RENCANA STRATEGIS BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM DAN MUTU INDUSTRI TAHUN

dokumen-dokumen yang mirip
B. VISI : Indonesia Menjadi Negara Industri yang Berdaya Saing dengan Struktur Industri yang Kuat Berbasiskan Sumber Daya Alam dan Berkeadilan

KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL TAHUN Disampaikan pada acara: Rapat Kerja Kementerian Perindustrian Di Hotel Bidakara

LAPORAN PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN TRIWULAN I TA.2015

LAPORAN PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN TRIWULAN II TA.2016

LAPORAN PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN TRIWULAN II TA.2015

Menteri Perindustrian Republik Indonesia. Menghidupkan Kembali Sektor Industri Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional

RENCANA STRATEGIS TAHUN DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO

LAPORAN PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN TRIWULAN I TA.2016

RENCANA KERJA ANGGARAN SATKER RINCIAN BELANJA SATUAN KERJA TAHUN ANGGARAN 2016

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN KINERJA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI TAHUN 2015

LAPORAN PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN TRIWULAN IV TA.2016

RUMUSAN HASIL RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DENGAN PEMERINTAH DAERAH TAH

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2012

LAPORAN PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN TRIWULAN III TA. 2017

Kementerian Perindustrian

Written by Danang Prihastomo Thursday, 05 February :00 - Last Updated Monday, 09 February :13

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DAN LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERATURAN PELAKSANAANNYA

LAPORAN PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN TRIWULAN III TA.2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI KIMIA, TEKSTIL, DAN ANEKA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan (PP 39) Triwulan IV Tahun Anggaran 2016

Slide 1. Paparan Menteri Perindustrian pada acara TROPICAL LANDSCAPES SUMMIT: A GLOBAL INVESTMENT OPPORTUNITY 28 APRIL 2015, Shangri la Hotel Jakarta

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU. Disampaikan pada : Workshop Efisiensi Energi di IKM Jakarta, 27 Maret 2012

Ringkasan Eksekutif Pemantapan daya saing basis industri manufaktur yang berkelanjutan serta terbangunnya pilar industri andalan masa depan

STANDAR INDUSTRI HIJAU

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

Kementerian Perindustrian

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016

Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2016

LAPORAN KINERJA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI TAHUN 2015

Formulir C Laporan Pengendalian dan Evaluasi Pelaksana Rencana Pembangunan Triwulan III Berdasarkan PP No.39 Tahun 2006 Tahun Anggaran 2014

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RENCANA STRATEGIS SEKRETARIAT BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM DAN MUTU INDUSTRI TAHUN

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI

RENCANA KINERJA TAHUN ANGGARAN 2016

Menteri Perindustrian Republik Indonesia. Konferensi pers persiapan penyelenggaraan Tropical Landscape Summit Jakarta, 31 Maret 2015

Menteri Perindustrian Republik Indonesia SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA ACARA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2016

Written by Danang Prihastomo Friday, 06 February :22 - Last Updated Wednesday, 11 February :46

LAPORAN KINERJA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI TAHUN 2016

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN PETIKAN TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016

RENCANA KINERJA BALAI BESAR PULP DAN KERTAS TAHUN ANGGARAN 2015

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERINDUSTRIAN

Kementerian Perindustrian

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RENCANA KINERJA TAHUN ANGGARAN 2017

Pusat Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah b

!"!"!#$%"! & ' ((( ( ( )

Ikhtisar Eksekutif. vii

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO TAHUN 2016

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERINDUSTRIAN

DUKUNGAN PEMERINTAH KEPADA INDUSTRI SEKTOR TERTENTU MELALUI KEBIJAKAN BMDTP TA 2012

PROGRAM PEMERINTAH PENINGKATAN KEBUTUHAN DAMPAK LINGKUNGAN

LAPORAN PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN TRIWULAN I TA. 2017

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

Energy Conservation in the Industry by Utilizing Renewable Energy or Energy Efficiency and Technology Development. Jakarta, 19 Agustus 2015

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

PROGRAM PENGEMBANGAN INDUSTRI MAKANAN, HASIL LAUT DAN PERIKANAN

BAHAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA PRESS CONFERENCE TENTANG KEBIJAKAN TAX HOLIDAY PMK 159/PMK.010/2015 JAKARTA, 27 AGUSTUS 2015

Kegiatan Prioritas Tahun 2010

PEMBINAAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH MELALUI PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Selatan

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G

Organisasi. struktur. Kementerian Perindustrian

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA,

RENSTRA BALAI BESAR TEKNOLOGI ENERGI

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) PUSAT PENGKAJIAN INDUSTRI HIJAU DAN LINGKUNGAN HIDUP TAHUN ANGGARAN 2017

1 P a g e. Disusun oleh: Deddy Arief Setiawan ABSTRAK

LAPORAN KONSOLIDASI PROGRAM DIRINCI MENURUT KEGIATAN TRIWULAN III TAHUN ANGGARAN 2011

BMDTP TAHUN 2014 UNTUK SEKTOR INDUSTRI

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM / KEGIATAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2012

PROGRAM KEGIATAN DITJEN PPI TAHUN 2011 DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI PRIORITAS

RENCANA KINERJA TAHUN ANGGARAN 2018

RENCANA KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN ANGGARAN 2015 JAKARTA, APRIL 2014

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012

Kementerian Perindustrian REPUBLIK INDONESIA LAPORAN TRIWULAN I KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2017

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PEINDUSTRIAN. SNI. Industri.

PELUANG DAN TANTANGAN KONSERVASI ENERGI DI SEKTOR INDUSTRI

2016, No Pengawasan Standar Nasional Indonesia Baterai Primer secara Wajib; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustr

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2018 TENTANG RENCANA INDUK RISET NASIONAL TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG PEMBANGUNAN SUMBER DAYA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RENCANA KINERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2012

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

DEWAN RISET NASIONAL

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN PETIKAN TAHUN ANGGARAN 2014 NOMOR : SP DIPA /2014 DS:

BAB II 2.1. RENCANA STRATEGIS

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO TAHUN 2017

LAPORAN KONSOLIDASI PROGRAM DIRINCI MENURUT KEGIATAN TRIWULAN III TAHUN ANGGARAN 2016

Transkripsi:

RENCANA STRATEGIS BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM DAN MUTU INDUSTRI TAHUN 2015-2019 BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM DAN MUTU INDUSTRI 2014

LAMPIRAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM DAN MUTU INDUSTRI Nomor : 565/BPKIMI/KEP/12/2014 Tanggal : 31 Desember 2014 RENCANA STRATEGIS BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM DAN MUTU INDUSTRI TAHUN 2015-2019 BAB I PENDAHULUAN A. Kondisi Umum B. Potensi dan Permasalahan BAB II VISI, MISI DAN TUJUAN BPKIMI A. Visi B. Misi C. Tujuan D. Sasaran Strategis BAB III ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI DAN KERANGKA KELEMBAGAAN A. Arah Kebijakan dan Strategi Kementerian Perindustrian B. Arah Kebijakan dan Strategi BPKIMI C. Kerangka Regulasi D. Kerangka Kelembagaan BAB IV TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN A. Target Kinerja B. Kerangka Pendanaan BAB IV PENUTUP

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM DAN MUTU INDUSTRI NOMOR : 565/BPKMI/KEP/12/2014 T E N T A N G RENCANA STRATEGIS BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM DAN MUTU INDUSTRI TAHUN 2015-2019 Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 150/M-IND/PER/12/2011 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah di Lingkungan Kementerian Perindustrian, perlu menetapkan Keputusan Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Tahun 2015 2019; Mengingat : 1. Peraturan Presiden Nomor 24 tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 135 Tahun 2014; 2. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 105/M-IND/ PER/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perindustrian; 3. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 150/M-lND/ PER/12/2011 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Akntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah di Lingkungan Kementerian Perindustrian; M E M U T U S K A N Menetapkan : Keputusan Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim Dan Mutu Industri Tentang Rencana Strategis Badan Pengkajian Kebijakan Iklim Dan Mutu Industri Tahun 2015-2019.

Pasal 1 1) Rencana Strategis Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Tahun 2015 2019 yang selanjutnya disebut Renstra BPKIMI merupakan dokumen perencanaan BPKIMI untuk periode 5 (lima) tahun terhitung mulai Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2019; 2) Renstra BPKIMI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari peraturan Kepala Badan ini. Pasal 2 Renstra BPKIMI berisi visi, misi, tujuan, sasaran strategis, arah kebijakan, strategi, kerangka regulasi, kerangka kelembagaan, program, kegiatan, indikator kinerja, target kinerja dan pendanaan yang disusun berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Perindustrian. Pasal 3 Peraturan Kepala BPKIMI ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 31 Desember 2014 Kepala BPKIMI, Arryanto Sagala Tembusan : 1. Para Kepala Satker di Lingkungan BPKIMI; 2. Para Kepala Bagian di Lingkungan Sekretariat BPKIMI; 3. Pertinggal.

KATA PENGANTAR Rencana Strategis (Renstra) Badan Pengkajian Kebijakan Iklim Dan Mutu Industri (BPKIMI) tahun 2015-2019 disusun untuk memenuhi amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional dimana Pimpinan Kementerian/Lembaga diamanatkan untuk menyiapkan rancangan rencana strategis Kementerian/Lembaga sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan berpedoman kepada rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Arah kebijakan di dalam Renstra BPKIMI mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian, RPJMN tahun 2015 2019, dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dengan fokus pada peningkatan nilai tambah di dalam negeri melalui pengelolaan sumber daya industri yang berkelanjutan, serta peningkatan daya saing dan produktivitas industri nasional. Dalam rangka menjamin keberhasilan pelaksanaan dan terwujudnya pencapaian Renstra BPKIMI 2015-2019 maka akan dilakukan evaluasi terhadap Renstra BPKIMI setiap tahun dengan memperhatikan kebutuhan serta perubahan lingkungan strategis. Bila diperlukan, Renstra BPKIMI akan disempurnakan sesuai dengan mekanisme yang berlaku tanpa mengubah visi dan misi BPKIMI periode 2015-2019. Renstra BPKIMI 2015-2019 diharapkan mampu meningkatkan keterpaduan, keteraturan, keterkendalian serta menjadi pedoman dalam perencanaan program dan kegiatan di seluruh Satuan kerja di lingkungan BPKIMI dalam rangka mencapai kinerja yang tinggi sebagaimana yang digariskan pada indikator kinerja dari masing-masing unit kerja di lingkungan BPKIMI. Jakarta, 31 Desember 2014 Kepala BPKIMI, Arryanto Sagala Kata Pengantar i

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v Bab I. Pendahuluan... 1 I.1 KONDISI UMUM... 1 A. PENCAPAIAN PROGRAM PRIORITAS KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2010 2014... 3 B. PENCAPAIAN PROGRAM PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM, DAN MUTU INDUSTRI TAHUN 2010 2014... 6 I.2 POTENSI DAN PERMASALAHAN... 19 A. Potensi... 20 B. Permasalahan... 26 BAB II. VISI, MISI DAN TUJUAN BPKIMI... 36 II.1 VISI BPKIMI... 36 II.2 MISI BPKIMI... 36 II.3 TUJUAN BPKIMI... 37 II.4 SASARAN STRATEGIS BPKIMI... 38 A. PERSPEKTIF PEMANGKU KEPENTINGAN... 38 B. PERSPEKTIF PROSES INTERNAL... 38 C. PERSPEKTIF PEMBELAJARAN ORGANISASI... 39 BAB III. ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI DAN KERANGKA KELEMBAGAAN... 44 III.1 ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN... 44 A. INDUSTRI PRIORITAS... 44 B. PEMBANGUNAN SUMBER DAYA INDUSTRI... 44 C. PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI... 46 III.2 ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI BPKIMI... 48 III.3 KERANGKA REGULASI... 49 III.4 KERANGKA KELEMBAGAAN... 51 Daftar Isi ii

A. STRUKTUR ORGANISASI BPKIMI... 51 BAB IV. TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN... 55 IV.1 TARGET KINERJA... 55 IV.2 KERANGKA PENDANAAN... 57 BAB V. PENUTUP... 58 LAMPIRAN... 61 Daftar Isi iii

DAFTAR TABEL Tabel I-1 Capaian Sasaran Strategis Tingginya Kemampuan Inovasi dan Penguasaan Teknologi Industri Tahun 2010-2014... 4 Tabel I-2 Capaian Sasaran Strategis Tingginya Kemampuan Inovasi dan Penguasaan Teknologi Industri Tahun 2010-2014... 7 Tabel I-3 Perkembangan Impor Produk Industri Pengolahan Non-Migas Tahun 2010 2014... 8 Tabel I-4 Capaian Sasaran Strategis Meningkatnya Efektifitas Kebijakan Iklim Usaha Tahun 2010-2014... 9 Tabel I-5 Capaian Sasaran Strategis Memfasilitasi Penerapan, Pengembangan, dan Penggunaan Kekayaan Intelektual Tahun 2010-2014... 12 Tabel I-6 Capaian Sasaran Strategis Meningkatnya Peran Standisasi Tahun 2010-2014... 15 Tabel I-7 Capaian Sasaran Strategis Meningkatnya Pengembangan Industri Hijau... 17 Tabel I-8 Kompetensi Inti Balai Besar... 21 Tabel I-9 Fokus Baristand Industri... 21 Tabel I-10 Jumlah SDM BPKIMI... 22 Tabel I-11 Keunggulan Komparatif Sumber Daya Alam Indonesia... 24 Tabel II-2 Sasaran Strategis Dan Kinerja Sasaran Strategis BPKIMI 2015 2019... 41 Tabel III-1 Sasaran Penambahan Kebutuhan Standardisasi Industri... 46 Tabel III-2 Sasaran Pengembangan Industri Hijau Tahun 2015-2019... 47 Tabel III-3 Matriks Kerangka Regulasi Kementerian Perindustrian... 50 Tabel III-4 Matriks Kerangka Regulasi... 53 Tabel IV-1 Sasaran dan Indikator Kinerja Program Pengembangan Teknologi, Standardisasi, dan Industri Hijau... 55 Tabel IV-2 Kebutuhan Pendanaan BPKIMI Tahun 2015 2019... 57 Daftar Tabel iv

DAFTAR GAMBAR Gambar I-1 Skema Garansi... 32 Gambar I-2 Skema Penjaminan... 32 Gambar II-1 Peta Strategis Tahun 2015 2019... 40 Gambar III-1 Bagan Struktur Organisasi... 53 Daftar Gambar v

