Perbandingan Peningkatan Keterampilan Generik Sains Antara Model Inquiry Based Learning dengan Model Problem Based Learning A. Kusdiwelirawan 1, Tri Isti Hartini 2, Aniq Rif atun Najihah 3 1,2,3 Program Studi Pendidikan Fisika, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Jakarta E-mail: 3 aniqnajihah@yahoo.com Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui terdapat atau tidaknya perbandingan peningkatan keterampilan generik sains siswa dengan menggunakan model Inquiry Based Learning dan Problem Based Learning kelas X SMAN 1 Kabupaten Tangerang. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi Eksperimen (eksperimen semu) dalam desain Nonequivalent Control Group Design. Populasi penelitian ini seluruh siswa kelas X SMAN 1 Kabupaten Tangerang. Sampel penelitian 42 siswa dari kelas X MIA 6 dan 44 siswa dari kelas X MIA 5 yang ditentukan dengan simple random sampling. Hasil analisis data penelitian ini mengungkapkan bahwa dari hasil uji signifikansi data didapatkan nilai t hitung = 4, 6875 > 1, 99208 = t tabel dengan menggunakan taraf signifikan = 0,05. Berdasarkan kriteria pengujian yang telah ditetapkan maka H 0 ditolak H 1 diterima, dengan nilai rata-rata hasil belajar pada kelas eksperimen (X MIA 6) sebesar 80,64 dan pada kelas kontrol (X MIA 5) sebesar 73,14. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbandingan peningkatan keterampilan generik sains yang menggunakan model Inquiry Based Learning dan Problem Based Learning. Kata kunci: keterampilan generik sains, Inquiry Based Learning, Problem Based Learning. Pendahuluan Ilmu fisika dipandang sebagai suatu disiplin kerja yang dapat menghasilkan sejumlah kemahiran generik untuk bekal bekerja di pelbagai profesi yang lebih luas [1]. Menurut pendapat Prof. Brotosiswoyo tersebut, dapat dipahami bahwa ilmu fisika merupakan suatu disiplin kerja yang dapat menghasilkan sejumlah kemahiran generik. Keterampilan generik sangat penting bagi siswa karena kemampuan ini sangat dibutuhkan oleh siswa dalam mengembangkan karir ke depannya sesuai dengan bidang masing-masing khususnya dalam bidang sains. Kemampuan generik tidak diperoleh secara tiba-tiba melainkan keterampilan tersebut harus dilatih terus menerus agar terjadi peningkatan. Tujuan pengembangan keterampilan generik sains yaitu agar pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari hasil belajar dalam proses belajar mengajar dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata dan menjawab tantangan zaman yang semakin cepat perkembangannya terutama dalam hal sains dan teknologi. Dalam pembelajaran, keterampilan generik sains harus disesuaikan dengan model atau metode pembelajarannya, sehingga lebih efektif dalam melihat peningkatan yang terjadi. Untuk menunjang dan meningkatkan keterampilan generik sains siswa, diperlukan model pembelajaran yang tepat. Karena keterampilan generik sains bertumpu pada pemahaman konsep dan pemecahan masalah, maka dipilih model pembelajaran Inquiry Based Learning (IBL) dan Problem Based Learning (PBL). Pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan [2]. IBL memiliki kelebihan pada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara seimbang, serta dapat membentuk dan mengembangkan konsep sendiri. Kekurangan pada model ini adalah jika guru tidak dapat merumuskan pertanyaan kepada siswa dengan baik, untuk memecahkan permasalahan se- 19
cara sistematis, maka akan membuat murid lebih bi- ngung dan tidak terarah, dan kadang kala guru mengalami kesulitan dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur dengan kebiasaan siswa dalam belajar. PBL adalah pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis, kreatif dan keterampilan memecahkan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan konsep yang esensi dari materi pelajaran [3]. PBL memiliki kelebihan pada pemecahan masalah yang merupakan teknik yang cukup bagus untuk memahami isi pelajaran, mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru dan mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. Tapi model ini juga memiliki kekurangan yaitu ketika siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba. Dari kedua model pembelajaran yang akan dibandingkan, tentu peneliti harus tahu terlebih dahulu perbedaan dan kesamaannya. Kedua model pembelajaran ini peneliti bandingkan karena keduanya dapat membuat peserta didik aktif dan mandiri sesuai dengan yang diharapkan oleh kurikulum 2013. Kesamaan dari kedua model ini adalah