BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis umum terjadi pada usia dewasa hingga lanjut usia, terutama pada usia antara 30 69 tahun. Prevalensinya meningkat seiring dengan pertambahan usia. Distribusi penyakit berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa rinosinusitis kronis lebih banyak diderita oleh perempuan (Budiman & Rosalinda, 2014). Prevalensi rinosinusitis kronis pada populasi global diestimasi sebesar 14% (Perić & Gaćeša, 2008). Di Amerika Serikat, menurut data dari survei kesehatan nasional tahun 2012, 12,1% dari populasi total didiagnosis mengalami rinosinusitis. Persentase diagnosis rinosinusitis tersebut lebih besar dibandingkan persentase diagnosis penyakit sistem respirasi lain yang meliputi Hay fever (7,5%), bronkitis kronis (3,7%), dan penyakit paru obstruktif kronis (2,9%) (Blackwell et al., 2014; Rosenfeld et al., 2015). Sementara itu, di Indonesia, data dari 1
2 DEPKES RI tahun 2003 menunjukkan bahwa penyakit ini menempati peringkat ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit (Multazar et al., 2012; Arivalagan & Rambe, 2013). Dalam kurun waktu Januari Agustus 2005, sebanyak 300 dari 435 pasien rinologi (69%) terdiagnosis rinosinusitis kronis di Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Jakarta. Di poliklinik THT-KL RS Hasan Sadikin Bandung pada periode Januari - Desember 2007 terdapat 168 pasien rinosinusitis kronis (64,29% dari seluruh pasien rinologi) (Multazar, 2011). Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sendiri, selama tahun 2000 2006 frekuensi penderita rinosinusitis kronis adalah 2,5% 4,6% (Harowi et al., 2011) sementara selama tahun 2006 2007 terdapat 118 penderita rinosinusitis kronis (42% dari seluruh pasien rinologi) (Multazar, 2011). Rinosinusitis kronis seringkali menyebabkan gangguan kualitas hidup, berkurangnya produktivitas kerja, dan menghabiskan biaya penatalaksanaan medis yang cukup banyak (Van Crombruggen et al., 2011). Gangguan kualitas hidup diakibatkan oleh gejala lokal yang dialami dan juga akibat kelemahan umum (Harowi et al., 2011). Rata-rata hari kerja yang hilang akibat
3 rinosinusitis kronis adalah 1 2 hari per pasien per tahun. Rinosinusitis kronis juga menyebabkan keterbatasan aktivitas selama 73 juta hari. Survei pada tahun 2007 menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan setiap tahunnya terkait rinosinusitis kronis adalah sekitar $8,3 miliar, yang utamanya merupakan biaya untuk peresepan obat dan pelayanan di klinik (Rosenfeld et al., 2015). Patogenesis rinosinusitis kronis pada dasarnya adalah berupa inflamasi kronis yang disebabkan oleh banyak faktor (polifaktorial). Proses yang terjadi adalah perubahan pada berbagai spektrum yang meliputi histopatologis, pola sel inflamasi dan sel T, parameter remodeling, eikosanoid dan produksi IgE, mikroorganisme, serta malfungsi sawar epitel (Van Crombruggen et al., 2011). Proses patologis mukosa sinus paranasal rinosinusitis kronis terjadi akibat proses peradangan lapisan mukoperiosteum hidung dan sinus yang berlangsung lama dan merupakan kelanjutan dari radang akut. Secara teoritis, proses patologis mukosa yang berlangsung lama akan menghasilkan proliferasi, terbentuknya jaringan granulasi atau radang
4 granulomatik pada mukosa sinus, yang akhirnya akan menebalkan mukosa sinus (Setiadi, 2009). Berdasarkan temuan endoskopi, rinosinusitis kronis dapat disertai dengan polip hidung maupun tanpa polip hidung. Rinosinusitis yang disertai dengan polip hidung dapat menurunkan kualitas hidup secara signifikan akibat obstruksi dan iritasi hidung, gangguan penghidu, kesulitan tidur, dan gejala pilek persisten (Harowi et al., 2011). Secara histopatologis, rinosinusitis kronis dengan polip hidung diketahui memiliki pola inflamasi eosinofilik, meskipun terdapat juga variasi noneosinofilik, dengan jumlah sel plasma yang berbanding lurus dengan derajat polip; rinosinusitis kronis tanpa polip hidung diketahui memiliki pola inflamasi neutrofilik meskipun penelitian yang dilakukan oleh Polzehl et al. (2006) menunjukkan bahwa jumlah neutrofil pada rinosinusitis kronis dengan maupun tanpa polip hidung tidak berbeda secara signifikan. Namun dalam penelitian tersebut, yang dinilai adalah perbedaan beberapa parameter histopatologis jaringan sinonasal antara rinosinusitis kronis yang disertai polip hidung dan tanpa polip hidung, bukan distribusi limfosit jaringan sinonasal secara umum pada rinosinusitis kronis.
