II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Tebu atau Saccharum officinarum termasuk keluarga rumput-rumputan. Mulai dari pangkal sampai ujung batangnya mengandung air gula dengan kadar mencapai 20%. Air tebu inilah yang kelak dibuat kristal-kristal gula atau gula pasir. Disamping itu, tebu juga dapat digunakan menjadi bahan baku pembuatan gula merah. Soejardi (2003) juga menjelaskan tebu adalah tanaman yang membutuhkan musim hujan pada saat penanaman dan sedikit hujan pada saat dipanen (ditebang). Kebetulan kondisi ini sesuai kondisi iklim di Indonesia yang memiliki dua macam iklim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Tebu yang digunakan sebagai bahan baku pabrik merupakan tanaman keturunan hasil persilangan antara tebu alam dan pimping. Maka untuk memperoleh hasil yang sesuai dengan yang diharapkan maka ditanam jenis (varietas) tertentu yang sesuai dengan kondisi alam dan iklim (suhu, angin, dan intensitas curah hujan) agar didapat hasil gula yang cukup tinggi. Sebagaimana yang di kutip dalam http://www.deptan.go.id, (2010), tebu keprasan adalah sistem penanaman tebu dengan cara menumbuhkan kembali bekas tebu yang telah ditebang, baik bekas tebu giling atau tebu bibitan, kebun yang akan dikepras harus dibersihkan dari kotoran bekas tebangan yang lalu, sebaiknya tanah yang terlalu kering diairi dulu.
Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Langkat (2011), sistem keprasan dilakukan untuk mengurangi biaya bibit untuk penanaman awal kembali, dimana keprasan dilakukan pada tahun kedua produksi tebu. Keprasan juga dilakukan akibat kesalahan pada proses pemanenan dimana tebu yang seharusnya dipanen dengan cara memotong secara datar pada tanaman tidak dihabiskan sampai kandas ketanah sehingga dilakukan keprasan dengan menghabiskan tanggul sampai kebawah. Bibit tebu yang digunakan bermacam-macam ada yang berasal dari Brazil, Lampung memiliki warna agak kekuningan dan daun yang agak lebar, bibit yang berasal dari pasuruan memilki ciri-ciri batang yang berwarna kemerahan dan daun yang membengkok kebawah. Pada tebu sistem tanam awal dilakukan pembibitan terlebih dahulu selama lebih kurang 3 bulan atau 100 hari ditempat pembibitan setelah itu dipindahkan diarea yang akan diusahakan, 1 ha bibit tebu dapat digunakan untuk menanami 10 ha lahan tebu, karena pada saat pembibitan jarak tanam antar satu tebu dengan yang lainnya rapat. Tebu dikatakan masak setelah berumur 8 bulan akan tetapi biasanya dipanen setelah berumur 1 tahun hal ini bertujuan untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi, dengan kata lain air tebu yang dikandung banyak, rendemen sekitar 6 % dan apabila lebih dari satu tahun maka produktivitas akan menjadi rendah karena tebu menjadi terlalu tua. Sutardjo (1994), menjelaskan dalam bukunya bahwa Setelah dilakukan pemanenan maka bekas panen tersebut akan dibakar untuk memperbaiki fisik tanah dan menghindari gangguan dari masyarakat atau orang usil yang akan mencuri hasil panen ataupun merusak lahan. Masa kemasakan tebu adalah suatu gejala bahwa pada akhir pertumbuhannya terdapat timbunan sukrosa didalam batang tebu. Pada tebu yang masih muda,
kadar sukrosa tertinggi berada didalam ruas-ruas bawah dan kadar sukrosa diruasruas diatasnya hamper sama tingginya. Adapun dalam proses kemasakan, ruasruas yang termuda mengandung kadar glukosa tertua, rendahnya kadar sakarosa diruas-ruas atas berhubungan dengan belum dewasanya ruas-ruas itu. Sakarosa adalah bahan baku yang terpenting. Semula, semasa tebu masih dalam masa pertumbuhan, sakarosa ini merupakan hasil asimilasi daun tebu. Jadi factor - faktor lingkungan baik yang ada dipermukaan tanah seperti iklim, maupun yang berada dibawah tanah, besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan tebu. Rendemen tebu adalah kadar kandungan gula didalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Bila dikatakan rendemen tebu 10 %,artinya ialah bahwa dari 100 kg tebu yang digilingkan di Pabrik Gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kg. Ada 3 macam rendemen,yaitu: rendemen contoh,rendemen sementara, dan rendemen efektif. 1. Rendemen Contoh Rendemen ini merupakan contah yang dipakai untuk mengetahui apakah suatu kebun tebu sudah mencapai masak optimal atau belum. Dengan kata lain rendemen contah adalah untuk mengetahui gambaran suatu kebun tebu berapa tingkat rendemen yang sudah ada sehingga dapat diketahui kapan kapan saat tebang yang tepat dan kapan tanaman tebu mencapai tingkat rendemen yang memadai. Rumus : Nilai nira x Faktor rendemen = Rendemen.
