BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes

xvii Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia,

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Strongyloides stercoralis

PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG. Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis soil transmitted

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Timur. Terdapat bukti berupa lukisan pada kuburan Mesir kuno yang

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria), dan

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang memerlukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Helminthiasis atau kecacingan menurut World Health Organization (WHO)

Desain Pemberdayaan Petani Kubis Berbasis Pendidikan & Kesehatan

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH (Soil Transmitted Helminth) adalah cacing golongan nematoda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pribadi setiap harinya kita menghasilkan sampah yaitu melalui kegiatan makan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. berupa cacing. Cacing umumnya tidak menyebabkan. penyakit lain dan tidak jarang dapat berakibat fatal (Margono, 2008).

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lalat termasuk dalam filum Arthropoda, kelas Hexapoda dan ordo Diptera.

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

KEJADIAN INFEKSI CACING DAN GAMBARAN KEBERSIHAN PRIBADI PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR DI YAYASAN NANDA DIAN NUSANTARA 2011

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN CACINGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

N E M A T H E L M I N T H E S

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan,

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global,

PREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gelang (Ascaris lumbricoides), cacing kremi (Axyuris vermicularis), cacing pita

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang 70 80%. Air sangat penting bagi kehidupan jasad renik ataupun kehidupan pada umumnya, sebab air ikut ambil bagian dalam semua proses kimia dari sel, air menjadi sumber oksigen bagi bahan organik sel dan merupakan pelarut nutrient sehingga dapat diserap oleh sel serta dapat menyerap panas yang dihasilkan selama metabolisme berlangsung (Timotius, KH, 1982). Dalam air yang kotor atau sudah tercemari misalnya air sungai, akan di dapat kehidupan virus, bakteri, fungi, protozoa, dan cacing. Pencemarannya biasanya disebabkan karena masuknya tinja, kotoran hewan, sampah, air kencing, dahak (ludah), ekskresi luka, dan sebagainya (Suriawiria, U, 1996). Penyakit akibat cacing yang penularannya melalui air ini telah lama diketahui, hal ini disebabkan perairan yang tercemar seperti pada air sungai, air laut, air danau dan sumber air lainnya, penyebaran parasit ini disebabkan karena pencemaran oleh manusia, binatang dan adanya vector penyakit di dalam air (Suriawiria, U, 1996). B. Nematoda Usus Parasit cacing yang menginfeksi usus sebagian besar penularannya melalui tanah atau Soil Transmitted Helminths.

Nematoda usus ini meng-infeksi manusia dengan menggunakan dua jalan yaitu penularan melalui makanan dan minuman serta larvanya menembus permukaan kulit. Dan cacing ini mempunyai tubuh yang tidak bersegmen, berbentuk panjang, bulat, panjangnya antara 2 mm dan 1 mm, tubuhnya berkutub kutikulum dan telah mempunyai sistem reproduksi yang terpisah jenis kelaminnya antara jantan dan betina (Brown, HW, 1983). C. Soil Transmitted Helminths Diantara Nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang disebut Soil Transmitted Helminths. Berikut ini spesies yang termasuk dalam Soil Transmitted Helminths : 1. A. lumbricoides 2. T. trichiura 3. A. duodenale 4. N. americanus 5. S. stercoralis

Klasifikasi Nematoda usus secara singkat Taksonomi A lumbricoides T. trichiura Cacing tambang S. stercoralis Sub Kingdom Metazoa Metazoa Metazoa Metazoa Phylum Nemathelminths Nemathelminths Nemathelminths Nemathelminths Kelas Nematoda Nematoda Nematoda Nematoda Sub kelas Phasmidia Aphasmidia Phasmidia Phasmidia Ordo Ascaridida Enoplida Rhabtidia Rhabtidia Super famili Ascaridoidea Trichinellidae Rhabtitoidae dan Strongyloidea Ancylostomitidae Famili Ascaridea Thrichuridae Ancylostomitidae Strongyloidedee dan Necator Genus Ascaris Trichuris Ancylostoma dan Strongyloides Necator Spesies A. lumbricoides T. trichiura A. duodenale dan S. stercoralis N. americanus (Jeffrey, H.C dan Leach, R.M, 1983) 1. Morfologi a. A. lumbricoides

