TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba adalah ternak penghasil daging dan sering digembalakan di tepi jalan dan pematangan sawah serta di tepi saluran irigasi maupun di tanah lapang. Domba mempunyai sifat alami senang bergerombol dan tidak memilih pakan (Setiyono, 2000). Ternak domba secara umum termasuk dalam phylum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mammalia (hewan yang menyusui), ordo Artiodactyla (hewan berteracak atau berkuku genap), family Bovidae (hewan memamah biak), genus Ovis, spesies Ovis aries (Blakely dan Bade, 1992). Ternak domba merupakan salah satu ternak yang berkembang di Indonesia, terutama di pedesaan, karena domba memiliki peranan yang besar dalam menunjang ekonomi keluarga peternak. Karakteristik domba lokal yaitu bertubuh kecil, lambat dewasa, berbulu kasar, tidak seragam, hasil daging relatif sedikit dan pola warna bulu sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam umumnya (Devendra dan McLeroy, 1992). Domba Ekor Gemuk Domba ekor gemuk umunya tidak bertanduk, tetapi ada beberapa domba jantan yang memiliki benjolan tanduk dan umumnya mempunyai telinga berukuran medium dengan posisi agak menggantung dengan warna bulu putih, dan wolnya kasar. Warna bulu yang putih ini juga dapat mengurangi stres akibat panas. Bentuk tubuh domba ekor gemuk lebih besar dari domba ekor tipis. Domba Ekor Gemuk banyak dipelihara di wilayah Indonesia Timur seperti Jawa Timur, Sulawesi, dan kepulauan Nusa Tenggara dan diduga berasal dari Asia Barat dan Afrika Timur melaui jalur perdagangan dan terjadi persilangan dengan domba lokal (Devendra dan McLeroy, 1992). Mulyaningsih (1990) menyatakan bahwa domba ekor gemuk memiliki karakteristik ekor yang besar, lebar dan panjang. Bagian pangkal ekor yang membesar merupakan timbunan lemak (cadangan energi), sedangkan bagian kecil tidak berlemak. Pada saat banyak pakan, ekornya terlihat gemuk, saat kekurangan pakan ekornya terlihat mengecil karena cadangan energi digunakan untuk kebutuhan tubuh. 3
Domba ekor gemuk mempunyai keistimewaan, yaitu kemampuannya dalam beradaptasi terhadap lingkungan kering (Mulyaningsih, 1990) dan juga terhadap lingkungan panas (Mason, 1980 dan Hardjosubroto, 1994). Domba ekor gemuk merupakan tipe pedaging dengan bobot badan pada jantan dewasa 40-60 kg, dan betina dewasa 25-35 kg. Ukuran tinggi badan pada jantan dewasa berkisar antara 60-65 cm, dan betina dewasa antara 52-60 cm (Hardjosubroto, 1994). Sutama (1993) menyatakan bahwa pengembangan domba ekor gemuk meliputi daerah yang cukup luas dan umumnya mengarah ke wilayah Indonesia bagian timur dengan kondisi agroekosistem yang kering. Pertumbuhan domba ekor gemuk setelah sapih tergantung dari jumlah dan kualitas yang dikonsumsi. Kisaran berat badan dewasa domba ekor gemuk cukup besar yaitu 20-78 kg dengan rataan 30,5±6,9 kg untuk jantan dan 27,2 ± 4,7 kg untuk betina. Limbah Tauge Penanganan limbah pertanian sebagian besar belum mendapatkan perhatian yang cukup dalam penanganannya. Sebagian besar limbah yang dihasilkan dari alam meliputi proses pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Setelah hasil utamanya digunakan, limbahnya dibuang begitu saja dan tidak dimanfaatkan dengan baik (Winarno, 1985). Menurut Judoamidjojo et al. (1989), selain memberikan nilai ekonomis dan mengurangi pencemaran lingkungan, pemanfaatan atau pendaurulangan limbah pertanian menjadi komoditas baru dapat memberikan keuntungan lain seperti penyerapan tenaga kerja dan menghasilkan produk baru yang berguna sehingga dapat meningkatkan keuntungan petani atau produsen. Limbah tauge berpotensi mencemari lingkungan apabila tidak ditangani