HASIL DAN PEMBAHASAN Daun Kersen sebagai Pakan Peningkatan produksi daging lokal dengan mengandalkan peternakan rakyat menghadapi permasalahan dalam hal pakan. Pakan yang digunakan oleh peternak rakyat memiliki kualitas yang rendah karena menggunakan hijauan lebih banyak (hampir 100%), sehingga dapat mengakibatkan defisiensi nutrien. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mencari bahan pakan yang mudah didapat dan memiliki kemampuan meningkatkan efisiensi fermentasi pakan. Muntingia calabura (kersen) merupakan salah satu tumbuhan yang belum digunakan sebagai pakan dan memiliki kemungkinan dapat dijadikan sebagai sumber pakan. Hal tersebut karena daun kersen mengandung saponin, tanin, dan flavonoid (Zakaria et al., 2010). Kandungan saponin dalam daun kersen diduga dapat meningkatkan efisiensi fermentasi rumen pada ruminansia melalui defaunasi parsial pada protozoa. Selain itu daun kersen memiliki kandungan protein yang lebih tinggi (15,22%) daripada rumput lapang (9,60%). Kandungan fitokimia daun kersen yang meliputi saponin dan tanin dapat dilihat pada Tabel 3, sementara analisis proksimat daun kersen terdapat pada Tabel 2. Tabel 3. Kandungan Fitokimia Daun Kersen Sampel Tanin (%) Saponin (%) Daun kersen 1,41 10,28 Keterangan: Analisis di Laboratorium Balai Penelitian Ternak, Ciawi Bogor (2012) Daun kersen sangat aplikatif, karena dapat diberikan dalam bentuk segar sehingga tidak memerlukan pengolahan dan memudahkan peternak rakyat. Daun kersen juga mudah ditemukan pada berbagai kondisi lahan. Menurut Figueiredo et al. (2008) pohon kersen merupakan tumbuhan yang mampu tumbuh cepat di lahan marginal sehingga disebut sebagai tanaman perintis. Hal tersebut membuat daun kersen mudah untuk dikembangbiakkan. Data hasil analisis populasi protozoa dan karakteristik fermentasi rumen secara in vitro dapat dilihat pada Tabel 4. 17
Tabel 4. Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Protozoa dan Karakteristik Fermentasi Peubah Keterangan: 1) Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 2) R0: 30% K + 70% R R1: 30% K + 65% R + 5% MC R2: 30% K + 60% R + 10% MC R3: 30% K + 55% R + 15% MC R4: 30% K + 50% R + 20% MC 3) K: konsentrat; R: rumput lapang; MC: Muntingia calabura Nilai ph Rumen Nilai ph rumen yang dihasilkan menunjukkan kondisi rumen yang sesuai atau tidak sesuai bagi pertumbuhan mikroba rumen. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan daun kersen tidak mempengaruhi nilai ph rumen (Tabel 4). Nilai ph yang sama dengan kontrol menunjukkan bahwa penggunaan daun kersen tidak mengganggu aktivitas fermentasi rumen. Rumen pada kondisi normal memiliki ph 6,8 (Arora, 1989). Menurut Dehority (2004), ph normal rumen sekitar 5,5-7,0 dengan pemberian rasio pakan normal. Nilai ph sebenarnya menggambarkan jumlah asam yang diproduksi oleh mikroflora yang ada di dalam rumen. Nilai ph minimum umumnya dicapai sekitar 2-6 jam setelah makan, sesuai dengan produksi asam yang maksimum. Perubahan ph dipengaruhi oleh waktu setelah makan, sifat pakan, dan frekuensi makan ternak (Dehority, 2004). Populasi Protozoa Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 ph 6,86+0,09 6,84+0,05 6,85+0,07 6,81+0,06 6,83+0,07 Protozoa (Log 10/ml) 3,97+ 0,49 3,94+ 0,69 3,68 + 0,33 3,72 + 0,22 3,57 + 0,39 N-NH 3 (mm) 6,93+ 1,05 c 6,35+ 1,75 bc 5,52+ 1,09 bc 5,37+ 0,95 ab 5,25+ 0,41 a VFA Total (mm) 89,98+ 30,35 a 104,07+ 33,55 b 109,01+ 27,94 b 112,41+ 24,44 b 150,62+ 33,51 c KCBK (%) 63,72+ 5,47 b 57,84+ 2,22 ab 54,28+ 9,93 a 50,57+ 4,14 a 53,69+ 6,85 a KCBO (%) 65,07+ 5,11 b 58,21+ 3,70 ab 56,06+ 8,62 a 50,62+ 5,85 a 54,72+ 4,99 a Populasi protozoa yang bersilia lebih dominan di dalam rumen, sementara populasi protozoa yang berflagel hanya sedikit (Dehority, 2004). Protozoa yang bersilia berkembang di dalam rumen ternak ruminansia secara alami, dan membantu pencernaan zat-zat makanan dari rumput-rumputan yang kaya akan serat kasar 18