BAB I. PENDAHULUAN I.1 KONDISI UMUM Pembangunan Indonesia saat ini diarahkan untuk mewujudkan Trisakti, yakni berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Trisakti menjadi basis dalam pembangunan karakter kebangsaan dan landasan kebijakan nasional masa depan yang dirumuskan dalam 9 (sembilan) agenda prioritas atau Nawa Cita. Kementerian Perindustrian dalam menjalankan tupoksinya harus dapat menjabarkan agenda prioritas mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik pada program-program nyata untuk mencapai kemandirian dalam perekonomian diwujudkan dalam pembangunan demokrasi ekonomi dan peningkatan daya saing. Dalam Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 pun telah ditetapkan bahwa visi pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan Indonesia Yang Mandiri, Maju, Adil Dan Makmur. Di dalamnya disebutkan bahwa struktur perekonomian diperkuat dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh kegiatan pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan yang menghasilkan produk-produk secara efisien, modern, dan berkelanjutan serta jasa-jasa pelayanan yang efektif yang menerapkan praktik terbaik dan ketatakelolaan yang baik agar terwujud ketahanan ekonomi yang tangguh. Pembangunan industri diarahkan untuk mewujudkan industri yang berdaya saing dengan struktur industri yang sehat dan berkeadilan. Berdasarkan arah kebijakan pembangunan RPJPN tersebut di atas, maka pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010 2014 ditetapkan visi pembangunan industri nasional yaitu Memantapkan Daya Saing Basis Industri Manufaktur yang Berkelanjutan serta Terbangunnya Pilar Industri Andalan Masa Depan dengan fokus prioritas pembangunan industri pada 3 (tiga) hal sebagai berikut: 1) Fokus Prioritas Penumbuhan Populasi Usaha Industri dengan hasil peningkatan jumlah populasi usaha industri dengan postur yang lebih sehat; 2) Fokus Prioritas Penguatan Struktur Industri dengan hasil yang diharapkan adalah semakin terintegrasinya IKM dalam gugus (cluster) industri, tumbuh dan berkembangnya gugus (cluster) industri demi penguatan daya saing di pasar global; Bab I Pendahuluan 1

3) Fokus Prioritas Peningkatan Produktivitas Usaha Industri dengan hasil yang diharapkan dari pelaksanaan fokus ini adalah meningkatnya nilai tambah produk melalui penerapan iptek. Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan industri tersebut, BPKIMI telah melaksanakan serangkaian program dan kegiatan sebagaimana yang tertuang pada Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Perindustrian tahun 2010 2014. Program Pengkajian Kebijakan, Iklim dan Mutu Industri yang telah dilaksanakan BPKIMI selama periode tahun 2010 2014 terdiri dari kegiatan sebagai berikut: 1) Kegiatan Perencanaan Kebijakan Standardisasi Industri yang dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan: (i) Peningkatan Standardisasi Industri; (ii) Penerapan standardisasi dan peningkatan mutu produk industri. 2) Kegiatan Pengkajian Kebijakan dan Iklim Usaha Industri yang dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan: (i) Peningkatan Iklim Usaha Industri; (ii) Peningkatan Investasi Industri; (ii) Pemodelan dan analisis industri; (iv) terintegrasi dan handal. Terbangunnya sistem informasi industri yang 3) Kegiatan Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup yang dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan: : (i) Penyusunan kebijakan, pedoman, standar dan sistem informasi industri hijau; (ii) Pelaksanaan pilot project pengembangan energi baru terbarukan (EBT), pelatihan teknik produksi bersih dan konservasi energi sektor industri. 4) Kegiatan Pengkajian Teknologi dan Hak Kekayaan Intelektual yang dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan: (i) Pengembangan dan penerapan kebijakan teknologi; (ii) Meningkatkan kesipterapan hasil litbang; dan (iii) Peningkatan Peran Pusat Manajemen HKI; (iv) Pembinaan dan Penerapan HKI 5) Kegiatan Penyusunan dan Evaluasi Program Kebijakan Iklim, dan Mutu Industri yang dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan: (i) Peningkatan sarana dan prasarana kelembagaan litbang; dan (ii) Penyediaan sistem informasi kelitbangan; (iii) Peningkatan tertib administrasi dan pengeloaan keuangan; (iv) Perencanaan program/kegiatan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan; (v) Peningkatan kerja sama teknis dalam dan luar negeri. 6) Kegiatan Pelayanan Teknis Sertifikasi Industri yang dilaksanakan melalui kegiatankegiatan: (i) Pelayanan jasa pelayanan teknis; (ii) Peningkatan kerja sama dengan dunia usaha 7) Penelitian dan Pengembangan Teknologi yang dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan: (i) Peningkatan hasil litbang yang berkualitas; (ii) Peningkatan jumlah kerja sama litbang. 8) Riset dan Standardisasi yang dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan: (i) Peningkatan hasil litbang yang berkualitas; (ii) Peningkatan jumlah kerja sama litbang. Bab I Pendahuluan 2

Program dan kegiatan tersebut di atas merupakan penjabaran dari program prioritas BPKIMI, kontrak kinerja Kepala BPKMI, dan program prioritas Kementerian Perindustrian. Untuk mengukur tingkat keberhasilan dari pelaksanaan program dan kegiatan, di dalam Renstra Kementerian Perindustrian juga telah ditetapkan sasaran-sasaran strategis beserta indikator kinerja utama (IKU) yang bersifat kuantitatif dari masing-masing sasaran strategis. A. PENCAPAIAN PROGRAM PRIORITAS KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2010 2014 Berdasarkan RPJMN tahun 2010 2014, Kementerian Perindustrian mendapatkan tugas untuk melaksanakan program-program prioritas nasional sebagai berikut: 1) Prioritas Nasional (PN) 5 yaitu bidang Ketahanan Pangan melalui Program Revitalasi Industri Pupuk dan Industri Gula; 2) Prioritas Nasional (PN) 7 yaitu bidang Iklim Investasi dan Iklim Usaha melalui Program Fasilitasi Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK); 3) Prioritas Nasional (PN) 8 yaitu bidang Energi melalui Program Pengembangan Klaster Industri Berbasis Migas, Kondensat; 4) Prioritas Nasional (PN) 13 yaitu bidang Perekonomian Lainnya melalui Program Pengembangan Klaster Industri Berbasis Pertanian, oleochemical. Selanjutnya, menurut Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 41/M-IND/PER/3/2010 tentang Peta Strategi dan Indikator Kinerja Utama Kementerian Perindustrian dan Unit Eselon I Kementerian Perindustrian sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 114/M-IND/PER/12/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 41/M-IND/PER/3/2010 tentang Peta Strategi dan Indikator Kinerja Utama Kementerian Perindustrian dan Unit Eselon I Kementerian Perindustrian, dalam Rencana Strategis Kementerian Perindustrian tahun 2010 2014 telah ditetapkan 7(tujuh) sasaran strategis dalam perspektif pemangku kepentingan (stakeholders) adalah : 1. Nilai Tambah Industri 2. Tingginya Penguasaan Pasar Dalam dan Luar Negeri 3. Meningkatnya Produktivitas SDM Industri 4. Tingginya Kemampuan Inovasi dan Penguasaan Teknologi Industri 5. Kuat, Lengkap, dan Dalamnya Struktur Industri 6. Tersebarnya Pembangunan Industri 7. Meningkatnya Peran Industri Kecil dan Menengah terhadap PDB Industri Bab I Pendahuluan 3

BPKIMI mendapatkan tugas untuk melaksanakan sasaran strategis pada Tingginya Kemampuan Inovasi dan Penguasaan Teknologi Industri. Inovasi dimaksud adalah kreativitas untuk menciptakan produk baru sebagai hasil penelitian dan pengembangan teknologi terapan, dan penelitian dari berbagai sektor lainnya. Indikator Kinerja Utama (IKU) dari sasaran strategis ini adalah sebagai berikut: 1) Jumlah hasil penelitian dan pengembangan (litbang) yang siap diterapkan, diukur melalui penghitungan jumlah hasil penelitian dan pengembangan (khusus yang dikerjakan oleh Balai Besar dan Baristand Industri). 2) Jumlah hasil litbang yang telah diimplementasikan, diukur melalui penghitungan jumlah teknologi sebagai hasil penelitian yang sudah diterapkan dan dimanfaatkan industri atau IKM dan telah masuk dalam skala pabrik/manufaktur. Adapun target dan capaian BPKIMI dalam kurun waktu 2010-2014 adalah : Tabel I-1 Capaian Sasaran Strategis Tingginya Kemampuan Inovasi dan Penguasaan Teknologi Industri Tahun 2010-2014 Sasaran Strategis Indikator Kinerja Utama Satuan Tingginya kemampuan Inovasi dan penguasaan teknologi industri Jumlah hasil litbang yang siap diterapkan Jumlah hasil litbang yang telah diimplementasikan Hasil litbang Hasil litbang 2010 2011 2012 2013 2014 T R T R T R T R T R 200 157 168 186 194 200 87 96 30 49 50 50 50 25 32 33 45 42 10 37 Pada pencapaian jumlah hasil litbang yang siap diterapkan periode tahun 2010 2012 mengalami peningkatan realisasi, namun pada tahun 2013-2014 menunjukan penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya. Walaupun demikian, bila di lihat pada tahun 2010 tidak tercapainya target pada pada tahun tersebut dikarenakan terbatasnya sarana prasarana, kurang tenaga fungsional peneliti muda, dan apabila merujuk pada Permenperin Nomor 41/M-IND/PER/3/2010 tentang Peta Strategi dan Indikator Kinerja Utama (IKU) Kementerian Perindustrian dan Unit Eselon I Kementerian Perindustrian yaitu target jumlah Hasil Penelitian dan Pengembangan Teknologi Industri Terapan Inovatif sebesar 250 penelitian adalah merupakan jumlah hasil penelitian BPKIMI dan Direktorat Jenderal lainnya. Sehingga pada tahun 2012, atas hal tersebut target untuk IKU ini diturunkan dan mampu mencapai target yang diharapkan. Sedangkan untuk tahun 2013, berhubung terbatasnya alokasi anggaran untuk penelitian di balai litbang Kementerian Perindustrian, maka terjadi penurunan target kembali. Meskipun anggaran kurang namun jumlah hasil penelitian mampu melampaui target yang diharapkan. Penurunan jumlah litbang yang siap diterapkan pada tahun 2013-2014 ini karena adanya perbedaan penetapan kriteria penelitian yang dianggap siap diterapkan, ketika Bab I Pendahuluan 4

dalam penyusunan Renstra penelitian yang siap diterapkan adalah seluruh penelitian yang dilaksanakan pada saat tahun anggaran berjalan, namun pada tahun 2013-2014 agar lebih berorientasi outcome maka yang dimaksudkan dengan Hasil Litbang yang Siap Diterapkan adalah hasil litbang dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, telah diuji coba, diakui oleh pihak eksternal, ada hasil nyata yang dapat dilihat pada waktu didiseminasikan. Dengan bertambahnya kriteria penelitian hasil litbang yang siap diterapkan menyebabkan meningkatnya litbang dari segi kualitas, namun menurunnya jumlahnya secara kuantitas. Sedangkan untuk jumlah hasil litbang yang telah diimplementasikan 2010 2014, pada periode tahun 2010-2011 terdapat penurunan realisasi hasil litbang yang telah diimplementasikan, namun dalam periode 2011 2013 terjadi peningkatan jumlah realisasi meskipun target tidak terpenuhi, kecuali di tahun 2012 dan tahun 2014 mengalami penurunan kembali. Beberapa faktor yang mendorong capaian hasil litbang yang diimplementasikan, adalah: 1. Beberapa hasil litbang kualitasnya sudah meningkat sesuai dengan kebutuhan industri, sehingga industri/perusahaan tertarik untuk mengaplikasikan litbang tersebut. Untuk lebih meningkatkan kualitas litbang diperlukan dukungan sarana yang memadai; 2. Hasil litbang yang diciptakan sudah mempunyai nilai ekonomis sehingga dapat dikomersialisasikan; 3. Beberapa hasil litbang masih memerlukan penelitian pengembangan, analisa kelayakan industri, dan kajian teknis bagaimana proses produksi secara massal dilaksanakan di pabrik/perusahaan pendukung; 4. Beberapa hasil litbang telah membuat MoU dalam proses pengembangan penelitian ke tahap berikutnya. Upaya pengembangan kemampuan inovasi dan penguasaan teknologi industri tidak lepas dari upaya pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan dukungan sarana prasarana litbang. Tatangan yang dihadapi dalam mengembangkan tingginya kemampuan inovasi dan penguasaan teknologi industri adalah : - Keterbatasan sumber daya litbang (SDM, sarana, dan prasarana litbang); - Masih terbatasnya pemanfaatan hasil litbang di lingkungan masyarakat industri, bila dibandingkan jumlah litbang yang potensial untuk diterapkan. Hal ini antara lain disebabkan oleh banyak pelaku industri yang masih sangat tergantung dengan teknologi dari luar negeri; masih terbatasnya akses terhadap sumber-sumber informasi, teknologi, dan pelayanan litbang teknologi; serta hasil litbang belum dapat menjawab kebutuhan industri dalam menyelesaikan permasalahan yang ada; Bab I Pendahuluan 5

