BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia dengan nomor 19/Ka.Kom.Et/70/KE/III/2016. 4.1.1. Hasil Pengamatan Neuron Pyramidal CA1 Hippocampus A B C D Gambar 5. (a) Letak neuron pyramidal CA1 hippocampus Rattus novergicus (perbesaran 40x). (b) Neuron pyramidal CA1 hippocampus Rattus novergicus kelompok kontrol (perbesaran 400x). (c) Neuron pyramidal CA1 hippocampus Rattus novergicus kelompok perlakuan 1 (perbesaran 400x). (d) Neuron pyramidal CA1 hippocampus Rattus novergicus kelompok perlakuan 2 (perbesaran 400x) Pengamatan neuron pyramidal CA1 hippocampus dilakukan menggunakan mikroskop Olympus CX21 dengan perbesaran 400x. Hasil pengamatan pada neuron
pyramidal CA1 hippocampus tikus (Rattus novergicus) dari kelompok kontrol, perlakuan 1, dan perlakuan 2, disajikan dalam gambar 5. Berdasarkan hasil pengamatan, ekspresi bax ditandai dengan timbulnya warna cokelat pada neuron pyramidal CA1 hippocampus. Gambar A (perbesaran 40x) panah merah menunjukkan letak neuron pyramidal CA1 hippocampus tikus (Rattus novergicus). Pada gambar B (kelompok kontrol) tidak terdapat ekspresi bax, hal tersebut berdasarkan pada pengamatan sel neuron pyramidal CA1 hippocampus yang tidak memperlihatkan warna cokelat. Gambar C (kelompok perlakuan 1) memperlihatkan warna cokelat pada seluruh neuron pyramidal CA1 hippocampus. Warna cokelat tersebut menunjukkan adanya ekspresi bax. Gambar D (kelompok perlakuan 2) menunjukkan ada sel yang mengekspresikan bax, ada juga sel yang tidak mengekspresikan bax. 4.2. Analisis Data Penelitian Hasil pengamatan ekspresi bax pada neuron pyramidal CA1 hippocampus antara kelompok kontrol, perlakuan 1, dan perlakuan 2 dianalisa dengan menggunakan uji one way anova. Sebelum dilakukan uji one way anova, dilakukan uji normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk. Selanjutnya dilakukan uji homogenisitas data dengan uji levene. Uji Shapiro-Wilk menunjukkan bahwa subjek berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji levene menunjukkan subjek berasal dari popolasi yang homogen. Tabel 4. Data Skor Allred Ekspresi Bax Kelompok Minimum Maksimum Mean SD One way anova Kontrol 0,00 0,00 0,00 0,00 Perlakuan 1 3,00 8,00 6,60 2,07 0,000 Perlakuan 2 1,86 4,18 3,09 0,97
Tabel diatas menunjukkan nilai minimum, maksimum, mean, standar deviasi dan uji one way anova Ekspresi Bax dari kelompok kontrol, perlakuan 1, dan perlakuan 2. Pada kelompok kontrol, rerata terendah adalah 0,00 dan yang tertinggi adalah 0,00 dengan mean 0,00 (SD = 0,00). Kelompok perlakuan 1 memiliki rerata terendah 3,00 dan yang tertinggi sebesar 8,00 dengan mean 60 (SD = 2,07). Kelompok perlakuan 2 memiliki rerata terendah 1,86 dan yang tertinggi sebesar 4,18 dengan mean 3,09 (SD = 0,97). Uji one way anova dengan menggunakan α = 95%, didapatkan nilai P value sebesar 0,000. Hal ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan jumlah ekspresi Bax yang signifikan minimal 2 kelompok dari tiga kelompok penelitian. Analisis dilanjutkan dengan menggunakan uji post-hoc untuk menilai kelompok mana yang memiliki perbedaan bermakna. Pada uji post-hoc, didapatkan adanya perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan 1 (P1) dengan nilai P = 0,000. Perbedaan bermakna ditunjukkan pada perbandingan kelompok perlakuan 1 (P1) dengan kelompok perlakuan 2 (P2). Hal ini dibuktikan dengan nilai P = 0,002. Perbedaan bermakna juga terdapat pada kelompok perbandingan kontrol dengan perlakuan 2 (P2) dengan nilai P = 0,007. 4.3. Pembahasan Ekspresi Bax pada neuron pyramidal CA1 hippocampus dinilai dengan uji one way anova dan post-hoc didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol, perlakuan 1 (P1), dan perlakuan 2 (P2). Nilai tersebut menunjukkan bahwa pemberian sodium nitrit subakut pada kelompok perlakuan 1 (P1) dapat meningkatkan ekspresi Bax pada neuron pyramidal CA1 hippocampus tikus (Rattus novergicus). Selain itu, nilai uji tersebut juga menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun pegagan pada kelompok Perlakuan 2 (P2) dapat menurunkan ekspresi Bax pada neuron pyramidal CA1 hippocampus tikus (Rattus novergicus) yang diinduksi sodium nitrit subakut.
