INTEGRASI SAPI-SAWIT DI KALIMANTAN TENGAH (Fokus Pengamatan di Kabupaten Kotawaringin Barat) Ermin Widjaja PENDAHULUAN Luas perkebunan di Kalimantan Tengah berkembang dengan pesat dari 712.026 Ha pada tahun 2007 meningkat menjadi 1.256.444 Ha pada tahun 2012. Potensi yang besar untuk mengembangkan ternak yang efisien melalui pendekatan secara terpadu dengan perkebunan kelapa sawit. Kegiatan tersebut telah berjalan di beberapa lokasi di Indonesia, tidak hanya dilakukan oleh swasta namun juga oleh kelompok masyarakat. Salah satu kegiatan integrasi sawit-sapi yang mulai menunjukkan prospeknya dalam artian telah berjalan dan mendapatkan perhatian dari pihak pemerintah adalah di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Dari tahun ketahun lokasi pelaksanaan kegiatan tersebut meningkat, ini menunjukkan adanya perhatian yang serius dari Pemerintah (pusat dan daerah) terhadap pelaksanaan kegiatan integrasi sawit-sapi. Untuk tahun 2013 di Kabupaten Kotawaringin Barat akan dikembangkan lagi di tiga lokasi. Kegiatan integrasi sawit-sapi, diharapkan Kabupaten Kotawaringin Barat bisa menjadi daerah pensuplai sapi untuk wilayah Kalimantan Tengah. Saat ini populasi sapi mencapai + 9.000 ekor dan merupakan populasi sapi terbanyak di wilayah Kalimantan Tengah. Tentunya hal ini diharapkan juga mampu merangsang kabupaten-kabupaten lainnya untuk melakukan kegiatan serupa. Di Kabupaten Kotawaringin Barat sendiri ada 2 pengelolaan sistem integrasi sawit-sapi, yaitu dilakukan oleh pihak swasta dan oleh masyarakat (kelompok ternak). Filosofi integrasi telah diterapkan yaitu pemanfaatan hasil samping perkebunan dan industri kelapa sawit sebagai pakan ternak dan pemanfaatan kotoran ternak untuk pupuk. Luasnya perkebunan kelapa sawit (+ 200 rb hektar) dan ada 7 buah pabrik pengolah kelapa sawit (PKS), menghasilkan sumber pakan konsentrat yang melimpah, yaitu berupa solid sawit dan bungkil inti sawit serta tentunya pelepah sawit sebagai sumber serat menjadikan wilayah Kabupaten Kotawatingin Barat ideal untuk model pengembangan ternak sapi melalui pendekatan secara terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit. Usaha nyata pemerintah sudah mulai dilakukan dengan memberikan bantuan ternak dan fasilitas serta diadakannya seminar nasional tentang integrasi sawit-sapi yang dilaksanakan di Kabupaten Kotawaringin Barat yang merupakan kerjasama antara Dirjen Perkebunan dan masyarakat perkebunan kelapa sawit Kabupaten Kotawaringin Barat. Tujuan pelaksanaan seminar tersebut adalah memberikan pemahaman yang sama tentang pelaksanaan kegiatan integrasi sawit-sapi.. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi, pandangan sekaligus harapan yang ditujukan kepada pihak-pihak terkait agar kegiatan integrasi sawit-sapi ini bisa cepat berkembang secara luas di masyarakat dan swasta. PELAKSANAAN KEGIATAN INTEGRASI SAWIT-SAPI Kegiatan integrasi sawit-sapi di Swasta Kegiatan integrasi sawit-sapi telah dilakukan oleh beberapa pihak swasta diantaranya adalah PT. Medco dan PT. Sulung Ranch. Namun PT. Sulung Ranch lebih dahulu melakukan kegiatan tersebut. Kegiatan peternakan di Sulung Ranch adalah ditujukan untuk menghasilkan anak (perbibitan) yang dilakukan secara terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit dan ini merupakan model yang 59
BULETIN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN terbaik dan satu-satunya yang ada di Indonesia. Manajemen pemeliharaannya adalah secara semi intensif, yaitu dikandangkan pada sore dan malam hari, sedangkan pagi dan siang di lepas di padang gembalaan. Jumlah sapi yang dipelihara saat ini sekitar 950 ekor yang terdiri dari anak, induk dan pejantan dengan 3 orang yang menangani sapi, sehingga 1 orang menangani sekitar 300 ekor. Pakan yang diberikan sebagian besar memanfaatkan hasil samping dari pabrik kelapa sawit (PKS) yang diramu menjadi pakan konsentrat dengan formula pakan terdiri dari solid sawit, bungkil inti sawit dan sisanya dalam jumlah kecil adalah bahan pakan lain seperti dedak, onggok, tetes, mineral. Selain diberikan pakan konsentrat juga mendapatkan pakan hijauan baik saat dilepaskan di padang gembalaan maupun saat