BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan bagi keluarga, sehingga hutan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai satu kesatuan. Bagi masyarakat modern hutan memiliki berbagai macam fungsi seperti fungsi ekonomi, fungsi perlindungan, dan fungsi keindahan (Simon, 2006). Menurut Simon (2008), perkembangan pengelolaan hutan yang ada di Jawa telah mengalami pergeseran paradigma yaitu dari paradigma konvensional yang menitik beratkan pada pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu dengan memberikan keuntungan finansial yang sebesar-besarnya bagi pengelola atau perusahaan hutan, menjadi paradigma social forestry yaitu pengelolaan hutan yang berorientasi kepada pemenuhan kemakmuran masyarakat sambil tetap menjaga fungsi hutan untuk perlindungan lingkungan. Paradigma social forestry dibedakan antara Forest Resource Management (FRM) dan Forest Ecosystem Management (FEM) yang membedakan dari keadaan fisik wilayahnya, baik fungsi ekonomi maupun fungsi lindungnya. Secara garis besar FRM akan lebih banyak fungsi untuk memenuhi fungsi ekonomi, kemudian fungsi sosial budaya dan terakhir fungsi perlindungan sedangkan FEM porsi fungsi perlindungan lingkungan hidup yang lebih besar diikuti fungsi ekonomi dan terakhir fungsi sosial budaya (Simon, 2007;48,2000;86) 1
Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi pergeseran paradigma dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Pergesaran paradigma ini disebabkan oleh perubahan kondisi sumberdaya hutan dan sosial ekonomi masyarakat. Paradigma yang digunakan pertama kali yaitu paradigma Kehutanan Konvensional. Paradigma ini menganggap kayu sebagai satu-satunya hasil hutan yang mendatangkan uang. Pada paradigma ini hasil hutan lainnya tidak mendapat perhatian yang serius. Kebijakan yang ditetapkan mengarah pada memperoleh hasil hutan kayu yang maksimal. Pandangan konservasi dan perlindungan belum menjadi aspek yang dipertimbangkan secara serius dalam kegiatan pengelolaan hutan. Paradigma kehutanan konvensional memiliki dua strategi pengelolaan yaitu timber extraction dan timber management. Strategi timber extraction tidak dilakukan permudaan karena pada awalnya laju permudaan alam mampu mengimbangi laju penebangan, akan tetapi lama kelamaan laju permudaan alam ini tidak mampu lagi mengimbangi laju penebangan, sehingga terjadi kerusakan sumberdaya hutan. Kemudian bergeser ke strategi timber management, dengan menggunakan prinsip kelestarian hasil (sustainable yield principle) sebagai landasannya (Awang, 2003). Berakhirnya penerapan strategi ini karena kerusakan sumberdaya hutan diakibatkan konflik pertentangan antara masyarakat dengan pemerintahan sehingga tekanan sosial ekonomi terhadap sumberdaya hutan semakin meningkat. Dengan adanya kerusakan hutan yang semakin parah akibat dari beberapa alasan yaitu pemanfaatan sumberdaya hutan yang semakin meningkat karena tingkat kebutuhan masyarakat semakin meningkat, tuntunan sosial ekonomi masyarakat, pencurian kayu sudah mulai tinggi, kegagalan dalam pembuatan tanaman dan 2
ditambah lagi dengan akumulasi konflik pada berakhirnya jaman orde baru yaitu penjarahan kayu yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan oknum petugas yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan jutaan pohon hilang dan ratusan ribu hektar hamparan tanah kosong sehingga mulai diberlakukannya paradigma social forestry/kehutanan sosial (Awang, 2004). Tujuan kehutanan sosial telah tersirat dalam UU No. 41 Tahun 1999 dalam pasal 23 yaitu pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 huruf b, bertujuan memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Tujuan ini dapat diartikan bahwa isu-isu yang dihadapi mulai ada cara penyelesaiannya yaitu kerusakan sumberdaya hutan, kekurangan pangan dan energi, serta pengangguran. Selain itu paradigma kehutanan sosial memberikan peluang yang lain yaitu membuka kesempatan kerja dan pendapatan, baik di bidang kehutanan maupun dalam pengolahan hasil. Cara-cara yang dapat digunakan untuk mengatasi isu-isu/ permasalahan yang dihadapi yaitu : 1. Mengatasi isu deforestasi: dilakukan dengan kegiatan penanaman pohon serta menciptakan kelestarian penggunaan lahan untuk mengurangi masalah kerusakan hutan, melakukan kegiatan persuasif kepada masyarakat untuk tidak menanam di lahan miring dan menebang pohon-pohon tanpa kendali lingkungan. 2. Penyediaan kayu bakar: dilakukan dengan penanaman jenis pohon pada lahan hutan negara yang diperuntukkan untuk kayu bakar masyarakat (Awang, 2003). 3
