BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju terlebih lagi bagi negara berkembang. Angka kematian akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.

BAB 1 PENDAHULUAN. sampai bulan sesudah diagnosis (Kurnianda, 2009). kasus baru LMA di seluruh dunia (SEER, 2012).

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis. yang telah menjadi masalah global dengan jumlah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Pada tahun 2012, berdasarkan data GLOBOCAN, International

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

BAB 1 : PENDAHULUAN. Kanker payudara dapat tumbuh di dalam kelenjer susu, saluran susu dan jaringan ikat

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB 1 PENDAHULUAN. selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan. peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan dari International Diabetes Federation (IDF)

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian. Apendisitis akut adalah penyebab paling sering dari nyeri abdomen akut yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan masalah kesehatan utama masyarakat di dunia dan. penyebab kematian nomor dua di Amerika Serikat.

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan adanya penyempitan pada katup mitral (Rilantono, 2012). Kelainan

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak dikategorikan ke dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sirosis hati merupakan stadium akhir dari penyakit. kronis hati yang berkembang secara bertahap (Kuntz, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak dan penyebab

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB I PENDAHULUAN. paling banyak terjadi pada wanita (Kemenkes, 2012). seluruh penyebab kematian (Riskesdas, 2013). Estimasi Globocan,

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian. Lebih dari satu juta orang per tahun di dunia meninggal

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit perlemakan hati non alkohol atau Non-alcoholic Fatty Liver

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB I PENDAHULUAN UKDW. mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN ASMA BRONKHIAL DI RUANG ANGGREK BOUGENVILLE RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. dari orang per tahun. 1 dari setiap 18 kematian disebabkan oleh stroke. Rata-rata, setiap

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis umum terjadi pada usia dewasa hingga lanjut usia, terutama pada usia antara 30 69 tahun. Prevalensinya meningkat seiring dengan pertambahan usia. Distribusi penyakit berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa rinosinusitis kronis lebih banyak diderita oleh perempuan (Budiman & Rosalinda, 2014). Prevalensi rinosinusitis kronis pada populasi global diestimasi sebesar 14% (Perić & Gaćeša, 2008). Di Amerika Serikat, menurut data dari survei kesehatan nasional tahun 2012, 12,1% dari populasi total didiagnosis mengalami rinosinusitis. Persentase diagnosis rinosinusitis tersebut lebih besar dibandingkan persentase diagnosis penyakit sistem respirasi lain yang meliputi Hay fever (7,5%), bronkitis kronis (3,7%), dan penyakit paru obstruktif kronis (2,9%) (Blackwell et al., 2014; Rosenfeld et al., 2015). Sementara itu, di Indonesia, data dari 1

2 DEPKES RI tahun 2003 menunjukkan bahwa penyakit ini menempati peringkat ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit (Multazar et al., 2012; Arivalagan & Rambe, 2013). Dalam kurun waktu Januari Agustus 2005, sebanyak 300 dari 435 pasien rinologi (69%) terdiagnosis rinosinusitis kronis di Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Jakarta. Di poliklinik THT-KL RS Hasan Sadikin Bandung pada periode Januari - Desember 2007 terdapat 168 pasien rinosinusitis kronis (64,29% dari seluruh pasien rinologi) (Multazar, 2011). Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sendiri, selama tahun 2000 2006 frekuensi penderita rinosinusitis kronis adalah 2,5% 4,6% (Harowi et al., 2011) sementara selama tahun 2006 2007 terdapat 118 penderita rinosinusitis kronis (42% dari seluruh pasien rinologi) (Multazar, 2011). Rinosinusitis kronis seringkali menyebabkan gangguan kualitas hidup, berkurangnya produktivitas kerja, dan menghabiskan biaya penatalaksanaan medis yang cukup banyak (Van Crombruggen et al., 2011). Gangguan kualitas hidup diakibatkan oleh gejala lokal yang dialami dan juga akibat kelemahan umum (Harowi et al., 2011). Rata-rata hari kerja yang hilang akibat

