BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Sampai saat ini penyakit penyakit cacing masih tetap merupakan suatu masalah karena kondisi sosial dan ekonomi di beberapa bagian dunia. Pada umumnya, cacing jarang menimbulkan penyakit serius tetapi dapat menyebabkan gangguan kesehatan kronis yang berhubungn dengan faktor ekonomis (Pinardi Hadidjaja, 2011). Di Indonesia, penyakit cacing adalah penyakit rakyat umum, infeksinya pun dapat terjadi secara simultan oleh beberapa jenis cacing sekaligus. Pada anak anak, cacingan akan berdampak pada gangguan kemampuan untuk belajar, dan pada orang dewasa akan menurunkan produktivitas kerja. Dalam jangka panjang, hal ini akan berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia. Penyebab penyakit cacingan termasuk golongan cacing yang ditularkan melalui tanah atau disebut juga Soil Transmitted Helminths. Cara infeksi pada manusia adalah dengan bentuk infektif yang ditemukan dan berkembang di tanah (Akhsin Zulkoni. 2010). Soil Transmitted Helminths yang penting dan menghinggapi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides stecoralis, dan beberapa spesies Trichostrongylus. Nematoda usus lainnya yang penting bagi manusia adalah Oxyuris vermicularis dan Trichinella spiralis (Rosdiana Safar, 2010). Di Indonesia Sejak tahun 2002 hingga 2006 prevalensi penyakit kecacingan secara berurutan adalah sebagai berikut : 33,0%; 46,8%; 28,4%; dan 32,6% (Depkes RI, 2006).

2 2 Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu ke mulut bersama makanan. Tinggi rendahnya frekuensi tingkat kecacingan berhubungan dengan kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang menjadi sumber infeksi. Nematoda usus merupakan kelompok yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia Karena masih banyak yang mengidap cacing ini sehubungan banyaknya faktor yang menunjang untuk hidup suburnya cacing parasiter ini. Faktor penunjang ini antara lain keadaan alam serta iklim, sosial ekonomi, pendidikan, kepadatan penduduk serta masih berkembangnya kebiasaan yang kurang baik (Akhsin Zulkoni, 2010). Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 14 Palangka merupakan sekolah dasar yang berada di jalan Mendawai Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan penelitian mengenai angka kecacingan pada siswa SDN 14 Palangka. Selain itu, masih ditemukan anak anak yang tidak memperhatikan kebersihan perorangan seperti bermain di tanah, sebagian siswa tidak menggunakan alas kaki serta kuku kuku yang tidak di potong dan kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan dan sesudah bermain di tanah. Sehingga dengan kondisi tersebut dapat menjadi faktor penyebab resiko terjadinya kecacingan pada anak dimungkinkan dapat terjadi. Dari uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk memeriksa adanya infeksi cacing Nematoda usus pada anak anak SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya.

3 3 B. Identifikasi Masalah Adapun identifikasi dari penelitian ini adalah : 1. Infeksi Nematoda usus pada anak anak sekolah pada tahun 2002 hingga 2006 memiliki angka prevalensi : 33,0%; 46,8%; 28,4%; dan 32,6%. 2. Infeksi Nematoda usus terutama ditularkan melalui tanah. 3. Cara infeksi Nematoda usus berhubungan dengan kondisi sanitasi lingkungan dan pribadi yang kurang. 4. Lingkungan di SDN 14 Palangka memiliki kondisi sanitasi yang kurang baik. 5. Kebiasaan anak anak masih bermain di tanah dengan tidak menggunakan alas kaki. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah anak - anak SD Negeri 14 Palangka terinfeksi cacing Nematoda usus? 2. Berapa persentase ditemukannya telur cacing Nematoda Usus pada anak anak SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya? 3. Jenis cacing apa yang banyak menginvestasi pada anak anak SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya? D. Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian ini adalah peneliti hanya meneliti sampel feses anak anak kelas 1 SD dan penelitian hanya menentukan persentase ditemukan telur cacing Nematoda Usus (Ascaris lumbricoides, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale, dan Necator americanus) pada anak anak kelas 1 SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya.

4 4 E. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui prevalensi infeksi kecacingan Nematoda usus pada anak anak SD Negeri 14 Palangka, Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya. 2. Mengetahui jenis jenis Nematoda usus yang menginfeksi siswa SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya. F. Manfaat Penelitian a. Mahasiswa Menambah pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai bahan untuk penelitian yang lebih mendalam, terutama infeksi kecacingan pada anak anak. b. Masyarakat Memberikan informasi khususnya orang tua yang memiliki anak tentang tingkat kontaminasi telur cacing Nematoda usus agar lebih memperhatikan kebersihan lingkungan dan kebersihan anak anak serta membiasakan mencuci tangan sebelum memakan makanan.

