Masa Depan Program Kesejahteraan Sosial di Indonesia: Dari Subsidi Bahan Bakar Fosil hingga Perlindungan Sosial yang Lebih Baik



dokumen-dokumen yang mirip
Implikasi Praktis Reformasi Subsidi Bahan Bakar Fosil Bagi Rantai Pasokan Energi di Indonesia

SEPTEMBER Rancangan Subsidi BBM Indonesia 2014 i

BRIEFING SUBSIDI ENERGI INDONESIA

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak

BERALIH DARI SUBSIDI UMUM MENJADI SUBSIDI TERARAH: PENGALAMAN INDONESIA DALAM BIDANG SUBSIDI BBM DAN REFORMASI PERLINDUNGAN SOSIAL

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

APBN 2008 dan Program Kompensasi. Freddy H. Tulung Dirjen SKDI

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Efektivitas Program Bantuan Sosial dalam Pengurangan Kemiskinan dan Ketimpangan

Harga Sebuah Kebijakan Bahan Bakar Fosil: Subsidi Pemerintah Indonesia di Sektor Hulu Minyak & Gas Bumi

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia telah merdeka hampir mencapai 69 tahun, tetapi masalah

MENGUKUR PENDAPATAN DAN KEMISKINAN MULTI-DIMENSI: IMPLIKASI TERHADAP KEBIJAKAN

Buku GRATIS ini dapat diperbanyak dengan tidak mengubah kaidah serta isinya

Kertas Kebijakan ini memberikan gambaran umum tentang masalah kesetaraan gender utama

Perekonomian Suatu Negara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama berakhir tahun 2009,

Program Kompensasi Penyesuaian Subsidi Bahan Bakar Minyak 2013

MASUKAN UNTUK REFORMASI SISTEM HARGA BAHAN BAKAR INDONESIA

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN

BAGAIMANA CARANYA AGAR PROGRAM BANTUAN SOSIAL DI INDONESIA LEBIH RAMAH ANAK?

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya

IPC-IG didukung bersama-sama oleh United Nations Development Programme, dan Pemerintah Brazil.

BRIEFING SUBSIDI ENERGI INDONESI Sebuah kajian dwi-bulanan tentang kebijakan subsidi energi Indonesia dan pasar energi

Daripada Meratapi Mari Bicara Solusi

IPC-IG didukung oleh United Nations Development Programme dan Pemerintah Brazil. Basis Data Terpadu di Indonesia untuk Program Perlindungan Sosial

PERTUMBUHAN LEBIH BAIK, IKLIM LEBIH BAIK

Perumusan Strategi dan Posisi Indonesia Menghadapi G20 Turki Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI Jakarta, 3 Maret 2015

BAB I PENDAHULUAN. meliputi kebutuhan makan maupun non makan. Bagi Indonesia, kemiskinan sudah sejak lama menjadi persoalan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemiskinan merupakan akar dari segala permasalahan. Pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. 1 Universitas Indonesia. Analisis pelaksanaan..., Rama Chandra, FE UI, 2010.

BRIEFING SUBSIDI ENERGI INDONESIA

Ringkasan Eksekutif: Mengatasi tantangan saat ini dan ke depan

10JAWABAN BBM BERSUBSIDI HARGA TENTANG KENAIKAN

FEBRUARI Subsidi BBM 2013 Kembali Melampaui Prediksi

SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

Appendix 1. The Process of Deriving Macropropositions

BukuGRATISinidapatdiperbanyakdengantidakmengubahkaidahsertaisinya.

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pangan untuk Indonesia

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

Kesenjangan di Indonesia: Tren, penyebab, kebijakan. World Bank September 2014

Program Pengembangan BOSDA Meningkatkan Keadilan dan Kinerja Melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu.

MENETAPKAN SASARAN BERBASIS WILAYAH DAN RUMAH TANGGA MENGGUNAKAN DATA BDT, PODES, DAN SUSENAS

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

Mencari Harga BBM Yang Pantas Bagi Rakyat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dampak yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Dalam periode 2005

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

SUBSIDI LANGSUNG TUNAI DAN KONSUMSI KESEHATAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data

Growth and poverty reduction in agriculture s three worlds. Disusun oleh: Restra Pindyawara Hanif Muslih Kahfi Maulana Hanung

Ringkasan eksekutif: Penyesuaian berlanjut

Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) 2012

CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP Grafik 1. Tingkat Kemiskinan,

BAB I PENDAHULUAN. minyak dunia yang turun, dollar yang menguat dan revolusi shale gas oleh Amerika

Catatan Atas Harga BBM: Simulasi Kenaikan Harga, Sensitivitas APBN dan Tanggapan terhadap 3 Opsi Pemerintah

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

Menjelaskan Kenaikan Harga Premium dan Solar

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan program Konversi minyak tanah ke LPG yang ditetapkan oleh

Menjelaskan Kenaikan Harga Premium dan Solar

BAB 1 PENDAHULUAN. Tidak ada satu negara di muka bumi ini yang melewatkan pembangunan.

REFLEKSI TERHADAP DESAIN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN SATU DASAWARSA TERAKHIR

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun kedepan kepada Bapak Susilo Bambang Yudhoyono terbukti dari

BAB I PENDAHULUAN. masalah infrastruktur yang belum merata dan kurang memadai. Kedua, distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

BAB I PENDAHULUAN. BBM punya peran penting untuk menggerakkan perekonomian. BBM

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan pengangguran yang tinggi, keterbelakangan dan ketidak

BAB I PENDAHULUAN. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang. peranan sangat vital dalam menggerakkan semua aktivitas ekonomi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Briefing Subsidi Energi Indonesia Sebuah kajian dwi-bulanan tentang kebijakan subsidi energi Indonesia dan pasar energi

Ringkasan eksekutif: Pertumbuhan melambat; risiko tinggi

PENSASARAN PROGRAM BERDASARKAN RUMAH TANGGA DAN WILAYAH

I. PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional merupakan suatu strategi pembangunan untuk

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA

PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN, DAN PENETAPAN HARGA LPG TABUNG 3 KILOGRAM

MDGs. Kebijakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan. dalam. Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional September 2007

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus

Policy Brief Globalisasi, Pertumbuhan, dan Disadvantaged Labours di Indonesia: Analisa dan Implikasi Kebijakan. Oleh: Deni Friawan & Carlos Mangunsong

Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi

TINJAUAN KEBIJAKAN HARGA BERSUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK DARI MASA KE MASA Jumat, 30 Maret 2012

BAB I PENDAHULUAN. kenaikan harga bahan pokok (sembako). (Debby, 2008 : 3). tahun Tiga tahun berikutnya harga terus naik seiring dengan

1 Universitas Indonesia

Anggaran yang Menyejahterakan

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

6HUL'HEDW 3HPEDQJXQDQ Kasus Indonesia


Perkembangan Perekonomian, Subsidi BBM, dan Evaluasi Program BLT

BRIEFING SUBSIDI ENERGI INDONESI Sebuah kajian dwi-bulanan tentang kebijakan subsidi energi Indonesia dan pasar energi

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh

Transkripsi:

Maret 2014 Masa Depan Program Kesejahteraan Sosial di Indonesia: Dari Subsidi Bahan Bakar Fosil hingga Perlindungan Sosial yang Lebih Baik Ari A. Perdana TNP2K, Republik Indonesia Ikhtisar ini meneliti mengenai hubungan antara subsidi bahan bakar fosil dengan intervensi kebijakan Indonesia yang lebih luas untuk mempromosikan kesejahteraan sosial. Secara tradisional, Indonesia menggunakan subsidi bahan bakar fosil untuk membantu pengentasan kemiskinan dan mengendalikan inflasi. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, kebijakan ini menjadi amat mahal. Selain itu, kebijakan ini juga dikritik karena dinilai tidak efisien dan regresif, oleh karena justru masyarakat kayalah yang menikmati sebagian besar manfaat, bukan masyarakat miskin. Makalah ini mengkaji kembali buktibukti yang ada untuk menelusuri dua keyakinan yang saling bertolak belakang: di satu sisi, keyakinan bahwa subsidi bahan bakar fosil tidak dapat dikurangi karena hal ini akan merugikan masyarakat miskin; di sisi lain, reformasi subsidi bahan bakar dianggap fundamental dalam rangka memperbaiki kebijakan kesejahteraan sosial di Indonesia. Siapa yang benar? Seperti apa ambisi Indonesia dalam memperbaiki kesejahteraan sosial dan bagaimana peran subsidi bahan bakar fosil terkait dengan hal ini? www.iisd.org/gsi 2014 The International Institute for Sustainable Development

Pendahuluan Dalam sepuluh tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah beberapa kali menaikkan harga bahan bakar. Pada setiap kenaikan, sejumlah program kompensasi telah menyasar masyarakat yang tidak mampu dalam membantu mereka menghadapi dampak merugikan dari kebijakan tersebut. Pada dekade yang sama, pemerintah memperkenalkan sejumlah program pengentasan kemiskinan. Walaupun masih jauh dari sempurna, program ini memperlihatkan suatu dasar untuk menciptakan suatu sistem kesejahteraan sosial yang komprehensif. Tujuan dari makalah ini adalah menelusuri bagaimana Indonesia telah mengkombinasikan berbagai upaya untuk mereformasi subsidi bahan bakar fosil dengan upaya untuk memperbaiki dan melaksanakan kebijakan kesejahteraan sosial. Apakah subsidi energi dapat dikurangi tanpa merugikan masyarakat miskin? Dan dapatkah subsidi ini memainkan peranan yang lebih besar dalam rangka memperbaiki kebijakan kesejahteraan sosial di Indonesia? Makalah ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan ambisi, strategi dan target Indonesia terkait dengan pengentasan kemiskinan. Bagian kedua membahas hubungan antara reformasi subsidi bahan bakar dengan kesejahteraan sosial. Bagian ketiga meringkas apa yang diketahui tentang efektivitas program kesejahteraan atau kemiskinan terkait dengan subsidi saat ini yang dikelola oleh pemerintah pusat. Makalah ini ditutup dengan kesimpulan dan pemikiran yang didasarkan pada bukti-bukti tersebut. 1.0 Gambaran Kesejahteraan Sosial di Indonesia 1.1 Situasi kemiskinan Upaya Indonesia dalam mengurangi kemiskinan adalah sebuah kisah sukses internasional. Saat ini, 28 juta masyarakat Indonesia atau 11 persen dari total populasi tergolong miskin (BPS, 2013). Hal ini berbeda dengan tahun 2001, dimana jumlah masyarakat miskin adalah 19 persen (lihat Gambar 1 dan Gambar 2 di bawah ini). Dengan pengecualian pada masa pasca krisis yang singkat pada tahun 1998-1999, dan peningkatan drastis harga minyak dan pangan internasional pada tahun 2005-2006, tingkat kemiskinan di Indonesia telah menurun sejak tahun 1970-an. Jumlah masyarakat miskin (juta) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 12.3 8.6 13.3 12.2 14.5 11.4 12.4 13.6 12.8 11.9 11.1 11.1 10.7 10.3 26.4 29.3 25.1 25.1 24.8 22.7 24.8 23.6 22.2 20.6 19.9 19.0 18.5 17.7 2001 2002 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Urban Rural FIGURE 1. NUMBER OF PEOPLE LIVING IN POVERTY IN INDONESIA (2001-2013 ) 2

30 25 20 15 10 5 0 2001 2002 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 GAMBAR 2. PROPORSI MASYARAKAT All MISKIN Urban DI INDONESIA Rural (2001-2013) Catatan: Kemiskinan di Indonesia dihitung dengan menggunakan pendekatan biaya kebutuhan dasar. Orang miskin didefinisikan sebagai orang yang pengeluarannya berada di bawah suatu ambang batas (yaitu garis kemiskinan ) yang diperlukan untuk membeli sekeranjang makanan dan komoditas non-pangan yang dianggap sebagai standar hidup minimal. Data ini diambil dari Survei dan Sensus Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh BPS setiap tahun. Elaborasi data lebih lanjut menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia lebih tinggi di wilayah pedesaan, baik dalam hal jumlah warga miskin maupun persentase masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Data ini juga menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan lebih tinggi di wilayah timur Indonesia dibandingkan dengan di wilayah barat Indonesia. Akan tetapi, karena sebagian besar populasi Indonesia berada di pulau Jawa, maka mayoritas masyarakat miskin juga berada di pulau Jawa. Tentu saja masih terdapat tantangan dalam menafsirkan data tersebut. Pertama, walaupun jumlah masyarakat miskin telah menurun secara terus menerus, banyak masyarakat yang tidak tergolong miskin sesungguhnya hidup mendekati garis kemiskinan. Akibatnya, jumlah kemiskinan sangat dipengaruhi oleh ukuran garis kemiskinan yang dipilih. Tabel 1 menggambarkan hal ini. Jika kita meningkatkan garis kemiskinan sebesar 20 persen, maka jumlah masyarakat miskin dan tingkat kemiskinan meningkat hampir dua kali lipat, dan jika kita menaikkannya lagi sebesar 30 persen, maka tingkat kemiskinan menjadi hampir tiga kali lipat. TABEL 1. JUMLAH MASYARAKAT MISKIN DAN TINGKAT KEMISKINAN MENGGUNAKAN BERBAGAI GARIS KEMISKINAN GARIS KEMISKINAN NILAI RUPIAH JUMLAH MASYARAKAT MISKIN 2010 % KEMISKINAN Aktual 211.726 31,0 13,33 1.1 X Garis kemiskinaan 232.899 43,4 18,64 1.2 X Garis kemiskinaan 254.071 56,7 24,38 1.4 X Garis kemiskinaan 296.416 80,9 34,74 1.6 X Garis kemiskinaan 338.762 101,4 43,56 1.8 X Garis kemiskinaan 381.107 119,4 51,29 2.0 X Garis kemiskinaan 423.452 135,0 58,00 Sumber: perhitungan staf TNP2K 3