2. Rendemen Sementara Perhitungan ini dilaksanakan untuk menentukan bagi hasil gula,namun sifatnya masih sementara.hal ini untuk memenuhi ketentuan yang menginstruksikan agar penentuan bagi hasil gula dilakukan secepatnya setelah tebu petani digiling sehingga petani tidak menunggu terlalu lama sampai selesai giling namun diberitahu lewat perhitungan rendemen sementara. Cara mendapatkan rendemen sementara ini adalah dengan mengambil nira perahan pertama tebu yang digiling untuk dianalisis di laboratorium untuk mengetahui berapa besar rendemen sementara tersebut. Rumus : Rendemen Sementara = Faktor Rendemen x Nilai Nira. 3. Rendemen Efektif Rendemen efektif disebut juga rendemen nyata atau rendemen terkoreksi. Rendemen efektif adalah rendemen hasil perhitungan setelah tebu digiling habis dalam jangka waktu tertentu.perhitungan rendemen efektif ini dapat dilaksanakan dalam jangka waktu 15 hari atau disebut 1 periode giling sehingga apabila pabrik gula mempunyai hari giling 170 hari,maka jumlah periode giling adalah 170/15 = 12 periode.hal ini berarti terdapat 12 kali rendemen nyata/efektif yang bisa diperhitungkan dan diberitahukan kepada petani tebu. Tebu yang digiling di suatu pabrik gula jelas hanya sebagian kecil saja yang akan menjadi gula.kalau 1 kuintal tebu mempunyai rendemen 10 % maka hanya 10 kg gula yang didapat dari 1 kuintal tebu tersebut.
Karena dalam sistem TRI petani menjadi pengusaha (manajer dan wiraswasta) dalam usahatani tebu, maka petani sekaligus menghadapi berbagai masalah yang berhubungan dengan usaha memperoleh sarana-sarana produksi yang diperlukan yaitu bibit, pupuk, obat-obatan anti hama dan penyakit, biaya sarana produksi tersebut, modal dari lembaga-lembaga perkreditan yang ada baik di bank-bank Pemerintah maupun lembaga-lembaga kredit swasta. Perbedaan yang terdapat antara sewa tanah dan TRI adalah bahwa dalam sistem TRI lebih banyak pihak yang terlibat, seperti sektor swasta menjadi lebih penting dalam peranannya melakukan berbagai proses. Hal yang paling menarik dari sistem TRI itu adalah bertambah besarnya peran pemerintah dalam penyampaian dan penerangan peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan sistem TRI. Seharusnya pekerjaan pabrik gula menjadi lebih ringan karena tugasnya semata-mata hanya menggiling, namun pada kenyataannya justru sebaliknya pabrik gula menjadi bagian dari pemerintah yang mempunyai tugas memberikan pengarahan, membina petani, dan menjadi anggota terpenting pemerintah yang berhubungan dengan TRI. (Mubyarto, 1984). 2.2 Landasan Teori Soekartawi (1995), menjelaskan dalam bukunya bahwa Ilmu usahatani biasanya diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh pendapatan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya, dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input). Dalam
melakukan analisis usahatani ini, seseorang dapat melakukannya menurut kepentingan untuk apa analisis usahatani yang dilakukannya. Soekartawi,dkk (1984) juga menjelaskan karena ilmu usahatani pada dasarnya memperhatikan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, kerja, modal dan waktu pengelolaan) yang terbatas untuk mencapai tujuannya, maka disiplin induknya ialah ilmu ekonomi. Hal yang diperhatikan dalam usahatani diantaranya adalah biaya. Tjakrawiralaksana dan Cuhaya (1983) berpendapat, bahwa biaya adalah semua pengeluaran, dinyatakan dengan uang, yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk dalam satu periode produksi, disebut pula ongkos-ongkos yang merupakan nilai dari seluruh pengorbanan (unsur produksi) atau input. Adapun yang termasuk biaya ialah sarana produksi, lahan, biaya dari alat-alat produksi, tenaga kerja dan biaya-biaya lain, termasuk sewa alat dan hewan penarik. Teori biaya tradisional menganalisa biaya dalam kerangka waktu yang berbeda yaitu dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek terdapat biaya tetap. Sedangkan dalam jangka panjang semua biaya adalah variabel seperti halnya semua faktor juga variabel dalam kerangka waktu ini. Biaya tetap didefenisikan sebagai biaya yang jumlahnya tidak tergantung atas besar kecilnya kuantitas produksi yang dilaksanakan. Bahkan bila untuk sementara produksi dihentikan biaya tetap ini harus dibayar dalam jumlah yang sama, yaitu termasuk dalam biaya tetap ini adalah misalnya gaji tenaga administratif, penyusutan mesin, gedung dan alat-alat lain dan keuntungan normal yang diperhitungkan sebagai persentase tertentu dari faktor produksi tetap. Jelas bahwa sifat tetapnya biaya tetap ini akan berubah dalam jangka panjang. Tenaga administratif dapat