3 rinosinusitis kronis adalah 1 2 hari per pasien per tahun. Rinosinusitis kronis juga menyebabkan keterbatasan aktivitas selama 73 juta hari. Survei pada tahun 2007 menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan setiap tahunnya terkait rinosinusitis kronis adalah sekitar $8,3 miliar, yang utamanya merupakan biaya untuk peresepan obat dan pelayanan di klinik (Rosenfeld et al., 2015). Patogenesis rinosinusitis kronis pada dasarnya adalah berupa inflamasi kronis yang disebabkan oleh banyak faktor (polifaktorial). Proses yang terjadi adalah perubahan pada berbagai spektrum yang meliputi histopatologis, pola sel inflamasi dan sel T, parameter remodeling, eikosanoid dan produksi IgE, mikroorganisme, serta malfungsi sawar epitel (Van Crombruggen et al., 2011). Proses patologis mukosa sinus paranasal rinosinusitis kronis terjadi akibat proses peradangan lapisan mukoperiosteum hidung dan sinus yang berlangsung lama dan merupakan kelanjutan dari radang akut. Secara teoritis, proses patologis mukosa yang berlangsung lama akan menghasilkan proliferasi, terbentuknya jaringan granulasi atau radang

4 granulomatik pada mukosa sinus, yang akhirnya akan menebalkan mukosa sinus (Setiadi, 2009). Berdasarkan temuan endoskopi, rinosinusitis kronis dapat disertai dengan polip hidung maupun tanpa polip hidung. Rinosinusitis yang disertai dengan polip hidung dapat menurunkan kualitas hidup secara signifikan akibat obstruksi dan iritasi hidung, gangguan penghidu, kesulitan tidur, dan gejala pilek persisten (Harowi et al., 2011). Secara histopatologis, rinosinusitis kronis dengan polip hidung diketahui memiliki pola inflamasi eosinofilik, meskipun terdapat juga variasi noneosinofilik, dengan jumlah sel plasma yang berbanding lurus dengan derajat polip; rinosinusitis kronis tanpa polip hidung diketahui memiliki pola inflamasi neutrofilik meskipun penelitian yang dilakukan oleh Polzehl et al. (2006) menunjukkan bahwa jumlah neutrofil pada rinosinusitis kronis dengan maupun tanpa polip hidung tidak berbeda secara signifikan. Namun dalam penelitian tersebut, yang dinilai adalah perbedaan beberapa parameter histopatologis jaringan sinonasal antara rinosinusitis kronis yang disertai polip hidung dan tanpa polip hidung, bukan distribusi limfosit jaringan sinonasal secara umum pada rinosinusitis kronis.

5 Baku emas konfirmasi penegakan diagnosis rinosinusitis kronis adalah pencitraan Computed Tomography (CT Scan). Akan tetapi, pada latar klinis di mana ketersediaan fasilitas untuk melakukan CT Scan terbatas, penegakan diagnosis biasanya hanya dilakukan dengan bantuan kriteria Task Force 1996 yang dibentuk oleh the American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS) (Batra, 2004). Kriteria Task Force 1996 ini melandaskan pada gejala klinis yang dibagi menjadi gejala mayor dan gejala minor. Gejala mayor meliputi obstruksi hidung, post nasal discharge/drip, discar hidung, nyeri atau rasa tertekan pada wajah, hiposmia/anosmia, dan kongesti hidung; gejala minor meliputi sakit kepala, halitosis, demam, rasa lemah, nyeri gigi, batuk, nyeri atau rasa penuh pada telinga (Pokharel et al., 2013). Diagnosis rinosinusitis kronis dapat ditegakkan apabila terdapat dua gejala mayor atau satu gejala mayor dengan dua gejala minor selama minimal 12 minggu (Budiman & Rosalinda, 2014). Infiltrasi limfosit pada mukosa hidung dan sinus paranasal merupakan salah satu penanda inflamasi kronis yang terjadi pada rinosinusitis kronis secara histopatologis. Temuan ini dapat bernilai prognosis

6 terhadap keluaran klinis jangka panjang maupun bernilai prediksi terhadap persistensi gejala-gejala yang mengganggu setelah pemberian terapi definitif bedah sinus endoskopi (Baudoin et al., 2008). Selain itu, gambaran jumlah limfosit yang menggambarkan distribusinya dapat menunjukkan pola inflamasi yang terjadi pada rinosinusitis kronis. Pola inflamasi ini dapat memiliki pengaruh terhadap prognosis, komorbiditas asma, ketepatan pendekatan bedah, kejadian berulang, dan manajemen farmakologis (Van Crombruggen et al., 2011). RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta merupakan pusat pelayanan kesehatan tersier yang memberikan pelayanan kepada pasien-pasien rujukan dengan kondisi klinis berat yang tidak dapat ditangani di pusat pelayanan kesehatan primer maupun sekunder. Pasien-pasien rinosinusitis kronis di RSUP Dr. Sardjito berarti merupakan pasien-pasien dengan kondisi rinosinusitis kronis yang berat sehingga diperlukan penilaian karakteristik histopatologis jaringan berupa jumlah limfosit yang apabila dipadukan dengan beberapa parameter lain yang tidak diuji di penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik serta pola inflamasi yang terjadi.

