II KAJIAN KEPUSTAKAAN. : Artiodactyla, famili : Bovidae, genus : Ovis, spesies : Ovis aries (Blackely dan

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

TINJAUAN PUSTAKA. Domba sudah sejak lama diternakkan orang. Semua jenis domba memiliki

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh wilayah Indonesia. Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

I. PENDAHULUAN. masyarakat meningkat pula. Namun, perlu dipikirkan efek samping yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2003). Pemberian total mixed ration lebih menjamin meratanya distribusi asupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan. Pakan dengan kualitas yang baik, memberikan efek terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Jantan

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merah bata dan kaki bagian bawah berwarna putih (Gunawan, 1993). Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. Jerami Padi

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

TINJAUAN PUSTAKA. betina yang umumnya dipanen pada umur 5-6 minggu dengan tujuaan sebagai

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

TINJAUAN PUSTAKA. Domba

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cara peningkatan pemberian kualitas pakan ternak. Kebutuhan pokok bertujuan

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Secara umum taksonomi domba adalah sebagai berikut :

I. TINJAUAN PUSTAKA A. Domba Lokal B. Pakan Ruminansia 1. Rumput Gajah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipelihara dengan tujuan menghasilkan susu. Ciri-ciri sapi FH yang baik antara

menjaga kestabilan kondisi rumen dari pengaruh aktivitas fermentasi. Menurut Ensminger et al. (1990) bahwa waktu pengambilan cairan rumen berpengaruh

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan domba-domba lokal. Domba lokal merupakan domba hasil persilangan

TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik yang sama. Domba adalah golongan atau kerajaan (kingdom) hewan

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba UP3 Jonggol Domba Garut

KAJIAN KEPUSTAKAAN. klasifikasi domba menurut Blakely dan Bade (1992) adalah sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya dari pulau Madura. Sapi Madura merupakan ternak yang dikembangkan

Daftar Pustaka. Leng, R.A Drought Feeding Strategies : Theory and Pactice. The University of New England Printery, Armidale - New South Wales.

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara sapi Bali (Bos sondaicus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang tinggi terhadap kondisi alam setempat (Sumardianto et al., 2013). Selain itu

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Ettawa dari

I. PENDAHULUAN. nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan

TINJAUAN PUSTAKA. dengan lingkungan maupun kultur masyarakat Indonesia. Beberapa kelebihan. banyak mengkonsumsi jenis pakan hijauan.

PENDAHULUAN. karena Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau.

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal

I. PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah penduduk yang disertai dengan meningkatnya kesadaran

PENGARUH BINDER MOLASES DALAM COMPLETE CALF STARTER BENTUK PELLET TERHADAP KONSENTRASI VOLATILE FATTY ACID DARAH DAN GLUKOSA DARAH PEDET PRASAPIH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi perah merupakan salah satu jenis sapi yang dapat mengubah pakan

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

senyawa humat (39,4% asam humat dan 27,8% asam fulvat) sebesar 10% pada babi dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan konversi pakan secara sign

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daging dan kulit. Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu (Bligon) merupakan kambing hasil persilangan antara

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya penurunan kemampuan induk dalam mencukupi kebutuhan nutrient

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

I. PENDAHULUAN. sangat besar untuk memenuhi kebutuhan daging di tingkat nasional. Kenyataan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu

TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber : Damron, 2003)

SISTEM PENCERNAAN. Perlu dipelajari. Harus tahu nasib BM dalam perjalanannya di setiap organ pencernaan: dicerna. diserap. Hidup pokok.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