(Arora, 1989). Namun protozoa juga bersifat merugikan karena sifatnya yang memangsa bakteri, akibatnya biomassa bakteri akan berkurang sehingga laju degradasi pakan dan suplai protein mikroba akan berkurang pula (Soetanto, 2004). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan daun kersen hingga taraf 20% tidak nyata mempengaruhi populasi protozoa. Hasil tersebut tidak sama dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa saponin asal tanaman dalam bentuk ekstrak yaitu Yucca schidigera (Pen et al., 2006) dan lerak (Suharti et al., 2011) dapat menekan populasi protozoa dalam rumen. Hal ini diduga karena penelitian ini menggunakan sumber saponin yang masih dalam bentuk tepung, sehingga banyak sanyawa lain yang mengikat saponin dan mengakibatkan belum efektif menekan protozoa. Disamping itu perbedaan tersebut diduga pula disebabkan oleh adanya perbedaan tipe dan asal saponin yang terdapat pada masing-masing tanaman, seperti yang dilaporkan oleh Pen et al. (2006). Pengambilan sampel pada inkubasi 4 jam diduga juga dapat mempengaruhi keefektifan saponin dalam daun kersen untuk menekan populasi protozoa. Penelitian Suharti et al. (2011) memperlihatkan adanya perbedaan populasi protozoa antara waktu inkubasi 4 jam dan 24 jam. Waktu inkubasi 24 jam memperlihatkan penurunan yang signifikan. Protozoa akan melalui fase cair yang mengalami pergantian setiap 24 jam sekali, sehingga organisme yang ada di dalam rumen harus memiliki kecepatan pertumbuhan 16,6 jam atau lebih kecil untuk mempertahankan diri. Kecepatan pertumbuhan yang dibutuhkan protozoa antara 7-11 jam untuk mempertahankan diri di dalam rumen (Dehority, 2004). Konsentrasi protozoa dalam rumen sapi maupun domba pada kondisi normal sekitar 1x10 6 /ml (Dehority, 2004). Jumlah tersebut berbeda dengan populasi protozoa yang dihasilkan dalam penelitian ini yaitu sekitar 10 3 /ml. Hal tersebut karena populasi protozoa pada penelitian in vitro lebih sedikit jika dibandingkan dengan penelitian in vivo, karena pada penelitian in vitro terdapat pengenceran oleh larutan McDougall. Jumlah tersebut masih dikatakan normal karena ransum hijauan yang digunakan mencapai 70%. Hasil tersebut hampir sama dengan penelitian Suharti et al. (2011) yang menggunakan ransum hijauan 70% dengan jumlah protozoa 10 4 /ml serta penelitian Hess et al. (2003) yang menggunakan ransum hijauan 100% dengan jumlah protozoa 10 3 /ml. Populasi protozoa dipengaruhi oleh 19
waktu setelah makan (waktu inkubasi) dan rasio pakan hijauan dan konsentrat (Dehority, 2004). Perbedaan rasio antara hijauan dan konsentrat menghasilkan populasi protozoa yang berbeda dalam penelitian Suharti et al. (2011). Kandungan tanin dalam daun kersen diduga juga dapat mempengaruhi populasi protozoa dalam rumen. Tan et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan ekstrak tanin terkondensasi dari tanaman Leucaena mampu menurunkan populasi protozoa secara in vitro. Sementara pengaruh senyawa flavonoid dalam daun kersen terhadap populasi protozoa rumen belum diketahui, seperti yang telah dilaporkan oleh Patra dan Saxena (2010). Konsentrasi Amonia (NH 3 ) Konsentrasi amonia dalam rumen menunjukkan banyaknya kandungan protein kasar yang dirombak oleh mikroba. Perubahan konsentrasi amonia menggambarkan efektivitas proses fermentasi. Syahrir et al. (2008) menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang rendah dalam cairan rumen dapat menggambarkan proses fermentasi yang berjalan baik sehingga amonia dimanfaatkan dengan baik, protein ransum yang sulit didegradasi atau kandungan protein ransum yang rendah. Penggunaan daun kersen sampai dengan level 20% dalam ransum sangat nyata (P<0,01) menurunkan konsentrasi amonia (Tabel 4). Pemberian daun kersen pada level yang semakin tinggi akan semakin menurunkan konsentrasi amonia. Kandungan protein daun kersen lebih tinggi jika dibandingkan dengan rumput lapang, maka seharusnya semakin tinggi penggunaan daun kersen dan semakin rendah penggunaan rumput lapang akan meningkatkan konsentrasi amonia. Hal tersebut diduga karena pengaruh tanin yang terkandung dalam daun kersen. Telah diketahui bahwa protein dan tanin dapat membentuk ikatan kompleks yang tidak dapat dihidrolisa di dalam sistem pencernaan fermentatif. Menurut Arora (1989) tanin pada hijauan biasanya dari jenis terkondensasi sehingga resisten terhadap hidrolisa. Hasil tersebut sama dengan penelitian Santoso et al. (2007) yang menggunakan Acacia mangium dengan kandungan tanin 4,51% mampu menurunkan konsentrasi amonia rumen. Kandungan tanin dalam daun kersen yang hanya 1,41% bisa jadi sama efektifnya dengan tanin dari Acacia mangium dalam membentuk ikatan kompleks dengan protein. Menurut Jayanegara dan Sofyan (2008) hubungan 20