Penelitian lain yang mendukung penelitian ini yaitu penelitian oleh Anda, P. T., (2015) yang menyebutkan bahwa pemberian sodium nitrit 50mg/kgBB/hari selama 42 hari memiliki pengaruh terhadap jumlah sel purkinje serebelum. Pada penelitian tersebut, berdasarkan hasil uji one way anova dan post hoc test didapatkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok yang tidak diberikan intervensi dan kelompok percobaan 1 yang diberikan sodium nitrit. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sodium nitrit memiliki efek yang signifikan pada kerusakan sel purkinje serebelum. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Lyhatskiy et al. (2013). Penelitian ini menyebutkan bahwa induksi sodium nitrit 45mg/kgBB/hari menyebabkan peningkatan kadar methemoglogin yang signifikan dalam darah. Selain itu, terjadi peningkatan kadar NO2- yang signifikan pada jaringan yang menyebabkan intoksikasi endogen. Intoksikasi tersebut yang menyebabkan kematian sel. Menurut Yuningsih (2007), nitrit yang masuk ke dalam tubuh dapat mempengaruhi kemampuan eritrosit dalam membawa oksigen. Ketidakmampuan eritrosit membawa oksigen tersebut terjadi karena hemoglobin dalam eritrosit berikatan dengan NO membentuk methemoglobin sehingga kadar hemoglobin sehingga kadar hemoglobin dalam eritrosit berkurang. Hal ini menyebabkan saturasi oksigen-hemoglobin menurun dan menyebabkan hipoksia jaringan (Lunberg, 2008). Jika hipoksia terjadi terus menerus, akan menyebabkan perburukan fungsi mitokondria dan peningkatan permeabilitas membran sel yang selanjutnya menyebabkan kerusakan morfologik maupun kematian sel (Kumar, 2012). Kematian sel secara terprogram atau apoptosis menyebabkan protein Bax mengalami perubahan konfirmasi dan masuk ke dalam membran organel terutama membran luar mitokondria (Hadi, 2011). Dalam hasil penelitian ini, pemberian sodium nitrit subakut dapat meningkatkan ekspresi Bax pada neuron pyramidal CA1 hippocampus sebagai penanda adanya proses apoptosis. Hal tersebut di buktikan dengan adanya perbedaan bermakna pada uji post-hoc test antara kelompok kontrol dengan kelompok P2. Sementara itu,
pemberian ekstrak etanol pegagan (Centella asiatica) dapat mencegah terjadinya apoptosis yang ditandai dengan menurunnya ekspresi Bax pada neuron pyramidal CA1 hippocampus. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai uji post-hoc test antara kelompok P1 dan P2 yang bermakna. Perbedaan bermakna juga ditunjukkan pada nilai uji post-hoc test antara kelompok kontrol dengan kelompok P2. Hal tersebut membuktikan masih terdapat perbedaan ekspresi Bax antara kelompok kontrol dengan kelompok P2. Ekspresi Bax pada kelompok P2 lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Pegagan (Centella asiatica) merupakan tanaman yang telah digunakan sebagai obat herbal sejak beberapa ribu tahun yang lalu. Flavonoid merupakan salah satu kandungan yang terdapat dalam Centella asiatica yang berperan sebagai agen neuroprotektif. Flavonoid dan metabolitnya dapat melindungi otak dari jejas yang diinduksi neurotoksin. Dalam mencegah inflamasi, flavonoid menekan ekspresi COX-2 dan inos, produksi NO, pelepasan sitokin, aktivasi NADPH oksidase, dan pembentukan ROS. Selain berfungsi sebagai antioksidan dan antiinflamasi, flavonoid meningkatkan aliran darah otak dan memicu neurogenesis di hippocampus (Halim, 2013). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Priyantiningrum et al. (2015) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol pegagan (Centella asiatica) terhadap jumlah sel neuron di korteks prefrontalis tikus (Rattus novergicus) yang diberi perlakuan stres menyimpulkan, pegagan (Centella asiatica) berpengaruh terhadap peningkatan jumlah sel neuron Rattus novergicus. Oleh karena itu, pegagan dapat menghambat kematian sel akibat stres. Kuswati et al. (2015) dalam penelitiannya menyimpulkan ekstrak etanol daun pegagan dapat meningkatkan ekspresi protein antiapoptosis B-cell lymphoma (Bcl-2) di korteks prefrontalis tikus Sprague Dawley yang diberi perlakuan stres retrain kronik.
Penelitian tentang peran Centella asiatica juga dilakukan oleh Subathra et al. (2005). Dalam penelitian tersebut diberikan ekstrak Centella asiatica per oral dengan dosis 300 mg/kgbb/hari selama 60 hari untuk mencegah perubahan yang berhubungan dengan penuaan pada sistem pertahanan antioksidan. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa Centella asiatica sebagai antioksidan memiliki efek neuroprotektif yang signifikan dalam melindungi otak tikus terhadap kerusakan oksidatif. Penelitian lain yang mendukung efek neuroprotektif pegagan adalah penelitian Kumar et al., (2009) yang menyatakan Centella asiatica memiliki efek protektif terhadap kerusakan kognitif yang berhubungan dengan kerusakan oksidatif yang di akibatkan induksi colchicine.