9 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Domba Garut Domba merupakan ternak yang sudah umum dipelihara oleh peternak secara turun temurun. Semua jenis domba memiliki karakteristik yang sama dan termasuk ke dalam kingdom: Animalia, Phylum : Chordata, kelas : Mamalia, ordo : Artiodactyla, famili : Bovidae, genus : Ovis, spesies : Ovis aries (Blackely dan Bade, 1998). Williamson dan Payne (1995) menyatakan domba yang kita kenal sekarang merupakan hasil domestikasi yang sejarahnya diturunkan dari 3 jenis domba liar, yaitu : a. Mouflon (Ovis muximon), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Eropa Selatan dan Asia kecil. b. Argali (Ovis ammon), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Asia Tengah dan memiliki tubuh besar. c. Urial (Ovis vignei), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Asia. Ada tiga bangsa domba asli yang terdapat di pulau Jawa yaitu domba lokal ekor tipis, domba ekor gemuk, dan domba priangan (Mason, 1980). Domba priangan berasal dari Jawa Barat, yaitu kabupaten Garut dan sekitarnya, sehingga disebut juga domba Garut (Mulyono, 1999). Domba Garut merupakan persilangan dari domba Cape (Afrika) dengan domba lokal (Hardjosubroto dan Astuti, 1980), namun menurut Mason (1980) domba Garut merupakan peranakan domba ekor Gemuk. Ciri fisik domba Garut adalah badan besar dan lebar, memiliki leher yang kuat sehingga digunakan sebagai domba aduan dan penghasil daging, domba jantan bertanduk besar, kokoh, dan kuat, melengkung ke belakang berbentuk

10 spiral, pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu, betina tidak memiliki tanduk, bulu badan lebih panjang dan halus, dan bobot domba jantan adalah 60-80 kg, sedangkan bobot domba betina adalah 30-40 kg (Mulyono, 2005). Menurut Sodiq dan Abidin (2002), beberapa kelebihan domba Garut yang dapat diperoleh, antara lain: 1. Reproduksinya efisien, yang dapat ditingkatkan dengan jalan usaha perbaikan tata laksana pemeliharaan. 2. Pada waktu laktasi, penggunaan energi untuk produksi air susu dapat lebih efisien dibandingkan dengan ternak lain. 3. Daya adaptasi ternak domba terhadap lingkungan yang keras cukup tinggi, sehingga dapat mengkonsumsi lebih banyak jenis pakan hijauan. 4. Domba memiliki daya seleksi yang lebih efektif dalam kondisi penggembalaan dibandingkan dengan jenis ternak lain. 5. Domba lebih tahan terhadap beberapa penyakit, terutama Tryponoso miosis dibandingkan dengan ternak lain. 2.2. Sistem Pencernaan Ruminansia Pencernaan adalah serangkaian proses yang terjadi dalam saluran pencernaan yang memecah senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana, sehingga larut dan dapat diabsorbsi melalui dinding saluran pencernaan, selanjutnya masuk ke dalam peredaran darah atau getah bening, dan diedarkan keseluruh tubuh yang membutuhkannya (Kamal, 1994). Domba merupakan ternak ruminansia yang memiliki perut majemuk yang memamah dan mengunyah kembali pakannya atau ruminasi dan mengkonsumsi pakan tinggi serat kasar yang tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh manusia dan

11 ternak non ruminansia (Wodzicka Tomaszewska dkk., 1993). Proses utama pencernaan ternak ruminansia adalah secara mekanik, fermentatif dan enzimatik. Proses mekanik terdiri dari mastikasi atau pengunyahan pakan dalam mulut dan gerakan-gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh kontraksi otot (Putro, 2010). Pakan yang masih berbentuk kasar diperkecil menjadi partikel-partikel sederhana dengan cara pengunyahan dan pembasahan oleh saliva didalam mulut (Siregar, 1994). Saliva berfungsi sebagai buffer terhadap asam lemak terbang yang dihasilkan oleh fermentasi mikrobia didalam lambung (Tillman dkk., 1991) dan selanjutnya proses pencernaan berlangsung didalam rumen. Ternak ruminansia memiliki empat komponen lambung yaitu, rumen, retikulum, omasum, dan abomasum (Siregar, 1994). Rumen mengandung mikroba, bakteri dan protozoa yang menghancurkan bahan-bahan berserat (Blakely dan Bade, 1998), dan meggunakan campuran makanan juga air sebagai media hidupnya (Kartadisastra, 1997). Bakteri tersebut memproduksi enzim pencerna serat kasar dan protein serta mensintesis vitamin B yang digunakan untuk berkembang biak dan membentuk sel-sel baru. Sel-sel inilah yang akhirnya dicerna oleh induk semang sebagai protein hewani yang dikenal dengan sebutan protein mikrobia (Pertiwi, 2010). Proses penghalusan partikel-partikel ransum didalam rumen terus berlanjut sampai mengalami proses fermentasi (Siregar, 1994). Proses fermentasi dalam rumen dipengaruhi oleh kondisi dalam rumen yang anaerob, tekanan osmose pada rumen yang mirip tekanan darah, temperatur rumen konstan, ph dipertahankan 6,8 oleh adanya absorpsi asam lemak, amonia serta saliva yang berfungsi sebagai buffer (Arora, 1995). Hasil pencernaan fermentatif dalam rumen berupa Volatile