- Minimnya hasil litbang yang dapat dimanfaatkan oleh mayarakat industri karena umumnya masih dalam bentuk prototype atau uji coba, sehingga menyebabkan kontribusi litbang terhadap pembangunan ekonomi masih kurang; - Masih terbatasnya dukungan peralatan laboratorium dari segi kapasitas dan usia peralatan yang rata-rata relatif sudah tua atau rusak. Sementara itu, dalam beberapa kasus terdapat bantuan peralatan baru namun terhambat pada kemampuan operasional teknis atau daya listrik pada satker tertentu; - Masih kurangnya pelatihan di bidang teknologi yang sesuai dengan kebutuhan satker BPKIMI dalam meningkatkan kompetensi SDM Peneliti di Balai; - Terbatasnya penyediaan anggaran Litbang karena untuk menyelesaikan program/kegiatan prioritas lainnya. Tindak lanjut yang dilakukan untuk pengembangan kemampuan inovasi dan penguasaan teknologi industri antara lain : lebih realistis dalam penentuan target hasil teknologi; mempertajam fokus litbang lindustri yang berorientasi pada pemetaan kebutuhan usaha; meningkatkan kapasitas dan kapabilitas litbang industri dengan memperkuat SDM, kelembagaan intermediasi, dan sarana litbang; meningkatkan Komersialisasi Hasil Riset Teknologi; dan meningkatkan kompetensi profesional peneliti. B. PENCAPAIAN PROGRAM PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM, DAN MUTU INDUSTRI TAHUN 2010 2014 Selain Program Prioritas pada Program Pengkajian Kebijakan Iklim, Dan Mutu Industri seperti dijelaskan sebelumnya, terdapat hasil capaian kinerja yang telah dilaksanakan dari masing-masing sasaran strategis kegiatan, antara lain sebagai berikut : 1. Berkembangnya Litbang Sektor Industri Di Instansi dan Industri Indikator kinerja Kerjasama Litbang Instansi dengan Industri peningkatan kemampuan teknologi oleh dunia industri perlu dilakukan dalam upaya membangun industri berbasis ilmu pengetahuan (IPTEK) yang berdaya saing dan menghasilkan inovasi teknologi yang efektif dan efisien sehingga dapat memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap sektor industri. Untuk memperoleh pembelajaran teknologi guna mencari inovasi baik dalam bentuk produk barang maupun jasa perlu melakukan kerjasama litbang Instansi dengan industri. Kerjasama litbang tersebut meliputi kerja sama dengan industri dan akademisi. Bila dibandingkan dengan capaian kerjasama litbang Instansi dengan industri tahun 2010-2013 mengalami peningkatan, namun pada tahun 2014 mengalami penurunan. Bab I Pendahuluan 6

Tabel I-2 Capaian Sasaran Strategis Tingginya Kemampuan Inovasi dan Penguasaan Teknologi Industri Tahun 2010-2014 Sasaran Strategis Berkembangnya R & D sektor industri di instansi dan industri Indikator Kinerja Utama Kerjasama R & D instansi dengan industri 2010 2011 2012 2013 2014 Satuan T R T R T R T R T R kerjasama 16 18 16 54 62 81 60 71 50 62 Penurunan pertumbuhan kerja sama industri disebabkan, antara lain : - kurang terbangunnya jejaring kerja sama litbang dengan pihak terkait, seperti: Kemenristek, LIPI, Perguruan Tinggi, Litbang Industri,dsb; - minimnya hasil litbang yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat industri karena umumnya masih dalam bentuk prototype atau uji coba; - dalam penentuan kegiatan litbang belum berorientasi pada kebutuhan pasar/industri; - hasil litbang belum tersosialisakan dengan baik pada masyarakat/industri; - kerja sama atau kolaborasi litbang antar lembaga litbang pemerintah, Perguruan Tinggi, dan Industri relatif masih rendah jika dibandingkan Negara lain; - masih kurangnya pelatihan di bidang teknologi yang sesuai dengan kebutuhan satker BPKIMI dalam meningkatkan kompetensi SDM Peneliti di Balai; Langkah-langkah yang telah dilakukan, antara lain : - perlu ditingkatkannya lagi usulan program dan kegiatan penelitian Balai Besar dan Baristand Industri agar menghasilkan penelitian yang aplikatif, mempunyai kajian tekno ekonomi, memiliki potensi untuk mendapat pengakuan HKI, termasuk penelitian lebih lanjut yang diprakarsai dan dikerjakan secara bersama-sama oleh Balai Besar Baristand Industri bersama industri/dunia usaha. Diharapkan kerja sama tersebut dapat menghasilkan teknologi di bidang proses/produk/peralatan yang dibiayai bersama atau dibiayai oleh dunia usaha yang sifatnya operasional; - mempertajam fokus litbang industri yang berorientasi pada pemetaan kebutuhan usaha; - meningkatkan kapasitas dan kapabilitas litbang industri dengan memperkuat SDM, kelembagaan intermediasi, dan sarana litbang; - meningkatkan networking (jejaring) dengan lembaga/institusi dalam dan luar negeri serta pelaku industri; - memperkuat kompetensi inti Balai dan memperkuat peemasaran bersama Balai; - meningkatkan Komersialisasi Hasil Riset Teknologi; - meningkatkan kompetensi profesional peneliti. Bab I Pendahuluan 7

2. Meningkatnya Efektivitas Kebijakan Iklim Usaha Impor sektor industri pengolahan nonmigas selama periode tahun 2010 2014 mencapai US$ 549,53 miliar, atau 76,31 persen dari total impor nasional yang sebesarus$ 720,1 miliar. Dengan demikian, maka defisit neraca perdagangan sektor industri pengolahan nonmigas selama tahun 2010 2014 mencapai -US$ 51,48 miliar, perkembangan impor produk industri pengolahan nonmigas dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel I-3 Perkembangan Impor Produk Industri Pengolahan Non-Migas Tahun 2010 2014 US$ Juta No Uraian 2010 2011 2012 2013 2014* TOTAL 1 Besi Baja, Mesin-Mesin dan Otomotif 43.218,60 52.471,70 62.624,60 54.638,60 20.045,10 232.998,60 2 Elektronika 14.176,20 16.116,60 16.702,50 16.564,50 6.819,60 70.379,40 3 Kimia Dasar 11.431,50 15.413,30 16.077,10 16.387,90 6.959,20 66.269,00 4 Tekstil 5.031,20 6.735,20 6.805,50 7.116,20 3.023,40 28.711,50 5 Makanan dan Minuman 4.514,20 6.851,90 6.158,40 5.801,30 2.376,60 25.702,40 6 Alat-alat listrik 3.142,80 3.769,10 4.190,60 4.124,30 1.498,30 16.725,10 7 Pulp dan Kertas 2.731,80 3.262,60 3.019,90 3.200,60 1.273,90 13.488,80 8 Pupuk 1.509,20 2.707,00 2.918,40 1.941,60 719,4 9.795,60 9 Makanan Ternak 1.871,60 2.220,50 2.799,70 3.044,50 1.159,20 11.095,50 10 Barang-barang kimia lainnya 2.199,30 2.592,30 2.753,60 2.945,70 1.164,60 11.655,50 11 Plastik 0,00 0,00 0,00 0,00 953,6 953,60 12 Pengolahan Tembaga, Timah dll 1.822,10 2.195,10 2.377,40 2.141,40 900,8 9.436,80 13 Pengolahan Aluminium 1.398,20 1.936,60 1.973,10 1.838,90 0,00 7.146,80 TOTAL 12 BESAR INDUSTRI 93.046,70 116.271,90 128.400,80 119.745,50 46.893,70 504.358,60 TOTAL IMPOR INDUSTRI 101.115,40 126.099,50 139.734,10 131.402,90 51.184,90 549.536,80 TOTAL IMPOR NASIONAL 135.663,30 177.435,50 191.670,90 141.101,00 74.241,00 720.111,70 KONTRIBUSI IMPOR IND. NON MIGAS 74,53% 71,07% 72,90% 93,13% 68,94% 76,31% Sumber : BPS, diolah Kementerian Perindustrian Ket. : * data s.d bulan Mei 2014 Berdasarkan berbagai kondisi makro perekonomian Indonesia diatas, terlihat terjadinya penurunan kontribusi industri non-migas terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian bisa dikatakan industri belum tumbuh seperti yang diharapkan. Berbagai masalah baik yang secara umum menghambat pertumbuhan industri maupun yang secara khusus dihadapi oleh beberapa sektor industri masih perlu dicari solusinya. Dalam rangka menekan laju impor tersebut pemerintah mendorong pengembangan industri subtitusi impor dan mempercepat hilirisasi industri berbasis sumber daya alam. Selain itu, permasalahan yang dihadapi sektor industri terdiri dari permasalahan internal dan eksternal. Permasalahan internal antara lain, besarnya impor bahan baku/penolong yang menunjukkan masih lemahnya struktur industri nasional, kemampuan penguasaan teknologi yang rendah, produktivitas industri yang masih rendah. Sedangkan permasalahan eksternal adalah terbatasnya infrastruktur, birokrasi yang belum mendukung dunia bisnis, masalah perburuhan, masalah kepastian hukum, suku bunga perbankan yang masih tinggi dan kebijakan pemerintah lainnya yang belum mendukung iklim usaha industri. Faktor lain yang juga sangat menentukan dalam upaya pengembangan industri, antara lain tersedianya berbagai infrastruktur penunjang dan kebijakan insentif / fasilitas Bab I Pendahuluan 8

pengembangan industri. Fasilitas fiskal dan nonfiskal sangat diperlukan industri untuk menarik investasi baik investasi baru ataupun perluasan bagi perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), meningkatkan daya saing industri nasional dan memperkuat serta memperdalam struktur industri nasional. Disamping kriteria tersebut, Fasilitas Nonfiskal dapat diberikan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Perusahaan Industri yang melakukan kegiatan Industri strategis dan kegiatan industri hijau. Saat ini beberapa bentuk insentif fiskal yang diberikan pemerintah kepada industri dalam negeri adalah: Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP); Pengurangan PPh Badan/Tax Allowance (PP 52/2011); Pembebasan PPh Badan/Tax Holiday (PMK 192/2014 jo PMK 130/2011); dan Pembebasan tarif bea masuk untuk barang dan bahan dalam rangka investasi baru dan/atau perluasan (PMK 176/2009 jo PMK 76/2012). Adapun Sasaran Strategis yang dilaksanakan selama 5(lima) tahun adalah : Tabel I-4 Capaian Sasaran Strategis Meningkatnya Efektifitas Kebijakan Iklim Usaha Tahun 2010-2014 Sasaran Strategis Meningkatnya efektifitas kebijakan iklim usaha Indikator Kinerja Utama Rekomendasi Kebijakan Perpajakan dan Tarif perkomoditi industri Rekomendasi Kebijakan Nonfiskal dan Moneter perkomoditi industri Satuan Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi Kebijakan 2010 2011 2012 2013 2014 T R T R T R T R T R 30 48 30 48 30 65 30 75 30 35 3 3 3 3 1 1 4 5 3 5 a. Indikator Kinerja II.1 :Rekomendasi Kebijakan Perpajakan dan Tarif perkomoditi industri Dalam rangka meningkatkan daya saing industri dalam negeri dan mendorong pertumbuhan sektor riil terutama untuk memenuhi penyediaan barang/jasa bagi kebutuhan/ kepentingan umum telah dilaksanakan berbagai koordinasi dengan instansi terkait untuk merumuskan kebijakan yang tepat berupa pemberian fasilitas dalam bentuk insentif fiskal dan nonfiskal. Pemerintah melalui berbagai Kementerian/lembaga telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan dalam rangka pembentukan kebijakan pendukung iklim usaha nasional, baik berupa Insentif (insentif fiskal dan nonfiskal), disinsentif, perlindungan industri dalam negeri, maupun kebijakan lain. Pada capaian kinerja TA. 2010-2014, sasaran strategis Rekomendasi Kebijakan Perpajakan dan Tarif perkomoditi industri capaiannya melampaui dari target yang telah ditetapkan, hal tersebut menandakan bahwa betapa pentingnya kebijakan terkait perpajakan dan tarif pada sektor industri guna menunjang produktivias dan Bab I Pendahuluan 9

kinerja industri nasional, terutama untuk meningkatkan daya saing industri nasional di tingkat internasional. Pada tahun 2010, terdapat 48(empat puluh delapan) rekomendasi perpajakan dan tarif yang dikeluarkan oleh Pusat PKIUI, rekomendasi tersebut melebihi dari target yang telah ditetapkan yaitu sebanyak 30 rekomendasi, hal tersebut meliputi rekomendasi atas tax allowance dan BMDTP. Demikian juga hal serupa juga terjadi pada tahun 2011. Tahun 2012, terdapat peningkatan yang sangat signifikan pada rekomendasi BMDTP. Peningkatan yang cukup signifikan khususnya pada rekomendasi BMDTP, disebabkan karena terdapat sektor baru yang dimasukan kedalam kelompok industri yang dapat memanfaatkan fasilitas BMDTP, pada umumnya produk yang dapat dimasukan kedalam kelompok industri yang dapat memanfaatkan fasilitas BMDTP adalah sektor industri yang menghasilkan bahan baku bagi komoditi lain atau intermediate goods. Sektor industri yang mendapatkan fasilitas BMDTP antara lain : industri komponen kendaraan bermotor, elektronika, perkapalan, alat besar, turbin, pembuatan alat tulis, serat optik, pembuatan karpet, smart card, tinta toner, resin sintetis, kemasan plastik, dan alat besar. Untuk meningkatkan minat investor baru agar berinvestasi di Indonesia pada 5 (lima)sektor industri pionir maka diterbitkanlah PMK 130/2011 yang ditetapkan pada 15 Agustus 2011 tentang pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak pengasilan badan atau yang biasa disebut dengan fasilitas tax holiday. Dengan adanya fasilitas tersebut turut berkontribusi dalam peningkatan jumlah rekomendasi kebijakan yang terjadi pada tahun 2012. Pada tahun 2012 terdapat 2(dua) perusahaan yang mendapatkan fasilitas tersebut, yaitu perusahaan yang bergerak di bidang Industri Oleokimia dan Industri Petrokimia (Butadiene). Sedangkan, pada tahun 2014 terdapat tambahan 1(satu) perusahaan yang juga bergerak di bidang Industri Oleokimia yang mendapatkan fasilitas tax holiday. Sampai dengan akhir tahun 2014 terdapat 11(sebelas) perusahaan yang telah menyampaikan usulannya untuk mendapatkan fasilitas tax holiday melalui Kementerian Perindustrian, 3(tiga) perusahaan diantaranya telah diputuskan mendapatkan fasilitas tersebut, 6(enam) perusahaan telah diusulkan ke Kementerian Keuangan, 1(satu) perusahaan masih dalam pembahasan internal di Kementerian Perindustrian karena masih ada beberapa kelengkapan yang belum disampaikan, dan 1(satu) perusahaan disepakati tidak diteruskan usulannya ke Kementerian Keuangan karena tidak memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana diatur dalam PMK 130/2011. Bab I Pendahuluan 10

b. Indikator Kinerja II.2 : Rekomendasi Kebijakan Nonfiskal dan Moneter per komoditi industri Capaian Rekomendasi Kebijakan Nonfiskal dan Moneter Sektor Industri tahun 2010-2014 pada umumnya telah mencapai target. Pada TA. 2010-2011 terdapat 3(tiga) rekomendasi yang dihasilkan, sedangkan TA. 2011 terdapat 1(satu) rekomendasi, TA. 2013 terdapat 5(lima) rekomendasi, dan TA. 2014 5(lima rekomendasi). Rekomendasi yang dihasilkan, antara lain yang terkait Pengembangan Kawasan Industri; supply chain untuk komoditi tertentu; Perencanaan Kebijakan Daya Saing Produk Industri Melalui Penetapan Tarif Bea Masuk; Petunjuk Pelaksana Pengamanan Objek Vital Nasional Sektor Industri; Rekomendasi kebijakan terkait implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015; Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Bentuk dan Tata Cara Pemberian Fasilitas Nonfiskal; Rekomendasi untuk rancangan Perpres; Rekomendasi untuk diterbitkannya Peraturan Menteri; Rekomendasi Kebijakan untuk Rancangan Undang-undang, dan rekomendasi lainnya. 3. Meningkatnya penerapan, pengembangan, dan penggunaan Kekayaan Intelektual Terkait dengan hasil penelitian dan pengembangan (litbang), teknologi litbang memerlukan perlindungan hukum yang memadai untuk mendapatkan kepastian perlindungan atas hak kekayaan intelektual pada saat diterapkan di industri. Yang sering menjadi hambatan untuk memperoleh pengakuan atas HKI antara lain disebabkan belum cukup pemahaman tentang paten drafting dan pengurusan paten di lingkungan para peneliti dan perekayasa. Pencapaian peningkatan inovasi di para peneliti dan perekayasa serta masyarakat industri masih rendah karena kesadaran industri, lembaga Litbang dan Perguruan Tinggi di dalam negeri belum mengetahui dan menyadari tentang konsep HKI yang sebenarnya memiliki nilai ekonomi bagi para penemu dibidang teknologi (paten). Disamping itu, masih banyaknya pelanggaran HKI berupa pelanggaran hak cipta dan pemalsuan hasil karya para peneliti mengakibatkan keinginan para inventor untuk mempatenkan hasil karyanya sangat rendah. Bab I Pendahuluan 11

