BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan di setiap perusahaan tidak selamanya sama. Seorang pemimpin terkadang memiliki masalah yang kompleks terhadap karyawan didalam perusahaan karna gaya kepemimpinannya yang cenderung tidak mendapat respon positif dari karyawannya. Tidak bisa dipungkiri setiap individu manusia memiliki kelebihan dan kekurangan dalam memimpin. Menurut Sujak (2000) kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi, menggerakkan, dan mengarahkan suatu tindakan pada diri seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu. Gibson, James L (2000) menerangkan bahwa kepemimpinan adalah konsep yang lebih sempit daripada manajemen. Manajer dalam organisasi formal bertanggung jawab dan dipercaya dalam melaksanakan fungsi manajemen. Pemimpin kadang terdapat pada kelompok informal, sehingga tidak selalu bertanggung jawab atas fungsi-fungsi manajemen. Seorang manajer yang ingin berhasil maka dituntut untuk memiliki kepemimpinan yang efektif. Bagaimana usaha seorang pemimpin untuk mempengaruhi orang lain atau agar bawahan mengikuti apa yang diperintahkan akan sangat tergantung dari gaya kepemimpinan yang digunakan. Namun demikian, tidak ada gaya kepemimpinan yang efektif berlaku umum untuk segala situasi (Gibson, James L, 2000). Kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam pendekatan (Handoko, 2001), yaitu: 8
1. Pendekatan sifat-sifat (traits) yang berdasar pada kualitas yang diperlukan untuk menjadi pimpinan. 2. Pendekatan mempelajari perilaku (behaviors) yang diperlukan untuk mejadi seorang pemimpin yang efektif. 3. Pendekatan situasional (contigency) yang berdasar pada faktor-faktor situasional, untuk menentukan seberapa besar efektifitas situasi gaya kepemimpinan tertentu. Pendekatan dasar terhadap kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : 1. Pendekatan sifat (Trait Approach). Stodgill menyampaikan lima macam pendekatan sifat kepemimpinan seseorang, yaitu : Sifat fisik : tinggi, besar, kesehatan, penampilan fisik, dan lain-lain. Sifat intelegensia dan kemampuan : kemampuan untuk mempersatukan, berpikir konseptual, pembuatan rencana, dan lain-lain. Kepribadian : toleransi untuk berbuat baik terhadap orang lain. Hubungan dengan tugasnya : hasil kegiatan, inisiatif, dorongan dan lainlain. Sifat sosial: kerjasama, kemampuan administrasi, keterampilan interpersonal, dan lain-lain. 2. Pendekatan penggunaan wewenang. Berdasarkan pendekatan ini, terdapat 3 macam kategori pemimpin, yaitu : a. Pemimpin yang Otokratis. Pemimpin ini bersifat memerintah secara mutlak, menekan bawahan dan tidak memberikan kesempatan kepada 9
bawahan untuk mengemukakan pendapat dan saran. b. Pemimpin yang tidak perduli. Pemimpin ini bersifat tidak perduli terhadap tanggung jawab dan kewajibannya sebagai atasan dan cenderung tidak memperhatikan bawahan dan kinerja karyawan. c. Pemimpin yang Demokratis. Pemimpin ini memiliki sifat perduli terhadap karyawan, menerima aspirasi karyawan baik individu maupun kelompok sebagai sarana penunjang untuk membangun sikap positif kepemimpinan (Syamsi, 2006) Rivai (2004) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan para anggota kelompok. Rivai juga mengemukakan bahwa kepemimpinan mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari orang-orang diluar kelompok atau organisasi. Ada tiga implikasi penting yang terkandung dalam hal ini diantaranya adalah : 1. Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun pengikut. 2. Kepeminpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara pemimpin dan anggota kelompok secara seimbang, karena anggota kelompok bukanlah tanpa daya. 3. Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang berbeda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui berbagai cara. 10