Cacing dewasa bentuknya silindris dengan ujung anterior meruncing. Merupakan cacing nematoda terbesar diantara Nematoda usus yang lain. Cacing betina berukuran panjang 20 sampai 35 cm dan cacing jantan 15 sampai 31 cm, dengan ujung posterior melengkung. Bagian anterior dilengkapi tiga buah bibir yang berkembang sempurna (Soedarto, 1991). Telur mempunyai empat bentuk, yaitu tipe dibuahi (fertilized), tidak dibuahi (afertilized), matang dan dekortikasi. Telur yang dibuahi besarnya 60 x 45 mikron, dinding tebal terdiri dari dua lapis. Lapisan luarnya terdiri dari jaringan albuminad, sedangkan lapisan dalam jernih. Isi telur berupa massa sel telur. Telur yang tidak dibuahi berbentuk panjang dan lebih panjang dari pada tipe yang dibuahi. Besarnya 90 x 40 mikron dan dinding luarnya lebih tipis. Isi telur adalah massa granula refraktil. Telur matang berisi larva. Tipe ini menjadi infelatif setelah berada di tanah kurang lebih 3 minggu. Telur yang dekortikasi tidak dibuahi tetapi lapisan luarnya (albuminoid) sudah hilang (Onggowaluyo, J.S, 2001) 1. Telur yang dibuahi 2. Telur yang tidak dibuahi

b. T. trichiura Gambar 1 : telur cacing A. lumbricoides ; (Juni Prianto L.A., 2003) Cacing dewasa berbentuk cambuk. Bagian anterior yang merupakan tiga perlima tubuh berbentuk langsing seperti rambut, sedangkan dua perlima bagian tubuh yang posterior lebih kecil, sehingga cacing ini mirip cambuk. Cacing jantan mempunyai panjang 3-4 cm dengan bagian kaudal melengkung ke arah ventral. Cacing jantan mempunyai satu speculum yang mempunyai selubung refraktil. Cacing betina panjangnya antara 4 5 cm dengan bagian kaudal membulat dan tumpul seperti koma. Cacing betina memproduksi telur sebanyak kurang lebih 3000 sampai 10.000 telur setiap harinya (Soedarto, 1991). Telur Tricuris trichiura berukuran 50-54x 23 mikron. Berbentuk seperti tempayan (tong) dan kedua ujungnya dilengkapi dengan katup dari bahan mucus yang jernih. Kulit luarnya berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih (Brown, HW, 1983).

Gambar 2 : telur cacing T. trichiura. (Juni Prianto L.A., 2003) c. Cacing Tambang Cacing tambang dewasa adalah nematoda yang kecil, seperti silindris. Bentuk kumparan (fusiform) dan berwarna pulih keabu - abuan. Cacing betina ( 9-13x 0,35-0,6 mm) lebih besar daripada yang jantan (5-11 x 0,3-0,45 mm). A.duodenale lebih besar dari pada N. americanus. Cacing ini mempunyai kutikilum yang relative tebal. Pada ujung posterior terdapat bursa kopulatrik yang dipakai untuk memegang cacing betina selama kopulasi. Bentuk badan N. americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A. duodenale mempunyai huruf C (Brown, H.W : 1983). Telur cacing tambang mempunyai ukuran 56-60 x 36-40 mikron berbentuk bulat lonjong, berdinding tipis. Didalamnya terdapat beberapa sel (Soedarto, 1991). d. S. stercoralis Gambar 3 : telur cacing tambang (Juni Prianto L.A., 2003) Pada umumnya hanya cacing betina yang hidup parasitick pada manusia. Cacing betina berbentuk benang halus, tidak berwama dengan panjang sekitar 2,2

mm. Bentuk telur lonjong, mirip telur cacing tambang, berukuran 55 x 30 mikron. Mempunyai dinding tipis yang tembus sinar. Telur dikeluarkan di dalam membran mukosa dan langsung menjadi larva. Larva rhabditiform berukuran antara 200-250 mikron. Larva filariform ukurannya lebih panjang, langsing dan mempunyai mulut yang pendek (Soedarto, 1991). 2. Siklus Hidup Gambar 4 : telur cacing S. stercoralis (Juni Prianto L.A., 2003) a. A lumbricoides Manusia merupakan satu - satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides. Cacing dewasa hidup dalam usus halus manusia. Cacing betina mengeluarkan telur sebanyak 200.000 butir perhari. Telur yang infektif bila tertelan manusia menetes menjadi larva di usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru -paru. Larva diparuparu menembus dinding alveolus, masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea. Dari trakea larva menuju ke faring dan menimbulkan iritasi. Penderita akan batuk karena adanya rangsangan larva ini. Larva di faring tertelan dan terbawa ke oesofagus, terakhir sampai di usus halus dan menjadi dewasa. Mulai dari telur matang yang tertelan sampai menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan. (Onggowaluyo, J.S, 2001).