Tabel I-5 Capaian Sasaran Strategis Memfasilitasi Penerapan, Pengembangan, dan Penggunaan Kekayaan Intelektual Tahun 2010-2014 2010 2011 2012 2013 2014 Sasaran Strategis Indikator Kinerja Utama Satuan T R T R T R T R T R Meningkatnya Fasilitasi perlindungan HKI Jumlah 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5 penerapan, Persentase pengaduan Persentase 60,00 60,00 65,00 65,00 70,00 66,67 75,00 75,00 80,00 70,00 pengembangan dan pelanggaran HKI yang penggunaan dapat ditangani Kekayaan Hasil litbang yang Jumlah 5 4 5 0 5 3 5 0 5 5 intelektual dipatenkan Adapun indikator kinerja yang terkait dengan memfasilitasi penerapan, pengembangan, dan penggunaan kekayaan intelektual antara lain : a. Indikator Kinerja 3.1 : Fasilitasi perlindungan HKI Realisasi Hasil Litbang yang didaftarkan pada tahun 2011-2014 sesuai target yang ditetapkan BPKIMI yaitu dari 5 (lima) hasil litbang setiap tahunnya. Bentuk bimbingan dan penerapan HKI pada litbang Balai Besar dan Baristand Industri dilakukan melalui fasilitasi untuk pendaftaran paten kepada Balai Besar dan Baristand. Hanya tahun 2010 yang realisasi tidak optimal, yaitu 4 (empat) hasil litbang yang telah mengajukan permohonan Paten dari 5 (lima) yang ditargetkan. Kendala yang dialami untuk meningkatkan pendaftaran paten adalah masih terbatas pengetahuan dan informasi mengenai pentingnya perlindungan produk HKI di Balai Besar dan Baristand Industri, minimnya pengetahuan inventor terhadap penulisan deskripsi aplikasi paten oleh karena itu dengan diadakannya Pelatihan Patent Drafting diharapkan pengetahuan para peneliti mengenai penulisan deskripsi paten meningkat. Untuk Tahun Anggaran 2011-2014, BPKIMI tetap akan memfasilitasi 5(lima) hasil litbang yang berpotensi untuk diajukan menjadi permohonan paten. b. Indikator Kinerja 3.2 : Persentase Pengaduan Pelanggaran HKI yang Dapat Ditangani TA. 2010-2011 dan 2013 realisasi mencapai target, namun pada TA.2012 dan 2014 persentase pengaduan pelanggaran HKI yang dapat ditangani tidak mencapai target. Kegiatan ini meliputi terfasilitasinya proses penerapan, pengembangan, dan penggunaan kekayaan intelektual dengan indikator persentase pengaduan pelanggaran HKI yang tertangani berdasarkan pengumpulan data dari Biro Hukum dan Kerjasama maupun Direktorat Teknis yang berkaitan langsung dengan industri binaannya. Pada umumnya, pengaduan pelanggaran HKI banyak terdapat pada Industri besar dimana produk mereka diduplikasi dan diproduksi oleh industri- industri kecil tanpa ijin, dengan harapan melalui produk palsu yang dijual tersebut dapat meningkatkan pendapatan. Bab I Pendahuluan 12

Kendala yang dialami untuk dapat merealisasikan indikator ini adalah Kemenperin dalam hal ini hanya bertindak sebagai fasilitasi/advokasi sedangkan kewenangan berada pada instansi lain, seperti: Ditjen HKI, Pengadilan, Polri. Sedangkan, koordinasi penyelesaian permasalahan dengan pihak terkait mengalami banyak hambatan mengingat banyak kasus yang terjadi di seluruh sektor yang harus diselesaikan. c. Indikator Kinerja 3.3 : Hasil litbang yang dipatenkan Salah satu indikator dalam mengukur daya saing suatu bangsa menurut World Competitiveness Report (WCG) adalah inovasi. Dalam bidang inovasi menurut WCG, pada tahun 2010, Indonesia menempati peringkat ke-36 dari 134 negara. Berdasarkan data tahun 2010 dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM, menunjukkan share inventor dalam negeri untuk jumlah aplikasi hak kekayaan intelektual dalam bidang teknologi, hanya 13,5% (untuk paten) dan 26% (untuk desain industri), sedangkan secara Negara menurut World Intellectual Property Organization (WIPO) tahun 2010, share Indonesia dalam jumlah paten di dunia hanya sebesar 0,01%, kalah dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 0,22% atau bahkan China yang mencapai 7,28%. Sudah selayaknya lembaga litbang dan pendidikan di lingkungan Kementerian Perindustrian melalui para peneliti/inventor berkontribusi besar dan nyata melalui aplikasi teknologi yang dapat memberi solusi pada permasalahan bangsa dan masyarakat. Namun, kenyataannya sebagian dari riset yang selama ini dilakukan pada umumnya belum berorientasikan paten. Hampir semuanya hanya berujung kepada laporan penelitian tanpa adanya tindak lanjut. Padahal penemuan produk yang sifatnya potensial akan dapat diaplikasikan dan dimanfaatkan oleh industri sehingga dapat diserap oleh pasar. Kendala Tahun 2010-2014 karena kewenangan penetapan paten adalah Kemenhunkam dan proses penetapan paten butuh waktu panjang; pengusulan paten/investor kurang memahami ketentuan usulan paten; beberapa usulan paten tidak memenuhi kualifikasi yang ditetapkan. Menyikapi kondisi tersebut, maka diperlukan strategi dalam mempercepat inovasi di dalam negeri, salah satunya dengan memanfaatkan data informasi paten dari dalam maupun luar negeri sebagai basis penelusuran data dalam memodifikasi dan mengembangkan invensi-invensi baru oleh para peneliti atau inventor dalam negeri. Tindak lanjut untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan diadakannya Pelatihan Patent Drafting yang diharapkan pengetahuan para peneliti mengenai penulisan deskripsi paten meningkat. Bab I Pendahuluan 13

4. Meningkatnya Peran Standardisasi Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, memelihara, memberlakukan, dan mengawasi standar bidang industri yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan. Hingga saat ini, SNI bidang industri memiliki SNI terbanyak dari seluruh SNI secara nasional. Perumusan SNI dilakukan oleh Komite Teknis/Sub Komite Teknis di lingkungan Kementerian Perindustrian yang mencakup berbagai produk/komoditi. Setiap tahun Komite Teknis/Sub Komite Teknis membuat Program Nasional Perumusan Standar (PNPS) yang disesuaikan dengan kebutuhan industri maupun kebutuhan pasar. Untuk kepentingan keamanan, kesehatan, dan keselamatan manusia, hewan dan tumbuhan; pelestarian fungsi lingkungan hidup; persaingan usaha yang sehat; peningkatan daya saing; dan/atau peningkatan efisiensi dan kinerja industri, maka pemerintah dapat memberlakukan SNI secara wajib. Sampai saat ini telah diberlakukan 98(sembilan puluh delapan)sni bidang industri secara wajib yang meliputi komoditi agro, makanan, minuman, kimia, logam, tekstil dan aneka, permesinan, alat transportasi darat, elektronika. Dalam rangka menindaklanjuti kerjasama perdagangan secara internasional (WTO) maka Indonesia juga harus mengikuti aturan yang berlaku terkait bidang standardisasi misalnya seperti melakukan notifikasi jika Indonesia akan memberlakukan SNI secara wajib sesuai dengan mekanisme Technical Barriers to Trade (TBT) WTO. Selain itu, dalam kerjasama regional seperti ASEAN, standar juga telah menjadi perhatian utama dengan dibentuknya ASEAN Consultative Committee on Standards and Quality (ACCSQ). Dari data yang ada dengan diberlakukannya SNI secara wajib, dapat dilihat dampak secara ekonomi di mana terjadi penurunan nilai impor terhadap produk yang SNI-nya diberlakukan secara wajib. Dalam pelaksanaan regulasi teknis, banyak negara melakukan tehnik-tehnik yang secara tidak langsung mempersulit pelaku usaha untuk memasukkan produknya ke negara tersebut. Sebagai contoh, Uni Eropa dengan notified body, setiap produk yang tertuang dalam regulasi teknis di Uni Eropa harus dilakukan pengujian dan sertifikasi di lembaga yang terdaftar dalam notified body tersebut. Hal serupa dilakukan pula di US, Jepang, China, India dan negara lainnya. Mengingat standar saat ini digunakan sebagai barrier didalam mekanisme perdagangan, maka untuk mengatasi keberagaman skema sertifikasi, ditetapkanlah ISO 17067:2013 (Conformity Assesment Fundamentals of Product Certification and Guidelines for Product Certification Scheme) mengenai skema sertifikasi yang memperkenankan regulator untuk menyusun skema sertifikasi terkait dengan standar yang ditetapkan menjadi regulasi teknis. Bab I Pendahuluan 14

Dalam pelaksanaan penerapan SNI/ST secara wajib bidang industri, Menteri Perindustrian menunjuk LPK (LSPro dan Laboratorium Uji) yang diperkenankan untuk memproses SPPT SNI/ST yang tentunya telah dilakukan evaluasi baik secara administrasi maupun kompetensi oleh BPPI cq. BPKIMI sesuai prosedur kerja yang telah ditetapkan melalui Peraturan Ka. BPPI Nomor 422 Tahun 2010 tentang Penunjukan, Pengawasan, dan Pelaporan Kinerja Lembaga Penilaian Kesesuaian. Skema sertifikasi yang nantinya telah dirumuskan oleh regulator menjadi bagian dari penilaian kelayakan penunjukan LPK. Tabel I-6 Capaian Sasaran Strategis Meningkatnya Peran Standisasi Tahun 2010-2014 Sasaran Strategis Meningkatnya Peran Standisasi Indikator Kinerja Utama Rancangan SNI yang Diusulkan Permen SNI wajib Satuan 2010 2011 2012 2013 2014 T R T R T R T R T R Jumlah 100 96 100 134 100 106 150 92 100 132 Jumlah 5 2 5 7 5 43 5 34 5 32 a. Indikator Kinerja 4.1 : Rancangan SNI yang Diusulkan Selama TA. 2010-2014 jumlah RSNI yang ditargetkan adalah 500 RSNI dan yang dapat terealisasi sebesar 560(lima ratus enanm puluh) RSNI. Pada tahun 2014 telah disusun 132 (seratus tiga puluh dua) RSNI untuk kelompok industri : permesinan; karet; selang karet; pulp; kertas; kendaraan bermotor; tekstil; metoda uji; makanan; baja; lampu pijar; sel dan baterai sekunder; peralatan listrik. Setiap tahun pada umumnya realisasi melebihi target, kecuali pada TA. 2010 dan 2013. Adapun kendala-kendala yang sering dihadapi adalah proses perumusan SNI dilakukan oleh Panitia Teknis yang ada di Direktorat, dalam proses tersebut sering terjadi rapat teknis/rapat konsensus yang menumpuk di akhir tahun, sehingga mengakibatkan kesulitan dalam pengalokasian sumber daya manusia dan waktu untuk penyelenggaraan rapat teknis/rapat konsensus yang efektif. Selain itu rendahnya pastisipasi anggota Panitia Teknis (PT)/Sub Panitia Teknis (SPT) sehingga tidak memenuhi kuorum yaitu 2/3 dari jumlah semua anggota, hal ini dapat menyebabkan tidak tercapainya konsensus sehingga rapat konsensus harus diulang kembali. b. Indikator Kinerja 4.2 : Permen SNI wajib Hingga tahun 2014 Kementerian Perindustrian telah menerbitkan Permenperin untuk penetapan 98(sembilan puluh delapan) SNI wajib. Indikator Permen SNI wajib yang dihasilkan dalam hal ini adalah Peraturan Menteri Perindustrian tentang Penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) dalam rangka pemberlakuan dan pengawasan SNI secara wajib. Ketika suatu SNI diberlakukan secara wajib, maka diperlukan LPK yang terdiri dari Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) dan Bab I Pendahuluan 15

