BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi

1 32 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Deskripsi Subjek Penelitian Subyek penelitian ini yaitu tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Wistar, usia 90 hari dengan berat badan gram dan telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah hewan coba sebanyak 15 ekor, terbagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok kontrol (P1) atau kelompok tikus yang diberi makan normal, kelompok perlakuan 1 (O1) yaitu tikus dengan diet tinggi, dan kelompok perlakuan 2 (O2) yaitu tikus dengan diet tinggi lemak dan dilakukan intermittent fasting selama 72 hari. Berikut ini merupakan tabel yang karakteristik subjek penelitian berdasarkan berat badan (Tabel 1). Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan berat badan Kelompok Subjek Berat Badan awal BB Post-HFD (gram) (gram) T P1 T T T T T O1 T T T T T O2 T T T

2 33 T Dari tabel di atas (Tabel 1) didapat bahwa berat badan tikus awal minimal 120 gram dan berat badan maksimal 200 gram. Dan tikus dinyatakan sehat dengan melihat keadaan fisik tikus yaitu tidak terdapat abnormalitas anatomis yang tampak, bergerak aktif, tidak sakit atau terlihat lemas dan tidak mati selama masa adaptasi 7 hari. Sehingga subjek penelitian telah memenuhi kriteria inklusi. Data berat badan awal dari setiap kelompok perlakuan (P1, O1, O2) tidak terdapat perbedaan yang bermakna dengan uji Kruskal-wallis (p > 0,05). Data berat badan setelah diberi makan tinggi lemak dari setiap kelompok perlakuan (P1, O1, O2) terdapat perbedaan yang bermakna dengan uji One way ANOVA (p<0,05) dan dilanjutkan dengan uji post hoc didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok tikus P1-O2 (p<0,05) dan O1-O2 (p<0,05), namun tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok P1-O1 (p>0,05). Data berat badan awal dan setelah diberi diet tinggi lemak telah meningkat didapatkan perbedaan bermakna dengan uji Wilcoxon (p<0,05). Grafik rerata berat badan tikus Rerata Berat Badan post-hfd Mean P1 O1 O2 Kelompok perlakuan setelah mendapatkan diet tinggi lemak dapat dilihat pada gambar 8. Gambar 8. Grafik rerata berat badan post-hfd antar kelompok P1, O1 dan O2

3 34 Protokol penelitian telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia nomor 02/Ketua/70/KEFKUII/III/ Hasil Pengamatan Mikroskopis Sel Adiposit Sumsum Tulang Jumlah adiposit didapatkan dengan cara menghitung sel adiposit pada seluruh lapang pandang 1 irisan tulang vertebra L4 tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar. Data yang digunakan merupakan rerata jumlah adiposit yang dihitung oleh dua orang peneliti. Hasil pengamatan dapat A T B T S S C S dilihat pada gambar berikut: T Gambar 9. Gambaran adiposit sumsum tulang kelompok P1 (A), kelompok O1 atau tikus dengan diet tinggi lemak tanpa IF (B) dan kelompok O2 atau tikus dengan diet tinggi lemak dan IF (C)

4 35 Keterangan: tanda (panah biru) menunjukan adiposit sumsum tulang, (T) menunjukan tulang dan (S) menunjukan sumsum tulang merah (perbesaran 400x dengan pewarnaan HE) Hasil Perhitungan Jumlah Adiposit Sumsum Tulang Hasil perhitungan jumlah adiposit sumsum tulang pada kelompok P1, O1 dan O2 dapat dilihat dalam tabel 2. Dan dari gambar 12 didapatkan hasil bahwa jumlah adiposit sumsum tulang terendah terdapat pada kelompok O1 (tikus dengan diet tinggi lemak tanpa IF) dan tertinggi adalah kelompok P1 (kontrol). Tabel 2. Hasil pengamatan sel adiposit sumsum tulang Kelompok No. tikus Rata-rata adiposit Mean Std. deviation T , ,9619 T5 339 T16 20 Kontrol (P1) T18 170,5 T Perlakuan 1 (O1) Perlakuan 2 (O2) T , ,1828 T6 75 T12 67,5 T10 98,5 T21 110,5 T4 44,5 135, ,2357 T T15 104,5 T T19 134,5 Jumlah Adiposit Setiap Kelompok Rata-rata Jumlah Adiposit , ,1 +22, ,7 +83, ,9 0 P1 O1 O2 Kelompok perlakuan