12 Fatty Acids (VFA), NH 3, metan (CH 4 ), dan CO 2 (Ørskov dan Ryle, 1990). VFA yang dihasilkan sebagian langsung diserap melalui dinding rumen (Parakkasi, 1999) dan sebagian lagi diserap dalam omasum dan abomasum (Arora, 1989). VFA diantaranya terdiri atas asam asetat (C 2 ), asam propionat (C 3 ), asam butirat (C 4 ), valerat dan format (Parakkasi, 1999), 75% dari total VFA yang dihasilkan diserap didalam rumen-retikulum (yang kemudian masuk ke dalam darah), 25% diserap didalam omasum dan abomasum, dan 5% akan diserap dalam usus (Church, 1971). Setelah proses pencernaan dalam rumen selesai, selanjutnya secara berturutturut dicerna dalam retikulum, omasum dan abomasum. Pakan tersebut kemudian diteruskan ke usus halus untuk diabsorpsi lebih lanjut melalui dinding usus (Akoso, 1996). Retikulum adalah komponen perut yang membantu ruminasi dimana bolus diregurgitasikan kembali kedalam mulut (Arora, 1989). Pakan yang dikonsumsi ternak juga mengalami fermentasi ketika berada di retikulum (Wodzicka dkk., 1993). Proses pencernaan kemudian dilanjutkan kedalam Omasum. Bagian omasum berfungsi sebagai penggiling pakan yang melewatinya dan menyerap sebagian air (Wodzicka dkk., 1993). Setelah pencernaan dalam omasum selesai dilanjutkan proses pencernaan dalam abomasum. Abomasum merupakan tempat pertama terjadinya pencernaan secara kimiawi karena adanya sekresi getah lambung. Abomasum berfungsi mengalirkan ingesta dari lambung menuju usus halus (Arora, 1989). Abomasum adalah bagian perut, tempat hasil pencernaan mulai diserap oleh tubuh (Kamal, 1994). 2.3. Ransum Komplit Berbasis Bahan Pakan Lokal Ransum komplit adalah pakan yang cukup tinggi gizi untuk hewan tertentu dalam tingkat fisiologis, dibentuk atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-

13 satunya makanan dan memenuhi kebutuhan hidup pokok atau produksi, atau keduanya tanpa tambahan bahan atau substansi lain kecuali air (Hartadi dkk., 2005, Purbowati dkk., 2009). Ransum komplit juga merupakan campuran dari berbagai bahan pakan sesuai proporsinya untuk mendapatkan zat makanan yang lengkap. Bahan pakan yang dicampur antara lain hijauan, butiran, konsentrat, suplemen vitamin, dan bahan aditif lain yang memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ternak (Owen, 1966). Pembuatan ransum komplit merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemanfaatan limbah pertanian yaitu dengan cara mencampurkan limbah pertanian dengan tambahan pakan (konsentrat) dengan mempertimbangkan kebutuhan nutrisi ternak baik kebutuhan serat maupun zat makanan lainnya (Chuzaemi, 2002). Rendahnya tingkat palatabilitas ternak terhadap sebagian besar bahan pakan inkonvensional dapat diatasi dengan menggunakan ransum komplit. Efisiensi penggunaan ransum komplit pada ternak ruminansia juga semakin meningkat sejalan dengan perkembangan yang pesat dalam teknologi peralatan atau mesin pengolahan pakan (Ginting 2009). Penggunaan ransum komplit akan mendapat beberapa keuntungan antara lain: 1) meningkatkan efisiensi pemberian pakan, 2) ketika hijauannya kurang palatabel maka jika dibuat campuran ransum komplit akan meningkatkan konsumsi, begitu juga sebaliknya jika ketersediaan konsentrat terbatas dapat dipakai hijauan sebagai campuran, 3) campuran ransum komplit dapat mempermudah ternak untuk mendapatkan pakan lengkap (Ensminger dkk., 1990). Ransum komplit sebaiknya disusun dari bahan pakan lokal mengingat ketangguhan agribisnis peternakan mengutamakan penggunaan bahan baku lokal

