BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH KLABANG

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Subsatuan Punggungan Homoklin

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH BERUAK DAN SEKITARNYA, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TUGAS AKHIR A

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Beruak dan Sekitarnya, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Foto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Ciri Litologi

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli

Batupasir. Batulanau. Foto 3.15 Bagian dari Singkapan Peselingan Batulanau dengan Batupasir pada Lokasi Sdm.5 di Desa Sungapan

A. Perlapisan batupasir batulempung dengan ketebalan yang homogen B. Antara batupasir dan batu lempung memperlihatkan kontak tegas

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 1

Bab II Geologi Regional

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).

BAB II TINJAUAN UMUM

Umur dan Lingkungan Pengendapan Umur Satuan Batupasir-Batulempung berdasarkan hasil analisis foraminifera kecil yaitu N17-N20 atau Miosen

Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III Perolehan dan Analisis Data

Transkripsi:

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada peta topografi, perbedaan warna dan rona pada citra radar citra DEM (Digital Elevation Model) menunjukkan perbedaan ketinggian dan relief daerah penelitian sedangkan pengamatan langsung di lapangan bentuk morfologi yang teramati berupa rangkaian perbukitan, lembah, dan dataran. Berdasarkan interpretasi peta topografi dan citra DEM daerah penelitian, pola kontur yang renggang menunjukkan adanya perbedaan ketinggian dan relief yang rendah dengan dominasi bentuk morfologi berupa deretan perbukitan yang dibatasi oleh lembah yang tidak terlalu curam dan dataran rendah yang cukup luas dengan litologi penyusun yang lunak. Hasil interpretasi dari citra radar DEM berupa dominasi suatu warna dan rona menunjukkan perbedaan ketinggian dan relief. Warna merah menunjukkan daerah dengan elevasi paling tinggi pada daerah penelitian dan warna hijau menunjukkan elevasi rendah yang berupa dataran. Daerah penelitian ini memiliki elevasi lebih kecil atau sama dengan 75 m (Gambar 3.1). Kemiringan lereng di daerah penelitian landai hingga miring (0% - 15%) yang diklasifikasikan berdasarkan kemiringan lereng oleh van Zuidam (1985) (Gambar 3.2). Kemiringan lereng ini dapat digunakan sebagai parameter kelayakan lokasi tata guna lahan untuk perkebunan dan pertanian. Kondisi kemiringan lereng yang datar-miring baik digunakan sebagai lokasi perkebunan ataupun pertanian. 19

Gambar 3.1 Peta elevasi daerah penelitian yang dimodifikasi dari peta topografi digital SRTM. Gambar 3.2 Peta kemiringan lereng daerah penelitian yang dimodifikasi dari peta topografi digital SRTM dan diklasifikasikan berdasarkan kemiringan lereng oleh Van Zuidam (1985). Pengamatan di lapangan dari tingkat erosi yang yang kecil ditandai dengan sungai dengan kecepatan aliran yang rendah, daerah penelitian dikategorikan ke dalam tahapan geomorfik dewasa. Tahapan geomorfik dewasa ditandai oleh gradien sungai yang kecil, kecepatan aliran rendah, erosi kecil, terdapat sedimentasi, dan 20

penampang sungai yang menyerupai huruf V dengan erosi vertikal yang lebih dominan dibandingkan erosi lateral (Gambar 3.3). Gambar 3.3 Lembah sungai V pada bagian tengah daerah penelitian. Gambar 3.4 Lembah sungai pada bagian baratdaya daerah penelitian, memperlihatkan sungai dengan aliran yang kecil dan merupakan salah satu dari sungai intermiten pada daerah penelitian. 21