dengan baik dan dapat merugikan masyarakat seperti pencemaran sungai dan juga pencemaran udara yang dapat menimbulkan penyakit. Limbah tauge merupakan bagian dari tauge yang tidak dikonsumsi oleh manusia, yaitu berupa kulit tauge atau tudung atau lebih dikenal dengan angkup tauge yang berwarna hijau. Limbah tauge biasanya bercampur dengan sedikit potongan ekor atau kepala tauge yang tidak utuh. Limbah tauge umumnya termasuk limbah pasar karena pemisahan tauge dengan limbahnya terjadi di pasar dan limbah ini menumpuk di pasar bersamaan dengan limbah pasar. Di kota Bogor, total produksi tauge sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang untuk menghasilkan limbah tauge 4
sebesar 1,5 ton/hari. Limbah tauge dapat diperoleh dari 10%-15% bagian tauge segar melalui proses pengayakan atau pencucian. Kecambah kacang hijau termasuk dalam famili leguminoceae, sub family Papilionideae, genus phaseolus dan spesies Radiatus. Tauge berasal dari kacang hijau Vigna Radiata (L) Wilczek atau phaseolus aureus Roxb atau P. Radiatus L. yang dikecambahkan (Sutarman dan Soeprapto, 1982). Kacang hijau adalah tanaman daerah tropis dengan iklim panas namun dapat tumbuh di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Fernandez et al. (1997), tauge secara luas dikonsumsi terutama di Asia Tenggara dan Afrika Timur sebagai salah satu jenis sayuran yang sudah lama dikembangkan dan dimanfaatkan yang bernilai ekonomi dan bergizi tinggi. Kandungan zat makanan kacang hijau secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Kacang Hijau per 100 gram Bahan yang Dapat Dimakan Komponen Energi (kal) 345,00 Air (g) 10,00 Lemak (g) 1,26 Protein (g) 22,20 Karbohidrat (g) 62,90 Kalsium (mg) 125,000 Fosfor (mg) 320,000 Besi (mg) 6,70 Vitamin A (IU) 157,000 Vitamin B (mg) 0,64 Vitamin C (mg) 6,00 Sumber : Hardiansyah dan Briawan (1994) Tauge atau kecambah merupakan bahan pangan yang memikili keuntungan yaitu mudah diproduksi dan tidak mengenal musim (Imril, 1991). Harga tauge yang relatif murah menjadikan konsumsi tauge di masyarakat cukup tinggi yaitu sekitar 88% dengan konsumsi per rumah tangga lebih dari 3 kali seminggu (Fernandez et al., 1997). Selama perkecambahan, terjadi hidrolisis protein, karbohidrat, dan lemak sehingga mudah dicerna. Pati sebagai bahan persediaan dirombak oleh α-amilase menjadi dekstrin, sedangkan oleh β-amilase, dekstrin dipecah menjadi maltose. Aktivitas enzim tersebut distimulir oleh hormon giberelin yang dihasilkan embrio setelah menyerap air (Pomeranz, 1987). Selama perkecambahan, kandungan gula 5
mengalami perubahan yaitu kadar glukosa dan fruktosa meningkat 10 kali lipat dibandingkan saat sebelum mengalami perkecambahan. Namun kandungan sukrosa hanya meningkat 2 kali lipat sehingga kandungan galaktosa menghilang (Winarno, 1981). Kandungan zat makanan kecambah kacang hijau dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Zat Gizi Kecambah Kacang Hijau (Tauge) dalam 100 gram Bahan yang Dapat Dimakan Komponen Energi (kal) 23,0 Air (g) 92,4 Lemak (g) 0,2 Protein (g) 2,9 Karbohidrat (g) 4,1 Kalsium (mg) 29,0 Fosfor (mg) 69,0 Besi (mg) 0,8 Vitamin A (IU) 1,0 Vitamin B (mg) 0,07 Vitamin C (mg) 15,0 Sumber : Hardinsyah dan Briawan (1994) Protein dari sel-sel selama penyimpanan dirombak oleh sekumpulan enzim proteolitik yang menghasilkan suatu campuran asam amino bebas bersama dengan amida dari asam glutamat dan asparat. Hal ini ditunjukkan dari kenaikan konsentrasi asam amino lisin sebanyak 24%, treonin 19%, alanin 29%, dan fenilalanin 7% (Winarno, 1981). Konsentrat Konsentrat merupakan bahan makanan berupa biji-bijian, umbi-umbian, dan limbah dari biji-bijian yang