14 yang tersedia dalam negeri dan sesedikit mungkin menggunakan komponen impor (Saragih, 2000), pendayagunaan pakan lokal ini juga dapat meminimalkan porsi ransum dari pakan impor seperti jagung, kedelai, dan tepung ikan (Kuswandi, 2011). Selain itu, paradigma pembangunan peternakan di era reformasi adalah terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif serta kreatif melalui peternakan tangguh berbasis sumber daya lokal (Sudardjat, 2000). Penggunaan limbah pertanian sebagai bahan pakan lokal juga sangat dibutuhkan sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah ketidak-kontinyuan penyediaan bahan pakan untuk ruminansia. Zainuddin (2011) menyatakan bahwa dalam membuat formulasi ransum ternak lokal diutamakan untuk memanfaatkan bahan pakan lokal yang harganya relatif lebih murah, mudah diperoleh pada spesifik lokasi, tidak bersaing dengan kebutuhan untuk konsumsi manusia serta merupakan hasil ikutan pertanian dan limbah industri. Pakan ruminansia sendiri terdiri atas hijauan dan pakan tambahan sumber protein, energi, mineral, dan vitamin. Adapun industri pengolah hasil pertanian menghasilkan limbah seperti dedak, pecahan biji (menir), bungkil, ampas, dan kulit atau pod (Kuswandi, 1990; Darmawidah dkk., 1998; Bamualim dkk., 2007; Kuswandi, 2007; Pangestu dkk., 2008). Bahan-bahan tersebut merupakan sumber utama protein, energi, dan mineral dalam pakan, tetapi kandungan, palatabilitas, dan kecernaannya berbeda. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan pakan komplit berbasis bahan pakan lokal adalah kandungan zat makanan yang sesuai dengan ternak yang dipelihara. Menurut Ranjhan (1981), kebutuhan bahan kering (BK) domba yang digemukkan sekitar 4,30 5,00% dari bobot badannya. Setelah kebutuhan BK

15 terpenuhi, energi dan protein adalah kebutuhan utama yang harus tercukupi (Haryanto dan Djajanegara, 1993). Kebutuhan lainnya adalah air, mineral, vitamin, dan lemak. 2.4. Kebutuhan Protein dan TDN Kebutuhan hidup pokok merupakan kebutuhan akan zat makanan yang digunakan untuk mengganti jaringan yang rusak dan mati serta menyediakan energi untuk kegiatan metabolisme (Lubis, 1963). Pemberian pakan yang kurang dari kebutuhan ternak dapat menyebabkan efek negatif dan pada batas tertentu akan menyebabkan tidak adanya pertumbuhan dan produksi ternak (Umbara, 2009). Ini terjadi karena zat makanan dalam ransum hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok. Untuk itu diperlukan adanya pemberian ransum yang efisien dan sesuai dengan kebutuhan hidup pokok dan produksi ternak domba. Karena domba merupakan hewan kecil yang pada umumnya proses-proses pencernaannya berjalan lebih cepat dan rapi daripada hewan yang jauh lebih besar (Lubis, 1963). Selain itu kapasitas organ pencernaan juga merupakan fungsi bobot badan (Dement dan Van Soest, 1983). Sehingga perbandingan kapasitas organ pencernaan dengan kebutuhan energi akan lebih rendah pada ternak dengan ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan ternak besar. Efisiensi pencernaan pada ternak yang berukuran lebih kecilpun lebih sedikit dibandingkan dengan yang lebih besar. Prinsip ini telah menjadi anggapan bahwa ruminansia kecil termasuk domba kurang mampu memanfaatkan bahan pakan dengan karakter serat dan keambaan (bulkiness) tinggi, seperti jerami. Laju pertumbuhan ternak salah satunya dipengaruhi oleh faktor konsumsi pakan, karena untuk dapat tumbuh dan berkembang, domba yang pada umumnya

