BAB V KESIMPULAN Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan intensitas diplomasi dan perdagangan jasa pendidikan tinggi di kawasan Asia Tenggara, yang kemudian ditengarai sebagai refleksi regionalisasi kawasan. Isu tersebut layak untuk diteliti mengingat semakin dekatnya implementasi ASEAN Community di tahun 2015, sementara integrasi ASEAN Community sendiri memperoleh banyak kritik mengingat besarnya perbedaan antar negara kawasan dan usia integrasi ASEAN yang relatif masih muda. Meskipun demikian, hal tersebut tidak menyurutkan inisiasi dan peningkatan integrasi antar negara kawasan. Dalam aspek diplomasi pendidikan tinggi, komitmen integrasi kawasan ASEAN diwujudkan dalam pilar AEC dan ASCC, yang kemudian menjadikan SEAMEO-RIHED serta AUN sebagai roda penggerak utama regionalisme pendidikan tinggi kawasan. Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat diidentifikasi bahwa terdapat dua arus kekuatan utama yang mendorong regionalisme pendidikan tinggi di ASEAN. Kekuatan pertama adalah terjadinya globalisasi pendidikan yang membawa liberalisasi, internasionalisasi, dan transnasionalisasi bagi sektor pendidikan tinggi kawasan. Kedua, adanya kepentingan negaranegara anggota yang dapat terpenuhi jika menjalin kerja sama di sektor pendidikan tinggi dalam rezim regionalisme ASEAN. Globalisasi pendidikan sebagai unsur pembentuk eksogen regionalisme pendidikan tinggi ASEAN membawa konsekuensi liberalisasi jasa perdagangan tinggi, seperti yang diatur dalam GATS, serta resiko internasionalisasi dan transnasionalisasi sektor pendidikan tinggi negara. Dalam konteks liberalisasi, globalisasi pendidikan tidak hanya memberikan peluang bagi negara 108
kawasan untuk memperoleh keuntungan finansial dari aktifitas perdagangan jasa seperti dalam kasus Singapura dan Malaysia, tetapi juga mengekspos sendi perekonomian dan pendidikan negara terhadap kompetisi pasar bebas, sementara sebagian besar negara ASEAN lain belum memiliki kesiapan untuk menghadapi konsekuensi liberalisasi perdagangan sektor pendidikan tinggi. Terkait hal tersebut, regionalisme merupakan alternatif yang rasional bagi negara-negara kawasan dalam merespon globalisasi pendidikan, yaitu dengan menjadi zona penyangga antara struktur global dan kondisi domestik, sebelum akhirnya memiliki kesiapan untuk memasuki era liberalisasi di level global. Di satu sisi, regionalisme menawarkan arena pasar yang lebih terkontrol, sementara di sisi lain kerja sama pendidikan tinggi regional dapat membantu negara meningkatkan daya saing sektor pendidikan tingginya. Dengan kata lain, regionalisme pendidikan tinggi dapat memberikan insentif berupa peningkatan atmosfer kompetisi pasar pendidikan tinggi, tetapi tidak memberikan dampak destruktif bagi perekonomian maupun pendidikan nasional. Selain menjadi solusi terhadap aspek liberalisasi pendidikan, regionalisme juga dapat menjadi langkah antisipasi untuk mengelola resiko internasionalisasi dan transnasionalisasi pendidikan tinggi. Dalam kasus Brunei Darussalam, resiko yang dapat diantisiapsi regionalisme adalah perlemahan sistem pendidikan tinggi nasional, sebagai akumulasi dari fenomena brain drain dan pengadopsian model pendidikan asing. Diharapkan dengan adanya harmonisasi dan mobilitas pendidikan tinggi kawasan, resiko tersebut dapat dikelola agar tidak memberi dampak merugikan bagi negara maupun kawasan. Sementara dalam aspek sosial-keamanan, regionalisme pendidikan tinggi dalam konteks mobilitas pelajar kawasan dapat mengurangi resiko eskalasi 109