5 Baku emas konfirmasi penegakan diagnosis rinosinusitis kronis adalah pencitraan Computed Tomography (CT Scan). Akan tetapi, pada latar klinis di mana ketersediaan fasilitas untuk melakukan CT Scan terbatas, penegakan diagnosis biasanya hanya dilakukan dengan bantuan kriteria Task Force 1996 yang dibentuk oleh the American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS) (Batra, 2004). Kriteria Task Force 1996 ini melandaskan pada gejala klinis yang dibagi menjadi gejala mayor dan gejala minor. Gejala mayor meliputi obstruksi hidung, post nasal discharge/drip, discar hidung, nyeri atau rasa tertekan pada wajah, hiposmia/anosmia, dan kongesti hidung; gejala minor meliputi sakit kepala, halitosis, demam, rasa lemah, nyeri gigi, batuk, nyeri atau rasa penuh pada telinga (Pokharel et al., 2013). Diagnosis rinosinusitis kronis dapat ditegakkan apabila terdapat dua gejala mayor atau satu gejala mayor dengan dua gejala minor selama minimal 12 minggu (Budiman & Rosalinda, 2014). Infiltrasi limfosit pada mukosa hidung dan sinus paranasal merupakan salah satu penanda inflamasi kronis yang terjadi pada rinosinusitis kronis secara histopatologis. Temuan ini dapat bernilai prognosis
6 terhadap keluaran klinis jangka panjang maupun bernilai prediksi terhadap persistensi gejala-gejala yang mengganggu setelah pemberian terapi definitif bedah sinus endoskopi (Baudoin et al., 2008). Selain itu, gambaran jumlah limfosit yang menggambarkan distribusinya dapat menunjukkan pola inflamasi yang terjadi pada rinosinusitis kronis. Pola inflamasi ini dapat memiliki pengaruh terhadap prognosis, komorbiditas asma, ketepatan pendekatan bedah, kejadian berulang, dan manajemen farmakologis (Van Crombruggen et al., 2011). RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta merupakan pusat pelayanan kesehatan tersier yang memberikan pelayanan kepada pasien-pasien rujukan dengan kondisi klinis berat yang tidak dapat ditangani di pusat pelayanan kesehatan primer maupun sekunder. Pasien-pasien rinosinusitis kronis di RSUP Dr. Sardjito berarti merupakan pasien-pasien dengan kondisi rinosinusitis kronis yang berat sehingga diperlukan penilaian karakteristik histopatologis jaringan berupa jumlah limfosit yang apabila dipadukan dengan beberapa parameter lain yang tidak diuji di penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik serta pola inflamasi yang terjadi.
7 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, didapatkan suatu rumusan masalah yaitu bagaimana gambaran limfosit pada preparat spesimen jaringan sinonasal rinosinusitis kronis yang diambil dari pasien rinosinusitis kronis yang menjalani bedah endoskopi di poliklinik THT-KL RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2013. 1.3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum: mengetahui gambaran limfosit pada preparat spesimen jaringan sinonasal rinosinusitis kronis yang diambil dari pasien rinosinusitis kronis yang menjalani bedah endoskopi di poliklinik THT-KL RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2013. 2. Tujuan khusus: a. Mengetahui jumlah pasien rinosinusitis kronis yang menjalani bedah endoskopi di poliklinik THT-KL RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2013.