3.1.2 Pola Aliran Sungai Analisis pola aliran sungai di daerah penelitian dibagi berdasarkan karakteristik pola sungai. Pengklasifikasian pola aliran sungai yang telah dilakukan oleh Lobeck (1939) dijadikan konsep dasar dalam analisis pola aliran sungai di daerah penelitian yang didasari dari bentukan pola-pola tertentu dari aliran sungai. Pola aliran ini umumnya merupakan ekspresi dari karakter litologi dan kontrol struktur geologi yang berperan pada pembentukan pola tersebut. Berdasarkan pengamatan secara tidak langsung dari peta topografi dan pengamatan langsung di lapangan, pola aliran sungai di daerah penelitian termasuk kedalam pola aliran rektangular berarah umum Baratlaut-Utara Tenggara-Selatan. Arah aliran sungai Gambar 3.5 Pola aliran sungai daerah penelitian. Pola aliran sungai di daerah penelitian termasuk kedalam pola aliran rektangular. Keseluruhan sungai di daerah penelitian umumnya merupakan pola aliran rektangular, jenis pola aliran sungai yang berkembang disebabkan patahan atau joint. Pola aliran rektangular di daerah penelitian mengindikasikan pola aliran tersebut terbentuk pada bidang-bidang lemah yang disebabkan oleh adanya sesar. Sungai di daerah penelitian juga sangat dipengaruhi oleh iklim sehingga sungai daerah penelitian juga tergolong dalam sungai intermiten. 22

3.1.3 Pola Kelurusan Dari kelurusan yang ditarik pada data SRTM dan peta topografi daerah penelitian, dapat dianalisis arah umum tegasan utama pada daerah penelitian. Kelurusan yang ditarik dibedakan menjadi dua yaitu pola kelurusan punggungan (warna merah Gambar 3.6) dan lembah (warna biru Gambar 3.6). Pola kelurusan punggungan dan lembah menghasilkan satu pola umum dari kelurusan yang berarah NW SE (Gambar 3.7). Pola umum ini diinterpretasikan sebagai salah satu pola yang mengontrol struktur geologi daerah penelitian, kemungkinan besar merupakan bagian dari suatu patahan berupa sesar. Gambar 3.6 Interpretasi pola kelurusan daerah penelitian. Gambar 3.7 Diagram bunga kelurusan daerah penelitian, yang menunjukkan kelurusan dominan pada arah NW SE. 23

3.1.4 Satuan Geomorfologi Berdasarkan kenampakan morfologi dari peta kontur dan citra radar SRTM dan data DEM dengan kriteria kerapatan dan penyebaran kontur, perbedaan warna dan rona, pola serta tekstur maka daerah penelitian dapat dibagi dalam dua satuan geomorfologi. Pembagian satuan geomorfologi didasarkan atas klasifikasi Bentuk Muka Bumi (BMB) oleh Brahmantyo dan Bandono (2006) yaitu Satuan Perbukitan Sayap Lipatan dan Satuan Dataran Aluvial. 3.1.4.1 Satuan Perbukitan Sayap Lipatan Satuan ini menempati 80% dari luas daerah penelitian. Daerah ini ditandai dengan warna kuning pada peta geomorfologi (Lampiran D-2). Satuan ini dicirikan dengan kerapatan kontur cukup renggang (beda elevasi 12,5 m) yang membentuk perbukitan dengan lereng yang datar-miring (berdasarkan klasifikasi van Zuidam, 1985). Topografi dicirikan oleh perbukitan dengan kemiringan lereng 0% 15% (Gambar 3.2). Ketinggian satuan geomorfologi ini berkisar antara 15 m sampai 70 m di atas permukaan laut. Sebagian besar daerah ini berupa hutan. Pada daerah yang memiliki kemiringan lereng relatif landai, penduduk setempat memanfaatkan lahan dengan berkebun karet, sawit dan pertanian. Satuan Perbukitan Sayap Lipatan memiliki kemiringan lapisan yang seragam berarah timurlaut barat laut. Satuan ini ditempati oleh litologi dengan tingkat kekerasan rendah tinggi yaitu batulempung, batulanau, batubara, batupasir dan batugamping, serta dikontrol oleh struktur geologi berupa sesar mendatar. 24