5 36 Gambar 10. Grafik jumlah adiposit sumsum tulang antara kelompok P1, O1 dan O Analisis Data Penelitian Perbedaan data jumlah adiposit yang didapatkan oleh peneliti 1 dan peneliti 2 diuji dengan uji T berpasangan. Sebelum dilakukan uji T berpasangan, dilakukan uji normalitas dengan Shapiro-Wilk dan uji homogenisitas dengan uji Levene. Berdasarkan uji normalitas dan uji homogenisitas dapat diketahui bahwa jumlah sel adiposit pada kelompok kontrol (P1) dan perlakuan (O1, O2) berdistribusi normal (p>0,05), tetapi tidak memiliki varian yang sama (p<0,05). Namun, pada uji T berpasangan, uji homogenitas ini tidak harus sama sehingga tetap dapat dilanjutkan uji T berpasangan. Berdasarkan hasil uji T berpasangan tidak terdapat perbedaan data jumlah adiposit yang didapatkan peneliti 1 dan peneliti 2 pada setiap kelompok (p>0,05). Setelah didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan data yang didapatkan oleh kedua peneliti, data kedua peneliti dirata-rata. Untuk melihat perbedaan jumlah adiposit antara kelompok kontrol dan perlakuan, data rata-rata jumlah adiposit tersebut di uji dengan uji one way ANOVA. Sebelum dilakukan uji one way ANOVA, dilakukan uji normalitas data dengan Shapiro-Wilk dan uji homogenisitas dengan uji Levene sebagai syarat uji one way ANOVA. Didapatkan hasil uji normalitas data dan uji homogenitas data normal (p> 0,05), sehingga dilanjutkan dengan uji one way ANOVA dan didapatkan hasil p>0,05 yang artinya tidak terdapat perbedaan bermakna rata-rata jumlah adiposit antar kelompok (P1, O1, O2) Pembahasan Berdasarkan analisis data menggunakan One way ANOVA dapat disimpulkan bahwa jumlah adiposit sumsum tulang vertebra L4 tikus (Rattus norvegicus) antara kelompok kontrol (P1), kelompok diet tinggi lemak tanpa intermittent fasting (O1) dan kelompok diet tinggi lemak