Salah satu program kehutanan sosial di Indonesia adalah Hutan Kemasyarakatan (HKm). Tujuan yang ingin dicapai dalam program HKm yaitu untuk mengatasi degradasi hutan dan mengurangi kemiskinan masyarakat desa dalam satu paket program dengan membuka akses masyarakat setempat, khususnya yang sangat tergantung pada sumberdaya dan langsung menggunakannya (selanjutnya kita sebut sebagai masyarakat lokal/masyarakat desa hutan (MDH)) melalui proses demokratis perumusan program dan pengambilan keputusan serta pelaksanaan kegiatan hutan (Gauld, 2000 dalam Maryudi et.al,2012). Menurut P.37/2007, Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. Kawasan hutan yang dapat dialokasikan untuk HKm adalah hutan lindung dan hutan produksi. Melalui HKm, masyarakat dapat memperoleh hak pemanfaatan hutan selama jangka waktu 35 tahun. Hutan kemasyarakatan juga dapat diartikan sebagai salah satu sistem pengelolaan hutan yang ditujukan untuk mendukung kehidupan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dengan meningkatkan daya dukung lahan dan sumberdaya alam tanpa mengurangi fungsi pokoknya (Suyanto, 1996). Pelaksanaan hutan kemasyarakatan diprioritaskan pada masyarakat setempat yang kehidupannya tergantung pada sumberdaya hutan. Hutan dan masyarakat sekitarnya merupakan satu kesatuan ekosistem yang satu sama lain saling ketergantungan. Hutan bagi masyarakat tradisional dianggap sebagai sumber penghasil makanan/kebutuhan, seperti buah-buahan, berburu binatang, bahan bakar, dan lain-lain. Sebaliknya masyarakat modern lebih memandang 4
hutan sebagai sumber bahan mentah bagi proses manufaktur untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih lanjut. Atas dasar ini, semua diaktualisasikan dalam bentuk pemberian hak pengusahaan kepada masyarakat lokal untuk mengusahakannya (Wardoyo, 1997). Keberhasilan pembangunan kehutanan sangat ditentukan oleh sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat dalam berkontribusi terhadap upaya pengelolaan hutan dan kualitas sumberdaya manusia yang mendukungnya. Dalam upaya pengembangan kualitas masyarakat khususnya yang bermukim di dalam dan sekitar hutan agar maju dan mandiri sebagai pelaku pembangunan kehutanan, maka strategi pemberdayaan masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan mutlak dilaksanakan (Mairi, 2003). Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki. (Sulistiyani, 2004) Pada kenyataannya dilapangan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kehutanan masih lemah karena belum didukung oleh kelembagaan masyarakat yang kuat antara lain pengetahuan dan ketrampilan yang rendah, sistem pengorganisasian yang belum sempurna, kesulitan memperoleh modal dan akses pemasaran yang belum memadai. Padahal aspek kelembagaan mempunyai peranan sangat besar bagi kesuksesan pembangunan hingga dapat dikatakan 5
bahwa kegagalan pembangunan umumnya dikarenakan lemahnya kelembagaan yang ada termasuk sektor kehutanan. Dalam rangka mewujudkan masyarakat mandiri sebagai pelaku pembangunan kehutanan dimasa yang akan datang sebagaimana semangat dalam program Social Forestry maka hal yang sangat penting dilakukan adalah membangun, memperkuat dan mengembangkan kelembagaan masyarakat yang terkait dengan pembangunan kehutanan (Mairi, 2003). Untuk itu diperlukan suatu analisis terhadap kelembagaan masyarakat agar tercapai pembagungan kehutanan yang sukses. Pentingnya analisis kelembagaan yaitu untuk memperkuat pengetahuan dan ketrampilan, menjadikan sistem pengorganisasian lebih sempurna, memberikan akses pemasaran yang belum memadai dan memberikan kemudahan untuk memperoleh bantuan modal. Penelitian ini dilakukan di Desa Getas, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, tepatnya di Dusun Gubugrubuh dimana HKm itu berada. Hutan kemasyarakatan di Desa Getas berada di petak 74 yang merupakan hutan produksi yang dicadangkan untuk pengelolaan hutan kemasyarakatan seluas 57,4 Ha. Desa Getas dipilih sebagai lokasi penelitian karena daerah ini menarik untuk dilakukan penelitian terkait dengan sosial budaya masyarakatnya. Sosial budaya masyarakat Desa Getas kaitannya dalam pengelolaan hutan yaitu terlihat dari pemanfaatan lahan hutan kemasyarakatan (HKm) sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup pada masyarakatnya serta adat istiadat yang berkaitan dengan kehutanan yang masih dijalankan seperti tradisi Selamatan dan Gumrekan. Dari 3 kelompok tani hutan kemasyarakatan yang ada di Desa Getas yaitu KTHKm Wana Lestari I, KTHKm Wana Lestari II dan KTHKm Wana Makmur, 6
kelembagaan KTHKm Wana Lestari II dipilih karena kondisi fisik lahan andil HKm yang ditangani oleh KTHKm (Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan) serta kelembagaan yang ada di kelompok tersebut sudah dapat mewakili KTHKm yang lain. 1.2 Perumusan Masalah Beberapa permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana sistem kelembagaan dalam pengelolaan HKm yang ada di Desa Getas? 2. Bagaimana dinamika kelembagaan kelompok tani HKm di Desa Getas? 3. Problematika apa saja yang dihadapi kelompok tani HKm ini dan bagaimana alternatif solusinya? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui sistem kelembagaan dalam pengelolaan HKm yang ada di Desa Getas. 2. Mengetahui dinamika kelembagaan kelompok tani HKm di Desa Getas. 3. Mengetahui problematika apa saja yang dihadapi kelompok tani HKm dan alternatif solusinya. 7
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Memperoleh informasi yang dapat digunakan menjadi bahan pembelajaran dan evaluasi dalam pengembangan dan pengelolaan kelembagaan masyarakat lokal dalam mengelola hutan kemasyarakatan (HKm) di masa mendatang. 2. Memberikan masukan bagi pihak pengambil kebijakan dalam perumusan kebijakan dan dapat menjadi acuan untuk menetapkan proses-proses pembinaan selanjutnya. 8