U Gambar 3.8 Satuan Perbukitan Sayap Lipatan, didokumentasikan di tengah perbukitan daerah penelitian. 3.1.4.2 Satuan Dataran Aluvial Satuan geomorfologi ini menempati 20% dari luas daerah penelitian. Daerah penelitian ini ditandai dengan warna abu-abu pada peta geomorfologi (Lampiran D- 2). Satuan ini dicirikan dengan kerapatan kontur sangat renggang dan relief lunak yang membentuk dataran. Toporafi berupa dataran dengan lereng hampir datar (0 0 2 0 ) (berdasarkan klasifikasi van Zuidam, 1985). Ketinggian satuan geomorfologi ini berkisar 5 m sampai 15 m di atas muka air laut (Gambar 3.4). Satuan Dataran Aluvial merupakan endapan sungai intermeten dan percabangannya. Satuan ini terdiri dari material lepas berukuran lempung dan kerikil. 25

U Gambar 3.9 Satuan Dataran Aluvial pada daerah perkebunan karet pada topografi yang landai. 3.2 Stratigrafi Daerah Penelitian Stratigrafi daerah penelitian dibedakan berdasarkan ciri litologi dominan yang diamati di lapangan serta hasil analisis laboratorium dikelompokkan menjadi lima satuan batuan tidak resmi dengan urutan satuan batuan dari tua ke muda adalah sebagai berikut: Satuan Batupasir, Satuan Batugamping 1, Satuan Batupasir- Batulempung, Satuan Batugamping 2 dan Satuan Endapan Aluvial (Lampiran E). 3.2.1 Satuan Batupasir 3.2.1.1 Penyebaran dan Ketebalan Satuan Batupasir menempati bagian timur daerah penelitian. Satuan ini meliputi luas sekitar 35% dari luas daerah penelitian. Pada peta geologi, satuan ini ditandai dengan warna kuning (Lampiran D-3). 26

Satuan ini memiliki jurus lapisan batuan secara umum berarah timurlaut baratdaya dengan kemiringan sebesar 39 o 55 o ke arah baratlaut. Satuan ini umumnya tersingkap di bagian tenggara daerah penelitian. Batas bawah satuan ini tidak diketahui karena tidak tersingkap di daerah penelitian. Dari rekonstruksi penampang geologi, ketebalan satuan ini lebih dari ±1500 meter. 3.2.1.2 Ciri Litologi Satuan ini disusun oleh litologi batupasir yang tebal berselingan dengan batulempung. Pada satuan ini ditemukan struktur sedimen laminasi sejajar (Gambar 3.12) dan cross bedding (Gambar 3.11). Batupasir kuarsa, abu-abu terang, berlapis baik, kompak, porositas sedang, sorting sedang, non karbonatan, berukuran butir pasir halus sedang, mineral berupa kuarsa yang dominan, terdapat proses pelapukan mengulit bawang (spheroidal weathering). Ketebalan lapisan batupasir pada singkapan ini ± 2,5 m (Gambar 3.10). U Gambar 3.10 Singkapan batupasir, berada di tebing jalan tambang batubara pada singkapan MU 30. 27

Gambar 3.11 Batupasir (abu-abu terang, non karbonatan, terdapat struktur cross bedding) (kenampakan dekat dari singkapan MU 30). Batupasir, abu-abu terang, berlapis baik, kompak, porositas sedang, sorting sedang, non karbonatan, berukuran butir pasir sedang, perselingan dengan batulempung dengan ketebalan batulempung kurang dari 1 cm (Gambar 3.12). Secara mikroskopis (Lampiran A) mengacu pada klasifikasi Gilbert diidentifikasi sebagai Quartz Wacke. Gambar 3.12 Singkapan batupasir (abu-abu terang, non karbonatan, terdapat struktur laminasi sejajar) pada lokasi pengamatan MU 22. 28