dikandangkan. Dengan pakan yang sebagian besar bersumber dari hasil samping PKS menjadikan harga pakan konsentrat per kg relatif murah yaitu hanya Rp.1.200,-, sedangkan harga pakan konsentrat di Jawa sekitar Rp.2500,- - Rp.3.000,-/kg. Berdasarkan harga pakan tersebut dengan konsumsi pakan 4 kg/ekor/hari dan mengambil jarak beranak 14 bulan, maka untuk menghasilkan 1 ekor pedet diperlukan biaya pakan sekitar Rp.1.344.000,-, dengan demikian usaha pembibitan sebenarnya menguntungkan kalau dilakukan pendekatan secara terintegrasi dengan industri perkebunan kelapa sawit. Jarak beranak atau calving interval (CI) yang bisa diterapkan adalah 14 bulan atau 430 hari, dengan bobot lahir anak sapi Bali sekitar 18 kg. Sebelumnya dilaporkan bobot anak lahir tidak sampai 15 kg, setelah ada perbaikan pakan konsentrat bobot badan lahir anak sapi Bali dapat ditingkatkan dan angka kematian pedet dapat ditekan hingga 2% sebelum sapih. Perkawinan kebanyakan dilakukan dengan menyilangkan sapi Bali induk dengan pejantan dari breed yang lain, yaitu pejantan Limousin dan Simmental. Kegiatan persilangan dilakukan untuk mendapatkan performan sapi yang lebih besar. Namun demikian ke depan diharapkan kegiatan pemurnian sapi Bali dapat dilaksanakan di peternakan Sulung Ranch. Kegiatan Integrasi Sawit - Sapi di Kelompok Ternak Model integrasi juga telah dilakukan oleh kelompok Tani Ternak Subur Makmur dan ini bisa menjadi contoh model untuk level peternakan non swasta atau oleh rakyat yang bisa dikelola secara profesional dan sangat memungkinkan dikembangkan dalam skala besar. Yang menarik dari kelompok ternak ini adalah bahwa tujuan pemeliharaan ternak adalah untuk mendapatkan kotoran yang diproses lebih lanjut menjadi pupuk. Melalui kegiatan bisnis pupuk inilah kegiatan pemeliharaan ternak sapi dapat dibiayai, sedangkan ternak/anak sapi yang dihasilkan adalah sebagai bonus. Tujuan pemeliharaan sapi adalah juga untuk menghasilkan anak (perbibitan) dengan manajemen pemeliharaan sapi dilakukan secara intensif dimana sapi dikandangkan secara terus menerus dan tidak pernah diberikan exercise. Dengan manajemen seperti ini untuk sapi yang dipelihara dengan tujuan perkembangbiakan dikhawatirkan saat bunting terjadi kesulitan melahirkan (distokia). Perbaikan kandang perlu diberikan untuk bisa memberikan ruang untuk kegiatan exercise atau kalau tidak pada waktu-waktu tertentu sapi bisa dikeluarkan dari kandang untuk digembalakan di sekitar perkebunan kelapa sawit. Pakan yang diberikan semua bersumber dari perkebunan dan dari PKS, sangat memungkinkan biaya pakan ditekan semurah mungkin. Pakan yang dibuat dalam bentuk pakan komplit, yaitu pakan sebagai sumber protein dan sekaligus 60
sumber serat sehingga tidak diperlukan lagi pemberian hijauan pakan lainnya (rumput) karena sumber serat dipenuhi dari pelepah sawit. Bahan pakan yang digunakan untuk membuat pakan komplit adalah solid sawit dan bungkil inti sawit dengan porsi yang paling besar, kemudian pelepah sawit yang dicoper, serta ditambahankan bahan pakan yang lain dengan porsi kecil seperti urea, tetes dan mineral. Harga pakan komplit hanya Rp.1.200,-/kg namun ada dugaan sebenarnya lebih rendah dari harga tersebut yaitu bisa kurang dari Rp.1.000,- /kg. Harga pakan yang relatif murah tersebut karena bahan pakan banyak tersedia di sekitar lokasi peternakan dan ada kemudahan akses untuk memperoleh bahan-bahan tersebut terutama hasil samping PKS (solid sawit dan bungkil inti sawit). Jumlah sapi secara keseluruhan yang dipelihara adalah 100 ekor yang mampu menghasilkan pupuk organik 90 ton/bulan dan ini masih jauh dari mencukupi untuk memenuhi permintaan produksi pupuk dari Koperasi yang setiap bulannya memerlukan lebih dari 90 ton. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut terpaksa membeli kotoran sapi dari luar. Pupuk yang dihasilkan dan dibeli oleh koperasi digunakan untuk memupuk perkebunan kelapa sawit milik anggotanya. Berdasarkan informasi peternak sekaligus pekebun sawit, TBS yang dihasilkan produksinya lebih besar dibandingkan yang tanpa dipupuk kandang. Pupuk yang diproduksi tidak hanya berbahan kotoran sapi namun juga dicampur dengan bahan lokal lainnya yang berasal dari hasil samping PKS, yaitu solid, janjang kosong, serat perasan buah dan abu sehingga sangat kaya dengan unsur-unsur mineral. Pupuk yang sudah jadi yang masih dalam bentuk kasar kemudian digiling dan siap dipasarkan di Koperasi dengan harga Rp.1.200,-/kg. Dengan demikian hasil samping dari PKS tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak namun juga untuk campuran pembuatan pupuk dengan kualitas baik. Model integrasi sawit-sapi yang dikembangkan oleh kelompok Tani Ternak Subur Makmur ini sangat cocok untuk dijadikan percontohan di tingkat masyarakat (non swasta) karena filosofi integrasi sawit-sapi itu sendiri, yaitu low external input sustainable agriculture (LEISA) dan zero waste sudah diterapkan. Melihat prospek yang baik, kelompok Tani Ternak Subur Makmur berniat mengembangkan ternak sapi dalam skala yang lebih besar lagi dan diperkirakan mampu menampung 400 ekor lagi dan telah dipersiapkan pengembangan hijauan pakan ternak (rumput Taiwan) di sepanjang area perkebunan kelapa sawit sepanjang 4 km. Hal ini menunjukkan komitmen yang tinggi dari peternak tersebut untuk melakukan integrasi sawitsapi secara sungguh-sungguh. Penyakit Permasalahan penyakit nampaknya agak dilupakan. Penyakit mempunyai peranan yang penting dalam keberhasilan peningkatan populasi ternak. Munculnya penyakit di Kalimantan Tengah seiring dengan mobilitas/pergerakan ternak dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Contoh di Kabupaten Kotawaringin Barat sebagai percontohan kegiatan integrasi sawit-sapi di Provinsi Kalimantan Tengah, penyakitpenyakit ditemukan baik di lokasi kegiatan integrasi sawit-sapi maupun diluar lokasi tersebut. Penyakit muncul pada sapi-sapi yang dulunya berasal dari luar Kalimantan Tengah. Beberapa penyakit berbahaya yang ditemukan adalah Jembrana, IBR, Para TBC, BVD, Trypanosomiasis, Microfilariasis, Fasciolosis, Brucellosis dan BEF. Penyakit Jembrana masih sering muncul walaupun sudah dilakukan vaksinasi secara rutin. Penyakit BVD sering mengiringi munculnya penyakit Jembrana. Penyakit demam 3 hari (BEF) 61
BULETIN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN juga sering dilaporkan di lapangan walaupun tidak dilakukan pemeriksaan secara laboratorium namun berdasarkan gejala penyakit yang muncul. Distribusi jumlah penyakit yang menyebar di beberapa lokasi di wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Distribusi jumlah penyakit di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Nampak bahwa wilayah penyebaran penyakit yang terbanyak adalah pada penyakit BVD, menyusul Brucellosis dan Jembrana. Penyakit cacingan kronis walaupun jarang dijumpai namun perlu mendapatkan perhatian karena mengganggu reproduksinya, sebagaimana dijumpai di salah satu wilayah di Kabupaten Kotawaringin Barat. MERAIH LUMBUNG TERNAK SAPI Beberapa kabupaten di Kalimantan Tengah sangat potensi untuk pengembangan ternak melalui pendekatan secara terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit. Kabupaten Kotawaringin Barat menjadi salah satu lokasi di Kalimantan Tengah yang ideal untuk pengembangan kegiatan integrasi sawitsapi, karena ketersediaan potensi sumberdaya pakan dari hasil samping industri perkebunan kelapa sawit yang lengkap, yaitu berupa limbah pelepah sawit, solid sawit dan bungkil inti sawit. Bahan pendukung pembuatan pupuk berupa janjang, serat perasan buah bahkan juga abu dari boiler PKS. Ada dua hal penting yang perlu mendapatkan perhatian agar kegiatan integrasi sawit-sapi bisa berhasil, yaitu ketersediaan akses pakan dari PKS dan adanya pasar pupuk (contoh kelompok Tani Ternak Subur Makmur). Dalam pelaksanaannya pihak swasta diharapkan ikut berperan dalam hal pemberdayaan masyarakat sekitar melalui kegiatan integrasi sawit-sapi dengan CSR (Corporate Social Responsibility) dan memberikan kemudahan akses terhadap bahan pakan ternak hasil prosesing PKS. CSR bisa dalam bentuk soft loan dan khusus untuk ternak harus ada grass period (1 tahun) dalam pembayarannya dan pembayarannya bisa dilakukan melalui pemotongan hasil penjualan tandan buah segar (TBS). Adapun kemudahan akses pakan, yaitu bisa memperoleh limbah solid