konflik internal akibat masuknya pelajar internasional dari wilayah konflik yang memiliki karakter berbeda dengan karakter konflik domestik. Selain menjadi aksi kolektif untuk merespon globalisasi pendidikan, regionalisme pendidikan tinggi ASEAN nyatanya juga merupakan kebijakan negara yang didasarkan pada kalkulasi kepentingan negara dalam regional dalam rangka memasuki ASEAN Community. Dengan adanya keberagaman kondisi sosial, ekonomi, dan politik dalam kawasan, ASEAN Community merupakan momentum yang memiliki arti berbeda-beda bagi setiap negara kawasan. Bagi sebagian besar negara kawasan, ASEAN Community merupakan momentum untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, salah satunya melalui mekanisme transparasi, distribusi, dan harmonisasi dalam kerja sama regionalisme pendidikan tinggi kawasan. Namun bagi Singapura yang memiliki tingkat kualitas sumber daya manusia paling tinggi di kawasan, regionalisme pendidikan tinggi adalah strategi untuk mempengaruhi perilaku negara kawasan lain dalam isu migrasi tenaga kerja dan tingkat kesejahteraan penduduk, terkait dengan implementasi prinsip kebebasan perpindahan faktor tenaga kerja di era AEC. Kemudian dalam isu perdagangan pendidikan tinggi, regionalisme ASEAN merupakan peluang perluasan pangsa pasar bagi negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand yang merupakan pemain utama dalam pasar pendidikan tinggi kawasan. Sementara bagi Brunei Darussalam, Indonesia, dan negara-negara ASEAN lain, regionalisme pendidikan tinggi kawasan merupakan alternatif dalam merespon peningkatan permintaan pendidikan tinggi berkualitas yang tidak dapat dipenuhi oleh sektor pendidikan tinggi nasionalnya. Dengan menggunakan pendekatan regionalisme yang diungkapkan oleh Hurrel (1995), integrasi sektor pendidikan tinggi kawasan dapat dimaknai sebagai proses regionalisme. Pertama, adanya aspek regionalisasi dalam berbagai pola mobilitas ide serta fisik, baik yang terjadi secara 110
alami maupun hasil implementasi program-program SEAMEO-RIHED dan AUN. Kedua, dalam regionalisasi tersebut dipromosikan ASEAN Awareness terutama kepada generasi muda sebagai upaya untuk menumbuhkan identitas dan perasaan sebagai bagian dari masyarakat Asia Tenggara. Ketiga, berdasarkan analisis yang telah dilakukan sebelumnya diketahui bahwa kerja sama yang dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN dalam sektor pendidikan tinggi merupakan respon kolektif terhadap globalisasi pendidikan serta strategi untuk mengelola kepentingan dan konflik kawasan yang mungkin terjadi, terutama terkait dengan isu perdagangan jasa dan ketenagakerjaan. Keempat, adanya sentralisasi kerja sama, seperti dapat dilihat dari pembentukan ASED, SEAMEO-RIHED, dan AUN yang merupakan bentuk institusionalisasi kerja sama pendidikan tinggi regional. Dari keempat aspek tersebut, Hurrel memproyeksikan bahwa akumulasi dari kondisikondisi yang telah disebutkan merupakan fundamen untuk mewujudkan kohesifitas kawasan. Aspek kohesifitas inilah yang akan mendapat tantangan berat, karena besarnya preferensi negaranegara anggota terhadap perolehan dari luar kawasan. Dengan mengkritisi alasan-alasan pembentukan kerja sama pendidikan tinggi sebelumnya, dapat diketahui bahwa negara-negara ASEAN belum memberikan prioritas kepada kawasan untuk memenuhi kepentingannya. Dalam aspek perdagangan, dapat diketahui meskipun negara-negara seperti Malaysia dan Thailand mendominasi pangsa pasar pendidikan tinggi kawasan, keduanya tidak menjadikan kawasan sebagai prioritas pangsa pasar, dengan berupaya menarik lebih banyak pelajar dari China dan India. Untuk mode commercial presence, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Laos juga tidak memilih berpartner dengan negara dari kawasan ASEAN. Hal yang sama juga terjadi untuk aspek akademis, di mana peran Jepang dan Korea Selatan di dalam program-program pengembangan kualitas lebih besar daripada pengintensifan kolaborasi antar sesama anggota 111