3.2.1.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Berdasarkan hasil analisis mikrofosil pada sampel MU 22 tidak ditemukan fosil penentu umur pada satuan ini, hal ini dikarenakan lingkungan pengendapan satuan ini adalah delta dengan pengaruh sedimen darat yang dominan sehingga mikrofosil sulit untuk hidup dan terfosilisasi. Mengacu pada Satyana, dkk. (1999), penentuan umur dilakukan dengan membandingkan karakteristik litologi daerah penelitian dengan karakteristik batuan penciri Formasi tertentu. Berdasarkan karakteristik batuan berupa adanya batupasir kuarsa maka satuan ini dapat disetarakan dengan Formasi Pulau Balang dengan karakteristik berupa batupasir halus sampai sedang, yang didominasi oleh batupasir kuarsa yang berumur Miosen Awal dengan lingkungan pengendapannya berupa delta front (Satyana, dkk., 1999). Lingkungan pengendapan satuan ini juga dapat diidentifikasi dengan struktur sedimen yang terdapat pada lapisan batupasir. Struktur sedimen berupa cross bedding dan paralel laminasi menunjukkan bahwa daerah pengendapannya adalah delta front yang dipengaruhi oleh wave (Walker dan James, 1992). Gambar 3.13 Perbandingan profil singkapan MU 30 dari Satuan Batupasir dengan profil delta wave-influenced (Walker dan James, 1992). Kotak merah memperlihatkan profil singkapan memiliki kesamaan profil delta wave-influenced. 29

3.2.1.4 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Berdasarkan ciri litologi yang teramati berupa batupasir kuarsa yang ditemukan pada daerah ini dominan dari Satuan Batupasir ini, maka satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Pulau Balang (Satyana, dkk., 1999). 3.2.2 Satuan Batugamping 1 3.2.2.1 Penyebaran dan Ketebalan Satuan ini menempati bagian selatan daerah penelitian dan meliputi luas sekitar 4% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Pada peta geologi (Lampiran D- 3), satuan ini ditandai dengan warna biru muda. Pada satuan ini, tidak ditemukan singkapan yang memiliki kedudukan lapisan. Satuan ini umumnya tersingkap di bagian tebing bukit dan puncak bukit daerah penelitian, Dari rekonstruksi penampang geologi, ketebalan satuan ini ±400 meter. 3.2.2.2 Ciri Litologi Satuan ini disusun oleh batugamping terumbu yang terdiri dari platy coral dan branching coral (Gambar 3.15). Batugamping terumbu, cream, terdiri dari fosil platy coral dan branching coral dengan komposisi fosil branching coral yang dominan. Secara megaskopis mengacu pada klasifikasi Dunham (1962) diklasifikasikan sebagai Boundstone (Gambar 3.14). 30

U Gambar 3.14 Singkapan batugamping terumbu (cream, banyak terdapat fosil coral) pada lokasi pengamatan MU 15. a b Gambar 3.15 Batugamping terumbu (kuning, merupakan a.platy coral b.branching coral) pada lokasi pengamatan MU 15. 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Tidak ditemukan fosil penentu umur pada satuan ini dikarenakan seluruhnya berupa fosil coral. Mengacu pada Satyana, dkk. (1976) penentuan umur Satuan ini disetarakan dengan Formasi Pulau Balang yang berumur Miosen Awal. Penyetaraan ini dilakukan dengan mengidentifikasi keberadaan satuan ini sebagai lensa pada Satuan Batupasir yang berumur Miosen Awal dan keberadaanya pada penampang geologi, pengendapan Satuan Batugamping 1 lebih dulu terendapkan dibandingkan 31