Kedua, kemiskinan memiliki sifat yang sangat dinamis. Setiap tahunnya, banyak orang dapat terbebas dari kemiskinan, namun pada saat yang sama banyak orang juga jatuh ke dalam kemiskinan. Tabel 2 menunjukkan bahwa 53 persen dari masyarakat miskin pada tahun 2008 berhasil terbebas dari kemiskinnan pada tahun 2009, dan menjadi hampir miskin atau bahkan tidak miskin. Namun kita juga melihat bahwa terdapat 22 persen masyarakat hampir miskin pada tahun 2008 dan terdapat 5 persen masyarakat tidak miskin pada tahun 2008 jatuh ke dalam kemiskinan pada tahun 2009. Suatu sistem perlindungan sosial yang kuat dapat mengurangi kemungkinan masyarakat non-miskin jatuh ke dalam kemiskinan, selagi membantu masyarakat miskin untuk membebaskan diri dari kemiskinan. TABEL 2. DINAMIKA KEMISKINAN (2008-2009) MEREKA YANG PADA TAHUN 2009 DIKATEGORIKAN HAMPIR MISKIN TIDAK MISKIN NON-POOR Persentase miskin (%) pada tahun 2008 46,71 20,28 33,01 100,0 Persentase hampir miskin (%) pada tahun 2008 22,32 21,53 5,15 100,0 Persentase tidak-miskin (%) pada tahun 2008 5,37 7,65 86,98 100,0 TOTAL Sumber: Suryahadi et al., 2012. Kolom yang berwarna abu-abu menunjukkan total proporsi dari populasi miskin, hampir miskin dan non-miskin yang tetap berada pada kategori yang sama antara tahun 2008 dan 2009. Kolom yang berwarna hijau menunjukkan proporsi masyarakat miskin pada tahun 2008 yang telah keluar dari kemiskinan pada tahun 2009 dan menjadi hampir miskin atau tidak miskin. Kolom berwarna merah menunjukkan proporsi masyarakat hampir miskin dan tidak miskin pada tahun 2008 yang jatuh ke dalam kemiskinan pada tahun 2009. 1.2 Target dan strategi pengurangan kemiskinan Dalam RPJM Indonesia untuk tahun 2009-2014 ditetapkan target dalam rangka menurunkan tingkat kemiskinan hingga 8-10 persen pada tahun 2014, yang merupakan penurunan 2-3 persen dari tingkat kemiskinan sebesar 11-12 persen pada tahun 2013 (Pemerintah Indonesia, 2009). Target ini lebih ambisius dibandingkan dengan target kemiskinan yang ditetapkan oleh Millenium Development Goals (MDGs), yang menetapkan Antara tahun 1990 dan 2015 proporsi masyarakat dengan pendapatan kurang dari US$ 1,25 per hari. Pada tahun 1990, 54,3 persen masyarakat Indonesia hidup dengan kurang dari US$ 1,25 per hari, namun sebenarnya Indonesia sudah berhasil mengurangi lebih dari setengah masyarakat miskin pada saat MDG secara formal diadopsi pada bulan September 2000. Strategi pemerintah untuk mencapai target ini dilakukan dengan membagi program-program pengurangan kemiskinan Indonesia ke dalam tiga kelompok (atau yang disebut cluster) yang didasarkan pada kelompok utama yang ditargetkan oleh masing-masing kelompok (TNP2K, 2011): 1. Kelompok 1: Program-program yang menyasar rumah tangga. Kelompok ini terdiri dari beberapa program bantuan sosial, antara lain Raskin, Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan Jamkesmas. 2. Kelompok 2: Program-program yang menyasar masyarakat. Terdiri dari sejumlah program pengembangan yang berbasis masyarakat di bawah payung PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). 3. Kelompok 3: Program-program yang menyasar usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Pemerintah menawarkan skema penjaminan untuk kredit bank yang disebut dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR). 4

2.0 Bagaimana Kaitannya dengan Subsidi Bahan Bakar Fosil? 2.1 Tinjauan Sampai saat ini, pemerintah Indonesia telah menggunakan subsidi energi sebagai instrumen kebijakan utama dalam menstabilkan harga dan melindungi kesejahteraan masyarakat secara umum. Bensin premium, solar, minyak tanah, LPG, serta listrik untuk sejumlah kategori pelanggan seluruhnya dijual di pasar domestik di bawah harga ekonominya. Pos-pos ini disubsidi karena dipandang sebagai komoditas strategis, yaitu komoditas yang mempengaruhi kesejahteraan sebagian besar masyarakat. Di Indonesia, minyak tanah dan LPG digunakan untuk kebutuhan memasak sehari-hari. Bensin memiliki peranan yang penting bagi kendaraan pribadi sementara solar digunakan oleh sebagian besar kendaraan umum. Listrik digunakan bagi banyak kegiatan bisnis dan rumah tangga. Hingga skala tertentu, harga energi bersubsidi berfungsi sebagai suatu bentuk dari kebijakan kesejahteraan sosial. Harga bensin dan solar yang rendah menurunkan biaya transportasi. Pada dasarnya, hal ini dapat membantu menstabilkan harga barang yang diangkut dari pedesaan ke perkotaan atau antar kota tetap rendah. Untuk rumah tangga yang berpendapatan rendah dan menengah, bahan bakar bersubsidi juga menurunkan biaya layanan transportasi. Serupa dengan hal itu, harga bahan bakar yang rendah untuk penerangan dan memasak sebenarnya juga mengurangi biaya kegiatan-kegiatan tersebut. Akan tetapi, selama bertahun-tahun subsidi energi telah menjadi kurang efektif dan efisien. Biaya transportasi tidak hanya bergantung pada harga bahan bakar, namun juga infrastruktur jalan dan kualitas serta ketersediaan transportasi umum. Kondisi jalan yang buruk dan transportasi umum yang tidak efisien meningkatkan biaya transportasi lebih dari pengurangan harga yang disebabkan oleh subsidi. 1 Lebih dari itu, manfaat hanya bisa didapat jika barang-barang yang disubsidi tersebut betul-betul menjangkau konsumen. Kenyataannya, selain di pulau Jawa, banyak wilayah di Indonesia melaporkan bahwa harga energi jauh di atas harga subsidi resmi, dan juga berulang kali mengalami kekurangan bahan bakar yang mana disebabkan oleh ketidakmampuan perusahaan untuk memulihkan biaya pasokan di wilayah terpencil. Seiring dengan membaiknya kemakmuran Indonesia, sebagian besar manfaat justru dinikmati oleh masyarakat yang berpendapatan menengah dan tinggi yang membeli bensin dan solar dalam jumlah lebih besar untuk digunakan kendaraan pribadi mereka. Pada saat yang sama, meningkatnya harga bahan bakar global dan merosotnya cadangan minyak telah meningkatkan biaya subsidi fiskal bagi pemerintah. Akibatnya, subsidi energi mengkonsumsi sekitar seperlima hingga seperempat belanja pemerintah, yang berarti lebih besar daripada jumlah total belanja pertahanan, pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial (Tumiwa et al., 2012). Hal ini bukan sekadar implikasi finansial, karena subsidi energi yang tinggi dan terus meningkat akan mempersempit ruang pemerintah untuk belanja kesejahteraan sosial dan infrastruktur. Subsidi energi juga memiliki efek distributif yang tidak setara. Karena tidak adanya pembatasan pembelian bahan bakar bersubsidi di outlet pengecer, maka setiap rumah tangga, baik miskin mapun kaya, memiliki peluang yang sama untuk membeli bahan bakar bersubsidi (Widodo et al., 2012). Akan tetapi, data menunjukkan bahwa justru kelas atas dan menengah ataslah yang mengkonsumsi energi lebih banyak, dan karenanya sebagian besar alokasi subsidi dinikmati oleh rumah-rumah tangga kaya ini (lihat gambar 2). Hal ini secara khusus dapat dilihat pada subsidi bensin dan solar, di mana rumah tangga yang berpendapatan rendah tidak mampu untuk membeli kendaraan pribadi atau membeli bahan bakar tersebut, dan hanya menerima manfaat secara tidak langsung dari dampak subsidi terhadap harga layanan transportasi dan barang lainnya. 1 Untuk diskusi mengenai infrastruktur dan kemiskinnan, khususnya jalan pedesaan, lihat World Bank (2006). 5