Laboratorium uji yang cukup dan mampu untuk melakukan kegiatan penilaian kesesuaian terhadap SNI tersebut. Selama lima tahun terakhir, jumlah Permen yang ditargetkan sebanyak 25 (dua puluh lima) Permen dan dapat direalisasikan realisasi sebesar 118(seratus delapan belas) Permen. Pada tahun 2010, jumlah Permen yang dihasilkan tidak mencapai target karena terdapat 58(lima puluh delapan) produk industri yang SNI-nya diberlakukan secara wajib disatukan menjadi 1 Permen Penunjukan LPK yaitu Permenperin nomor 109/M-IND/PER/10/2010 tentang Penunjukan LPK dalam rangka Pemberlakuan dan Pengawasan SNI atas 58(lima puluh delapan) produk industri secara wajib. Pada tahun berikutnya, terjadi perubahan indikator, Permen yang dihasilkan merupakan representasi dari setiap SNI produk industri secara wajib. 5. Meningkatnya Pengembangan Industri Hijau Dalam beberapa dekade terakhir, aktivitas produksi di Indonesia kurang memperhatikan efektivitas penggunaan Sumber Daya alam(sda) sehingga terjadi degradasi kualitas lingkungan sebagai akibat pemanfaatan sumber daya alam yang tidak efisien dan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah industri. Apalagi dengan kondisi semakin terbatasnya sumber daya alam terutama SDA yang tidak terbarukan, krisis energi dan menurunnya daya dukung lingkungan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka tuntutan untuk mendukung beralihnya sektor industri nasional dari Business as Usual (BAU) menjadi industri yang berwawasan lingkungan telah menjadi isu penting dan mutlak untuk segera dilaksanakan guna tercapainya efisiensi produksi serta menghasilkan produk yang ramah lingkungan, yaitu melalui pengembangan industri hijau. Terkait hal tersebut, saat ini Kementerian Perindustrian sedang berupaya mengembangkan industri hijau. Salah satu bentuk keseriusan tersebut adalah dengan menetapkan industri hijau sebagai salah satu tujuan pembangunan industri sebagaimana telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Industri Hijau saat ini telah menjadi icon yang harus dipahami dan dilaksanakan industri nasional. Industri Hijau dapat didefinisikan sebagai industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi masyarakat. Secara umum Industri Hijau memiliki karakteristik sebagai berikut : menggunakan bahan kimia yang ramah lingkungan menerapkan Reduce, Reuse, Recycle dan Recovery pada proses produksi; menggunakan intensitas energi yang rendah, menggunakan intensitas air yang Bab I Pendahuluan 16

rendah, menggunakan SDM yang kompeten, melakukan minimisasi limbah dan, menggunakan teknologi rendah karbon. Capaian Sasaran Strategis kegiatan meningkatkan Pengembangan Industri Hijau, dapat dilihat pada table berikut : Sasaran Strategis Meningkatnya Pengembangan Industri Hijau Tabel I-7 Capaian Sasaran Strategis Meningkatnya Pengembangan Industri Hijau Tahun 2010-2014 Indikator Kinerja 2010 2011 2012 2013 2014 Satuan Utama T R T R T R T R T R Kebijakan yang mendukung pengembangan industri hijau Industri yang menerapkan industri hijau Jumlah 1 1 1 1 1 5 2 4 5 9 Jumlah 68 68 68 35 35 53 53 74 60 113 a. Indikator Kinerja 5.1 : Kebijakan yang mendukung pengembangan industri hijau Transformasi industri nasional menuju Industri Hijau haruslah ditunjang dengan pembangunan infrastruktur yang memadai dan juga pemberian fasilitas pendukungnya. Beberapa infrastruktur dan fasilitas yang dibutuhkan antara lain: Standar Industri Hijau, pedoman terkait industri hijau, insentif, sumber daya manusia, dan sistem informasi. Sejak tahun 2011, Kemenperin telah menyusun 5 (lima) draft Standar Industri Hijau yaitu untuk komoditi Ubin Keramik Berglazir, Tekstil (untuk proses Printing, Dying dan Finishing), Peleburan Billet Baja, Pulp, dan Semen. Pada tahun 2014, Kemenperin telah menyusun draft awal Standar Industri Hijau untuk komoditi baterai kering, Lampu Hemat nergi (LHE) dan Susu Bubuk. Untuk mensertifikasi pemenuhan terhadap Standar Industri Hijau, perlu dibentuk Lembaga Sertifikasi Industri Hijau (LSIH). Sebagai kelengkapan perangkat LSIH, Kementerian Perindustrian telah menyusun Pedoman Umum Pembentukan LSIH, Standar Kompetensi Auditor Industri Hijau, dan Standard Operation Procedure (SOP) Sertifikasi Industri Hijau. Selain merumuskan kebijakan pendukung dan pedoman-pedoman teknis, Kementerian Perindustrian juga mendukung upaya peningkatan kompetensi Sumber Daya Manusia di Sektor Industri melalui kegiatan-kegiatan penambahan kapasitas antara lain seperti Pelatihan tentang Energy Management System ISO 50001 dan National Expert untuk Industri Pulp & Kertas, Tekstil, Kimia, dan Makanan & Minuman dan Bimbingan Teknis Pengurangan emisi GRK di Sektor Industri. Untuk lebih merangsang perusahaan industri dalam menerapkan prinsip Industri Hijau, Kementerian Perindustrian juga telah menyusun rekomendasi kebijakan terkait pemberian insentif baik fiskal maupun nonfiskal. Kebijakan pemberian insentif tersebut bersifat multistakeholder dan melibatkan Bank Indonesia, Bab I Pendahuluan 17

Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian PPN/Bappenas dan stakeholder terkait lainnya. Pada Indikator ini realisasi Kebijakan yang mendukung pengembangan industri hijau, antara lain: 1) Standard Industri Hijau (SIH) SIH merupakan salah satu komponen utama dalam pengembangan dan penerapan industri hijau. SIH memuat spesifikasi teknis dan manajemen pengusahaan, seperti efisiensi dan efektivitas penggunaan bahan baku, bahan penolong, energi dan air; optimasi kinerja proses produksi; produk yang ramah lingkungan, dan lain-lain. SIH disusun dan dirumuskan menurut kelompok/komoditi industri. 2) Lembaga Sertifikasi Industri Hijau Untuk mendukung penerapan SIH, akan dibentuk LSIH yang bertugas melakukan pemeriksaan dan penilaian pemenuhan SIH oleh industri. LSIH adalah suatu lembaga penyelenggara penilai standar industri hijau yang dibentuk oleh Kementerian Perindustrian yang memiliki organisasi dan pengelolaan secara mandiri untuk melaksanakan penilaian dan sertifikasi industri hijau. LSIH merupakan lembaga yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Menteri untuk melakukan sertifikasi industri hijau. 3) Insentif Industri Hijau Pemerintah perlu memberikan insentif sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pelaku industri dalam upayanya menerapkan industri hijau, sehingga perlu dilakukan identifikasi kebutuhan insentif yang sesuai dengan karakteristik masingmasing industri, sehingga dapat dirumuskan kebutuhan insentif yang tepat. Amanat atau ruang bagi pemerintah untuk memberikan insentif bagi pengembangan industri hijau telah dijabarkan dalam UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. UU ini menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintahan Daerah memberikan fasilitas yang diperlukan dalam pembangunan dan pengembangan industri diantaranya industri yang: (1) menjaga kelestarian lingkungan hidup; dan (2) mewujudkan industri hijau. b. Indikator Kinerja 5.2 : Meningkatnya Industri yang Menerapkan Industri Hijau Penghargaan industri hijau merupakan salah satu bentuk insentif nonfiskal dan sarana awal dalam rangka sosialisasi prinsip-prinsip industri hijau. Aspek-aspek penilaian yang digunakan dalam Penghargaan Industri Hijau merupakan adopsi dari ruang lingkup Standar Industri Hijau yang diatur secara legal dan telah dicantumkan Bab I Pendahuluan 18

pula dalam Undang-undang nomor 3 tentang Perindustrian Pasal 79 ayat (2). Standar Industri Hijau paling sedikit memuat ketentuan mengenai bahan baku, bahan penolong, dan energi; proses produksi; produk; manajemen pengusahaan; dan pengelolaan limbah. Selama lima tahun penyelenggaraannya, terjadi peningkatan jumlah peserta yang juga diiringi dengan peningkatan jumlah perusahaan dan jumlah sektor industri yang mendapatkan Penghargaan Industri Hijau. Peningkatan jumlah peserta menunjukkan bahwa sosialisasi yang telah dilakukan di tingkat daerah berjalan dengan baik. Peningkatan jumlah penerima penghargaan juga mengindikasikan bahwa pembinaan yang dilakukan terhadap perusahaan industri telah mampu mentranformasi pola pikir perusahaan industri dari Business as Usual menjadi Industri Hijau. Adapun permasalahan dan kendala yang dialami dalam meningkatkan Industri yang Menerapkan Industri Hijau, adalah sebagai berikut : 1. Belum tersosialisasi dan dipahaminya konsep Industri Hijau dengan baik oleh semua unit internal di Kementerian Perindustrian ; 2. Masih terbatasnya sosialisasi yang dilakukan terkait penghargaan industri hijau dan penyusunan Standar Industri Hijau; 3. Masih terbatasnya jumlah industri yang ikut dalam penganugerahan industri hijau tahun 2013, terutama untuk industri kecil dan menengah; 4. Beberapa kriteria dan indikator Pedoman Penilaian Penganugerahan Penghargaan Industri Hijau kurang jelas dan detil, sehingga dapat menyebabkan Tim Teknis multitafsir dalam menterjemahkannya pada saat penilaian; 5. Penerapan Standar Industri Hijau masih menunggu kelengkapan infrastruktur pendukung seperti Lembaga Sertifikasi, Auditor Industri Hijau dan kebijakan terkait lainnya; 6. Terbatasnya anggaran salah satu penyebab lambatnya penyiapan infrastruktur pendukung untuk penerapan Standar Industri Hijau. I.2 POTENSI DAN PERMASALAHAN Berikut ini hasil identifikasi potensi dan permasalahan serta tindak lanjut yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan dan memanfaatkan potensi yang ada dalam rangka mewujudkan visi BPKIMI tahun 2015 2019: Bab I Pendahuluan 19

A. Potensi 1. Kelembagaan Jika dilihat dari aspek kelembagaan, BPKIMI dapat dikatakan cukup memadai dalam melaksanakan tupoksi dan pencapaian visi dan misi yang telah ditetapkan. Aspek kelembagaan ini menjadi suatu potensi yang perlu dikembangkan secara berkelanjutan untuk memperkuat perannya sebagai pusat rujukan kebijakan industri baik secara nasional maupun internasional. Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No.105/M-IND/PER/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perindustrian, Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri (BPKIMI) terdiri atas 5 (lima) unit setingkat eselon II di pusat, 11 (sebelas) Balai Besar dan 11 (sebelas) Balai Riset dan Standardisasi Industri (Baristand Industri) yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia. BPKIMI mempunyai peran yang sangat vital dalam upaya pengembangan industri nasional, melalui kebijakan-kebijakan pengembangan industri. Hal ini didukung oleh pusatpusat yang mencakup semua aspek keindustrian, yaitu : Pusat Standardisasi berperan dalam perumusan, penyiapan penerapan, pengembangan, dan kerja sama di bidang standardisasi industri; Pusat Pengkajian Kebijakan Dan Iklim Usaha Industri berperan dalam pengkajian dan perumusan kebijakan iklim usaha industri yang mencakup fasilitas (insentif fiskal dan nonfiskal), kebijakan-kebijakan sektor industri, juga aspek perpajakan dan tarif; Pusat Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup berperan dalam pengkajian dan perumusan kebijakan terkait industri hijau dan lingkungan hidup; Pusat Pengkajian Teknologi dan HKI yang berperan dalam pengkajian dan perumusan terkait teknologi industri dan hak kekayaan intelektual. Di samping pusat-pusat tersebut, 11 unit Balai Besar dan 11 Balai Riset dan Standardisasi Industri (Baristand Industri) mempunyai peranan yang penting sebagai unit pelayanan teknis dan perwakilan Kementerian Perindustrian di daerah. Beberapa Balai Besar dan Baristand ada yang telah memiliki status Badan Layanan Umum (BLU). Dengan berstatus BLU, Balai-Balai tersebut dapat secara cepat memberikan pelayanan teknis kepada masyarakat dan mengelola aset dan keuangannya secara optimal. Masing-masing unit tersebut memiliki kompetensi masing-masing seperti tercantum pada Tabel 1.8. Bab I Pendahuluan 20

Tabel I-8 Kompetensi Inti Balai Besar Balai Besar Kompetensi Inti 1. Tekstil (BBT), Bandung Desain Struktur dan Permukaan Tekstil 2. Bahan dan Barang Teknik (B4T), Bandung Quality Assurance untuk teknologi pengelasan bawah air, instrumentasi virtual & material teknik/maju berbasis polimer 3. Logam dan Mesin (BBLM), Bandung Desain Proses dan Produk engineering (fokus: peralatan energi dan tooling) 4. Keramik (BBK), Bandung Material Engineering for Electric & Structural Ceramic 5. Pulp dan Kertas (BBPK), Bandung Bioengineering untuk pulp dan kertas 6. Industri Agro (BBIA), Bogor Komponen aktif bahan alami komoditas agro 7. Kimia dan Kemasan (BBKK), Jakarta Fine Chemical & Degradable Packaging Design 8. Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri (BBTPPI), Semarang 9. Kulit, Karet dan Plastik (BBKKP), Yogyakarta 10. Kerajinan dan Batik (BBKB), Yogyakarta 11. Industri Hasil Perkebunan (BBIHP), Makassar Teknologi terapan untuk pengendalian buangan industri Desain bahan dan konstruksi sepatu Desain dan bahan baku baru untuk produkproduk kerajinan dan batik Proses produksi dan teknologi terapan untuk pengolahan kakao Fokus Baristand Industri yang berada di bawah pembinaan BPKIMI dapat dilihat pada Tabel 1.9. Tabel I-9 Fokus Baristand Industri Baristand Fokus 1. Aceh Rempah dan minyak atsiri 2. Medan Mesin dan peralatan pabrik 3. Padang Makanan tradisional 4. Palembang Karet komponen teknis 5. Lampung Tepung industri agro 6. Surabaya Mesin listrik & peralatan listrik 7. Banjarbaru Teknologi pengolahan kayu, rotan, dan bambu 8. Samarinda Hasil perikanan dan perkebunan 9. Pontianak Bahan baku kosmetik alami dan pangan semi basah 10. Manado Teknologi pengolahan palma 11. Ambon Teknologi pengolahan hasil laut Selain itu, terdapat Lembaga Sertifikasi dan laboratorium yang diakreditasi KAN serta lembaga diklat sebagai lembaga pendukung dalam pengembangan industri nasional. Adanya lembaga-lembaga tersebut diharapkan mampu meningkatkan kualitas produk industri dan juga SDM industri. 2. Sumber Daya Manusia (SDM) Dalam rangka mewujudkan industri yang berdaya saing dan inovatif yang berbasis Riset dan Teknologi, mutlak diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang handal, berkualitas dan kompeten sebagai aset strategis. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Bab I Pendahuluan 21