Satuan Batugamping 2 yang berumur Miosen Awal sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa umur dari Satuan Batugamping 1 ini adalah Miosen Awal. Pengamatan di lapangan yang memperlihatkan adanya fosil coral yang mengindikasikan daerah pengendapannya adalah laut dangkal. 3.2.2.4 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Berdasarkan hubungan antara Satuan Batugamping 1 dan Satuan Batupasir pada rekonstruksi penampang peta geologi dan karakterisitk litologi, maka satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Pulau Balang (Supriatna, dkk., 1995). Hubungan antara Satuan Batugamping 1 dan Satuan Batupasir adalah membaji. 3.2.3 Satuan Batupasir-Batulempung 3.2.3.1 Penyebaran dan Ketebalan Satuan Batupasir-Batulempung menempati bagian barat daerah penelitian. Satuan ini meliputi luas sekitar 40% dari luas daerah penelitian. Pada peta geologi, satuan ini ditandai dengan warna hijau (Lampiran D-3). Satuan ini memiliki jurus lapisan batuan secara umum berarah baratdaya timur laut dengan kemiringan sebesar 26 o 57 o ke arah baratlaut. Satuan ini umumnya tersingkap di tebing-tebing jalan tambang. Dari rekonstruksi penampang geologi, ketebalan satuan ini lebih dari ±2013 meter. 32

3.2.3.2 Ciri Litologi Satuan ini disusun oleh perselingan batupasir kursa dengan batulempung dan batulanau dan terdapat sisipan batubara. Pada satuan ini ditemukan struktur sedimen cross laminasi dan laminasi sejajar. Perselingan antara batupasir kuarsa, abu-abu, batulanau, dan batulempung, terdapat juga bongkah karbon (Gambar 3.16). Batupasir Perselingan Batupasir-Batulempung Batupasir Perselingan batupasir-batulempung Gambar 3.16 Singkapan perselingan antara batupasir-batulanaubatulempung, berada di tebing jalan tambang batubara pada lokasi MU 20. - Batupasir kuarsa (Gambar 3.17a), abu-abu terang, berlapis baik, kompak, porositas sedang, sorting sedang, non karbonatan, berukuran butir pasir halus sedang. Terdapat mineral kuarsa. Ketebalan lapisan batupasir berkisar antara 40 cm 150 cm. - Batulanau (Gambar 3.17b), abu-abu gelap, berlapis baik, getas, nonkarbonatan. - Batulempung (Gambar 3.17c ), gelap, non-karbonatan. 33

a b c Gambar 3.17 a. Batupasir (abu-abu terang, non karbonatan, terdapat struktur cross laminasi), b. Batulanau, abu-abu gelap dengan bongkah karbon pada, c. Batulempung, gelap, non-karbonatan lokasi pengamatan MU 20. Perselingan antara batupasir putih, batulempung coklat (Gambar 3.18). U Gambar 3.18 Singkapan perselingan batupasir kuning kecoklatan-batulempung hitam pada lokasi pengamatan MU 21. 34

- Batupasir (Gambar 3.19a), kuning kecoklatan, berlapis baik, getas, porositas sedang, sorting sedang, non karbonatan, berukuran butir pasir halus sedang. Ketebalan lapisan batupasir berkisar antara 40 cm 150 cm. Secara mikroskopis (Lampiran A.3) mengacu pada klasifikasi Gilbert (1982) diidentifikasi sebagai Feldspathic Wacke. - Batulempung (Gambar 3.19b), hitam, berlapis baik, getas, non karbonatan. Gambar 3.19 a. Batupasir kuning kecoklatan, b. Batulempung hitam pada lokasi pengamatan MU 21. Perselingan antara batupasir putih, batulempung coklat. - Batupasir, putih, berlapis baik, kompak, porositas baik, sorting baik, non karbonatan, berukuran butir pasir halus-sedang. - Batulempung, coklat, berlapis baik, kompak, non karbonatan, berukuran ketebalan 2 cm. U Gambar 3.20 Singkapan perselingan batupasir putih-batulempung coklat pada lokasi pengamatan MU 27. 35