ditambah atau dikurangi dalam jangka panjang. Akan tetapi dalam jangka pendek perubahan ini tidak mungkin. Biaya variabel dapat didefenisikan sebagai biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan perubahan kuantitas produk yang dihasilkan. Makin besar kuantitas produksi, makin besar pula jumlah biaya variabel. Yang termasuk dalam biaya variabel ini adalah biaya bahan mentah, biaya tenaga kerja langsung dan biaya eksploitasi dalam rangka pemanfaatan faktor tetap misalnya bahan bakar minyak, kerusakan kecil-kecil dan biaya perawatan lain. Biaya ini mempunyai hubungan langsung dengan kuantitas produksi. Secara matematis biaya dapat ditulis : TC = FC + VC Dimana : TC FC VC = Total Biaya = Biaya Tetap = Biaya tidak tetap (Sudarsono, 1995). Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut : TR = Y. Py Dimana : TR = Total Penerimaan Y Py = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani = Harga Y
Menurut Iskandar Putong (2005), yang dimaksud dengan produksi atau memproduksi adalah suatu usaha atau kegiatan yang menambah kegunaan (nilai guna suatu barang. Kegunaan suatu barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih dalam bentuk semula. Produktivitas berkenaan dengan perbandingan hasil produksi dengan input. Sedangkan pendapatan usahatani dapat kita hitung dengan mengurangi nilai output total (penerimaan) dengan nilai total input (biaya). Sisa itu kita namakan pendapatan pengelola atau management income. Jadi pendapatan itu jumlah yang tersisa setelah biaya, yaitu semua nilai input untuk produksi, baik yang benarbenar dibayar maupun yang hanya diperhitungkan, telah dikurangkan dari penerimaan. Singkatnya adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya Persamaan ini dapat ditulis sebagai berikut : Pd = TR TC Dimana : Pd TR TC = Pendapatan usahatani = Total Penerimaan = Total Biaya (Soekartawi, 1990).
2.3 Kerangka Pemikiran Hal pertama yang akan dijelaskan adalah penerapan masing-masing sistem. Perbedaan kedua sistem ini adalah cenderung terletak pada biaya karena sistem tanam awal merupakan tahun pertama usahatani TRI sehingga memerlukan biaya yang cukup besar saat pra produksi, sebab jika lahan tidak sesuai akan mempengaruhi produksi TRI, untuk masalah pengolahan yang perlu diperhatikan adalah sarana produksi karena merupakan variabel penting yang harus diperhatikan. Dari hasil wawancara langsung dengan Dis.hutbun dan Salah seorang Ketua Kelompok Tani setempat bahwa keadaan petani tebu di kedua desa ini tidak berbeda dimana rata-rata petani TRI menggunakan lahan yang disewa dan bekerjasama atau bermitra dengan PTP, biaya awal yang harus dibayar adalah uang sewa sebesar 1,5 juta per tahun pada awal penggunaan lahan atau setelah panen pada tahun berikutnya, biaya lainnya adalah biaya bibit, pupuk, tenaga kerja dan biaya-biaya pemeliharaan lain. bibit diperoleh atau dibeli dari PTP dan akan dihitung atau dipotong pada saat petani mendapatkan hasil dari pabrik. Masalah yang dihadapi petani adalah lahan yang disewa dari PTP ini dianggap kurang memuaskan karena merupakan lahan sisa atau telah dipilih, dimana yang bagus untuk pemilik (PTP) sedangkan lahan yang kurang bagus diserahkan kepada petani, hal ini menyebabkan petani harus mengeluarkan biaya yang besar untuk memperbaiki lahan dan produksi tebu tahun pertama bisa kurang baik, lahan petani juga terletak agak kedalam dan jauh dari jalan raya, sehingga pada saat musim hujan untuk masuk kedalam agak sulit karena jalan becek.