BPKIMI memiliki 28 unit kerja yang terdiri dari 5 (lima) Unit di Pusat, 11 (sebelas) Balai Besar dan 11 (sebelas) Balai Riset dan Standardisasi dan 1 (satu) Balai Sertifikasi Industri yang tersebar di berbagai propinsi dengan dukungan SDM berjumlah 2.426 orang pegawai, dengan rincian sebagai berikut : Tabel I-10 Jumlah SDM BPKIMI NO UNIT KERJA JUMLAH I PUSAT 1 Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim dan Mutu Industri 1 2 Sekretariat 60 3 Pusat Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup 29 4 Pusat Pengkajian Kebijakan dan Iklim Usaha Industri 28 5 Pusat Pengkajian Teknologi dan Hak Kekayaan Intelektual 31 6 Pusat Standardisasi 38 JUMLAH 187 II BALAI BESAR 1 Balai Besar Kimia dan Kemasan 155 2 Balai Besar Industri Agro 163 3 Balai Besar Bahan dan Barang Teknik 157 4 Balai Besar Keramik 122 5 Balai Besar Logam dan Mesin 146 6 Balai Besar Pulp dan Kertas 109 7 Balai Besar Tekstil 119 8 Balai Besar Kerajinan dan Batik 153 9 Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik 149 10 Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri 118 11 Balai Besar Industri Hasil Perkebunan 90 JUMLAH 1481 III BARISTAND INDUSTRI 1 Baristand Industri Aceh 62 2 Baristand Industri Medan 101 3 Baristand Industri Padang 54 4 Baristand Industri Palembang 72 5 Baristand Industri Lampung 49 6 Baristand Industri Surabaya 87 7 Baristand Industri Banjarbaru 69 8 Baristand Industri Pontianak 53 9 Baristand Industri Samarinda 52 10 Baristand Industri Manado 72 11 Baristand Industri Ambon 69 JUMLAH 740 1 Balai Sertifikasi Industri 18 TOTAL 2426 Untuk mendukung pelaksanaan litbang yang kreatif dan inovatif memerlukan SDM yang berpendidikan formal minimal strata dua (S-2). Saat ini SDM litbang industri terdiri dari 711 orang (29,3 %) memiliki latar belakang pendidikan SLTA dan hanya sebanyak 380 orang (15,66 %) memiliki tingkat pendidikan formal master atau S-2 dan 32 orang (1,3 %) memiliki tingkat pendidikan formal doktor atau S-3. 3. Jejaring Kerja Di bidang litbang, telah dibangun berbagai kerja sama litbang yang melibatkan unsur Academic, Bussiness, dan Government (ABG). Beberapa di antaranya adalah kerja sama litbang dengan beberapa perguruan tinggi/institusi litbang baik di lingkungan Kementerian maupun Non-Kementerian Bab I Pendahuluan 22

4. Tersedianya infrastruktur teknologi yang beragam di berbagai lembaga litbang dan industri Secara umum, Infrastruktur teknologi di Indonesia tersebar di berbagai lembaga yang melakukan kegiatan litbang dan berkaitan dengan mutu serta standardisasi produk, yaitu lembaga/institusi litbang Kementerian dan Non Kementerian maupun institusi litbang swasta, perguruan tinggi, serta balitbang daerah. Sebagian besar instrumen penelitian berada di daerah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Infrastruktur litbang di lingkungan Balai Litbang Kementerian Perindustrian meliputi: 1) Sarana dan prasarana laboratorium yang mencakup: laboratorium proses, laboratorium material, laboratorium uji, laboratorium kalibrasi; 2) Sarana dan prasarana perbengkelan dan Rancang Bangun dan Perekayasaan Industri (RBPI); 3) Sarana dan Prasarana difusi alih teknologi, antara lain pilot plant, pusat inovasi, inkubator teknologi; dan 4) Sarana publikasi, antara lain: jurnal dan majalah ilmiah yang terakreditasi. 5. Ketersediaan SDA yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri Indonesia adalah negara yang kaya dengan potensi sumber daya alam, baik yang terbarukan (hasil bumi) maupun yang tidak terbarukan (hasil tambang dan mineral). Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia harus dapat dikelola seoptimal mungkin, dengan meningkatkan industri pengolahan yang memberikan nilai tambah tinggi dan mengurangi ekspor bahan mentah. Sampai tahun 2010, Indonesia masih menjadi salah satu produsen besar di dunia untuk berbagai komoditas, antara lain kelapa sawit (penghasil dan eksportir terbesar di dunia), kakao (produsen terbesar ke-dua di dunia), timah (produsen terbesar kedua di dunia), nikel (cadangan terbesar ke empat di dunia), dan bauksit (cadangan terbesar ke tujuh di dunia) serta komoditas unggulan lainnya seperti besi baja, tembaga, karet, dan perikanan. Indonesia juga memiliki cadangan energi yang sangat besar seperti misalnya batubara, panas bumi, gas alam, dan air yang sebagian besar dimanfaatkan untuk mendukung industri andalan seperti tekstil, perkapalan, peralatan transportasi, dan makanan-minuman. Bab I Pendahuluan 23

Tabel I-11 Keunggulan Komparatif Sumber Daya Alam Indonesia NO NAMA SDA TAK TERBARUKAN/ POTENSI TERBARUKAN 1 Industri Hilir Kelapa Sawit SDA terbarukan Indonesia merupakan negara produsen Minyak Mentah Sawit (CPO & CPKO) terbesar di dunia Produksi CPO sebesar 20,91 juta ton pada tahun 2009. 2 Industri Hilir Kakao SDA terbarukan Indonesia merupakan produsen No.2 di Dunia dengan total produksi pada tahun 2009 mencapai 803.000 ton dan diperkirakan pada tahun 2014 Indonesia dengan produksi biji kakao diatas 1 juta ton/tahun Sentra produksi biji kakao berkembang di Indonesia seperti Sulawesi dengan luas areal tanaman 857.757 Ha (60,18%), Sumatera 286.121 Ha (20,08%), Kalimantan 47.826 Ha (3,36%), Jawa 82.623 Ha (5,08%), NTT+NTB+Bali 62.507 Ha (4,39%), Maluku+Papua 86.266 Ha (6,05%). 3 Industri Hilir Karet SDA terbarukan Produksi karet alam pada tahun 2009 mencapai 2,52 juta ton. 4 Industri Logam Hulu SDA tidak terbarukan 6. Infrastruktur litbang dan Standardisasi BPKIMI Sarana dan prasarana laboratorium, perbengkelan dan Rancang Bangun dan Perekayasaan Industri (RBPI); sarana dan Prasarana difusi alih teknologi, sarana publikasi, antara lain: jurnal dan majalah ilmiah yang terakreditasi. Dalam rangka pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai regulasi teknis, diperlukan kemampuan kesiapan infrastruktur Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) baik laboratorium uji maupun kemampuan Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) yang memadai guna mendukung kelancaran pelaksanaan SPPT SNI. Hingga saat ini, LSPro dan laboratorium uji yang ditunjuk oleh Kementerian Perindustrian dalam rangka pemberlakukan SNI Secara Wajib telah berjumlah 33 LSPro yang terdiri dari 28 LSPro pemerintah dan 5 LsPro swasta; serta 117 laboratorium uji yang terdiri dari 10 laboratorium swasta, 24 perusahaan/industri, 29 laboratorium pemerintah, 50 laboratorium luar negeri, dan 6 laboratorium BUMN. Produksi bauksit sebesar 15 Juta Mton/tahun (ke-7 di dunia) Produksi tembaga sebesar 2,8 juta Mton/tahun (konsentrat) Produksi bijih nikel 3,27 juta ton (ke-4 di dunia) Produksi bijih besi sebesar 8,6 juta ton Produksi pasir besi sebesar 1,9 juta ton 5 Industri Rumput Laut SDA terbarukan Potensi lahan yang tersedia di Indonesia cukup besar yaitu lebih dari 1,38 Juta hektar dan baru termanfaatkan sekitar 222.000 hektar Bab I Pendahuluan 24

7. Adanya program pemerintah yang fokus pada peningkatan kemampuan teknologi untuk meningkatkan daya saing produk Industri nasional dituntut agar memiliki daya saing yang cukup tinggi dalam era persaingan global dewasa ini yang cenderung semakin tajam. Menurut Laporan World Economic Forum (WEF) Tahun 2013, potret daya saing Indonesia mengalami kenaikan dibanding tahun 2012 lalu dari posisi 50 menjadi posisi 38 dari 148 negara. Indeks daya saing menurut WEF tersebut dibentuk oleh 3 unsur utama, yaitu persyaratan dasar (Kelembagaan, Infrastruktur, Ekonomi Makro, serta Kesehatan dan Pendidikan Dasar), penopang efisiensi (Pendidikan Tinggi, Efisiensi Pasar, Penerapan Teknologi), faktor inovasi dan kecanggihan. Sementara peringkat Indonesia untuk aspek kesiapan teknologi, atau technological readiness (unsur penopang efisiensi) pada tahun 2013, yang merupakan indikator kemampuan dalam mengadopsi teknologi yang telah ada untuk meningkatkan produktivitas industri dinilai masih rendah yaitu berada di peringkat 75 walaupun telah mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2012 yang berada pada peringkat 85. Sedangkan peringkat Indonesia untuk aspek inovasi, atau innovation (faktor inovasi dan kecanggihan) pada tahun 2013 yang merupakan indikator kemampuan inovasi teknologi berada pada peringkat 33, meningkat dari peringkat 39 tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya kemampuan inovasi teknologi nasional sudah cukup berkembang, namun dalam rangka penerapan masih dirasakan kurang. Untuk itu perlu diupayakan agar lebih memperbanyak sosialisasi berbagai hasil riset yang dilakukan kepada dunia usaha baik sejak awal penelitian maupun melakukan penelitian bersama yang bersifat simbiosis mutualistik. Program peningkatan kemampuan teknologi industri diarahkan untuk memecahkan permasalahan di sektor industri nasional, yaitu ketertinggalan kemampuan teknologi. Program dimaksud dilakukan melalui kegiatan pengembangan kemampuan inovasi khususnya di bidang teknologi industri, yaitu kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi proses maupun teknologi produk, antara lain: design, engineering, plant construction, and equipment fabrication. Selain itu, salah satu upaya pemerintah dalam mendukung produk domestik adalah dengan mengembangkan budaya cinta terhadap produk dalam negeri. Untuk mendukung upaya tersebut, Kementerian Perindustrian sebagai pembina industri senantiasa memberikan dukungan kepada industri dengan tujuan untuk meningkatkan semangat para pelaku usaha agar selalu berinovasi dan mengembangkan teknologi dalam rangka meningkatkan mutu produk dan daya saing industri nasional. Besarnya perhatian Pemerintah di dalam mendorong tumbuhnya inovasi hasil litbang dalam negeri diantaranya dapat dilihat pada Undang-undang No. 3 Tahun 2014 tentang Bab I Pendahuluan 25

Perindustrian, yaitu bagi perusahaan industri yang memanfaatkan hasil inovasi litbang dalam negeri (apakah itu hasil temuan dari Perguruan Tinggi, lembaga litbang pemerintah, ataupun unit litbang industri), secara selektif dengan menggunakan kriteria tertentu akan diberikan penjaminan risiko. Hal ini merupakan suatu lengkah terobosan yang cukup strategis, sehingga nantinya kita bisa berharap gap antara tingkat kemampuan menghasilkan inovasi di Indonesia, yang menurut penilaian World Economic Forum, masih lebih baik dibandingkan tingkat kesiapan penerapan teknologi, secara bertahap dapat terus berkurang. Bentuk dukungan Pemerintah lainnya dalam Pengembangan Teknologi salah satunya berupa penghargaan Rintisan Teknologi Industri (RINTEK). Pemberian penghargaan Rintisan Teknologi Industri diberikan kepada perusahaan yang telah menghasilkan invensi dan inovasi teknologi. Kementerian Perindustrian secara terus menerus mendorong industri agar terus melakukan upaya pengembangan atau perekayasaan teknologi sehingga ketergantungan Indonesia pada teknologi impor dapat diminimalkan. B. Permasalahan 1. Keterbatasan Sumber Daya Litbang Saat ini, pembiayaan riset dari APBN masih dikisaran 0,08% dari PDB, jauh lebih rendah dari Malaysia (0,7%), India (0,85%), dan Cina (1,6%). Kecilnya anggaran dalam pengembangan Iptek mengakibatkan program riset menjadi tidak fokus dan hasil yang diperoleh kurang konkrit serta sulit untuk diimplementasikan. Perlu upaya untuk memanfaatkan menggunakan dana alokasi pendidikan yang sekarang ini dikelola oleh Kementerian Keuangan. Dana ini dapat diusahakan untuk mendukung peningkatan dana riset pemerintah. Sebagaimana disadari bahwa untuk mewujudkan industri yang berdaya saing dan inovatif yang berbasis Ristek, mutlak diperlukan SDM yang handal, berkualitas, dan kompeten. Peran strategis SDM yang diharapkan belum dapat dilaksanakan secara optimal dalam proses peningkatan daya saing industri nasional karena masih terdapat kendala dan masalah SDM. Kendala SDM yang dimaksud antara lain kurangnya kuantitas dan kualitas SDM litbang, kurangnya kompetensi para pejabat struktural dan fungsional dalam penyusunan konsepsi kebijakan industri, penyusunan perencanaan/program, kerja sama/kemitraan internal dan eksternal, pengembangan kompetensi lembaga sertifikasi, keterampilan teknis, serta kemampuan manajerial. SDM yang diharapkan harus memiliki kualitas yang cukup tinggi dalam arti mampu melaksanakan program pembangunan secara inovatif, kreatif, serta produktif dengan semangat kerja dan disiplin tinggi serta memiliki Bab I Pendahuluan 26