Gambar 3.21 Perselingan batupasir putih-batulempung coklat pada lokasi pengamatan MU 27. 3.2.3.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Berdasarkan hasil analisis mikrofosil pada sampel MU 33, 14, 23 dan 21 tidak ditemukan fosil penentu umur pada satuan ini, hal ini dikarenakan lingkungan pengendapan satuan ini adalah delta dengan pengaruh sedimen darat yang dominan sehingga mikrofosil sulit untuk hidup dan terfosilisasi. Mengacu pada Satyana, dkk. (1999), penentuan umur dengan membandingkan karakteristik litologi daerah penelitian dengan karakteristik batuan penciri Formasi tertentu. Berdasarkan karakteristik batuan berupa adanya batupasir kuarsa maka satuan ini dapat disetarakan dengan Formasi Pulau Balang dengan karakteristik berupa batupasir halus sampai sedang, yang didominasi oleh batupasir kuarsa yang berumur Miosen Awal. Bedasarkan karakteristik batuan batubara yang jenisnya lignit dengan kondisi batubara yang tidak tebal ( ±40 cm) mencirikan satuan ini berada pada Formasi Pulau Balang dengan karakteristik batubara yang tidak tebal dan kelas batubaranya adalah lignit. Pengamatan di lapangan yang memperlihatkan adanya singkapan batubara yang tipis berselingan dengan batulanau dan batulempung mencirikan daerah 36

pengendapan berupa daerah back barrier. Oleh penulis Satuan Batulempung diinterpretasikan diendapkan pada lingkungan back barrier (Horne dkk.,1979; dalam Thomas, 2002). Gambar 3.22 Perbandingan profil singkapan dari Satuan Batupasir-Batulempung dengan profil delta wave-influenced (Walker dan James, 1992). Kotak merah memperlihatkan profil singkapan memiliki kesamaan profil delta wave-influenced. 3.2.3.4 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Berdasarkan ciri litologi yang teramati dari Satuan Batupasir-Batulempung ini berupa adanya barupasir kursa, batulempung dan sisipan batubara yang tebalnya berkisar antara ±40-50 cm dengan kelas batubara berupa lignit, maka satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Pulau Balang (Satyana, dkk., 1999). Satuan Batupasir-Batulempung ini diendapkan secara selaras di atas Satuan Batupasir. 37

3.2.4 Satuan Batugamping 2 3.2.4.1 Penyebaran dan Ketebalan Satuan ini menempati bagian selatan-barat daerah penelitian dan meliputi luas sekitar 4% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Pada peta geologi (Lampiran D- 3), satuan ini ditandai dengan warna biru tua. Pada satuan ini, tidak ditemukan singkapan yang memiliki kedudukan lapisan. Satuan ini umumnya tersingkap di bagian tebing bukit dan puncak bukit daerah penelitian, Dari rekonstruksi penampang geologi, ketebalan satuan ini ± 500 meter. 3.2.4.2 Ciri Litologi coral. Satuan ini disusun oleh batugamping terumbu yang terdiri dari fosil head Batugamping terumbu, cream, terdiri dari fragmen head coral yang mendominasi satuan batugamping ini. Secara megaskopis mengacu pada klasifikasi Dunham (1962) diidentifikasi sebagai Boundstone. U Gambar 3.23 Singkapan batugamping terumbu (cream, banyak terdapat fosil coral yang melimpah) pada lokasi pengamatan MU 31. 38