Menurut Thoha (2001), pemimpin yang efektif dalam menerapkan gaya tertentu dalam kepemimpinannya terlebih dahulu harus memahami siapa bawahan yang dipimpinnya,mengerti kekuatan dan kelemahan bawahannya, dan mengerti bagaimana cara memanfaatkan kekuatan bawahan untuk mengimbangi kelemahan yang mereka miliki. Istilah gaya adalah cara yang dipergunakan pimpinan dalam mempengaruhi para pengikutnya. Siagian (2007) berpendapat bahwa peranan para pemimpin dalam organisasi sangat sentral dalam pencapaian tujuan dari berbagai sasaran yang ditetapkan sebelumnya. Siagian juga mengatakan bahwa perilaku kepemimpinan memiliki kecenderungan kepada dua hal yaitu konsiderasi (hubungan dengan bawahan) dan struktur inisiasi (hasil yang dicapai). Kecenderungan kepemimpinan menggambarkan hubungan yang akrab dengan bawahan misalnya bersikap ramah, membantu dan membela kepentingan bawahan, bersedia menerima konsultasi bawahan dan memberikan kesejahteraan. Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya suatu tujuan. Definisi kepemimpinan secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya (Robbins, 2006). 2.2 Teori Budaya Organisasi Dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak akan terlepas dari lingkungannya. Kepribadian seseorang akan dibentuk pula oleh lingkungannya. Agar kepribadian tersebut mengarah kepada sikap dan perilaku yang positif tentunya harus 11
didukung oleh suatu norma yang diakui kebenarannya dan dipatuhi sebagai pedoman dalam bertindak. Ada begitu banyak definisi mengenai budaya yang pada hakekatnya tidak jauh berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya. Pada dasarnya manusia atau seseorang yang berada dalam kehidupan organisasi berusaha untuk menentukan dan membentuk sesuatu yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak, agar dalam menjalankan aktivitasnya tidak berbenturan dengan berbagai sikap dan perilaku dari masing- masing individu. Hal yang dimaksud adalah budaya dimana individu berada, seperti nilai, keyakinan, anggapan, harapan dan sebagainya. Setiap organisasi baik itu swasta maupun pemerintah akan berupaya dan berorientasi pada tujuan jangka panjang yaitu berkembangnya organisasi yang diindikasikan dengan meningkatnya pendapatan, sejalan pula dengan meningkatnya kesejahteraan para pegawainya. Namun prakteknya untuk mencapai tujuan organisasi sering menghadapi kendala, yang salah satu faktornya adalah ketidakpuasan kerja dari para pegawainya. Sebagai akibatnya dapat berpengaruh kepada kinerja pegawai maupun kinerja organisasi secara keseluruhan. Robbins (2003) menyatakan bahwa terdapat tiga kekuatan yang merupakan bagian yang sangat penting dalam mempertahankan suatu budaya, yaitu : 1. Praktik Seleksi Tujuan utama dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan mempekerjakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan sukses 12
di dalam suatu organisasi. Proses seleksi memberikan informasi kepada para pelamar mengenai organisasi itu. Para calon belajar mengenai organisasi yang akan dimasuki, dan jika mereka merasakan suatu konflik antara nilai mereka dengan nilai organisasi maka mereka dapat menyeleksi diri keluar dari kumpulan pelamar. Oleh karena itu, seleksi menjadi jalan dua arah dengan memungkinkan pemberi kerja atau pelamar untuk memutuskan kehendak hati mereka jika terdapat kecocokan. Dengan cara ini proses seleksi mendukung suatu budaya organisasi dengan menyeleksi keluar individu-individu yang mungkin menyerang atau menghancurkan nilai-nilai intinya. 2. Manajemen Puncak Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada budaya organisasi. Lewat apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka berperilaku, eksekutif senior menegakkan norma-norma yang mengalir kebawah sepanjang organisasi, misalnya apakah pengambilan resiko yang diinginkan, berapa banyak kebebasan seharusnya diberikan oleh para manajer kepada bawahan mereka, pakaian apakah yang pantas dan tindakan apakah yang akan dihargai dalam kenaikan upah, promosi dan ganjaran lain. 3. Sosialisasi Tidak peduli betapa baik yang telah dilakukan suatu organisasi dalam perekrutan dan seleksi, karyawan baru tidak sepenuhnya diindoktrinasi dalam budaya organisasi itu. Yang paling penting apakah para karyawan baru tersebut mengenal baik budaya organisasi tersebut atau tidak. 13