50% 40% 30% 20% 10% 0% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Poor Household consumption decile Rich GAMBAR 3. DISTRIBUSI DARI MANFAAT SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR, BERDASARKAN RUMAH TANGGA Sumber: Agustina et al. (2008), berdasarkan Susenas 2007. Singkat kata, subsidi energi, meskipun memiliki sejumlah efek positif terhadap kesejahteraan secara umum, tidak mendukung rumah tangga yang berpendapatan rendah secara efisien, dan karena menjadi semakin mahal, justru akan sangat memberatkan ( crowd-out ) belanja pemerintah untuk kebijakan-kebijakan alternatif. 2.2 Pengalaman masa lalu: Dari subsidi umum hingga upaya pengentasan kemiskinan yang tertarget Program-program bantuan sosial yang menyasar rumah tangga merupakan perkembangan yang relatif baru di Indonesia. Pada masa Orde Baru, pemerintah memilih untuk memberikan subsidi universal untuk menstabilkan harga bahan bakar dan komoditas lain. Saat itu terdapat sejumlah program yang melibatkan bentuk penargetan yang mendasar. Misalnya, program-program infrastruktur pedesaan atau dana bantuan (block grants) untuk desadesa miskin yang ditujukan pada wilayah geografis tertentu, sementara kebijakan-kebijakan seperti kredit bagi petani ditargetkan pada sejumlah sektor lapangan kerja tertentu. Meskipun tingkat penargetan tersebut terbatas, dari awal tahun 1970-an hingga tahun 1990-an Indonesia berhasil mengurangi kemiskinan secara signifikan dengan menggunakan pendekatan broad brush ini. Krisis keuangan Asia yang mengguncang PDB dan mengakibatkan inflasi tinggi pada akhir tahun 1997 tiba-tiba menjungkirbalikkan sebagian besar upaya pengurangan kemiskinan pada tiga puluh tahun sebelumnya. Pada tahun 1998, jumlah masyarakat miskin di Indonesia melonjak hingga mencapai 49 juta orang (sekitar 24 persen dari total populasi). 2 Sementara pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah berhasil meningkatkan standar hidup sepanjang masa-masa baik (good times), krisis tersebut menunjukkan bahwa sejumlah besar masyarakat ternyata kurang memiliki perlindungan sosial yang cukup atau cara lain untuk menghadapi goncangan ekonomi yang besar. Dalam menanggapi dampak social dari krisis, pemerintah meluncurkan seperangkat program yang disebut sebagai Jaring Pengaman Sosial atau JPS. Paket JPS terdiri dari sejumlah program, yaitu penciptaan lapangan kerja (berbagai program padat karya, dana hibah dan kredit bergulir skala kecil), program jaminan pangan, subsidi untuk layanan 2 Untuk informasi mengenai krisis keuangan, lihat Booth (1999) dan Feridhanusetyawan (2000). 6

kesehatan dasar serta program bantuan pendidikan yang dirancang untuk siswa miskin. 3 Berdasarkan sejumlah studi, program-program JPS terbukti tidak terlalu efektif dalam memberikan perlindungan terhadap goncangan. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan standar hidup, termasuk penurunan tingkat kemiskinan setelah krisis, lebih disebabkan oleh upaya-upaya stabilisasi ekonomi tingkat makro dari pemerintah, khususnya manajemen harga beras (lihat World Bank, 2006). Namun demikian, JPS mewakili suatu model program sosial baru di Indonesia, yang langsung menyasar masyarakat miskin. Pada tahun-tahun setelah krisis, pemerintah mengembangkan dan memperkenalkan sejumlah program kesejahteraan yang tertarget secara berkelanjutan. Hingga saat ini, program-program ini masih terpencar, belum komprehensif dan menggunakan data penargetan yang beragam dalam mengidentifikasi penerima. Namun secara bertahap pemerintah memperkuat dan memperbaiki program-programnya serta membangun data penargetan yang lebih baik. 4 2.3 Saat ini: Satu dekade kenaikan harga yang diimbangi dengan upaya perlindungan sosial Pemerintah Indonesia telah memotong subsidi bahan bakar beberapa kali sejak tahun 1998. Pada tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid meningkatkan harga bahan bakar sebesar 30 persen. Selanjutnya pada tahun 2005, Presiden SBY menaikkan harga bahan bakar hampir sebesar 100 persen. Ia kemudian menaikkan kembali harga bahan bakar pada tahun 2008 sebesar sekitar 30 persen, meskipun pada tahun 2009 harga tersebut dikembalikan ke tingkat harga pada akhir tahun 2005, yang dipandang banyak kalangan sebagai upaya menarik simpati masyarakat menjelang Pemilu. Pada tahun 2013, setelah penundaan selama satu tahun dari rencana awal, demonstrasi dan pergulatan politik yang berat di parlemen, harga bahan bakar dinaikkan sedikit di atas harga pada tahun 2008. Dalam setiap kenaikan tersebut, upaya perlindungan sosial diperkenalkan atau diperluas pada saat subsidi bahan bakar dikurangi dalam rangka membantu masyarakat dalam menghadapi dampak dari kenaikan harga bahan bakar terhadap kesejahteraan mereka. Semenjak tahun 2014, harga bahan bakar masih diatur oleh pemerintah. Setiap perubahan harga harus diimplementasikan melalui keputusan presiden atau pemerintah. Terdapat banyak pembicaraan mengenai perubahan mekanisme subsidi, dimana pemerintah akan menetapkan sejumlah subsidi per unit energi yang dijual (misalnya Rp 2.000,- per liter) daripada sekedar memperbaiki harga. Kebijakan ini akan mendukung upaya-upaya terkait harga, namun tetap membiarkan turun naiknya harga sebagai tanggapan terhadap pasar internasional dan menjaga biaya tetap dalam kendali. Namun sejauh ini, diskusi terkait hal ini masih belum ditindaklanjuti dengan sebuah keputusan politis. Namun demikian, Indonesia harus mengurangi ketergantungannya terhadap bahan bakar fosil dan menetapkan harga energi domestik yang lebih mendekati harga ekonomis. Pada saat yang sama, pengurangan subsidi bahan bakar akan memberikan ruang fiskal bagi pemerintah untuk berinvestasi di program-program kesejahteraan sosial. Bagaimanapun, hal ini dapat menimbulkan tantangan-tantangan. Sebelum pemerintah dapat bergerak lebih lanjut dalam mengeliminasi subsidi bahan bakar, pemerintah harus membangun suatu sistem kesejahteraan sosial yang kuat dalam rangka memberikan masyarakat perlindungan yang lebih baik dalam menghadapi dampak guncangan ekonomi yang akan terjadi. Sejak tahun 2014, pemerintah telah memperkenalkan sejumlah program kesejahteraan sosial yang dapat dilihat sebagai landasan dari suatu sistem kesejahteraan yang komprehensif. 3 Untuk tinjauan singkat mengenai hal ini, lihat Daley and Fane (2002). 4 Untuk pembahasan lebih detil mengenai program bantuan sosial di masa lalu, lihat Perdana and Maxwell (2012) 7