antara kandungan tanin hijauan (total fenol, total tanin, dan tanin terkondensasi) belum tentu linier dengan aktivitas biologis tanin. Rataan konsentrasi amonia yang dihasilkan (Tabel 4) menunjukkan bahwa ransum kontrol dan ransum penggunaan daun kersen pada level 5% memiliki nilai konsentrasi amonia yang optimal bagi pertumbuhan mikroba rumen. Hal ini sesuai dengan McDonald et al. (2002) yang menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang optimal untuk menunjukkan sintesis protein mikroba berkisar 6-21 mm. Konsentrasi amonia yang dihasilkan oleh penggunaan daun kersen pada level 10%, 15%, dan 20% masih dapat menunjang pertumbuhan mikroba rumen. Menurut Sutardi (1980) konsentrasi amonia yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen berkisar antara 4-12 mm. Produksi VFA Total VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat oleh mikroba rumen serta sebagai sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Produksi VFA yang utama yaitu asam asetat, propionat, dan butirat yang dianggap sebagai faktor utama dalam mempengaruhi produksi ternak ruminansia (McDonald et al., 2002). Peningkatan produksi VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan difermentasi oleh mikroba rumen. Penggunaan daun kersen sampai level 20% sangat nyata (P<0,01) meningkatkan produksi VFA (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi level daun kersen yang diberikan maka semakin tinggi pula produksi VFA total. Produksi VFA total berkaitan dengan lama inkubasi yang dilakukan yaitu selama 4 jam. Telah diketahui bahwa pada awal fermentasi, mikroba rumen memfermentasi bahan yang paling mudah tercerna. Peningkatan produksi VFA ini diduga karena proporsi karbohidrat yang mudah tercerna pada daun kersen lebih tinggi daripada rumput lapang (Tabel 2). Hal tersebut dapat dilihat dari kandungan Beta-N (karbohidrat mudah tercerna) dalam daun kersen yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan rumput lapang. Selain itu peningkatan produksi VFA total yang diikuti dengan rendahnya konsentrasi amonia merupakan gambaran efisiensi penggunaan amonia oleh bakteri untuk mensintesis protein mikroba. Selanjutnya bakteri tersebut akan mencerna pakan untuk memproduksi VFA yang dapat dimanfaatkan sebagai 21
sumber energi bagi induk semang dan sumber karbon bakteri itu sendiri (Syahrir et al., 2009). Rataan nilai produksi VFA yang dihasilkan meningkat dari 89,98 (ransum kontrol) sampai 150,62 (level daun kersen 20%). Nilai konsentrasi tersebut berada dalam kisaran normal dalam mendukung sintesis protein mikroba. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa produksi VFA total yang dapat mendukung proses sintesis protein mikroba adalah 70-150 mm. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Kecernaan pakan dapat didefinisikan sebagai bagian pakan yang tidak diekskresikan dalam feses sehingga diasumsikan bagian tersebut diserap oleh tubuh ternak. Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonald et al., 2002). Kecernaan zat makanan dari suatu pakan menunjukkan kualitas pakan. Penggunaan daun kersen nyata (P<0,05) menurunkan kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik (Tabel 4). Nilai kecernaan yang dihasilkan merupakan nilai kecernaan yang rendah. Sutardi (1980) menyatakan bahwa nilai kecernaan bahan pakan >60% dikatakan memiliki nilai kecernaan yang tinggi. Rendahnya nilai kecernaan yang dihasilkan dan penurunan nilai kecernaan diduga karena pengaruh tanin dalam daun kersen yang mampu berikatan dengan protein pakan. Penambahan tanin murni pada level 0,5 mg/ml dalam ransum secara nyata menurunkan kecernaan bahan organik (Jayanegara et al., 2009). Ikatan yang terbentuk antara tanin dan protein akan berpengaruh terhadap kecernaan pakan (Mueller, 2006). Menurut Arora (1989) tanin dalam hijauan mampu memberikan perlindungan secara alami terhadap protein pakan. Tanin dari hijauan biasanya dari jenis terkondensasi yang resisten terhadap hidrolisa, sehingga dapat menurunkan kecernaan pakan dalam rumen. Sementara kandungan saponin yang cukup tinggi (10,28%) dalam daun kersen belum dapat dibuktikan mempengaruhi kecernaan pakan. 22