16 dipelihara dengan sistem dikandangkan secara terus menerus, kebutuhan zat makanannya dipenuhi dari pakan yang bersumber dari perolehan bahan yang tersedia di lapang (Balai Penelitian Ternak, 1996). Adapun zat makanan yang menjadi faktor pembatas utama adalah protein dan energi, karena efisiensi penggunaan protein untuk pertumbuhan jaringan tubuh, dipengaruhi oleh ketersediaan energi (Ensminger dan Parker,1986). Namun demikian, kualitas zat makanan yang dilihat dari aspek energi yang terkandung didalam pakan yang dikonsumsi, tidak semuanya dimanfaatkan oleh ternak, karena ada sebagian lainnya terbuang melalui feses, urin, gas metan dan panas (Tillman dkk., 1991). Pemanfaatan energi ini dipengaruhi oleh kualitas pakan yang dikonsumsi, termasuk imbangan protein kasar dan Total Digestible Nutrient (TDN). Kebutuhan rasio protein dan energi pakan lebih besar pada ternak ruminansia muda yang sedang tumbuh dengan cepat (Soeparno, 2005). Rasio protein dan energi yang sinkron akan menunjukkan efisiensi fermentasi yang optimal, dalam hal ini energi pakan yang dimanfaatkan untuk proses tersebut akan optimal pula (Ginting, 2005). Kebutuhan protein domba dengan bobot hidup 20 kg dan taraf kenaikan bobot hidup harian 100 g membutuhkan 119 g protein kasar atau sebesar 95 g protein kasar tercerna (Kearl, 1982). Jumlah tersebut akan meningkat dengan makin bertambahnya bobot hidup ternak. Kebutuhan energi diperuntukkan dalam proses metabolisme tubuh, pembentukan protein dan lemak tubuh, tenaga untuk kegiatan harian, seperti berdiri, berjalan dan sebagainya. Adapun kebutuhan energi ternak domba yang sedang tumbuh (bobot hidup 20 kg) adalah 5,941 MJ energi metabolis (EM) per hari (kearl, 1982).

17 Kebutuhan protein kasar (PK) dan Total Digestible Nutrient (TDN) untuk domba yang sedang tumbuh dengan bobot badan 15-30 kg menurut Ranjhan (1993) adalah 11,8-16,41 % dan 55,3-69,6 %, sedangkan menurut Haryanto dan Djajanegara (1993) adalah 14 15% dan 45 63%. Menurut Umberger (1997), kebutuhan PK untuk domba yang digemukkan adalah 15% (untuk bobot badan 13,50 31,50 kg) dan 13% (untuk bobot badan lebih dari 31,50 kg), sedangkan TDN 70 75% (untuk bobot badan 22,50 33,75 kg) dan TDN 65 70% untuk campuran pakan komplit yang dibuat pelet. Stanton dan Levalley (2004) merekomendasikan PK untuk domba yang digemukkan dengan bobot badan 31,50 kg sebesar 12 14%. 2.5. Kecernaan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Kecernaan nutrient didefinisikan sebagai jumlah zat makanan yang tidak diekskresikan dalam feses atau dengan asumsi bahwa zat makanan tersebut dicerna oleh hewan (McDonald dkk., 1991). Kecernaan merupakan persentase pakan yang dapat dicerna dalam sistem pencernaan yang kemudian dapat diserap tubuh dan sebaliknya yang tidak terserap dibuang melalui feses (Campbell dkk., 2003). Kecernaan zat makanan adalah salah satu ukuran dalam menentukan kualitas pakan. Kecernaan diartikan juga sejauh mana ternak dapat mengubah zat makanan menjadi unsur kimia sederhana yang dapat diserap oleh sistem pencernaan tubuh (Damron, 2006). Selisih antara konsumsi zat makanan bahan pakan dengan ekskresi zat makanan feses menunjukkan jumlah zat makanan bahan pakan yang dapat dicerna (Suparjo, 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan ransum diantaranya adalah suhu lingkungan, laju aliran pakan saat melewati sistem pencernaan, bentuk fisik