2.4 Arah Reformasi Kebijakan di Masa yang Akan Datang Pengalaman Indonesia menunjukkan adanya hubungan dua arah antara reformasi subsidi energi dengan kesejahteraan sosial. Pertama-tama, reformasi subsidi energi-mengurangi subsidi dan menaikkan harga domestik-telah menciptakan kebutuhan untuk memberikan program kompensasi. Pemerintah berada dalam tekanan untuk menunjukkan bahwa kenaikan harga tidak akan merugikan masyarakat miskin. Pada praktiknya, program kesejahteraan yang dihasilkan telah menciptakan suatu perubahan nyata. Pemerintah menggunakan pemotongan subsidi bahan bakar dan kebijakan mitigasi yang terkait dengannya sebagai instrumen dalam mengurangi ketidaksetaraan, menjamin distribusi manfaat yang lebih progresif yang mana difokuskan terhadap masyarakat miskin. Program bantuan tunai yang diluncurkan pemerintah pada tahun 2005, 2008 dan 2013 bukanlah akhir dari perjalanan kebijakanini. Kelemahan dan kekurangan BLT dalam mengelola reformasi subidi energi telah memicu upaya pencarian program kesejahteraan sosial yang lebih baik. Mungkin ada yang berpendapat bahwa program kesejahteraan sosial harus menjadi upaya yang mandiri dan berkelanjutan, dan tidak bergantung pada reformasi subsidi. Namun pada kenyataannya, kejutan dari pengurangan subsidi energilah yang dapat dipandang sebagai cikal bakal dari reformasi kesejahteraan sosial. Hal ini juga dapat berjalan sebaliknya. Suatu sistem kesejahteraan sosial yang berhasil dapat menjustifikasi reformasi subsidi energi secara lebih lanjut. Di Indonesia, pendapat politik mengenai program kesejahteraan sosial pemerintah masih beragam. Namun ketika pemerintah memperkenalkan kembali potongan subsidi bahan bakar pada tahun 2013, reaksi negatif yang timbul tidak sebesar pada tahun 2005 dan tahun 2008. Program bantuan langsung tunai yang berikutnya juga mendapatkan tanggapan yang relatif lebih tenang dibandingkan dengan reaksi penuh kemarahan pada beberapa tahun sebelumnya. Pemerintah telah belajar dari pengalaman program-program BLT sebelumnya, dan lebih siap pada tahun 2013. Pada saat tulisan ini dibuat, masih terdapat berbagai kritik terkait, namun kepercayaan diri pemerintah dalam menerapkan reformasi kebijakan energi dan kesejahteraan ganda ini telah meningkat. 8

3.0 Program Bantuan Sosial yang Digunakan dalam Mengompensasi Pencabutan Subsidi Bahan Bakar Sebagaimana dijelaskan pada Bagian 2, pemerintah pusat menjalankan sejumlah program pengurangan kemiskinan yang dikelompokkan ke dalam tiga kelompok. Selain program-program tersebut, terdapat program lain yang dikelola oleh pemerintah daerah, dan juga program yang lebih kecil yang dijalankan oleh pemerintah pusat, yang mana bukan merupakan bagian dari program pengurangan kemiskinan resmi namun dapat membantu menunjang upaya pengurangan kemiskinan. Bagian ini meringkas empat program bantuan yang merupakan bagian dari program-program Kelompok 1 yang menyasar rumah tangga 5 dan telah digunakan dalam 10 tahun terakhir dalam membantu meringankan dampak reformasi subsidi bahan bakar. Ini adalah program-program reguler, yang berarti diberikan secara berkelanjutan dan permanen. Pada tahun 2005, 2008 dan 2013, pemerintah mengombinasikan program-program bantuan berkelanjutan ini dengan program bantuan langsung tunai yang bersifat sementara dan tanpa syarat. 3.1 Raskin Program Beras Bersubsidi Raskin (Beras Miskin) adalah suatu skema bantuan sosial yang merupakan bagian dari program jaring pengaman sosial pada awal tahun 1998. Dasar pemikiran dari Beras OPK, nama program ini sebelumnya, adalah untuk memasok pasar dengan beras bersubsidi di sejumlah titik distribusi di seluruh negeri sehinggga rumah tangga yang berpendapatan rendah tetap mampu membeli beras tersebut. Kemudian, ketika ekonomi membaik, pemerintah meneruskan program ini dan mengganti nama program ini menjadi Raskin. Saat ini, Raskin menyasar sekitar 15 juta rumah taangga (25% masyarakat termiskin), meskipun pada suatu titik sempat dialokasikan untuk 20 juta rumah tangga. Bulog mengirimkan beras bersubsidi setiap bulannya ke titiktitik distribusi (biasanya di tingkat desa). Warga desa yang berhak-biasanya ditandai dengan kupon atau surat yang ditandatangani oleh kepala desa yang menyatakan bahwa warga yang bersangkutan termasuk warga miskinkemudian mengantri sekali sebulan untuk membeli sampai 15 kilogram beras hanya dengan harga 20-30 persen dari harga pasar. 6 Terkait dengan subsidi energi, program subsidi pangan seperti Raskin jarang dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Banyak penelitian mendokumentasikan masalah dan kelemahan program ini. Walaupun program ini menyasar rumah tangga miskin, pada praktiknya rumah tangga non-miskin juga dapat membeli beras bersubsidi tersebut. Dalam banyak kasus, kepala desa tidak mengizinkan penerima manfaat yang berhak untuk membeli jatah 15 kilogram mereka, dan justru memberikan beras yang tersisa kepada warga lain yang dianggapnya sama miskinnya. Terkadang rumah tangga miskin sendiri melepaskan hak mereka karena tidak memililki uang untuk membeli keseluruhan 15 kilogram beras tersebut. Masalah lain adalah distribusi beras yang terlambat. Di banyak daerah, khususnya daerah terpencil, Raskin terkadang hanya dikirimkan sekali setiap tiga hingga enam bulan. Para penduduk desa seringkali juga harus membayar lebih dari harga yang tertera, karena biaya transportasi dan pengemasan tambahan, atau dalam beberapa kasus karena korupsi dan penipuan yang dilakukan oleh pejabat desa. 7 5 Lihat juga World Bank (2012) untuk pembahasan lebih lanjut mengenai program-program ini. 6 Berdasarkan rancangan program saat ini, Raskin akan diberikan setiap bulan. Namun dalam praktiknya, banyak desa yang hanya dua hingga tiga bulan sekali menerima Raskin, bahkan terkadang lebih jarang, oleh karena hambatan logistik. Pada tahun 2013, sebagai bagian dari kompensasi atas kenaikan harga bahan bakar pada tahun tersebut, Raskin direncanakan akan didistribusikan 15 kali dalam setahun sepanjang tahun 2014. 7 Hastuti and Maxwell (2003), Suryahadi and Sumarto (2010). 9