Pada dasarnya petani tebu di Kwala Begumit dan Kwala Bingei memiliki kelompok tani sehingga hal ini memudahkan petani untuk memecahkan masalah baik internal maupun eksternal antar petani. Dan memudahkan dalam memproduksi tebu. Produksi didapatkan setelah dilakukan pemanenan baik secara borongan maupun per kelompok tani, setelah pemanenan biasanya lahan diistirahatkan dulu untuk menjaga kondisi fisik tanah ataupun dilakukan pembakaran tunggul tebu yang tersisa. Tujuan lain dari pembakaran ini adalah untuk menghindari kebakaran lahan akibat ulah orang lain. Adapun kelompok-kelompok tani masing-masing di Desa Kwala Begumit dan Desa Kwala Bingei dapat dilihat pada tebel dibawah ini : Tabel 4. Kelompok Tani Desa Kwala Begumit Tahun 2010 No. Nama Kelompok Jumlah Anggota (orang) Luas Lahan (Ha) 1. Bersama 41 78.60 2. Anugrah 31 80.20 3. Tebu Merah 14 36.80 4. Mulya Karya 8 16.00 5. Tani Jaya 11 23.90 6. Suko Beno 14 23.80 7. Bantenan 31 41.70 Jumlah 158 314.00 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Langkat, 2011 dari tabel diatas dapat dilihat jumlah petani di Desa Kwala Begumit adalah sebanyak 158 orang dengan luas lahan sebesar 314 Ha.
Tabel 5. Kelompok Tani Desa Kwala Bingei Tahun 2011 No. Nama Kelompok Jumlah Anggota (orang) Luas Lahan (Ha) 1. Alas Samudra 24 50.80 2. Setia Kawan 3 8.10 3. Harapan Tani 30 23.20 4. Mandiri 2 2.00 5. Serba Guna 4 10.30 6. Bantenan 18 20.10 7. Suko Beno 8 14.50 8. Cinta Manis 3 6.10 9 Ingin Maju 5 9.50 10. Citra 11 24.70 11. Gohor Jaya 26 29.70 Jumlah 136 199.00 Sumber : Dinas Kehutanan Perkebunan dan PTPN II Kwala Bingei,2011 Setelah panen petani langsung mengantarkan tebu tersebut kepada ke Pabrik Gula Kwala Madu (PGKM) atau Pabrik Gula Sei Semayang dengan pembagian hasil sesuai Keputusan Mentri Perkebunan 65% untuk petani dan 35% untuk pabrik, masa penggilingan ini juga dibatasi oleh pihak pabrik yaitu dari awal Maret - 23 Juni, jika lewat dari tanggal itu maka petani tidak dapat melakukan penggilingan dan akan menyebabkan kerugian yang besar. Adapun hasil yang diperoleh petani bisa dalam bentuk gula 10% dan uang 90% berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (informasi diperoleh dari Dis.hutbun Langkat), akan tetapi dapat juga berupa uang 100% atau gula dijual kepabrik jika petani sedang membutuhkan uang, uang baru dapat diterima setelah 1 atau 2 bulan masa penggilingan dan nantinya akan diserahkan kepada ketua kelompok yang kemudian akan diserahkan kepada anggotanya.
PETANI TRI KW. Begumit (10 thn) KW. Bingei (3 thn) SISTEM TANAM AWAL SISTEM KEPRASAN SISTEM TANAM AWAL SISTEM KEPRASAN Biaya Produksi : Sewa Tanah Sarana : bibit, pupuk, obat-obatan Prasarana ; transportasi Tenaga Kerja penyusutan Biaya Produksi : Sewa Tanah Sarana : bibit, pupuk, obat-obatan Prasarana ; transportasi Tenaga Kerja penyusutan Biaya Produksi : Sewa Tanah Sarana : bibit, pupuk, obat-obatan Prasarana ; transportasi Tenaga Kerja penyusutan Biaya Produksi : Sewa Tanah Sarana : bibit, pupuk, obat-obatan Prasarana ; transportasi Tenaga Kerja penyusutan Produksi Produktivitas Produksi Produktivitas Produksi Produktivitas Produksi Produktivitas Harga Harga Harga Harga Penerimaan Penerimaan Penerimaan Penerimaan Pendapatan Pendapatan Pendapatan Pendapatan Gbr. Kerangka Pemikiran Untung / Rugi Untung / Rugi
Keterangan : : menyatakan terdiri atas : menyatakan pengaruh
Hipotesis 1. Ada perbedaan proses produksi TRI sistem tanam awal dengan TRI sistem keprasan. 2. Biaya usahatani TRI sistem tanam awal lebih besar daripada Biaya usahatani TRI sistem keprasan dikedua desa. 3. Produksi dan Produktivitas TRI Keprasan lebih besar daripada Produksi dan produktivitas TRI sistem Tanam Awal dikedua desa. 4. Pendapatan petani TRI Keprasan lebih besar daripada pendapatan TRI sistem Tanam Awal dikedua desa.