mengandung protein, lemak, dan karbohidrat dengan kandungan serat kasar (terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin) kurang dari 18%. Konsentrat merupakan bahan penguat dan apabila diberikan terlalu banyak dapat menyebabkan bloat. Pemberian konsentrat yang terlalu banyak akan meningkatkan konsentrasi energi pakan dan dapat menurunkan tingkat konsumsi (Parakkasi, 1999). Pemberian pakan konsentrat dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi pakan domba dan juga produktivitas domba. Sesuai dengan pernyataan Martawidjaja et al. (1986), bahwa rata-rata konsumsi pakan domba yang diberikan 6
konsentrat adalah 580 gram/ekor/hari atau meningkat 57% dibandingkan dengan yang tidak diberi konsentrat yaitu 371 gram/ekor/hari sedangkan pertambahan bobot badannya meningkat 294% dari 18 gram/ekor/hari menjadi 71 gram/ekor/hari. Konsumsi Pakan Konsumsi pada umumnya diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak yang kandungan zat makanan di dalamnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut (Tillman et al., 1998). Tingkat konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh ternak bila bahan makanan tersebut diberikan secara ad libitum. Konsumsi merupakan faktor esensial sebagai dasar untuk hidup pokok dan untuk produksi. Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor hewan, faktor makanan yang diberikan dan faktor lingkungan (suhu dan kelembaban). Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik bagi produktivitas ternak (Arora, 1989). Konsumsi pakan sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin, besarnya tubuh, keaktifan, dan kegiatan pertumbuhan atau produktivitas lainnya, suhu dan kelembaban udara. Suhu udara yang tinggi menyebabkan turunnya konsumsi pakan karena konsumsi air minum yang tinggi yang akan berakibat pada penurunan konsumsi energi (Siregar, 1984). Konsumsi juga sangat dipengaruhi oleh palatabilitas yang tergantung pada beberapa hal yaitu penampilan dan bentuk pakan, bau, rasa, tekstur, dan suhu lingkungan (Church dan Pond, 1998). Konsumsi pakan secara umum akan meningkat seiring dengan meningkatnya berat badan karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pakan menurut Parakkasi (1999) adalah faktor hewan itu sendiri, pakan yang diberikan dan lingkungan. Faktor hewan yang dimaksud adalah permintaan fisiologis dari hewan tersebut untuk hidup pokok dan produksi. Palatabilitas Palatabilitas merupakan gambaran sifat bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptik seperti penampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit), tekstur dan temperaturnya sehingga menimbulkan rangsangan dan daya tarik ternak untuk 7
mengonsumsinya (Yusmadi et al., 2008). Palatabilitas dapat didefinisikan sebagai tingkat penerimaan pakan atau bahan pakan melalui rasa atau tingkat penerimaan untuk dimakan oleh ternak yang dapat ditentukan dengan penampilan, bau, rasa, tekstur, suhu, dan alat-alat panca indera lainnya terhadap pakan. Church dan Pond (1998) mendefinisikan palatabilitas sebagai respon yang diberikan ternak terhadap pakan yang diberikan dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh ternak ruminansia tetapi juga dilakukan oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan yang diberikan. Palatabilitas sangat penting karena merupakan gabungan dari beberapa faktor yang berbeda yang dirasakan oleh ternak dan mewakili rangsangan dari penglihatan, aroma, sentuhan dan rasa yang dipengaruhi oleh faktor sifat fisik dan sifat kimia (nutrien) pakan dari ternak yang berbeda (Pond et al., 1995). Selain zat-zat nutrien yang harus terpenuhi dalam jumlah yang tepat, pemberian ransum atau