3.2 Jamkesmas Asuransi Kesehatan Seperti Raskin, Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) berasal dari era jaring pengaman sosial tahun 1998. Pada tahun 1998, pemerintah pusat membebaskan biaya untuk rawat jalan dan rawat inap di Puskesmas, atau Kelas III di rumah sakit pemerintah, bagi warga miskin yang memegang surat keterangan dari kepala desa. Skema ini disebut sebagai JPK Gakin (Jaring Pengaman Kesehatan untuk Warga Miskin). Setelah krisis, antara tahun 2004 dan 2007 program tersebut disebut Askeskin (Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin) dan dijalankan oleh perusahaan asuransi pemerintah, PT Askes. Sejak tahun 2008, Kementrian Kesehatan, yaitu lembaga pemerintah pusat yang bertanggung jawab atas program tersebut, mengakhiri perjanjian dengan PT Askes dan menjalankan Jamkesmas di bawah program yang didanai negara. Saat ini, Jamkesmas menyasar 76,4 juta masyarakat Indonesia, yaitu sekitar 30 persen dari populasi total masyarakat Indonesia. Sebenarnya, jumlah pemegang kartu Jamkesmas lebih sedikit dari jumlah ini, karena banyak kartu yang tidak sampai ke penerima yang berhak oleh karena kesulitan dalam proses distribusi. Sebagaimana sebelumnya, Jamkesmas memberikan layanan kesehatan gratis kepada penerima manfaat di Puskesmas dan rumah sakit pemerintah Kelas III. Skema ini praktis mencakup seluruh layanan perawatan kesehatan (termasuk misalnya operasi katup jantung). Sebagai suatu skema untuk memitigasi dampak reformasi subsidi bahan bakar, Jamkesmas mungkin tidak membantu masyarakat dalam menghadapi kenaikan biaya hidup untuk jangka pendek, namun berpotensi untuk memperbaiki kesejahteraan mereka secara signifikan dalam jangka menengah dan panjang. Akan tetapi, tingkat pemanfaatannya masih tergolong amat rendah oleh karena masalah dalam hal pasokan. Di banyak daerah, khususnya wilayah pedesaan dan terpencil, fasilitas kesehatan tidak tersedia atau tidak cukup untuk melakukan berbagai layanan kesehatan. 3.3 BSM Bantuan Siswa Miskin BSM (Bantuan Siswa Miskin) adalah program bantuan dana tunai untuk siswa dari keluarga miskin yang sedang bersekolah di tingkat SD, SMP dan SMA. Program ini diperkenalkan pada tahun 2008, dan memberikan uang tunai sejumlah Rp360.000 (US$36) hingga Rp1.000.000 (US$100) per siswa per tahun, tergantung dari tingkat sekolah. Jumlah ini dimaksudkan untuk menutupi pengeluaran terkait sekolah selain uang sekolah, khususnya biaya transportasi. Pada tahun 2008, BSM memberikan bantuan kepada sekitar 3 juta siswa di seluruh tingkatan SD, SMP dan SMA. Pada akhir tahun 2013, program ini sudah menyasar 8 juta siswa. Pada paruh kedua tahun 2013, menyusul kenaikan harga bahan bakar, BSM diperluas lebih jauh hingga menyasar seluruh siswa dari rumah tangga di dasar 25 persentil, yang mana setara dengan 15,4 juta siswa (Rahayu, 2013). Pada mulanya, bantuan BSM menjangkau siswa melalui sekolah mereka, dan tidak seluruh penerima manfaat menerima uang tunai. Sejumlah sekolah memutuskan untuk mengganti BSM dengan buku atau seragam. Sekolah lainnya mengubah uang tunai BSM menjadi buku tabungan siswa yang dikelola oleh sekolah. Selanjutnya, BSM diubah menjadi sistem yang mendistribusikan pembayaran melalui kantor pos. Hal ini dilakukan untuk memastikan sebagian besar siswa dapat menerima uang tunai tersebut, walaupun banyak sekolah dilaporkan masih bersikeras dalam menyalurkan BSM kepada siswa mereka dalam berbagai bentuk lainnya. Sebagai suatu upaya bantuan sosial untuk membantu rumah tangga menghadapi pencabutan subsidi bahan bakar, BSM memberikan dukungan melalui beberapa cara, yaitu sebagai pemasukan tambahan bagi rumah tangga yang harus mengeluarkan dana pendidikan, sebagai cara meringankan guncangan jangka pendek dari kenaikan biaya 10

energi, dan dengan mendorong tingkat kehadiran di sekolah yang lebih tinggi. Dengan memastikan tingkat kehadiran siswa, BSM juga menjadi suatu investasi lintas generasi dalam rangka memutus lingkaran kemiskinan. Namun pada saat yang sama, bantuan BSM hanya dapat dimanfaatkan oleh rumah tangga yang memiliki anak usia sekolah, dan karenanya tidak dapat menjangkau seluruh rumah tangga yang terkena dampak kenaikan harga energi. 3.4 PKH transfer tunai bersyarat Semakin populernya program bantuan tunai bersyarat (conditional cash transfer/cct) di Amerika Latin pada tahun 1990 dan awal tahun 2000-an menciptakan suatu tren baru di mana CCT diadopsi di banyak negara termasuk Indonesia. Pada tahun 2007 pemerintah meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH) di tujuh provinsi yang menjangkau 350.000 keluarga. PKH dirancang dengan mengikuti model Opportunidades di Meksiko dan Bolsa Familia di Brazil. PKH menyasar rumah tangga di bawah 7-10 persen (yang mana dikategorikan sebagai sangat miskin ) yang terdiri setidaknya dari kategori berikut: ibu hamil; anak di bawah usia 6 tahun; anak usia sekolah dasar (7-12 tahun); atau anak usia SMP (12-15 tahun). Rumah tangga PKH harus memastikan bahwa ibu hamil mengunjungi pusat layanan kesehatan setidaknya empat kali sepanjang masa kehamilan; dan bahwa anak dengan usia di bawah 6 tahun mengunjungi klinik kesehatan untuk mengukur bobot dan tingginya sekaligus menerima vitamin dan imunisasi yang terjadwal, dan bahwa anak pada usia sekolah akan dapat masuk sekolah dan menjaga kehadirannya di sekolah minimal 85 persen setiap bulannya. Pada tahun 2013, PKH sudah beroperasi di 70 persen kabupaten di Indonesia. Program ini menjangkau 2,4 juta rumah tangga, dan akan diperluas hingga menjangkau 3,2 pada tahun 2014. Rumah tangga dapat menerima hingga Rp2.800.000 per tahun (US$280), tergantung pada berapa banyak anggota keluarganya yang terdaftar di PKH, dan jika mereka benar-benar memenuhi semua syarat kelayakan. Rumah tangga PKH pada tahun 2013 rata-rata menerima Rp1.400.000 (US$140) per tahun (Nazara dan Rahayu, 2013). Kesenjangan dalam ketersediaan sisi pasokan adalah tantangan terbesar untuk ekspansi dari PKH. Di wilayah terpencil, khususnya di wilayah timur, rumah tangga miskin dapat terletak di wilayah tanpa akses transportasi yang layak dan fasilitas kesehatan terdekat dapat berjarak lebih dari 50 km. Anak-anak harus berjalan kaki selama dua jam ke sekolah setiap hari, dan bisa dikatakan beruntung jika ada guru di sekolah. Dalam situasi seperti ini, penerapan kriteria kelayakan PKH secara ketat akan amat memberatkan masyarakat miskin. Mempertahankan pelaksanaan bantuan tunai bersyarat PKH juga merupakan tantangan lainnya. Bahkan pada area PKH saat ini, penerapan persyaratan bukan merupakan hal yang mudah. Data dari sistem informasi program menunjukkan bahwa 80-90 persen dari penerima PKH memenuhi kondisi tersebut. Namun berbagai laporan kunjungan lapangan menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, program tidak dapat memverifikasi apakah anggota PKH benar-benar mengunjungi klinik kesehatan atau memenuhi tingkat kehadiran minimal di sekolah. Hal ini berarti banyak penerima PKH hanya diasumsikan memenuhi syarat yang diharuskan. 3.5 Diskusi tentang efektivitas program saat ini Keempat program bantuan sosial di Indonesia yang menyasar rumah tangga (Kelompok 1 mencakup Raskin, Jamkesmas, BSM dan PKH) ditambah skema transfer tunai tanpa syarat sementara seperti BLSM (lihat di bawah ini) telah memberikan suatu landasan yang baik untuk rezim kesejahteraan yang komprehensif pada masa mendatang. 11