secara gratis dan mendapatkan porsi untuk memperoleh bungkil inti sawit (BIS) dengan harga sesuai harga jual pabrik. Pupuk yang dihasilkan bisa ditampung oleh pihak perusahaan atau koperasi kebun. Perbankan perlu juga mengambil peran dengan memberikan kemudahan kredit. Ada sekitar 17 kelompok ternak yang merupakan plasma kelapa sawit yang ingin melakukan kegiatan karena keberhasilan dari kelompok Tani Ternak Subur Makmur. Permasalahan mereka adalah di permodalan. Kalau ke 17 kelompok tersebut bisa melakukan kegiatan integrasi sapi-sawit semuanya maka kegiatan integrasi akan berkembang pesat tidak hanya oleh swasta namun juga oleh kelompok ternak dan sudah barang tentu populasi ternak akan cepat berkembang. Peran pemerintah penting terkait regulasi yang mendukung pengembangan ternak di area perkebunan sawit dan ijin mendatangkan betina produktif, Dinas 62
terkait yang mewakili Pemda melakukan pembinaan baik secara teknis maupun non teknis. Permasalahan pemasaran yang masih sering dirasakan pelaku (petani/peternak) perlu dibantu solusinya. Petani/peternak atau pelaku komitmen untuk mengembangkan kegiatan secara sungguh-sungguh dengan menerapkan manajemen ternak dan perkebunan yang baik dan benar, menerapkan inovasiinovasi teknologi yang siap terap yang dihasilkan oleh lembaga penelitian (Badan litbang Pertanian). Berbagai peran yang disampaikan ini intinya adalah bahwa kegiatan integrasi sawit-sapi ini akan berhasil kalau ada KOMITMEN YANG TINGGI dari berbagai pihak yang terkait. Pengembangan ternak melalui pendekatan secara terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit lebih banyak difokuskan pada bahasan tentang pakan, namun yang perlu mendapatkan perhatian pula adalah masalah penyakit infeksius berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium, karena penyakit juga memegang peranan penting dalam mendukung sukses tidaknya pengembangan ternak sapi. Perhatian terhadap penyakit tidak hanya difokuskan pada titik lokasi keberadaan sapi (penyakit) di kegiatan integrasi sawit-sapi, namun perlu diperhatikan pula pada peternakan yang ada di sekitarnya serta asal ternak tersebut di datangkan. Penyebaran penyakit di Kabupaten Kotawaringin Barat muncul seiring dengan mobilitas ternak, penyakit terutama yang bersifat menular justru muncul setelah ada sapi-sapi yang didatangkan dari luar Kotawaringin Barat atau tepatnya dari luar Kalimantan Tengah. Oleh karena itu, dalam pengadaan ternak sapi perlu sekali diperhatikan asal ternak, hal ini penting untuk mengantisipasi munculnya penyakit tertentu yang di daerah asal ternak sudah menjadi penyakit endemis. Untuk itu monitoring rutin terhadap penyakit sangat diperlukan. Minimnya fasilitas dan kemampuan SDM di Dinas setempat untuk melakukan diagnosa cepat dan tepat agar dapat mendeteksi penyakit secara dini (early warning) menjadi kendala di daerah, ditambah keterbatasan dana untuk melakukan pemeriksaan sampel. Sementara laboratorium yang mempunyai kemampuan pemeriksaan sampel berada cukup jauh dari lokasi pengembangan ternak. Dukungan perangkat diagnostik yang murah dan mudah diaplikasikan oleh petugas ditingkat lapang menjadi sangat penting. Terkait dengan beberapa penyakit penting yang sering muncul pada ternak sapi, inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian yang memungkinkan bisa diterapkan adalah FelisaVet. Karena kemampuannya untuk mendeteksi penyakit sampai 8 jenis penyakit bahkan lebih dalam 1 sampel, mudah diaplikasikan di lapang dan tidak memerlukan waktu lama menunggu hasil pemeriksaannya. Penyakit lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah parasit cacing. Terutama terkait dengan kegiatan breeding, pada kasus yang berat menganggu siklus reproduksi yang berakibat merugikan peternak. Munculnya berbagai jenis penyakit perlu mendapatkan perhatian yang serius agar populasi ternak sapi bisa berkembang dengan baik dan upaya peningkatan populasi sapi yang murah, berwawasan lingkungan melalui pendekatan secara terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit bisa berhasil sehingga Kalimantan Tengah dapat menjadi lumbung ternak sapi di wilayahnya sendiri bahkan secara nasional. 63