Gambar 5 : cacing dewasa A. Lumbricoides (Juni Prianto L.A., 2003)

b. T. trichiura Manusia merupakan sumber penularan trikuriasis untuk manusia lainnya. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Cara infeksi langsung yaitu bila hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk dalam usus halus. Sudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari. (Gandahusada, S, 1998). Gambar 6 : cacing dewasa T.trichiura ; (Juni Prianto L.A., 2003)

c. Cacing Tambang Manusia merupakan satu-satunya hospes definitive. Telur yang infektif keluar bersama tinja penderita. Di dalam tanah, dalam waktu 2 hari menetas menjadi larva filariform yang infektif. Kemudian larva filaform menembus kulit lalu memasuki pembuluh darah dan jantung kemudian akan mencapai paru-paru. Setelah melewati bronkus dan trakea, larva masuk ke laring dan faring akhirnya masuk ke usus halus dan tumbuh menjadi dewasa dalam waktu 4 minggu (Soedarto, 1991). 1. Ancylostoma duodenale 2. Necator americanus Gambar 7 : cacing tambang (Juni Prianto L.A., 2003) d. S. stercoralis

Daur hidup cacing ini ada 3 macam cara, yaitu siklus langsung, siklus tidak langsung dan autoinfeksi. 1. Siklus langsung Larva rhabditiform setelah berada 2 3 hari di tanah akan berubah menjadi larva filariform (bentuk infektif). Larva ini hidup ditanah dan dapat menembus kulit manusia kemudian masuk ke vena menuju jantung kanan paru-paru. Dalam paru-paru, cacing menjadi dewasa dan menembus alveolus kemudian masuk ke trakea dan laring sehingga menyebabkan batuk - batuk dan tertelan hingga ke usus halus. 2. Siklus tidak langsung Telur cacing betina setelah dibuahi selanjutnya menetas menjadi larva rhabditiform. Larva ini setelah beberapa hari berkembang menjadi larva filariform (bentuk infektif). Kemudian masuk kedalam hospes baru. 3. Autoinfeksi Larva rhabditiform juga dapat berkembang menjadi larva / filariform di rongga usus. Bila larva filariform menembus mukosa usus atau di daerah perional maka terjadi daur perkembangan di dalam hospes. (Onggowaluyo, J.S).

Gambar 8 ; cacing S. stercoralis. (Juni Prianto L.A., 2003) 3. Patologi Klinik a. A. lumbricoides Kelainan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita terjadi akibat pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Migrasi larva cacing dalam besar di paru - paru penderita akan menimbulkan pneumonia dengan gejala berupa demam, batuk, sesak, dan dahak berdarah. Cacing Ascaris lumbricoides dewasa dalam jumlah yang banyak terutama pada anak dapat menimbulkan kekurangan gizi. Selain itu cairan tubuh dapat menimbulkan reaksi toksi sehingga terjadi gejala mirip demam tifoid disertai tanda alergi misalnya urtikaria, edema di wajah, konjungtivitas dan iritasi pernafasan bagian atas. Selain itu cacing dewasa juga dapat menimbulkan berbagai akibat mekanik, misalnya abstraksi usus (Soedarto, 1991). b. T. trichiura Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama terjadi

kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan responds alergi. Gejala-gejala yang terjadi yaitu diare yang diselingi sindrom disentri, anemia prolapsus rectal dan berat badan turun. (Onggowaluyo, J.S, 2001). c. Cacing tambang Gejala klinis nekatoriasis dan ankilostomosis ditimbulkan oleh adanya larva maupun cacing dewasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah banyak, akan menimbulkan rasa gatal-gatal dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder. Gejala klinik yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, gangguan gizi dan gangguan darah (Onggowaluyo, J.S, 2001). d. S.stercoralis Bila larva menembus kulit maka akan terjadi dermatitis disertai dengan pruritis dan urtikoria (Soedarto, 1991). 4. Diagnosa laboratorium a. A. lumbricaides Cara menegakan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan sampel secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis ascaris. Selain