18 pakan dan komposisi zat makanan pakan (Campbell dkk., 2003). McDonald dkk., (2002) menyatakan bahwa kecernaan juga dipengaruhi oleh komposisi ransum antar hijauan dan konsentrat, pengolahan pakan dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Selain itu tingkat kecernaan zat makanan juga dipengaruhi oleh spesies ternak, bentuk fisik ransum, jumlah bahan makanan yang diberikan, komposisi ransum, dan perbandingan zat makanan lainnya (Maynard dan Loosli, 1956). Menurut Ranjhan dan Pathak (1979), faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan adalah umur ternak, jumlah pakan, pengolahan pakan, komposisi bahan pakan, dan kandungan zat makanan pakan. Selain itu menurut Mackie dkk., (2002), adanya aktivitas mikroba dalam saluran pencernaan sangat mempengaruhi kecernaan. Adapun kambing, domba, rusa, sapi, kerbau memiliki keragaman spesies bakteri dan protozoa yang hampir sama (Thalib dkk., 2000). Pengetahuan akan faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan ransum ini sangat penting untuk diketahui, agar efisiensi konversi ransum dapat ditingkatkan dengan mempertimbangkan faktor yang mempengaruhinya. Faktor - faktor tersebut berpengaruh terhadap kecernaan karena: a. Faktor Hewan Berbedanya bahan pakan yang diberikan apalagi tinggi rendahnya serat kasar, akan menentukan spesies ternak yang mengkonsumsinya, karena ternak nonruminansia hanya mampu mengkonsumsi bahan pakan yang rendah kandungan serat kasarnya, sementara ternak ruminansia mampu mengkonsumsi pakan tinggi serat kasar karena nitrogen metabolik pada ruminansia lebih tinggi sehingga daya cerna protein pada ruminansia lebih rendah dibanding pada non ruminansia (Tillman dkk., 1998). Selain itu faktor umur dalam ternak ruminansia juga dapat mempengaruhi tingkat kecernaan karena ternak sangat muda dan

19 sangat tua tidak dapat mengunyah pakan dengan baik sehingga tingkat kecernaan bahan pakannya akan lebih rendah dari ternak dewasa yang memiliki gigi sempurna dan dapat mengunyah pakan dengan baik (Anggorodi, 1979). b. Komposisi pakan Kecernaan ternak ruminansia sangat berhubungan dengan komposisi kimia makanannya terutama serat kasar, karena serat kasar berpengaruh sangat besar terhadap daya cerna ternak, baik susunan kimia maupun proporsi serat kasar dalam pakan perlu dipertimbangkan. Hal ini karena dinding sel tanaman terdiri dari selulosa dan hemiselulosa yang sukar dicerna terlebih jika mengandung lignin. Penambahan persentase serat kasar dalam bahan pakan terjadi pada tanaman yang tua, biasanya disertai dengan penambahan lignifikasi dari selulosa dan hemiselulosa pada dinding sel (Tillman dkk., 1998). Tingginya kandungan karbohidrat dalam pakan juga dapat mempengaruhi tingkat kecernaan serat kasar karena mikroba rumen akan terlebih dahulu mencerna karbohidrat daripada serat kasar (Anggorodi, 1979). Namun demikian penambahan sejumlah kecil zat mineral esensial seperti fosfor, ferum, natrium, kalium, kalsium, magnesium, belerang dan khlor, dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme rumen dan secara tidak lagsung dibutuhkan untuk pencernaan selulosa dalam jumlah yang lebih banyak (Anggorodi, 1979). c. Jumlah pakan Jumlah pakan yang diberikan pada ternak dapat mempengaruhi nilai kecernaan ternak karena penambahan jumlah bahan pakan dapat mempercepat laju makanan dalam usus sehingga daya cerna dapat berkurang. Kebutuhan untuk hidup pokok hewan biasanya dipakai sebagai acuan dalam mencoba pengaruh