pakan juga harus memenuhi syarat-syarat seperti aman untuk dikonsumsi, disukai ternak, ekonomis, dan berkadar gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak (Afriyanti, 2002). Ransum ternak di daerah yang temperate memiliki palatabilitas yang lebih baik. Bahan ransum di daerah temperate memiliki tingkat palatabilitas yang lebih baik dari bahan ransum ternak ruminansia di daerah tropis seperti Indonesia. Menurut Parakkasi (1999), bahwa semakin meningkatnya nutrien suatu ransum akan meningkatkan konsumsi dari ransum tersebut. Komposisi nutrien terdiri dari komposisi bahan-bahan kimia yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi palatabilitas tetapi hubungan antara palatabilitas dengan komposisi nutrien sangat lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam mengukur palatabilitas suatu pakan ternak (Kaitho et al., 1997). Terdapat empat macam bau yang dapat terdeteksi oleh penciuman ternak yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno, 1992). Lingkungan Lingkungan pada ternak domba dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan produksi domba (Ensiminger et al., 1990). Lingkungan dapat mempengaruhi produktivitas ternak melalui dua cara, yaitu 1) lingkungan nutritif yang dapat mempengaruhi konsumsi pakan, air dan pola penyakit; 2) lingkungan fisik diantaranya suhu, kelembaban, udara dan kecepatan angin, namun yang paling 8
berpengaruh terhadap domba yaitu akibat cekaman panas (Devendra dan Faylon, 1989). Cekaman lingkungan yang panas pada domba dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi pakan dan pembagian zat makanan untuk kebutuhan pokok dan produksi. Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang mengganggu fisiologis normal. Agar fungsi pertumbuhan dan reproduksi berjalan dengan lancar, maka dibutuhkan daerah lingkungan yang optimal yaitu Thermoneutral Zone (TNZ). TNZ ini merupakan daerah kisaran suhu yang paling nyaman bagi ternak. Daerah TNZ untuk domba pada daerah pemeliharaan berkisar antara 22-31 o C. Ternak akan berusaha menyesuaikan suhu tubuhnya dengan lingkungan dengan cara melakukan evaporasi ketika suhu lingkungan panas dan akan memproduksi panas ketika suhu lingkungan dingin (Yousef, 1985). Respon Fisiologis Domba Respon fisiologis adalah respon terhadap berbagai macam faktor, baik secara fisik, kimia maupun lingkungan sekitarnya (Yousef, 1985). Rangkaian proses fisiologis akan mempengaruhi kondisi dalam tubuh ternak yang berkaitan dengan faktor cuaca, nutrisi dan manajemen (Awabien, 2007). Respon fisiologis dapat mengakibatkan perubahan suhu tubuh, laju respirasi dan laju denyut jantung. Domba merupakan hewan mamalia yang berdarah panas dan dapat mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran tertentu (Johnston, 1983). Domba termasuk hewan yang memiliki daya tahan kekeringan dan mempunyai daya adaptasi tinggi (Ensminger et al., 1990). Namun jika keadaan lingkungan tersebut melebihi batas kemampuan domba dalam mempertahankan kondisinya, maka akan timbul hal yang merugikan. Respon fisiologis pada domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat suhu tubuh, laju respirasi dan denyut jantung. Suhu Rektal Suhu rektal adalah suatu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Suhu rektal dapat dijadikan parameter untuk menggambarkan efek dari cekaman lingkungan terhadap domba. Baillie (1988) mengemukakan bahwa suhu tubuh ternak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, lingkungan, konsumsi pakan, minum dan aktivitas. Suhu rektal, suhu permukaan kulit dan suhu 9