kemampuan manajerial, kewirausahaan, dan kepemimpinan yang merupakan persyaratan agar dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan kerja. Meskipun secara kuantitas SDM di lingkungan BPKIMI cukup banyak SDM litbang yang sudah memasuki periode usia pensiun (usia diatas 50 tahun) memiliki porsi yang cukup besar yaitu sebanyak 1.011 orang (41,7 %) sedangkan SDM litbang usia produktif yaitu yang berusia antara 35-45 tahun sebanyak 438 orang (18 %) dan antara 46-50 tahun sebanyak 266 orang (10.9 %). Selain itu, 1.710 orang (70,5 %) SDM litbang merupakan tenaga fungsional umum, sedangkan persentasi jumlah tenaga fungsional khusus sebanyak 716 orang (29,5 %) yang diantaranya terdiri dari tenaga fungsional peneliti sebanyak 281 orang (39,24 %) dan tenaga fungsional perekayasa sebanyak 53 orang (7,4 %). Hal tersebut merupakan jumlah yang sangat minim untuk institusi litbang seperti BPKIMI. Disisi lain, prasarana dan sarana untuk mendukung kegiatan kelitbangan terutama di lingkungan Kementerian Perindustrian masih rendah. Selama kurun 5 (lima) tahun belakangan ini, pengadaan alat laboratorium uji lebih banyak difokuskan untuk mendukung kelancaran kegiatan pengujian dalam rangka penerapan SNI wajib, sementara mendukung kegiatan litbang masih sangat rendah. 2. Kurangnya sinergi program kerja sama litbang untuk Saat ini belum ada sinergi program kerja sama litbang antara balai-balai industri dengan perguruan tinggi, dunia usaha, dan lembaga riset dalam menghasilkan produk litbang yang aplikatif dan terintegrasi. Padahal, pengalaman negara maju menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi merupakan hasil dari kemampuan penguasaan teknologi dan inovasi. Untuk meningkatkan penguasaan teknologi dan inovasi diperlukan mekanisme intermediasi Iptek yang bertujuan untuk menjembatani interaksi antara penelitian yang dilakukan dengan kebutuhan dari Industri sebagai pengguna. Sementara itu, sebagian besar industri dalam negeri belum memandang bahwa kegiatan kelitbangan merupakan bagian yang sangat penting/strategis dalam pengembangan usahanya, apalagi investasi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan litbang juga cukup besar. Seringkali masalah yang dihadapi oleh litbang industri tidak dapat ditangani secara individu oleh litbang industri yang ada. Kerja sama antara Peneliti atau antara Lembaga Litbang dapat diwujudkan dalam rangka berbagi sumber daya berupa peneliti maupun fasilitas dan peralatan litbang, atau bahkan dana litbang. Namun dalam kenyataannya, kegiatan kelitbangan di dalam negeri belum mampu dikoordinasikan dengan baik, sehingga banyak kegiatan litbang yang dilaksanakan sifatnya mengulang, tetapi hasilnya tidak maksimal. Kolaborasi antar lembaga litbang Pemerintah dan dunia usaha belum menjadi Bab I Pendahuluan 27

suatu kebutuhan nasional. Yang terjadi selama ini lebih banyak melalui pendekatan konvensional atau dengan kata lain belum terprogramkan secara nasional. Kesenjangan-kesenjangan terjadi karena tidak seimbangnya antara sisi penyediaan dengan sisi penggunaan teknologi, efektivitas mekanisme/saluran transaksi antara penyedia dan pengguna teknologi, serta permodalan dan mekanisme pengelolaan risiko sehingga mengakibatkan kurang responsifnya sektor produksi terhadap hasil litbang yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan/atau lembaga litbang. Kelemahan-kelemahan tersebut menghambat interaksi yang efektif antara penyedia dan pengguna teknologi sekaligus juga mempengaruhi kemampuan penyedia teknologi dalam mengembangkan teknologi yang relevan dan berkualitas. Untuk itu sinergi antara peneliti dengan industri ini dibutuhkan dalam bentuk kerjasama A-B-G (Academic, Bussiness, Government) agar perkembangan teknologi bisa segera dimanfaatkan oleh industri dan masyarakat. 3. Kebijakan yang ada belum mendukung penuh pengembangan litbang Kegiatan Litbang di Indonesia baik yang dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah masih relatif kecil. Menurut data dari World Development Indicator (WDI) alokasi dana litbang di Indonesia hanya sebesar 0,08% dari Gross Domestic Product (GDP). Adapun alokasi dana litbang dari pihak swasta di Indonesia hanya sebesar 0,02% dari GDP. Alokasi dana litbang oleh pihak swasta tersebut sebagian besar dikelola secara mandiri tanpa melibatkan litbang pemerintah atau perguruan tinggi. Pengelolaan mandiri tersebut tentunya sangat disayangkan karena tidak dapat memberikan pertambahan nilai bagi kemajuan litbang di Indonesia. Untuk bisa bersaing di abad teknologi dengan semakin derasnya arus impor produk barang dan jasa yang berpotensi mengancam kondisi neraca perdagangan dan neraca pembayaran maka sudah seharusnya dilakukan sinergi antara pihak swasta dan pemerintah khususnya di bidang litbang. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh litbang yang kuat tentunya akan memiliki nilai tambah yang lebih tinggi bagi bangsa Indonesia dibandingkan hanya mengandalkan ekspor bahan baku mentah serta tenaga kerja murah dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Selain itu perlu diperkuat pula oleh instrumen perlindungan, berupa kebijakan bagi pengembangan, ketahanan maupun daya saing industri di dalam negeri Rendahnya belanja litbang dari pihak swasta dibandingkan belanja litbang milik pemerintah ataupun perguruan tinggi di Indonesia terkait dengan budaya dan sudut pandang serta kepentingan yang berbeda. Untuk itu perlu ada insentif yang lebih menarik dari pemerintah bagi pihak swasta sehingga bisa mendorong kegiatan dan belanja litbang. Bab I Pendahuluan 28

Selain itu pemberian insentif dalam bentuk royalti kepada unit litbang dan peneliti yang hasil temuannya dimanfaatkan secara komersial di industri, pun perlu dilakukan. Pemerintah pun belum mengarahkan kebijakan untuk relokasi unit litbang milik perusahaan industri PMA melalui skema insentif pajak (double tax deductable) terutama bagi industri yang berorientasi ekspor dan sifat siklus umur teknologinya singkat atau berubah cepat. 4. Minimnya hasil Litbang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha Hasil litbang dalam bentuk teknologi proses/produk yang diciptakan selama ini belum mampu memenuhi kebutuhan dunia industri, terutama untuk industri yang membutuhkan teknologi tinggi dan madya, yang banyak dibutuhkan oleh industri berskala besar dan menengah. Hal ini disebabkan hasil litbang yang diciptakan masih dalam bentuk prototype atau uji coba yang pada umumnya belum dapat dikomersialisasikan atau belum mempunyai nilai ekonomis. Sementara untuk dapat dikomersialisasikan membutuhkan uji coba secara teknis-ekonomis yang membutuhkan biaya yang cukup besar. Minimnya pemanfaatan hasil litbang juga disebabkan belum optimalnya mekanisme intermediasi yang menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia hasil litbang dengan kebutuhan pengguna. Hal ini dapat dilihat dari belum tertatanya infrastruktur litbang, antara lain institusi yang mengolah dan menerjemahkan hasil litbang menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi. Di samping itu, masalah tersebut dapat dilihat dari belum efektifnya sistem komunikasi antara lembaga litbang dan pihak industri, yang antara lain berakibat pada minimnya keberadaan industri kecil menengah berbasis teknologi. 5. Belum berkembangnya budaya Litbang Industri di kalangan masyarakat Pada umumnya budaya bangsa Indonesia masih belum mencerminkan nilai-nilai iptek yang mempunyai penalaran obyektif, rasional, maju, unggul, dan mandiri. Pola pikir masyarakat belum berkembang ke arah yang lebih suka mencipta daripada sekedar memakai, lebih suka membuat daripada sekedar membeli, serta lebih suka belajar dan berkreasi daripada sekedar menggunakan teknologi yang ada. Di sisi lain masyarakat pada umumnya belum termotivasi untuk terjun ke dunia kelitbangan karena pekerjaan di bidang kelitbangan dipandang belum menjanjikan dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang lain. Di sisi lain, kebutuhan akan teknologi baru dan maju tidaklah menjadi kendala karena mudah diperoleh dari berbagai sumber di luar negeri. Bab I Pendahuluan 29

6. Manajemen keuangan yang kurang akomodatif terhadap tuntutan kegiatan litbang. Manajemen keuangan yang dianut selama ini dirasakan kurang akomodatif untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya lembaga litbang, apalagi anggaran yang dialokasikan masih jauh dari apa yang diharapkan. Pada umumnya lembaga litbang dikelola oleh Pemerintah dimana struktur kelembagaannya mengikuti sistem organisasi dan tata kelola induknya, yaitu Kementerian maupun Lembaganya. Seringkali sistem organisasi dan tata kelola tersebut tidak cocok untuk diterapkan di lembaga litbang. Sebagai contoh, penerimaan lembaga litbang dari industri ketika melakukan layanan teknis atau penyebarluasan hasil litbang harus masuk ke Pemerintah dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga lembaga litbang tersebut tidak memiliki lagi dana di akhir tahun untuk melaksanakan kegiatan litbang dan layanan teknis ke industri, sampai dana tersebut turun kembali di tahun berikutnya setelah melalui proses panjang, sementara industri tidak mau tahu dan akhirnya mengeluh lembaga litbang tersebut lamban dalam memberikan pelayanan. Di sisi lain, unit layanan teknis dituntut untuk mampu memberikan layanan publik secara prima, sementara sistem penganggaran PNBP tidak memungkinkan unit layanan bergerak secara leluasa (kecuali melalui mekanisme Badan Layanan Umum BLU), sehingga penerimaan yang seharusnya dapat ditarik menjelang akhir tahun terpaksa harus ditolak. 7. Lemahnya penguasaan teknologi oleh sektor industri yang menyebabkan daya saing produk industri lemah dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat Rendahnya kemampuan lembaga litbang dalam negeri dalam menciptakan inovasi teknologi pada umumnya dipengaruhi oleh terbatasnya jumlah SDM litbang yang berkualitas/profesional, belum memadainya sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan penelitian dan pengembangan, di samping anggaran yang dialokasikan sangat terbatas. Perlu dilakukan Peningkatan transfer teknologi melalui proyek putar kunci (turn key project) apabila belum tersedia teknologi yang diperlukan di dalam negeri. Hal tersebut juga untuk meningkatkan kemampuan akuisisi teknologi dari luar negeri, teknologi dari luar negeri yang diadakan sendiri oleh industri dalam negeri ternyata belum disertai dengan cara akuisisi yang tepat (mencari, menilai dan mengadakan negosiasi dengan pemasok teknologi, memperoleh teknologi yang sesuai kebutuhan) sehingga biaya yang ditanggung masih besar dan ketergantungan yang masih terus menerus pada pemasok teknologi dari luar negeri. Selain itu pihak pemilik teknologi di luar negeri pada umumnya memberlakukan teknologi sebagai komoditi yang memiliki nilai strategis sehingga bersikap kurang terbuka Bab I Pendahuluan 30

untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada industri dalam negeri guna menggali, meningkatkan kompetensi, dan akuisisi teknologi dari luar di atas sehingga kemampuan akuisisi teknologi dari luar masih rendah. 8. Belum adanya pemberian jaminan risiko terhadap pemanfaatan hasil litbang dalam negeri Penjaminan resiko terhadap pemanfaatan teknologi yang dikembangkan berdasarkan hasil litbang dalam negeri melalui kerja sama dengan lembaga penjamin resiko dalam negeri sampai saat ini belum dikembangkan di Indonesia. Oleh karena itu, UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, mengatur mengenai kewajiban Pemerintah melakukan Penjaminan Risiko atas Pemanfaatan Teknologi Industri yang dikembangkan di dalam negeri oleh lembaga penelitian dan pengembangan, perusahaan, dan/atau perguruan tinggi (lembaga litbang pemerintah kementerian/non kementerian, BUMN/BUMD, dan/atau Perguruan Tinggi Negeri). Penjaminan Risiko atas Pemanfaatan Teknologi Industri tersebut diberikan kepada Industri yang memanfaatkan Teknologi Industri hasil penelitian dan pengembangan yang belum teruji, yaitu teknologi industri yang bersifat pionir dan sudah teruji secara teknis/laboratorium, namum belum teruji secara komersial. Hal ini diberikan dalam rangka memperkuat daya saing Industri nasional dalam meningkatkan kemampuan Industri dalam menghadapi pasar domestik maupun internasional melalui peningkatan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas serta keunggulan produk Industri nasional; meningkatkan kemandirian industri dalam negeri, dan pelestarian fungsi lingkungan. Adapun Penjaminan Risiko atas Pemanfaatan Teknologi Industri merupakan jaminan kelayakan teknologi sebagai upaya dan komitmen dari penjamin untuk melakukan mitigasi risiko atas pemanfaatan teknologi industri. Selain itu penjaminan Risiko hanya diberikan pada hal-hal yang terkait dengan efisiensi dan efektivitas teknologi. Penjaminan risiko tersebut diberikan dalam bentuk garansi dan dapat diberikan dalam hal terjadi kegagalan penerapan teknologi industri. Apabila terjadi kegagalan penerapan teknologi dilakukan audit forensik oleh lembaga independen. Untuk penjaminan risiko tersebut, pemerintah akan mengalokasikan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber lain sesuai dengan peraturan perundangundangan. Bab I Pendahuluan 31