Pemeliharaan program bantuan sosial serta program-program pada kelompok lainnya ini dapat diartikan jika pemerintah terus mengurangi subsidi bahan bakar, anggaran tersebut dapat direalokasikan untuk memperbaiki program-program saat ini tersebut. Namun demikian, terdapat sejumlah wilayah di mana program-program saat ini masih perlu diperbaiki. 1. Penargetan. Sebelum tahun 2011 berbagai program menggunakan berbagai metode dan mekanisme dalam menyasar penerima manfaat. Misalnya, kepala desa bertanggung jawab dalam memilih penerima Raskin, dan kepala sekolah berwenang untuk memilih siswa yang akan menerima BSM. Akibatnya, definisi penerima manfaat program bantuan sosial menjadi beragam. Sejak tahun 2012, pemerintah pusat meminta program bantuan sosial utama di Indonesia untuk menggunakan sistem Database Terpadu (Unified Database) dalam rangka penargetan. Database ini berisi 96 juta orang yang berada pada 40 persen populasi dengan kondisi terbawah. Data tersebut dikumpulkan pada tahun 2011, dan pada saat penulisan materi ini, pemerintah sedang mempersiapkan pengumpulan dan pemutakhiran data lain pada tahun 2014. Keempat program bantuan sosial yang sudah dijelaskan di atas tersebut, ditambah dengan skema bantuan tunai tanpa syarat pada tahun 2013 (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat/BLSM), telah menggunakan Database Terpadu ini. Diharapkan dengan sistem penargetan yang telah diperbaiki ini, program bantuan sosial akan lebih efektif dalam membantu rumah tangga dalam menghadapi kenaikan biaya hidup. 2. Program yang saling melengkapi. Pada teorinya, karena seluruh program sama-sama menyasar 40 persen segmen populasi Indonesia, sebagian besar rumah tangga, khususnya mereka yang berada pada distribusi pendapatan terendah, harus menerima berbagai program. Namun pada praktiknya, keempat program bantuan sosial utama ini dikelola dan dijalankan oleh berbagai kementrian. Setiap kementrian memiliki anggaran dan jalur pelaporan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, mereka tidak selalu menyampaikan program mereka ke rumah tangga yang sama. Dengan demikian, daripada membangun sinergi antar program, berbagai program dijalankan secara independen antara satu dengan lainnya, yang mana mengurangi efektivitas dari pengurangan kemiskinan. Misalnya, pelajar yang menerima PKH secara teori harus menerima BSM. Namun tidak ada mekanisme formal untuk memastikan hal ini benar-benar terjadi di lapangan. Bahkan sekolah seringkali memutuskan tidak akan memberikan BSM kepada siswa yang menerima PKH karena mereka menganggap siswa yang menerima PKH sudah mendapat cukup bantuan dari satu program pemerintah dan menghendaki untuk mengalokasikan BSM kepada pihak lain yang bukan penerima PKH. Akan tetapi, karena para siswa PKH berasal dari rumah tangga termiskin (yang berada pada distribusi pendapatan 5-7 persen terendah), tujuan awal pemerintah sebenarnya adalah memberikan mereka berbagai program bantuan sosial, yang mana program tambahan akan memiliki dampak kumulatif lebih besar bagi rumah tangga yang berada di bawah distribusi pendapatan. 3. Membangun program yang luas. Keempat program tersebut pada saat makalah ini ditulis menangani sejumlah isu spesifik, yaitu pangan (Raskin), kesehatan (Jamkesmas), pendidikan (BSM), dan investasi sumber daya manusia (PKH). Namun demikian, untuk membangun suatu sistem kesejahteraan sosial yang kuat, Indonesia juga memerlukan program yang menyasar para lansia, penyandang cacat, anak putus sekolah, pengangguran, kurang gizi, dan seterusnya. Jika Indonesia bermaksud meliberalisasi pasar untuk komoditas dasar mudah berubah (volatile) seperti energi, Indonesia juga harus mengembangkan program yang merespon ketidakstabilanharga internasional. Di Brazil, pemerintah pertama-tama menggunakan Bolsa Familia sebagai program bantuan sosial inti, kemudian pemerintah secara bertahap memperluas program tersebut yang mana mencakup aktivitas lainnya. Indonesia dapat mengikuti langkah ini. 12

4.0 Kesimpulan dan pelajaran Indonesia perlu meneruskan reformasi kebijakan energi selagi masih berada pada tahap perbaikan dan perluasan kebijakan kesejahteraannya. Subsidi energi telah memakan porsi APBN dalam jumlah yang besar. Peningkatan harga bahan bakar telah memberikan ruang bagi pemerintah untuk menggunakan anggaran tersebut untuk keperluan lainnya, dari program infrastruktur hingga kesejahteraan sosial. Namun kesenjangan antara harga bahan bakar ekonomis dan domestik terus memutarbalikkan sinyal dari kelangkaan dan mendorong konsumsi berlebih (overconsumption). Dan, sebagai instrumen yang tidak ditargetkan, subsidi energi tetap lebih memberikan manfaat lebih sedikit untuk masyarakat yang miskin dibandingkan dengan yang kaya yang mana mengonsumsi bahan bakar lebih banyak. Sejak tahun 2000, pemerintah telah beberapa kali mencoba melakukan reformasi dengan meningkatkan harga bahan bakar domestik; kenaikan terakhir pada saat makalah ini ditulis terjadi pada tahun 2013. Sejauh ini, reformasi yang dilakukan masih lebih bersifat ad hoc dan bukan reformasi yang terprogram, serta lebih dipicu oleh kenaikan harga migas internasional. Pemerintah belum mengumumkan suatu rencana reformasi energi yang komprehensif. Namun demikian, sejumlah langkah kecil telah dilaksanakan, seperti konversi dari minyak tanah ke LPG sebagai bahan bakar untuk memasak untuk masyarakat miskin. Pemerintah juga dapat memperkenalkan subsidy cap atau rencana subsidi tetap (fixed subsidy plan). Dengan demikian, selagi masih berada di bawah harga internasional, harga domestik akan mengalami naik turun, namun jumlah subsidi maksimum yang dialokasikan di APBN akan ditetapkan pada tingkat subsidi maksimum yang pasti. Pemerintah juga telah memperkenalkan sejumlah program kesejahteraan sosial. Menyusul pengurangan subsidi bahan bakar pada tahun 2005, 2008 dan 2013, pemerintah menjalankan program bantuan tunai sementara yang menyasar rumah tangga yang berpendapatan rendah, untuk meringankan beban akibat adanya kenaikan harga. Selain itu, pemerintah juga telah memperkenalkan sejumlah program bantuan sosial yang lebih permanen, yang mana dapat diperkuat dan diperbaiki lebih lanjut ke dalam suatu sistem kesejahteraan sosial yang lebih komprehensif. Pengalaman Indonesia sejauh ini menunjukkan hubungan saling melengkapi antara reformasi subsidi bahan bakar dan kesejahteraan sosial. Satu bagian reformasi dapat memberikan justifikasi yang kuat pada bagian lainnya. Masih banyak pekerjaan yang masih harus dilakukan. Pemerintah harus membuat suatu rencana yang komprehensif bagi reformasi sektor energi yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Potongan subsidi seharusnya hanya merupakan satu bagian dari reformasi sektor energi yang lingkupnya lebih besar, dengan tujuan untuk mengurangi kesenjangan antara harga bahan bakar domestik dan internasional, serta menetapkan harga secara lebih efisien dalam menrefleksikan kelangkaan. Anggaran ekstra yang diturunkan dari potongan subsidi bahan bakar dapat direalokasikan pada tiga wilayah utama: pembangunan infrastruktur, fasilitas transportasi publik, dan perbaikan program kesejahteran sosial secara lebih lanjut. Program-program kesejahteraan sosial terkait dengan kesehatan, gizi dan pendidikan memerlukan pendanaan yang lebih besar dari pemerintah. Terlepas dari seluruh tantangan yang dihadapi, pemerintah Indonesia tidak perlu mulai dari nol ( reinvent the wheel ). Pemerintah telah mengembangkan sejumlah instrumen yang dapat difungsikan sebagai landasan dari suatu sistem kesejahteraan yang lebih efektif dan efisien di masa yang akan datang. 13