Brahmasari (2004) mengemukakan bahwa budaya perusahaan (corporate culture) merupakan aplikasi dari budaya organisasi (organizational culture) terhadap badan usaha atau perusahaan. Kedua istilah ini sering dipergunakan untuk maksud yang sama secara bergantian. Budaya organisasi sebagai suatu konsep dapat menjadi suatu sarana untuk mengukur kesesuaian dari tujuan organisasi, strategi dan organisasi tugas, serta dampak yang dihasilkan. Tanpa ukuran yang valid dan reliabel dari aspek kritis budaya organisasi, maka pernyataan tentang dampak budaya pada kinerja akan terus berdasarkan pada spekulasi, observasi personal dan studi kasus. Menurut Koesmono (2005), bahwa budaya dapat didefinisikan sebagai berbagai interaksi dari ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi kelompok- kelompok orang dalam lingkungannya. Sedangkan Tika (2006) berpendapat bahwa dalam pembentukan budaya organisasi ada dua hal penting yang harus diperhatikan yaitu unsur-unsur pembentuk budaya organisasi dan proses pembentukan budaya organisasi itu sendiri. Schein dalam Darma (2004) menyatakan bahwa budaya organisasi dapat diartikan sebagai pola asumsi dasar yang ditemukan, diteliti atau dikembangkan oleh berbagai kelompok yang ada dalam organisasi. Definisi Schein ini mengilutrasikan bahwa budaya mencakup asumsi dasar yang dipelajari oleh anggota organiasi yang kemudian dikembangkan di dalam organisasi tersebut. Robbins (2003) menyatakan bahwa budaya merupakan suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota anggota organisasi yang membedakan organisasi itu dari organisasi organisasi lain. Ada beberapa manfaat budaya organisasi dikemukakan oleh Robbins, sebagai berikut: 14
1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas. Artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain. 2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota anggota organisasi. Dengan budaya organisasi yang kuat, anggota organisasi akan memiliki identitas yang merupakan ciri khas organisasi. 3. Mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan individu. Nilai nilai yang sudah disepakati bersama, akan dijadikan tolak ukur tindakan dari setiap individu, dan akan mengesampingkan kepentingan sendiri. 4. Menjaga stabilitas organisasi. Kesatuan komponen komponen organisasi yang direkatkan oleh pemahaman budaya yang sama akan membuat kondisi organisasi relatif stabil. Keempat fungsi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat membentuk perilaku dan tindakan karyawan dalam menjalankan aktivitasnya di dalam organisasi, sehingga nilai nilai yang ada dalam budaya organisasi perlu ditanamkan sejak dini pada setiap individu. Menurut Robbins (2008) ada sepuluh karakteristik utama yang menjadi ciri budaya organisasi, antara lain: 1. Inisiatif individu, merupakan tingkat tanggung jawab, kebebasan dan indipendensi yang dipunyai oleh individu. 2. Toleransi terhadap tindakan berisiko, yaitu sejauh mana para anggota organisasi dianjurkan untuk bertindak agresif dan inovatif dalam mengambil risiko. 3. Arah, yaitu sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi. 15
4. Integrasi, yaitu sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. 5. Dukungan dari manajemen, yaitu sejauh mana tingkat para pemimpin memberikan komunikasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap bawahannya. 6. Kontrol, merupakan jumlah pengaturan dan pengawasan langsung yang dipakai untuk mengevaluasi dan mengendalikan perilaku anggota organisasi. 7. Identitas, yaitu sejauh mana tingkatan para anggota mengidentifikasikan dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya dari pada dengan kelompok kerja tertentu/dengan keahlian profesinya. 8. Sistem imbalan, yaitu sejauh mana tingkat alokasi imbalan (kenaikan gaji atau promosi jabatan) didasarkan atas kriteria prestasi sebagai kebutuhan senioritas. 9. Toleransi terhadap konflik, yaitu sejauh mana tingkat para anggota organisasi didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka. 10. Pola komunikasi, yaitu sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hirarki kewenangan yang formal. 2.3. Teori Kepuasan Kerja Robbins (2003) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap umum individu pada pekerjaannya, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dengan banyaknya yang pekerja yakini seharusnya diterima. Sementara Luthans (2006), berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah ungkapan kepuasan karyawan tentang bagaimana pekerjaan mereka dapat 16