tubuh akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan. (Purwantoet et al., 1994). Ensiminger et al. (1990) mengemukakan bahwa suhu lingkungan sangat rendah di bawah titik kritis minimum dapat mengakibatkan suhu rektal menurun tajam diikuti dengan pembekuan jaringan dan terkadang diiringi kematian akibat kegagalan mekanisme homeotermis. Sebagai hewan berdarah panas, domba akan mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran normal yaitu 38,2-40 o C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Edey (1983) mengemukakan bahwa pada suhu rektal harian diketahui rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang hari. Laju Respirasi Sistem respirasi memiliki fungsi utama untuk memasok oksigen ke dalam tubuh serta membuang CO 2 dari dalam tubuh (Isnaeni, 2006). Laju respirasi merupakan ukuran yang menunjukkan konsentrasi O 2, CO 2, dan H 2 O dalam cairan tubuh (Subronto, 1985). Fungsi-fungsi dari sistem respirasi tersebut membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraselular dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air dan fonasi (pembentukan suara) (Frandson, 1992). Respirasi sangat mempengaruhi kebutuhan tubuh dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan zat-zat makanan, O 2 dan panas dapat terpenuhi serta zat-zat yang tidak diperlukan akan dibuang (Awabien, 2007). Peningkatan jumlah beban panas yang hilang dari saluran pernafasan dapat diketahui dari frekuensi laju respirasi per menit atau selisih tekanan gradien uap air antara udara dan mulut ternak serta mukosa saluran pernafasan (Yousef, 1985). Ratarata frekuensi atau kecepatan respirasi domba adalah 26-32 kali tiap menit. Sedangkan kambing mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar 26-54 kali tiap menit (Frandson, 1992). Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, ternak bereaksi pertama-tama dengan panting (terengah-engah) dan sweating (berkeringat berlebihan) (Edey, 1983). Panting merupakan mekanisme evaporasi melalui pernapasan, sedangkan sweating melalui permukaan kulit. Evaporasi adalah cara efektif untuk menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh pada suhu lebih dari 25 o C (Yousef, 1985). Ali (1999) menjelaskan bahwa peningkatan konsumsi energi, nyata meningkatkan laju pernapasan. Peningkatan konsumsi energi dan protein akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen, karena terjadinya peningkatan 10
metabolisme pada tubuh hewan. Peningkatan kebutuhan oksigen harus di imbangi dengan peningkatan pernapasan sehingga proses-proses tubuh berjalan normal. Laju Denyut Jantung Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya menyerupai kerucut. Jantung terbagi menjadi bagian kanan dan bagian kiri, masing-masing bagian terdiri atas atrium, yang berfungsi menerima curahan darah yang melalui pembuluh arteri (Frandson, 1992). Jantung memiliki suatu mekanisme khusus yang menjaga denyut jantung dan menjalankan potensi aksi keseluruhan otot jantung untuk menimbulkan denyut jantung yang berirama. Ritme atau kecepatan denyut jantung dikendalikan oleh syaraf, antara lain rangsangan kimiawi seperti hormon dan perubahan kadar O 2 dan CO 2 ataupun rangsangan panas (Isnaeni, 2006). Secara umum, kecepatan denyut jantung yang normal cenderung lebih tinggi pada hewan yang kecil dan kemudian semakin lambat dengan semakin bertambah besarnya ukuran hewan (Awabien, 2007). Kisaran denyut jantung domba normal yang dikemukakan oleh Duke (1995) adalah antara 60-120 kali tiap menit. Isnaeni (2006) mengatakan bahwa denyut jantung dapat meningkat lebih dari dua kalinya pada saat aktif melakukan kegiatan. Peningkatan laju denyut jantung yang tajam terjadi saat peningkatan suhu lingkungan, gerakan dan aktivitas otot (Edey, 1983). 11