7 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, didapatkan suatu rumusan masalah yaitu bagaimana gambaran limfosit pada preparat spesimen jaringan sinonasal rinosinusitis kronis yang diambil dari pasien rinosinusitis kronis yang menjalani bedah endoskopi di poliklinik THT-KL RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2013. 1.3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum: mengetahui gambaran limfosit pada preparat spesimen jaringan sinonasal rinosinusitis kronis yang diambil dari pasien rinosinusitis kronis yang menjalani bedah endoskopi di poliklinik THT-KL RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2013. 2. Tujuan khusus: a. Mengetahui jumlah pasien rinosinusitis kronis yang menjalani bedah endoskopi di poliklinik THT-KL RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2013.

8 b. Mengetahui perbandingan jumlah antara pasien rinosinusitis kronis dengan polip hidung dan tanpa polip hidung yang menjalani bedah endoskopi di poliklinik THT-KL RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2013. 1.4. Keaslian Penelitian Penelitian untuk mengetahui gambaran jumlah limfosit pada preparat spesimen jaringan sinonasal yang diambil dari pasien rinosinusitis kronis yang menjalani bedah endoskopi di poliklinik THT-KL RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta belum pernah dilakukan. Akan tetapi, telah terdapat penelitian-penelitian yang mempelajari tentang perubahan histopatologis termasuk keterlibatan sel-sel radang dalam patologi rinosinusitis kronis baik di Indonesia maupun negara lain yang dapat dijadikan sebagai referensi. Dari beberapa penelitian yang telah dipublikasikan, ada yang membahas tentang perbedaan sifat berdasarkan temuan histopatologis dan imunohistokimia antara rinosinusitis kronis dengan polip dan rinosinusitis kronis tanpa polip serta korelasi antara parameter histopatologis tertentu dengan beratnya gejala pada pasien rinosinusitis kronis alergi dan nonalergi. Meskipun penelitian-penelitian

9 tersebut merupakan penelitian yang lebih ekstensif, penelitian mengenai gambaran limfosit pada jaringan sinonasal pasien rinosinusitis kronis perlu dilakukan di Indonesia khususnya di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebagai penelitian dasar yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Penelitian-penelitian tersebut di antaranya adalah: 1. Van Zele et al. (2006) menunjukkan bahwa pada rinosinusitis kronis dengan polip hidung terjadi peningkatan jumlah dan aktivasi sel T serta terdapat kadar penanda eosinofil yang lebih tinggi dibandingkan rinosinusitis kronis tanpa polip hidung. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan sampel 10 pasien rinosinusitis kronis dengan polip hidung, 13 pasien sistik fibrosis, 8 pasien rinosinusitis kronis tanpa polip hidung, dan 9 pasien kontrol. 2. Polzehl et al. (2006) menunjukkan bahwa pada rinosinusitis kronis dengan polip hidung secara histologis terdapat infiltrasi sel bulat dan edema dengan jumlah eosinofil dan sel plasma yang lebih banyak dibandingkan pada rinosinusitis kronis tanpa polip hidung. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang prospektif

10 dengan sampel 9 pasien rinosinusitis kronis tanpa polip hidung dan 11 pasien rinosinusitis kronis dengan polip hidung. 3. Zhang et al. (2010) menunjukkan bahwa 9 dari 17 kasus rinosinusitis kronis yang disertai dengan polip hidung memiliki karakteristik inflamasi eosinofilik sementara 8 dari 17 kasus memiliki karakteristik sel-sel inflamasi yang banyak terutama limfosit dengan eosinofil yang sedikit. Pada penelitian ini, dilakukan juga penilaian persentase subpopulasi limfosit jaringan terhadap limfosit dari darah perifer yang menghasilkan persentase sel B CD19+/B7-H1+ dan sel T CD3+/PD- 1+ lebih tinggi secara signifikan pada jaringan polip hidung dibandingkan persentase pada darah perifer dan kontrol. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang prospektif dengan sampel 17 pasien rinosinusitis kronis dengan polip hidung dan 11 pasien kontrol. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Dapat mengetahui karakteristik inflamasi rinosinusitis kronis berdasarkan gambaran limfosit jaringan sinonasal.

11 2. Informasi mengenai gambaran limfosit pada jaringan sinonasal pasien rinosinusitis kronis dapat digunakan sebagai temuan dasar untuk dikembangkan dalam penelitian lain.