Gambar 3.24 Head Coral (cream, dominan ditemukan head coral pada singkapan ini) pada lokasi pengamatan MU 31. 3.2.4.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Berdasarkan analisis mikropaleontologi (Lampiran B), pada satuan ini ditemukan fosil foraminifera besar berupa Lepidocyclina sp., Operculina sp. dan Miogypsinoides sp., yang menunjukkan bahwa umur satuan ini adalah Miosen Awal. Lingkungan pengendapan satuan adalah laut dangkal, hal ini dapat diidentifikasi dengan terdapatnya fosil terumbu pada satuan ini. 3.2.4.4 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Berdasarkan ciri litologi yang teramati dari Satuan Batugamping 2 ini dan hubungannya dengan Satuan Batupasir-Batulempung, maka satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Pulau Balang (Supriatna, dkk., 1995). Hubungan antara Satuan Batugamping 2 dan Satuan Batupasir-Batulempung adalah membaji (Satuan Batugamping 2 hadir sebagai lensa pada Satuan Batupasir-Batulempung). 39

3.2.5 Satuan Endapan Aluvial 3.2.5.1 Penyebaran dan Ketebalan Satuan ini menempati 17% daerah penelitian terletak pada sungai intermeten dan merupakan percabangan dari sungai. Ketebalan satuan ini berdasarkan pengamatan di lapangan adalah 1 3 meter. 3.2.5.2 Ciri Litologi Satuan ini tersusun oleh material lepas belum terkonsolidasi berukuran lempung dan pasir merupakan hasil erosi dari batuan yang tersingkap di sekitar daerah penelitian (Gambar 3.25). U Gambar 3.25 Singkapan aluvial pada perkebunan sawit. 40

3.2.5.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Satuan ini berumur Holosen dan diendapkan di lingkungan darat dan masih berlangsung sampai saat ini. 3.2.5.4 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Berdasarkan ciri liotologi yang teramati, Satuan Aluvial ini dapat disebandingkan dengan Endapan Kuarter (Satyana, dkk., 1999). Satuan Aluvial ini diendapkan tidak selaras di atas satuan yang lebih tua. 3.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian Sebagai interpretasi awal dalam analisis struktur geologi dilakukan analisis kelurusan dari citra SRTM. Hasil dari analisis kelurusan ini adalah diagram bunga dengan arah dominan yaitu NW SE. Arah ini menunjukkan adanya kedudukan struktur geologi yang berarah NW SE (baratlaut tenggara). Kelurusan ini diinterpretasikan sebagai kelurusan dari suatu sesar. Adapun gejala struktur yang terdapat pada daerah penelitian berupa kedudukan lapisan dengan kemiringan lapisan berarah baratlaut akibat dari lipatan yang terjadi pada zaman Plio-Plistosen.. 41

3.3.1 Stuktur Sesar Mendatar Gejala struktur sesar yang ditemukan di lapangan adanya shear fracture dan offset litologi yang memperlihatkan gejala sesar mendatar dengan pergerakan mengiri.. Berdasarkan analisis kinematik (lihat lampiran C.1) yang dilakukan dari data perpotongan shear fracutre dan arah dominan kelurusan pada analisis kelurusan pada SRTM diasumsikan sebagai jurus sesar menghasilkan interpretasi berupa sesar mengiri naik dengan bidang sesar N 314 E/ 76 NE dengan pitch 7. Sesar ini ditafsirkan terbentuk setelah terjadinya lipatan dan masih pada fase kompresi Plio- Plistosen yang kemudian memotong sumbu lipatan yang telah ada. Sesar ini dinamakan Sesar Mendatar Beruak. Gambar 3.26 Pasangan shear fracture pada singkapan MU 33. Analisis Sesar Mendatar Jembayan menggunakan kelurusan dari data SRTM dan adanya offset (Lampiran D.3) pada satuan batuan sehingga memungkinkan kelurusan ini merupakan kelurusan dari struktur berupa sesar mendatar. Arah tegasan utama tersebut diinterpretasikan berdasarkan data bahwa satuan termuda mengalami pengangkatan, perlipatan dan pensesaran yang berumur Plio Pleistosen. Tegasan berarah NW SE secara regional bersamaan dengan adanya struktur inversi dan pengangkatan Tinggian Meratus di bagian selatan Cekungan Kutai. 42