Referensi ADB (Asian Development Bank) (2006) From Poverty to Prosperity: A Country Poverty Analysis for Indonesia, ADB, Manila. Augustina, C.D.R.D., W. Fengler and G. Schulze (2012) The Regional Effects of Indonesia s Oil and Gas Policy: Options for Reform, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 48 (3): 367 395. Badan Pusat Statistik (various years). The Indonesian Poverty Profile. Accessible from http://bps.go.id/ Booth, A. (2000) Poverty and inequality in the Soeharto era: An assessment, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36(1): 73 104. Daley, A. and G. Fane (2002) Anti-poverty programs in Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 38(3): 309 31. Feridhanusetyawan, Tubagus (2000) The social impact of the Indonesian economic crisis, in Social Impacts of the Asian Economic Crisis, Thailand Development Research Institute (TDRI), Bangkok. Government of Indonesia (2009). Medium-term Development Plan 2009-2014. Hastuti and J. Maxwell (2003) Rice for Poor Families (Raskin): Did the 2002 program operate effectively? Evidence from Bengkulu and Karawang, Working Paper, SMERU Research Institute, Jakarta, June. Hastuti et al. (2006) A rapid appraisal of the implementation of the 2005 direct cash transfer program in Indonesia: A case study in five kabupaten/kota, Research Report, SMERU Research Institute, Jakarta, July. Hastuti et al. (2010) The role of social protection programs in alleviating the impact of the global financial crisis 2008/2009, Research Report, SMERU Research Institute, Jakarta, July. Nazara, Suahasil and Sri Kusumastuti Rahayu (2013). PKH: the Indonesian Conditional Cash Transfer Program. TNP2K Research Brief No. 42 (October 2013). Perdana, A. and J. Maxwell (2005) Poverty targeting programs in Indonesia: Problems and lessons learned, in J. Weiss (ed.) Poverty Targeting in Asia, Edward Elgar, Cheltenham. Perdana, Ari. A and John Maxwell (2011). The Evolution of Poverty Alleviation Policies: Ideas, Issues and Actors. In Chris Manning and Sudarno Sumarto (eds.), Employment, Living Standards and Poverty in Contemporary Indonesia. Singapore: ISEAS Rahayu (2012). Solusi Dan Penanganan Masalah Kepesertaan Program Percepatan Dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) [presentation]. Last accessed on 19 March 2014 at: http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/ downloads/media%20briefing%20lpem%20ui.pdf Sumarto, S. and A. Suryahadi (2010) Post-crisis social protection programs in Indonesia, in J. Hardjono, N. Akhmadi and S. Sumarto (eds.) Poverty and Social Protection in Indonesia, Institute for Southeast Asian Studies and SMERU Research Institute, Singapore and Jakarta. Sumarto, S., A. Suryahadi and L. Pritchett (2002) Design and implementation of the Indonesian social safety net programs, Developing Economies, 40(1): 3 31. 14

Sumarto, S., A. Suryahadi and L. Pritchett (2005) Assessing the impact of Indonesian social safety net programmes on household welfare and poverty dynamics, European Journal of Development Research, 17(1): 155 77. Suryahadi, A., W. Widyanti, D. Perwira, S. Sumarto, C. Elbers and M. Pradhan (2003) Developing a poverty map for Indonesia: an initiatory work in three provinces, Parts 1 3, Research Report, SMERU Research Institute, Jakarta. Suryahadi, Asep, Umbu Reku Raya, Deswanto Marbun and Athia Yumna (2012). Accelerating Poverty and Vulnerability Reduction: Trends, Opportunities, and Constraints. SMERU Working Paper, May 2012. TNP2K (2011). Penanggulangan Kemiskinan: Situasi Terkini, Target Pemerintah, dan Program Percepatan, 2nd ed., pp.44-51. Tumiwa, F., L. Lontoh, T. Laan, K. Lang and D. Vis-Dunbar (2012). A Citizens Guide to Energy Subsidies in Indonesia: 2012 Update. Global Subsidies Initiative (GSI) of the International Institute for Sustainable Development (IISD): Geneva. Widodo, T., G. A. Sahadewo, S. U. Setiastuti and M. Chaerriyah (2012). Impact of Fuel Subsidy Removal on Government Spending in Wu, Y., X. Shi and F. Kimura (eds.), Energy Market Integration in East Asia: Theories, Electricity Sector and Subsidies, ERIA Research Project Report 2011-17, Jakarta: ERIA, pp.173-206. World Bank (2006) Making the New Indonesia Work for the Poor, World Bank, Jakarta. World Bank (2012) Protecting Poor and Vulnerable Households in Indonesia, World Bank, Jakarta 15

Published by the International Institute for Sustainable Development. International Institute for Sustainable Development Head Office 161 Portage Avenue East, 6th Floor, Winnipeg, Manitoba, Canada R3B 0Y4 Tel: +1 (204) 958-7700 Fax: +1 (204) 958-7710 Web site: www.iisd.org About IISD The International Institute for Sustainable Development (IISD) contributes to sustainable development by advancing policy recommendations on international trade and investment, economic policy, climate change and energy, and management of natural and social capital, as well as the enabling role of communication technologies in these areas. We report on international negotiations and disseminate knowledge gained through collaborative projects, resulting in more rigorous research, capacity building in developing countries, better networks spanning the North and the South, and better global connections among researchers, practitioners, citizens and policy-makers. IISD s vision is better living for all sustainably; its mission is to champion innovation, enabling societies to live sustainably. IISD is registered as a charitable organization in Canada and has 501(c)(3) status in the United States. IISD receives core operating support from the Government of Canada, provided through the International Development Research Centre (IDRC), from the Danish Ministry of Foreign Affairs and from the Province of Manitoba. The Institute receives project funding from numerous governments inside and outside Canada, United Nations agencies, foundations and the private sector. About GSI GSI is an initiative of the International Institute for Sustainable Development (IISD). GSI puts a spotlight on subsidies transfers of public money to private interests and how they impact efforts to put the world economy on a path toward sustainable development. In cooperation with a growing international network of research and media partners, GSI seeks to lay bare just what good or harm public subsidies are doing; to encourage public debate and awareness of the options that are available for reform; and to provide policy-makers with the tools they need to secure sustainable outcomes for our societies and our planet. International Institute for Sustainable Development Global Subsidies Initiative International Environment House 2 9 chemin de Balexert, 1219 Châtelaine, Geneva, Switzerland Tel: +41 22 917-8373 Fax: +41 22 917-8054 www.iisd.org/gsi 2014 The International Institute for Sustainable Development