Adapun skema garansi sebagai berikut : Gagal Memenuhi K Terjamin (Industri Pemanfaat Teknologi) h K w b b y K Dijamin (Penghasil teknologi dari dalam negeri (lembaga penelitian, perusahaan, perguruan tinggi, dan sebagainya) yang S J Penerusan Klaim Pihak terjamin tidak mempunyai hak untuk memnyampaikan klaim kepada penjamin Gambar I-1 Skema Garansi L v w L D /L D Gambar I-2 Skema Penjaminan 9. Belum dilakukan audit teknologi terhadap teknologi yang dinilai tidak layak untuk industri Teknologi yang dinilai tidak layak untuk industri adalah antara lain, teknologi yang boros energi, beresiko pada keselamatan dan keamanan, serta berdampak negatif pada lingkungan. Audit Teknologi merupakan suatu cara untuk melaksanakan identifikasi kekuatan dan kelemahan aset teknologi dalam rangka pelaksanaan manajemen teknologi Bab I Pendahuluan 32

sehingga manfaat teknologi dapat dirasakan sebagai faktor yang penting dalam meningkatkan mutu kehidupan umat manusia dan meningkatkan daya saing. Walaupun audit teknologi dinilai penting oleh berbagai pihak, pelaksanaannya masih bersifat sporadis dan kasuistis, terutama jika terjadi masalah dalam penerapan teknologi atau terjadinya kegagalan audit atau terjadinya kegagalan teknologi (bersifat investigatif). Audit teknologi akan lebih bermanfaat jika dilakukan sebagai upaya preventif bagi perlindungan publik dan upaya motivatif bagi peningkatan daya saing. Pentingnya peranan Audit Teknologi Industri khususnya bagi perusahaan atau industri-industri yang sarat teknologi sehingga dapat diperoleh manfaat yang berdaya guna tinggi. Mendorong terjadinya transfer teknologi dari perusahaan atau tenaga kerja asing yang beroperasi di dalam negeri. 10. Belum dipahaminya persepsi Industri Hijau antar pemangku kepentingan terkait Kondisi saat ini konsep industri hijau dianggap merupakan suatu konsep yang baru dan masih belum diketahui secara luas oleh sesama aparat pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat. Mengingat internalisasi industri hijau ke dalam tupoksi Kementerian Perindustrian baru dimulai sejak tahun 2010, maka diperlukan persamaan persepsi tentang industri hijau, kriteria, upaya/program untuk mencapainya, dan manfaat penerapan industri hijau. Selain itu, mayoritas industri yang belum menerapkan standar industri hijau dalam kegiatan produksinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh belum tersedia infrastruktur yang dapat mendukung penerapan industri hijau, terbatasnya SDM yang kompeten dalam penerapan industri hijau., dibutuhkannya teknologi dan litbang yang dapat diterapkan sesuai kebutuhan industri nasional untuk pengembangan industri hijau, belum adanya insentif yang mendukung pengembangan industri hijau., perlu adanya kerjasama yang intensif dengan berbagai negara, organisasi internasional dan lembaga pendanaan untuk mendapatkan akses bantuan teknologi dan pendanaan. 11. Belum tersedianya data produk industri berbasis HKI yang akurat Belum optimalnya pembinaan, penerapan, dan pengembangan produk industri berbasis HKI, serta advokasi layanan aspek hukum yang implementatif secara baik, benar, dan tepat sasaran, mengakibatkan kurang tersedianya informasi dan data yang akurat dalam rangka proses pembuatan dan/atau penyusunan perencanaan serta perlindungan maupun pengelolaan HKI yang dapat memberikan manfaat di sektor industri. Selain itu, kontribusi hasil kekayaan intelektual berupa desain, paten dan merk dalam produk industri untuk meningkatkan nilai tambah belum optimal. Bab I Pendahuluan 33

Dengan ketersedian informasi dan data HKI yang up to date, perlindungan dan pengelolaan produk industri berbasis HKI dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan promosi dan informasi hasil invensi dan inovasi milik masyarakat industri dan/ lembaga Litbang ke calon penggunanya. Diharapkan dengan tersedianya data produk tersebut dapat mendorong produk berbasis HKI untuk meningkatkan kontribusi hasil kekayaan intelektual dalam meningkatkan nilai tambah. 12. Ketersediaan dan kapasitas infrastruktur standardisasi laboratorium penguji untuk mendukung penerapan SNI dengan semua parameter masih terbatas Salah satu kendala dalam mendukung penerapan SNI terutama SNI yang diberlakukan secara wajib selama ini adalah terbatasnya kemampuan dan jumlah laboratorium uji yang telah diakreditasi oleh KAN, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut Menteri Perindustrian telah menunjuk LSPro dan laboratorium uji sesuai kompetensinya untuk mendukung penerapan 97 SNI wajib, baik yang telah terakreditasi oleh KAN maupun yang belum. Khusus bagi yang belum terakreditasi KAN, laboratorium uji diharuskan dalam kurun waktu 2 tahun sudah terakreditasi. Disadari bahwa untuk mendapat akreditasi dari KAN bukanlah hal yang mudah karena membutuhkan ketersediaan sarana dan prasarana beserta tenaga analisnya yang cukup memadai. Pada umumnya persebaran laboraorium uji belum merata atau lebih banyak berada di Pulau Jawa, sementara pelanggan yang dihadapi berada di berbagai wilayah. Selama ini permasalahan yang sering dialami adalah kapasitas pengujian di laboratorium uji baik mengenai parameter yang diuji maupun kemampuan kuantitas melayani pengujian belum memadai. Di samping keterbatasan infrastruktur, permasalahan lain adalah terbatasnya jumlah personel sertifikasi yang memiliki kompetensi sesuai kebutuhan. Tenaga personel yang ada pada umumnya PNS yang berlatar pengalaman non teknis dan kurang memiliki kompetensi di bidang produk dan proses produksi termasuk di dalamnya sistem pengendalian dan kepastian mutu. 13. Masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap mutu Kesadaran masyarakat terhadap mutu masih sangat rendah terutama bagi masyarakat golongan menengah ke bawah. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena daya beli masyarakat atau konsumen Indonesia masih rendah mengingat mereka selalu memperhatikan produk dengan harga murah meskipun berkualitas rendah. Selama ini telah banyak kasus yang terjadi terkait dengan masalah produk yang tidak memenuhi standar atau tidak berkualitas, sehingga menyebabkan banyaknya kejadian yang Bab I Pendahuluan 34

tidak diinginkan atau musibah yang dialami oleh konsumen tingkat bawah terutama produk makanan dan mainan anak. Untuk mengatasi konsumen dari produk-produk yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan keamanan serta lingkungan, Pemerintah c.q Kementerian Perindustrian saat ini baru mampu memberlakukan 97 SNI secara wajib karena berbagai kendala yang dihadapi, seperti ketidaktersediaannya SNI yang harmonis dengan standar internasional, terbatasnya kemampuan dan kompetensi laboratorium uji maupun rendahnya kemampuan industri dalam negeri guna menerapkan ketentuan SNI. 14. Masih banyak SNI yang belum harmonis dengan standar internasional dalam mendukung perdagangan bebas; SNI di bidang Industri saat ini tercatat 4188 judul atau hampir 70% dari total SNI yang telah ditetapkan oleh BSN, namun hanya sebagian kecil yang harmonis dengan standar internasional. Banyak SNI yang tidak harmonis dengan standar internasional disebabkan pada saat penetapan SNI masih banyak mengadopsi Standar Industri Indonesia (SII) yang lama dan kemungkinan besar sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi atau kebutuhan pasar. Meskipun telah dilakukan peninjauan dan revisi terhadap SNI tersebut, namun belum dilakukan secara menyeluruh. Mengingat banyaknya SNI di bidang Industri yang tidak harmonis dengan standar internasional, maka pemanfaatan SNI sebagai salah satu instrumen technical barrier untuk menghadang produk impor sangat sulit. Bab I Pendahuluan 35

BAB II. VISI, MISI DAN TUJUAN BPKIMI II.1 VISI BPKIMI Kementerian Perindustrian sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian dituntut untuk melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan perindustrian. Apabila keseluruhan hal tersebut dapat terpenuhi, maka berarti Kementerian Perindustrian telah mampu berperan dalam mendukung pencapaian visi, misi, sasaran, dan target pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan pada RPJMN 2015 2019, serta mendukung pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara sesuai dengan amanat UUD 1945, yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Oleh karena itu, visi Kementerian Perindustrian tahun 2015 2019 adalah: Indonesia Menjadi Negara Industri Tangguh Pada Tahun 2035 Penjelasan Visi: Visi pembangunan Industri Nasional pada tahun 2035 adalah menjadi Negara Industri Tangguh yang bercirikan: 1. Struktur industri nasional yang kuat, dalam, sehat dan berkeadilan; 2. Industri yang berdaya saing tinggi di tingkat global; 3. Industri yang berbasis inovasi dan teknologi. Oleh karena itu, visi BPKIMI tahun 2015 2019 adalah: Menjadi lembaga penyedia rumusan kebijakan yang visioner dan pelayanan teknis teknologis terkini yang mampu menjadi katalis peningkatan produktivitas dan daya saing sektor industri di tingkat nasional maupun global II.2 MISI BPKIMI Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, diperlukan tindakan nyata dalam bentuk 3 (tiga) misi sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian Perindustrian sebagai berikut: 1. Mengembangkan Perwilayahan Industri guna Penyebaran dan Pemerataan Industri; Bab II Visi, Misi, dan Tujuan BPKIMI 36

2. Meningkatkan nilai tambah didalam negeri melalui pengelolaan sumber daya industri yang berkelanjutan; 3. Meningkatkan daya saing dan Produktivitas. Misi merupakan langkah utama sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Kementerian Perindustrian, oleh karena itu ada 3 (tiga) Misi atau langkah utama yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai Visi Indonesia Menjadi Negara Industri Tangguh Pada Tahun 2035. Untuk mendukung misi tersebut di atas, tindakan nyata yang akan dilakukan BPKIMI dalam bentuk 5 (lima) misi sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai berikut: 1. Mengembangkan kebijakan dan iklim usaha industri yang kondusif; 2. Meningkatkan peran standardisasi sebagai referensi pasar; 3. Mendorong pengembangan teknologi industri yang maju dan berdaya saing termasuk di dalamnya perlindungan HKI; 4. Mendorong pengembangan industri yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (industri hijau); 5. Meningkatkan penguasaan teknologi dan penggunaan SDA lokal melalui kegiatan litbang dan pelayanan jasa teknis. II.3 TUJUAN BPKIMI Untuk mewujudkan Visi dan melaksanakan Misi di atas, BPKIMI menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam 5 (lima) tahun ke depan sesuai dengan Peta Strategis Kementerian Perindustrian yaitu Terbangunnya Industri yang Tangguh dan Berdaya Saing. Ukuran keberhasilan pencapaian tujuan tersebut akan dijelaskan dalam bagian Sasaran Strategis BPKIMI. Adapun, tujuan BPKIMI adalah : 1. Mewujudkan kebijakan di bidang inovasi teknologi, standardisasi, iklim usaha, industri hijau dan kelitbangan dalam rangka mendorong daya saing industri nasional; 2. Mendorong peningkatan pelayanan teknis teknologis dan fokus pada pemecahan masalah yang dihadapi sektor industri; 3. Meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi maju dalam rangka meningkatkan produktivitas dan daya saing industri Bab II Visi, Misi, dan Tujuan BPKIMI 37

II.4 SASARAN STRATEGIS BPKIMI Dalam mewujudkan tujuan tersebut, diperlukan upaya-upaya sistematis yang dijabarkan ke dalam sasaran-sasaran strategis yang mengakomodasi Perspektif Pemangku kepentingan, Perspektif Proses Internal, dan Perspektif Proses Internal, dan Perspektif Pembelajaran Organisasi. Sasaran strategis dan Indikator Kinerja Sasaran Strategis Kementerian Perindustrian untuk periode tahun 2015 2019 adalah sebagai berikut: A. PERSPEKTIF PEMANGKU KEPENTINGAN Kementerian Perindustrian memiliki Sasaran Strategis : 1. Sasaran Strategis 1: Meningkatnya Pertumbuhan Industri; 2. Sasaran Strategis 2: Meningkatnya Penguasaan Pasar Dalam dan Luar Negeri; 3. Sasaran Strategis 3: Meningkatnya investasi di sektor industri; 4. Sasaran Strategis 4: Meningkatnya Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Industri; 5. Sasaran Strategis 5: Meningkatnya Penyebaran dan Pemerataan Industri; 6. Sasaran Strategis 6: Kuatnya Struktur Industri; Dari Sasaran Strategis Kementerian Perindustrian tersebut, BPKIMI memiliki Indikator Kinerja Utama (IKU) yang meliputi Sasaran Strategis : 1. Sasaran Strategis 1: Meningkatnya investasi di sektor industri, dengan indikator kinerja sasaran strategis yaitu: 1) Pertumbuhan Industri Pionir dan Industri Prioritas 2. Sasaran Strategis 2: Kuatnya Struktur Industri, dengan indikator kinerja sasaran strategis yaitu: 1) Penurunan Impor Produk Industri yang SNI, ST dan/atau PTC Diberlakukan Secara Wajib; B. PERSPEKTIF PROSES INTERNAL 1. Sasaran Strategis 1: Meningkatnya Penguasaan Teknologi Industri dan Penerapan HKI, dengan indikator kinerja sasaran strategis yaitu: 1) Pertumbuhan Pengembangan Teknologi Industri 2) Pertumbuhan Penerapan Inovasi Teknologi Industri 3) Pertumbuhan Penerapan HKI di Sektor Industri 2. Sasaran Strategis 2: Meningkatnya Industri yang Menerapkan Prinsip-Prinsip Industri Hijau, dengan indikator kinerja sasaran strategis yaitu: Bab II Visi, Misi, dan Tujuan BPKIMI 38

1) Pertumbuhan Industri yang Menerapkan Konservasi Energi 2) Jumlah Kebijakan dan Infrastruktur Industri Hijau 3. Sasaran Strategis 3: Meningkatnya Kualitas Layanan Publik Kepada Pelaku Usaha Industri dan Masyarakat, dengan indikator kinerja sasaran strategis yaitu: 1) Indeks kepuasan pelanggan. C. PERSPEKTIF PEMBELAJARAN ORGANISASI 1. Sasaran Strategis 1: Meningkatnya Fasilitasi Kelembagaan Teknologi, Industri Hijau, Sarana dan Prasarana dan SDM dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing Industri, dengan indikator kinerja sasaran strategis yaitu: 1) Peningkatan paket peralatan Laboratorium dan Sarana Pendukung Balai. 2) Peningkatan Kompetensi SDM BPKIMI. 2. Sasaran Strategis 2: Terwujudnya Kebijakan dan Program BPKIMI yang Berkualitas dan Berkelanjutan, dengan indikator kinerja sasaran strategis yaitu: 1) Tingkat Persetujuan Rencana Kegiatan; 2) Tingkat Kesesuaian Realisasi Anggaran dengan Target yang Ditetapkan pada Awal Tahun Anggaran; 3) Tingkat Kesesuaian Realisasi Fisik dengan Target yang Ditetapkan pada Awal Tahun Anggaran 3. Sasaran Strategis 4: Sistem Tata Kelola Keuangan dan Barang Milik Negara (BMN) yang Transparan dan Akuntabel, dengan indikator kinerja sasaran strategis yaitu: 1) Penyelesaian Temuan Tertib Pengelolaan Anggaran Bab II Visi, Misi, dan Tujuan BPKIMI 39

Gambar II-1 Peta Strategis Tahun 2015 2019 Rencana Strategis BPKIMI Bab II Visi, Misi, dan Tujuan BPKIMI 40