20 jumlah pakan terhadap daya cerna. Daya cerna yang tertinggi didapat pada jumlah konsumsi sedikit lebih rendah dari kebutuhan hidup pokok. Sementara penambahan konsumsi lebih lanjut menyebabkan penurunan daya cerna (Tillman dkk.,1998). d. Suhu Suhu dapat berpengaruh terhadap nafsu makan dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Hal ini dapat berpengaruh tidak langsung terhadap derajat daya cerna dari suatu bahan pakan (Anggorodi, 1979). e. Laju perjalanan melalui alat pencernaan Cepatnya bahan pakan yang dikonsumsi melewati saluran pencernaan dapat mengakibatkan zat-zat makanan tidak di cerna secara menyeluruh oleh enzimenzim pencernaan karena waktu yang dibutuhkan untuk mencerna tidak mencukupi. Namun laju perjalanan dari bahan pakan yang terlalu lambat dapat menyebabkan kehilangan akibat fermentasi akan lebih besar (Anggorodi, 1979). f. Bentuk fisik bahan makanan Bentuk bahan pakan yang sudah digiling dapat memperluas permukaan bahan pakan terhadap getah pencernaan sehingga tingkat kecernaan dapat meningkat (Anggorodi, 1979). Namun hal tersebut hanya berlaku terhadap bahan pakan berbentuk butiran, karena ternak ruminansia mengunyah hijauan dengan cukup baik sehingga waktu yang diperlukan untuk proses pencernaan cukup, sementara jika hijauan tersebut digiling maka laju masuknya pakan melalui alat pencernaan menjadi tinggi, sehingga daya cernanya dapat berkurang (Anggorodi, 1979). Menurut Anggorodi (1979) pakan yang berbentuk pellet juga dapat mempertinggi

21 laju dan efisiensi pertambahan bobot badan pada domba dan sapi, namun pengaruhnya terhadap kecernaan belum ada kesesuaian antara para peneliti. 2.6. Kecernaan Bahan Kering Pengujian kualitas bahan pakan dapat dilakukan dengan cara mengukur kecernaan bahan kering dan bahan organik. Kecernaan bahan kering dan bahan organik merupakan suatu cara untuk menilai kualitas pakan, karena kecernaan suatu pakan menunjukkan seberapa besar pakan dapat dimanfaatkan khususnya oleh mikroba rumen. Kecernaan adalah selisih antara zat makanan yang dikonsumsi dengan yang dieksresikan dalam feses dan dianggap terserap dalam saluran cerna. Jadi kecernaan merupakan pencerminan dari jumlah nutrisi dalam bahan pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan memberi arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung zat-zat makanan dalam bentuk yang dapat dicerna dalam saluran pencernaan (Ismail, 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan antara lain komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf pemberian pakan (McDonald dkk., 2002). Sutardi (1979), menyatakan bahwa kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda. Kecernaan bahan kering merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai pakan.

22 2.7. Kecernaan Bahan Organik Bahan organik merupakan bahan kering yang telah dikurangi abu, komponen bahan kering bila difermentasi didalam rumen akan menghasilkan asam lemak terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak. Nilai kecernaan bahan organik (KBO) didapatkan melalui selisih kandungan bahan organik (BO) awal sebelum inkubasi dan setelah inkubasi, proporsional terhadap kandungan BO sebelum inkubasi tersebut (Blümmel dkk., 1997). Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan zat makanan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin (Gatenby, 1986). Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan tersedia dalam bentuk tidak larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses pemecahan zat tersebut menjadi zat yang mudah larut (Tillman dkk., 1998). Faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan serat kasar dan mineral dari bahan pakan (Gatenby, 1986). Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri dari bahan organik (Ismail, 2011). Penurunan kecernaan bahan kering mengakibatkan kecernaan bahan organik menurun, begitu juga sebaliknya.