ASEAN. Dengan melihat fakta-fakta tersebut, maka dapat dikatakan bahwa regionalisme pendidikan tinggi ASEAN lebih berfungsi sebagai batu loncatan dari pada tujuan. Dari perspektif globalisasi pendidikan, fenomena ini merupakan kondisi yang menguntungkan karena dapat mempermudah proses pengintegrasian negara-negara Asia Tenggara ke dalam struktur global. Meskipun demikian, kondisi ini akan mengurangi efektifitas regionalisme pendidikan tinggi kawasan, karena negara-negara anggota tidak banyak menginvestasikan kepentingannya dalam kawasan. Dalam kondisi ektrem, kondisi ini dapat membuat negara dengan mudah mengabaikan kerja sama dalam regionalisme ASEAN, karena biaya sosial, ekonomi, maupun politik yang harus dibayarkan tidak besar. Dengan memahami regionalisme pendidikan tinggi ASEAN seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, setidaknya terdapat dua aspek penting terkait dengan regionalisme ASEAN secara umum. Aspek pertama adalah adanya pola outward-looking dalam regionalisme kawasan. Dari perspektif pendidikan tinggi, hal ini dapat dilihat dalam isu transfer teknologi, perluasan jaringan, dan pendanaan, di mana negara menjadikan regionalisme kawasan sebagai strategi peningkatan posisi tawar terhadap partner kerja sama dari luar kawasan. Hal ini dapat dilihat dari sifat regionalisme pendidikan tinggi ASEAN yang sangat terbuka terhadap partner luar kawasan, terutama negara-negara dari kawasan Asia Timur yang intensif dalam mengintegrasikan sektor pendidikan tingginya dengan negara-negara ASEAN. Bagi negara dengan posisi lemah dalam konstelasi ekonomi politik sektor pendidikan kawasan, regionalisme ASEAN adalah salah satu cara untuk memperoleh akses konsesi kolaborasi yang proposional dengan negara yang memiliki posisi lebih lebih kuat. Sementara itu bagi negara yang sudah memiliki posisi mapan, jaringan eksternal yang dibangun melalui 112
regionalisme kawasan dapat memperkuat posisinya dalam aspek perdagangan maupun politik pendidikan tinggi. Aspek kedua adalah regionalisme ASEAN merupakan langkah integrasi yang dilandasi pada proyeksi kalkulasi keuntungan dan kerugian di masa mendatang, atau juga lazim dikenal dengan istilah shadow of the future. Dalam konteks pendidikan tinggi, hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa regionalisasi lebih merupakan hasil regionalisme daripada hubungan saling ketergantungan yang memang sudah ada dan ingin diinstitusionalisasikan. Terkait dengan implementasi ASEAN Community, negara memiliki proyeksi terhadap perolehan yang akan didapat dengan adanya integrasi di level common market sehingga sepakat untuk berkomitmen bersama sementara hubungan saling ketergantungan baik di level negara atau masyarakat masih rendah. Secara kritis, landasan integrasi ini adalah fondasi regionalisme yang rapuh, karena tidak ada jaminan apakah ASEAN Community dapat memenuhi ekspektasi negara-negara atau tidak di masa depan. Jika ternyata berhasil, berarti umur yang lebih panjang bagi regionalisme ASEAN. Jika tidak, maka ASEAN Community akan mengalami degradasi legitimasi sehingga akan sulit untuk bertahan di tengah dinamika kepentingan regional. Terkait dengan adanya isu kohesifitas regional, outward looking regionalism, serta shadow of the future, ASEAN Community memiliki tantangan besar dalam mewujudkan regionalisme yang efektif dan solid. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah mengubah struktur pay off agar lebih mengikat, misalnya dengan memperbesar insentif maupun hukuman, sehingga negara mau menginvestasikan lebih banyak kepentingannya dalam kawasan. Dengan menjadikan regionalisme ASEAN terus dibutuhkan, kerja sama antar negara anggota akan terus terjalin sehingga bukannya tidak mungkin ASEAN dapat meningkatkan level integrasinya lebih dari pada ASEAN Community di masa mendatang. 113