8 b. Mengetahui perbandingan jumlah antara pasien rinosinusitis kronis dengan polip hidung dan tanpa polip hidung yang menjalani bedah endoskopi di poliklinik THT-KL RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2013. 1.4. Keaslian Penelitian Penelitian untuk mengetahui gambaran jumlah limfosit pada preparat spesimen jaringan sinonasal yang diambil dari pasien rinosinusitis kronis yang menjalani bedah endoskopi di poliklinik THT-KL RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta belum pernah dilakukan. Akan tetapi, telah terdapat penelitian-penelitian yang mempelajari tentang perubahan histopatologis termasuk keterlibatan sel-sel radang dalam patologi rinosinusitis kronis baik di Indonesia maupun negara lain yang dapat dijadikan sebagai referensi. Dari beberapa penelitian yang telah dipublikasikan, ada yang membahas tentang perbedaan sifat berdasarkan temuan histopatologis dan imunohistokimia antara rinosinusitis kronis dengan polip dan rinosinusitis kronis tanpa polip serta korelasi antara parameter histopatologis tertentu dengan beratnya gejala pada pasien rinosinusitis kronis alergi dan nonalergi. Meskipun penelitian-penelitian
9 tersebut merupakan penelitian yang lebih ekstensif, penelitian mengenai gambaran limfosit pada jaringan sinonasal pasien rinosinusitis kronis perlu dilakukan di Indonesia khususnya di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebagai penelitian dasar yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Penelitian-penelitian tersebut di antaranya adalah: 1. Van Zele et al. (2006) menunjukkan bahwa pada rinosinusitis kronis dengan polip hidung terjadi peningkatan jumlah dan aktivasi sel T serta terdapat kadar penanda eosinofil yang lebih tinggi dibandingkan rinosinusitis kronis tanpa polip hidung. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan sampel 10 pasien rinosinusitis kronis dengan polip hidung, 13 pasien sistik fibrosis, 8 pasien rinosinusitis kronis tanpa polip hidung, dan 9 pasien kontrol. 2. Polzehl et al. (2006) menunjukkan bahwa pada rinosinusitis kronis dengan polip hidung secara histologis terdapat infiltrasi sel bulat dan edema dengan jumlah eosinofil dan sel plasma yang lebih banyak dibandingkan pada rinosinusitis kronis tanpa polip hidung. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang prospektif
10 dengan sampel 9 pasien rinosinusitis kronis tanpa polip hidung dan 11 pasien rinosinusitis kronis dengan polip hidung. 3. Zhang et al. (2010) menunjukkan bahwa 9 dari 17 kasus rinosinusitis kronis yang disertai dengan polip hidung memiliki karakteristik inflamasi eosinofilik sementara 8 dari 17 kasus memiliki karakteristik sel-sel inflamasi yang banyak terutama limfosit dengan eosinofil yang sedikit. Pada penelitian ini, dilakukan juga penilaian persentase subpopulasi limfosit jaringan terhadap limfosit dari darah perifer yang menghasilkan persentase sel B CD19+/B7-H1+ dan sel T CD3+/PD- 1+ lebih tinggi secara signifikan pada jaringan polip hidung dibandingkan persentase pada darah perifer dan kontrol. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang prospektif dengan sampel 17 pasien rinosinusitis kronis dengan polip hidung dan 11 pasien kontrol. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Dapat mengetahui karakteristik inflamasi rinosinusitis kronis berdasarkan gambaran limfosit jaringan sinonasal.
11 2. Informasi mengenai gambaran limfosit pada jaringan sinonasal pasien rinosinusitis kronis dapat digunakan sebagai temuan dasar untuk dikembangkan dalam penelitian lain.