAS Serayu sebagian besar merupakan tegalan/ladang yang mencakup kawasan seluas 141.223 Ha atau meliputi 37.78%. Tutupan lahan terbesar kedua adalah sawah seluas 78.191 Ha atau 20,92 %. Berikut ini disajikan Tabel penggunaan lahan di DAS Serayu serta Gambar sebaran penggunaan lahan DAS Serayu. Tabel 3.45. Penggunaan Lahan DAS Serayu LC_2011 LUAS (ha) (%) Hutan Primer 11.456 3,06% Hutan Sekunder 32.096 8,59% Kebun Campuran 45.692 12,22% Perkebunan 20.572 5,50% Permukiman 40.473 10,83% LC_2011 LUAS (ha) (%) Sawah 78.191 20,92% Semak/Belukar 1.221 0,33% Tanah Terbuka 162 0,04% Tegalan/Ladang 141.223 37,78% Tubuh Air 2.713 0,73% III - 72

Gambar 3.44. Peta Penggunaan Lahan DAS Serayu b. Karakteristik Sosial Jumlah penduduk DAS Serayu pada tahun 2012 diperkirakan sebanyak 3.637.429 jiwa. Jumlah tersebut dihitung dengan menggunakan data jumlah penduduk kabupaten/kota tahun 2010 yang diproyeksikan pada masing-masing kabupaten yang terdapat dalam DAS dengan mempertimbangkan luas kabupaten/kota dalam DAS tersebut. Banyaknya jumlah penduduk DAS di masing-masing kabupaten terdapat pada Tabel di bawah ini. Berdasarkan klasifikasi kepadatan penduduk dalam undang-undang nomor 56/PRP/1960 kepadatan penduduk DAS Serayu termasuk dalam kategori sangat padat yaitu sebesar 973 jiwa/km 2. Tabel 3.46. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Serayu Tahun 2012 Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) jumlah penduduk DAS 2012 JAWA TENGAH BANJARNEGARA 100,00% 868.913 0,31 868.913 JAWA TENGAH BANYUMAS 86,84% 1.554.527 0,59 1.350.006 JAWA TENGAH BATANG 0,09% 706.764 0,57 649 JAWA TENGAH BREBES 0,55% 1.733.869 0,11 9.507 III - 73