masalah yang digunakan berupa masalah yang konkrit atau masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan dari kedua model ini adalah IBL pembelajaran aktif yang berfokus pada pertanyaan, berpikir kritis dan solusi dari masalah yang ada. Sedangkan pada model PBL, pembelajaran berfokus pada proses pemecahan masalah dan memperoleh pengetahuan. Model pembelajaran ini dirasa tepat sebagai model pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan generik sains karena berawal dari suatu permasalahan siswa akan terdorong untuk mempelajari berbagai pembelajaran sains. Dengan menemukan sendiri solusi dari permasalahan yang disuguhkan, siswa akan lebih cepat mengerti karena belajar yang baik adalah belajar dengan melakukan sendiri apa yang dipelajari. Dari kedua model pembelajaran tersebut, model IBL lebih unggul dibanding dengan model PBL. Pengetahuan akan diperoleh melalui pengalaman secara inkuiri dan tidak cukup hanya mengamati, mendengarkan penjelasan, atau melihat demonstrasi [4]. Pada penelitian ini proses pembelajaran akan menggunakan dua model tersebut yakni model IBL dan PBL yang diharapkan mampu meningkatkan keterampilan generik siswa dalam pembelajaran fisika. Sehingga siswa akan memiliki kemampuan pemahaman konsep dan keterampilan pemecahan masalah sains yang baik. Metode Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif. Tahap awal yaitu melakukan observasi, selanjutnya tahap pembuatan instrumen dengan judgement dan divalidasi oleh tim ahli terlebih dahulu. Sampel penelitian ini adalah kelas X MIA 5 dan X MIA 6 SMAN 1 Kabupaten Tangerang. Instrumen penelitian yang digunakan adalah tes keterampilan generik sains. Tes yang terdiri dari 15 soal uraian ini disusun berdasarkan 8 indikator keterampilan generik sains, yang terdiri dari indikator pengamatan langsung, pengamatan tidak langsung, kesadaran tentang skala, bahasa simbolik, kerangka logika taat asas, konsistensi logis, hukum sebab akibat, dan pemodelan matematik. Pemberian tes keterampilan generik sains dilakukan setelah sampel diberi perlakuan berupa pembelajaran dengan model IBL dan PBL sebanyak 10 kali pertemuan pada pokok bahasan suhu dan kalor. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kuantitatif. Teknik analisis data yang digunakan adalah uji persyaratan analisis statistik, uji normalitas, dan uji homogen. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui distribusi data yang normal [5]. Perhitungan uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan melalui uji chi-kuadrat dengan taraf signifikan α = 0, 05. Sedangkan uji homogenitas dilakukan dengan cara uji Fisher. Hasil Data penelitian kelas eksperimen yang diterapkan model IBL pada pokok bahasan suhu dan kalor disajikan dalam paragraf ini. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai tertinggi 98 dan terendah 65, maka rentangan data yaitu 98 65 = 33, dengan interval kelas 6 dan panjang interval kelas 6. Perhitungan data dengan mean 80,64, median 50,42, modus 46,2 dan simpangan baku 6,58. Adapun data distribusi frekuensi kelas eksperimen ditunjukkan dalam Gambar 1. Dari grafik terlihat bahwa sebagian besar siswa memperoleh nilai fisika antara 77-82 sebanyak 18 siswa dengan presentase 42,86%, presentase didapatkan dari banyaknya siswa yang memperoleh nilai dalam rentang tersebut dibagi dengan jumlah keseluruhan siswa di kelas sebanyak 42 siswa. Nilai tertinggi yang diperoleh pada kelas eksperimen ini antara 95-100 sebanyak 2 siswa dengan presen- 20
tase 4,76%. Sedangkan nilai terendah antara 65-70 sebanyak 2 siswa dengan presentase 4,776%. Dengan nilai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) sebesar 76, sebanyak 32 atau sebesar 76,19% siswa yang dapat mencapai KKM. Banyaknya siswa yang dapat mencapai KKM menunjukkan bahwa model IBL efektif untuk meningkatkan keterampilan generik sains siswa. rentang tersebut dibagi dengan jumlah keseluruhan siswa di kelas. Nilai tertinggi yang diperoleh pada kelas kontrol ini antara 90-95 sebanyak 2 siswa (4,55%). Sedangkan nilai terendah antara 60-65 sebanyak 8 siswa (18,18%). Dengan nilai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) sebesar 76, pada kelas kontrol ini hanya sebanyak 11 atau sebesar 25% siswa yang dapat mencapai KKM. Sedikitnya siswa yang dapat mencapai KKM menunjukkan bahwa model PBL kurang efektif untuk meningkatkan keterampilan generik sains siswa. Gambar 1 Distribusi Frekuensi Kelas Eksperimen. Data penelitian kelas kontrol yang diterapkan model pembelajaran PBL pada pokok bahasan suhu dan kalor disajikan dalam paragraf ini. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai tertinggi 95 dan terendah 60, maka rentangan data yaitu 95 60 = 35, dengan interval kelas 6 dan panjang interval kelas 6. Perhitungan data dengan mean 73,14, median 77,22, modus 59,58 dan simpangan baku 8,18. Adapun data distribusi frekuensi kelas kontrol ditunjukkan dalam Gambar 2. Gambar 2 Distribusi Frekuensi Kelas Kontrol. Dari grafik di atas terlihat bahwa sebagian besar siswa memperoleh nilai fisika antara 66-71 sebanyak 13 siswa (29,55%), presentase didapatkan dari banyaknya siswa yang memperoleh nilai dalam Pembahasan Dari data dan perhitungan pada kelas eksperimen yang menggunakan model IBL didapat nilai rata-rata 80,64 dengan simpangan baku 6,58. Sedangkan pada kelas kontrol yang menggunakan model PBL didapat nilai rata-rata 73,14 dengan simpangan baku 8,18. Dari pengujian prasyarat analisis yang meliputi uji normalitas dan uji homogenitas menyatakan bahwa data pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen. Berdasarkan nilai yang didapat dari tabel-t dengan taraf signifikasi α = 0, 05 dan derajat kebebasan db = n 1 + n 2 2 = 84 didapat t hitung = 4, 6875 dan t tabel = 1, 99208 sehingga t hitung > t tabel (4, 6875 > 1, 99208), maka H 0 ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbandingan peningkatan keterampilan generik sains antara model IBL dengan model PBL. Hipotesis yang telah dirumuskan menyatakan bahwa terdapat perbandingan peningkatan keterampilan generik sains siswa yang menggunakan model IBL dan PBL. IBL merupakan pembelajaran yang melibatkan seluruh kemampuan siswa dalam penyelidikan suatu masalah pembelajaran. Pembelajaran berbasis inkuiri diperlukan pada kegiatan belajar siswa untuk memacu siswa menyelidiki dan mengetahui apa yang mereka ingin tahu tentang pengetahuan yang sedang dipelajari. Peningkatan keterampilan generik sains pun meningkat dengan menggunakan model pembelajaran ini. Berdasarkan pendapat yang diungkapkan oleh Schlenker, dalam buku Trianto, menunjukkan bahwa latihan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman sains, produktif dalam berfikir kreatif, dan siswa menjadi terampil dalam memperoleh informasi. Proses perlakuan (treatment) dalam penelitian ini berlangsung selama 10 kali pertemuan berdasarkan pada silabus dan RPP. Perlakuan 21
dalam penelitian ini berupa pembelajaran yang menggunakan model IBL dan PBL setiap kali pertemuan sampel diberikan perlakuan yang berbedabeda. Pada kelas eksperimen (model IBL) perlakuan yang dilakukan dalam proses pembelajaran guru terlebih dahulu menyampaikan tujuan dan indikator pembelajaran yang akan diperoleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. Kemudian guru memberikan pertanyaan mengenai suhu dan kalor yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan antusiasme siswa dalam mengikuti proses pembelajaran yang berlangsung. Apersepsi ini terus dilakukan pada setiap awal proses pembelajaran. Kegiatan selanjutnya guru memberikan tayangan berupa tayangan video ataupun gambar yang berkaitan dengan materi serta memberikan pertanyaan kepada siswa. Kemudian Siswa mengamati fenomena atau tayangan tersebut, siswa dan kelompoknya mendiskusikan jawaban dari pertanyaan (perumusan masalah) yang diberikan dengan menuliskan perumusan pada lembar yang telah disediakan. Kemudian, siswa mengajukan hipotesis atau jawaban sementara tentang pertanyaan yang diberikan. Siswa melakukan perencanaan percobaan untuk membuktikan hipotesis yang telah ditulis, kemudian siswa melakukan pengamatan untuk mengumpulkan data berdasarkan permasalahan yang disediakan, melakukan analisis data yang didapat dan menarik kesimpulan terhadap percobaan yang telah dilakukan. Selama proses pembelajaran inilah siswa dilatih untuk menggunakan keterampilan generik dalam menyelesaikan permasalahan setiap tahap pembelajaran sehingga tujuan dari penelitian ini dapat dicapai yaitu untuk dapat meningkatkan keterampilan generik sains. Pada proses perlakuan yang berlangsung selama 5 kali pertemuan tentu terdapat kekurangan baik dari siswa maupun guru. Namun upaya perbaikan terus dilakukan selama kegiatan eksperimen berlangsung. Pada kelas kontrol (model PBL) perlakuan yang dilakukan dalam proses pembelajaran guru terlebih dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran dan indikator pembelajaran yang akan diperoleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. Kemudian guru memberikan pertanyaan mengenai suhu dan kalor yang berkaitan dengan kehidupan seharihari. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan antusiasme siswa dalam mengikuti proses pembelajaran yang berlangsung. Apersepsi ini terus dilakukan pada setiap awal proses pembelajaran. Kemudian, kegiatan selanjutnya siswa menyimak penjelasan guru tentang konsep atau permasalahan yang diberikan, selanjutnya siswa diberikan kesempatan mengajukan pertanyaan tentang materi atau permasalahan yang diajarkan, setelah terjadi tanya jawab, siswa mempersiapkan percobaan untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Saat melakukan percobaan, siswa menerima bimbingan guru. Kemudian secara berkelompok siswa mendiskusikan hasil percobaan dan mendiskusikan penyajian untuk bahan presentasi. Selanjutnya, perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusi dari praktikum sederhana yang telah dilakukan, dan siswa menyimak tanggapan guru mengenai hasil presentasi untuk memberi penguatan pemahaman. Selama proses pembelajaran inilah siswa dilatih untuk menggunakan keterampilan generik dalam menyelesaikan permasalahan setiap tahap pembelajaran sehingga tujuan dari penelitian ini dapat dicapai yaitu untuk dapat meningkatkan keterampilan generik sains. Pada proses perlakuan yang berlangsung selama 5 kali pertemuan tentu terdapat kekurangan baik dari siswa maupun guru. Namun upaya perbaikan terus dilakukan selama kegiatan eksperimen berlangsung. Keterampilan generik sains meningkat dengan menggunakan model IBL. Hal ini dapat dilihat dari keadaan awal siswa yang diukur melalui pretest berupa soal uraian sebanyak 15 soal pada pokok bahasan suhu dan kalor dengan memperhatikan delapan indikator ketercapaian keterampilan generik sains berupa pengamatan langsung, pengamatan tak langsung, kesadaran akan skala besaran, bahasa simbolik, kerangka logika taat asas, konsistensi logis, hukum sebab akibat dan pemodelan matematik. Dari pretest tersebut, didapatkan nilai tertinggi sebesar 71 dan nilai terendah sebesar 11. Setelah diberikan treatment terjadi peningkatan yang dilihat dari hasil posttest dengan nilai tertinggi sebesar 98 dan nilai terendah sebesar 65. Hasil penelitian ini senada dengan penelitian yang dilakukan Ade Yusman pada tahun 2010 dengan judul Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terhadap Hasil Belajar Fisika pada Pokok Bahasan Gerak [6]. Penelitian yang dilakukan Ade Yusman menyebutkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan penerapan pembelajaran inkuiri terhadap hasil belajar fisika siswa pada konsep gerak di SMK Bakti Idhata Cilandak, hal ini dapat dilihat dari hasil belajar siswa yang mengalami peningkatan antara kelas kontrol yang diberi perlakuan metode konvensional dengan kelas eksperimen yang diberi perlakuan pembelajaran inkuiri, dan juga dari hasil 22
observasi yang dilakukan peneliti. Pembelajaran inkuiri yang dilakukan dilihat dari hasil observasi, berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Ade Yusman, dilihat dari persentase pencapaian indikator pada setiap pertemuan maka pelaksanaan pembelajaran di kelas yang menggunakan model inkuiri berlangsung baik. Kesimpulan Hasil belajar siswa kelas X MIA 6 SMAN 1 Kabupaten Tangerang sebagai kelas eksperimen yang diterapkan model IBL pada pokok bahasan suhu dan kalor memiliki nilai rata-rata 80,64 yaitu di atas KKM sebesar 76, dan kelas X MIA 5 sebagai kelas kontrol yang diterapkan model PBL memiliki nilai rata-rata 73,14 yaitu di bawah KKM sebesar 76. Hasil uji-t dengan taraf nyata 0,05, t hitung > t tabel (4, 6875 > 1, 99208), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbandingan peningkatan keterampilan generik sains antara model IBL dengan model PBL di kelas tersebut. Referensi [1] S. Brotosiswoyo, Hakikat Pembelajaran MIPA di Perguruan Tinggi, (Universitas Terbuka PAU-PPAI-UT, Jakarta, 2001). [2] W. Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013). [3] Rusman, Model-Model Pembelajaran, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011). [4] R.A. Sani, Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013, (Bumi Aksara, Jakarta, 2014). [5] A. Kusdiwelirawan, Statistika Pendidikan, (Uhamka Press, Jakarta, 2014). [6] A. Yusman, Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terhadap Hasil Belajar Fisika pada Pokok Bahasan Gerak, Skripsi Program Studi Pendidikan Fisika FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Tidak Diterbitkan). 23