6 37 dengan intermittent fasting (O2) tidak memiliki perbedaan rata-rata jumlah adiposit sumsum tulang yang bermakna (p >0,05). Penelitian ini menunjukkan gambaran jumlah adiposit sumsum tulang tikus dengan diet tinggi lemak tidak berbeda dengan tikus dengan diet normal ad libitum. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menunjukan bahwa adiposit sumsum tulang terbukti meningkat pada kondisi obesitas. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa diet tinggi lemak (60% Kcal lemak) selama enam minggu didapatkan peningkatan fraksi jaringan adiposit sumsum tulang sebanyak + 363% dibandingkan dengan tikus yang diberi makan normal. Demikian pula, rata-rata luas adiposit meningkat dari mm 2 menjadi mm 2 atau sekitar meningkat + 72% pada kelompok tikus dengan diet tinggi lemak dibanding kontrol. Serta terjadi peningkatan kadar trigliserida sumsum tulang + 48% pada tikus dengan tinggi lemak dibanding kontrol (Adler et al., 2014). Peningkatan kadar lemak bebas yang didapatkan dari asupan makanan tinggi lemak akan disimpan sebagian di sumsum tulang sebagai cadangan energi yang akan digunakan untuk metabolisme didalam sumsum tulang (Cao, et al., 2009; Doucette et al., 2015; Rosen, et al., 2009; Tripathy, 2014). Perubahan gambaran sumsum tulang pada tikus dengan IF pada penelitian ini tidak berbeda dengan kelompok diet tinggi lemak. Namun, pada Devlin et al (2010) menunjukkan sebaliknya. Tikus yang dilakukan restriksi diet terjadi peningkatan sel adiposit sumsum tulang, meningkatkan massa tulang trabekular, tetapi menurunkan massa tulang kortikal dibandingkan dengan kelompok tikus tanpa restriksi diet. Pada manusia, restriksi diet berlebihan seperti pada pasien dengan anoreksia nervosa mengalami peningkatan sel adiposit sumsum tulang, hal ini dikaitkan dengan peningkatan risiko fraktur dan osteoporosis pada saat dewasa. Peningkatan sel adiposit sumsum tulang juga terjadi pada kondisi kelaparan, penuaan, osteoporosis dan pengobatan glukokotikoid yang meningkatkan infiltrasi lemak kedalam sumsum tulang sehingga terjadi akumulasi adiposit

7 38 pada sumsum tulang yang merupakan mekanisme terjadinya oseteoporosis tersebut (Devlin et al., 2010). Pada Gevers et al (2002), pada tikus yang diberi perlakuan diet tinggi lemak dengan 60% lemak selama 11 minggu, didapatkan peningkatan berat badan 15% lebih tinggi dari pada kelompok kontrol, dan terjadi peningkatan presentase lemak sumsum tulang akibat peningkatan ukuran adiposit, tetapi bukan karena peningkatan jumlah adipositnya. Namun, pada kondisi defisiensi GH mampu meningkatkan presentase, ukuran serta jumlah adiposit sumsum tulang dan menurunkan massa lemak. Sebaliknya, pada pemberian infus growth hormone (GH) selama 7 hari mampu menurunkan presentase ukuran serta jumlah adiposit sumsum tulang. Hal ini diperantarai akibat terjadi gangguan pada perubahan pre-adiposit menjadi adiposit dewasa sehingga menurunkan jumlah adiposit dan memicu lipolisis akibat adanya reseptor GH pada permukaan adiposit yang menunjukan bahwa GH memiliki efek langsung pada adiposit. Pada pasien anoreksia nervosa, meskipun berat badannya rendah namun berbanding terbalik dengan adiposit sumsum tulang yang mengalami peningkatan. Hal tersebut menunjukan bahwa adiposit sumsum tulang tidak berhubungan dengan berat badan dan IMT. Pada penelitian ini juga disebutkan bahwa adiposit sumsum tulang juga berbeda dengan adiposit pada dilokasi lain seperti adiposit yang terdapat dibagian viseral dan subkutan. Adiposit sumsum tulang kurang responsif terhadap diet tinggi lemak, sedangkan sel adiposit yang terdapat di subkutan dan viseral lebih responsif terhadap diet sehari-hari terutama pada diet tinggi lemak dan dapat meningkatkan ukuran adiposit secara signifikan. Pada tikus, sel adiposit subkutan dan viseral memiliki ekspresi gen spesifik adiposa lebih rendah dan ekspresi gen untuk respon inflamasinya tinggi. Sehingga peningkatan adiposit subkutan dan viseral berhubungan dengan munculnya berbagai penyakit terkait dengan tingginya respon inflamasi yang terjadi dan merupakan pemicu terjadinya kematian dini (Devlin et al., 2010; Hardouin et al., 2014).

8 39 Pada penelitian ini masih terdapat beberapa keterbatasan. Keterbatasan tersebut antara lain waktu penelitian yang tidak terlalu lama, pemberian pakan tikus yang terkadang tidak tepat waktu, serta pakan yang diberikan tidak dapat dihitung total kalori secara tepat.