itu diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung karena muntah, maupun tinja (Gandahusada, S, 1998). b. T. trichiura Untuk menegakkan diagnosis dilakukan pemeriksaan tinja penderita untuk menemukan telur cacing yang berbentuk seperti tempayan. Cacing dewasa dapat dilihat jika terjadi prolapsus rectum atau bila dilakukan pemeriksaan mukosa rectum (Soedarto, 1991). c. Cacing Tambang Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk membedakan spesies larva N. americanus dan A. duodenale dapat dilakukan biakan tinja, misalnya dengan cara Harada-Mori (Gandahusada, S,l 998). d. S.stercoralis Diagnosis klinik tidak pasti karena strongylodes tidak memberikan gejala klinik yang nyata. Diagnosis pasti ialah bila menemukan larva rhabditiform dalam tinja segar, dalam biakan atau aspirasi duodenum. Biakan tinja sekurang - kurangnya 2x24 jam menghasilkan larva flariform dan cacing dewasa Strongyloides stereeralis yang hidup bebas (Gandahusada, S, 1998). 5. Pengobatan a. A. lumbricoides Berbagai obat dapat digunakan untuk mengobati ascariasis. Baik untuk

penderita perseorangan maupun pengobatan massal. Obat cacing yang biasa digunakan adalah piperasin, pirantel pamoat dan mebendazol (Soedarto, 1991). b. T. trichiura Dahulu infeksi trichuris sulit sekali diobati. Obat seperti tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Sekarang dengan adanya mebendazol dan oksantel pamoat, infeksi cacing Trichuris sudah dapat diobati dengan hasil yang cukup baik (Gandahusada, S, 1998). c. Cacing Tambang Pemberian Pirantel pamoat dan mebendasol selama beberapa hari berturut-turut pada umumnya berhasil dengan baik untuk mengobati infeksi cacing tambang. (Soedarto, 1991) d. S. stercoralis Pengobatan dengan levamisol, mebendazol dan pirantel pamoat dapat dicoba meskipun hasilnya kurang memuaskan. Pengobatan dengan tiabendazol ternyata masih merupakan pilihan untuk strongyloidiasis (Soedarto, l991). 6. Epidemiologi a. A. lumbricoides Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yang memunyai kelembapan tinggi pada suhu 25-30. Pada kondisi ini telur tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu 2-3 minggu (Gandahusada, S, 1998).

b. T. trichiura Penyebaranya seiring dengan penyebaran Ascaris lumbricoides. Frekuensi yang tertinggi ditemukan di daeah - daerah dengan hujan lebat, iklim subtropik dan tanah dengan banyak kontaminasi tinja. Anak-anak lebih sering terkena infeksi daripada orang dewasa, karena anak lebih sering bermain -main dengan tanah (Onggowaluyo, J.S). c. Cacing Tambang Insiden tertinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah pedesaan khususnya di perkebunan. Kebanyakan defekasi ditanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi (Gandahusada,S, 1998). d. S. stercoralis Daerah yang panas, kelembapan yang tinggi dan sanitasi yang kurang, sangat menguntungkan cacing strongyloides. Tanah yang baik untuk perumbuhan larva ialah tanah gembur berpasir dan humus. D. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Soil Transmitted Helminths Pencegahan dan pemberantasan infeksi Soil Transmited Helminths dengan

memutus rantai daur hidup yaitu misalnya; 1. Pemberantasan masal berulang-ulang (secara periodik) terhadap penduduk yang terkena infeksi untuk menghilangkan cacing dari dalam tubuh mereka. 2. Perlakuan terhadap kotoran tinja untuk membunuh telur cacing / larva. 3. Tindakan menghilangkan telur cacing. Tindakan utama yang diketengahkan bagi infeksi di daerah yang sangat endemik dapat dicegah dengan : a. Pengobatan terhadap orang-orang yang terkena infeksi b. Pembuangan tinja manusia secara baik c. Mencuci tangan sebelum makan d. Mendidik anak tentang sanitasi dan hygiene perorangan (Gandahusada, S, 1998).