memberikan manfaat bagi organisasi, yang berarti apa yang diperoleh dalam bekerja sudah memenuhi apa yang dianggap penting. Ada 3 dimensi tentang kepuasan kerja menurut Luthans (2006) adalah sebagai berikut : a. Kepuasan kerja adalah merupakan suatu emosi yang merupakan respon terhadap situasi kerja sehingga kepuasan kerja tidak dapat dilihat namun bisa dirasakan dan akan tercermin dalam sikap. b. Kepuasaan kerja dalam hasil yang sesuai atau bahkan melebihi yang diharapkan, seperti seseorang yang bekerja sebaik yang mampu dilakukan dan bersikap mendapat imbalan yang sepadan. c. Kepuasan kerja biasanya dinyatakan dalam sikap, seperti semakin loyal dalam perusahaan, bekerja dengan baik, berdedikasi tinggi pada perusahaan, tertib dan mematuhi peraturan dan sikap lain yang bersifat positif. Menurut Rivai (2006) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan pada dasarnya secara praktis dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: Faktor Intrinsik. Faktor intrinsik merupakan faktor yang berasal dari diri karyawan dan dibawa oleh setiap karyawan sejak mulai bekerja ditempat pekerjaannya. Faktor Ekstrinsik. Faktor ekstrinsik ini menyangkut hal-hal yang berasal dari luar diri karyawan, antara lain kondisi fisik, lingkungan kerja, interkasi dengan karyawan lain, sistem penggajian, dan lain sebagainya. 17
Hasibuan (2003) mengemukakan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut : 1. Balas jasa yang adil dan layak. 2. Penempatan yang tepat dan sesuai dengan keahlian. 3. Suasana dan lingkungan pekerjaan. 4. Berat ringannya pekerjaan. 5. Peralatan yang menunjang. 6. Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya. 2.4. Teori Turnover Karyawan Cascio (2003) mendefinisikan turnover sebagai berhentinya hubungan kerja secara permanen antara perusahaan dengan karyawannya. turnover sebagai perpisahan antara perusahaan dan pekerja. Mobley (2011) memberikan batasan turnover sebagai berhentinya individu dari anggota suatu organisasi dengan disertai pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang bersangkutan. Handoko (2001) menyatakan, Perputaran (turnover) merupakan tantangan khusus bagi pengembangan sumber daya manusia. Karena kejadian-kejadian tersebut tidak dapat diperkirakan, kegiatan-kegiatan pengembangan harus mempersiapkan setiap saat pengganti karyawan yang keluar. Dilain pihak, dalam kasus nyata, program pengembangan perusahaan yang sangat baik justru meningkatkan intensi turnover. Pemberhentian menurut Robbins (2006) dibedakan menjadi dua tipe yaitu turnover yang sukarela atau yang diprakarsai karyawan (voluntary turnover), dan 18
tipe turnover yang terpaksa atau yang diprakarsai oleh organisasi, ditambah dengan kematian dan pengunduran diri atas desakan. Turnover cukup merugikan perusahaan karena banyak biaya yang telah dikeluarkan seperti uang pisah, ketidak manfaatan fasilitas sampai mendapatkan karyawan yang keluar, biaya kepegawaian (seperti rekruitmen, interview, test, pencatatan komputer, kepindahan, administrasi pencatatan, dan perubahan payroll). Kerugian nyata adalah kehilangan produktifitas sampai karyawan baru mencapai tingkat produktfitas sama dengan karyawan lama yang berhenti tersebut. Menurut Harnoto (2002) turnover ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain absensi yang meningkat, mulai malas kerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan, maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan yang sangat berbeda dari biasanya. Indikasiindikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan terjadinya turnover karyawan dalam sebuah perusahaan. a. Absensi yang meningkat Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat tanggung jawab karyawan dalam fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya. b. Mulai malas bekerja Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di tempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan karyawan bersangkutan. 19
c. Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran lainnya. d. Peningkatan protes terhadap atasan Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak sependapat dengan keinginan karyawan. e. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru menunjukkan karyawan ini akan melakukan turnover. 2.5. Hasil Penelitian Terdahulu Novliadi (2007), melakukan penelitian yang berjudul Intensi Turnover Karyawan ditinjau dari Budaya Perusahaan dan Kepuasan Kerja. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai hubungan budaya perusahaan dan kepuasan kerja dengan intensi turnover pada karyawan. Hasil yang diperoleh yaitu hubungan antara budaya perusahaan dan kepuasan kerja dengan intensi turnover karyawan bersifat negatif, dimana semakin tinggi tingkat kepuasan kerja karyawan dan semakin kuat budaya perusahaan maka semakin rendah tingkat 20
intensi turnover karyawan. Kadiman dan Andriana (2012), melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Budaya Organisasi dan komitmen Organisasi dan Kepuasan kerja terhadap Turnover Intention Karyawan (studi kasus pada PT. Nyonya Meneer Semarang). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh budaya organisasi, komitmen organisasi (komitmen efektif, komitmen kontinyu dan komitmen normatif) kepuasan terhadap intensitas turnover. Sampel ditetapkan sebanyak 115 orang karyawan. Dari penelitian yang telah dilakukan yang menunjukkan tabel summary menunjukkan angka koefisien determinasi berganda (R2) sebesar 0,614. Hal ini berarti sebesar 61,4% dapat dijelaskan oleh variabel budaya organisasi, komitmen organisasi (komitmen efektif, komitmen kontinyu dan komitmen normatif) dan kepuasan kerja, dan sisanya sebesar 38,6 dijelaskan oleh sebab lain diluar variabel yang diteliti. Malik, (2014) melakukan penelitian yang berjudul pengaruh budaya organisasi dan loyalitas kerja dengan intensi turnover pada karyawan PT. Cipaganti heavy equipment samarinda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh loyalitas budaya dan omset niat organisasi yang bekerja dengan karyawan PT. Cipaganti Heavy Equipment Samarinda. Penelitian ini menggunakan sampel dari 71 karyawan yang bekerja di kota atau samarinda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) ada pengaruh yang signifikan antara budaya organisasi dan bekerja loyalitas dengan niat omset (F = 80,022, R2 = 0,302, dan p= 0,000), (2) artefak yang sangat signifikan mempengaruhi budaya organisasi dengan omset niat (beta = 0,811, t = 12,231, dan p = 0,000), (3) ada pengaruh yang signifikan antara loyalitas bekerja dengan niat omset (beta = 0,177, t = 2,674, 21
dan p = 0,009). Zulaiha (2013), melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi Terhadap Turnover Karyawan pada PT. Massindo Sinar Pratama.Tbk Manado. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh budaya dan komitmen organisasi baik secara simultan maupun parsial terhadap turnover karyawan. Sampel dalam penelitian ini yaitu karyawan perusahaan PT. Massindo Sinar Pratama sebesar 72 responden. Analisis data yang digunakan yaitu analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa: (1) Budaya organisasi dan komitmen organisasi secara simultan berpengaruh secara signifikan terhadap turnover karyawan PT. Massindo Sinar Pratama Tbk Manado. (2) Budaya organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap turnover karyawan PT, Massindo Sinar Pratama Tbk Manado. (3) Komitmen organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap turnover karyawan PT. Massindo Sinar Pratama Tbk Manado. 22