5 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nematoda Usus Nematoda merupakan jumlah spesies yang terbesar di antara cacing yang hidup sebagai parasit pada manusia, cacing tersebut berbeda beda dalam habitat, daur hidup dan hubungan hospes parasit (Host parasite relationship). Nematoda usus adalah Nematoda yang berhabitat di saluran pencernaan manusia dan hewan. Manusia merupakan hospes beberapa Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini adalah penyebab masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Di antara Nematoda usus ini terdapat beberapa spesies yang tergolong Soil Transmitted Helminths, yaitu Nematoda yang dalam siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif, memerlukan tanah dengan kondisi tertentu. Nematoda golongan Soil Transmitted Helminths yang penting dan menghinggapi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides stecoralis, dan beberapa spesies Trichostrongylus. Nematoda usus lainnya yang penting bagi manusia adalah Oxyuris vermicularis dan Trichinella spiralis (Rosdiana Safar, 2010). Besar dan panjang cacing Nematoda usus beragam, ada yang panjangnya beberapa millimeter, ada pula yang panjangnya melebihi satu meter. Dinding badan dibagi dalam lapisan kutikulum bagian luar, hipodermis dan sel otot somatic. Hipodermis menonjol ke dalam badan dalam bentuk korda lateral, ventral dan dorsal. Kutikulum mungkin mempunyai bermacam ciri dan tonjolan yang berguna untuk identifikasi spesies. Saluran pencernaan merupakan suatu pipa yang terdiri atas rongga mulut, usus tengah (midgut), dan usus belakang (hindgut) atau rectum yang terbuka ke dalam anus yang subterminal esofagus berotot. Sistem ekskresi terdiri atas dua pipa di dalam korda lateral. Pada ujung anterior pipa pipa ini berhubungan dan terbuka di bagian tengah ventral sebagai

6 6 sinus ekskretorius. Sistem saraf terdiri dari cincin saraf yang mengelilingi esofagus dan dari sini keluar cabang cabang ke anterior dan posterior. Alat kelamin jantan berbentuk pipa yang dapat dibagi dalam duktus ejakulatorius kecil, vesica seminalis, vas deferens dan testis. Duktus ejakulatorius, bersama dengan rectum, terbuka ke dalam kloaka. Alat kelamin betina juga berbentuk pipa yang mungkin didelphic atau monodelphic tiap pipa terdiri atas ovarium, oviduktus, reseptakulum seminalis, uterus, vagina dan vulva (Chairil Anwar, 1997). Seekor cacing betina dapat mengeluarkan telur atau larva sebanyak 20 sampai butir sehari. Telur atau larva tersebut dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Larva biasanya mengalami pertumbuhan diikuti pergantian kulit. Bentuk infektif dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara. Ada yang masuk secara aktif ada pula yang tertelan melalui telur (Rosdiana Safar, 2010). B. Ascaris Lumbricoides (Cacing Gelang) 1. Klasifikasi Ascaris Lumbricoides Phylum : Nemathelminthes Class : Nematoda Subclass : Secernemtea Ordo : Ascoridida Sub famili : Ascoridciidae Genus : Ascaris Spesies : Ascaris Lumbricoides 2. Hospes dan nama penyakit Hospes definitifnya hanya manusia, jadi manusia pada infeksi cacing ini sebagai hospes obligat. Cacing dewasanya berhabitat di rongga usus halus, penyakit yang disebabkannya disebut askariasis (Rosdiana Safar, 2010).

7 7 3. Morfologi Cacing dewasa hidup di dalam rongga usus halus manusia. Panjang cacing yang betina cm dan cacing jantan cm. Cacing betina dapat bertelur sampai butir sehari, yang dapat berlangsung selama masa hidupnya yaitu kira kira 1 tahun. Telur cacing ini ada yang dibuahi, disebut Fertilized. Bentuk ini ada dua macam, yaitu yang mempunyai cortex, disebut Fertilized-corticated dan yang lain tidak mempunyai cortex, disebut Fertilized-decorticated. Ukuran telur ini mikron. Telur yang tidak dibuahi disebut Unfertilized, ukurannya lebih lonjong mikron dan tidak mengandung embrio di dalamnya (Rosdiana Safar, 2010). (a) (b) (c) Gambar 1. Telur cacing Ascaris lumbricoides. (a) Dibuahi (Decorticated) (b) yang tidak dibuahi (Unfertilized). (c) yang berisi embrio (Fertilized). (pembesaran 10 x 20). Sumber : Widoyono, 2011.

8 8 4. Siklus Hidup Siklus hidupnya dimulai sejak dikeluarkannya telur oleh cacing betina di usus halus dan kemudian dikeluarkan bersama tinja. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas di usus halus, maka didalam usus halus larva akan menetas, keluar menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan. (Gandahusada, 1998). Gambar 2. Siklus hidup Ascaris lumbricoides (cacing tambang). Sumber : Widoyono, 2011.

9 9 5. Epidemiologi Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak frekuensinya 60-90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Di Negara negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu C merupakan kondisi yang sangat baik untuk berkembangnya telur A.lumbricoides menjadi bentuk infektif (Inge Susanto, dkk 2011). 6. Distribusi Geografik Cacing ini ditemukan kosmopolit (di seluruh dunia), terutama di daerah tropik dan erat hubungannya dengan hygiene dan sanitasi. Lebih sering ditemukan pada anak anak. Di Indonesia frekuensinya tinggi berkisar antara 60-90% (Rosdiana Safar, 2010) 7. Patologi dan Gejala Klinis Infeksi A. lumbricoides akan menimbulkan penyakit Askariasis. Penyakit ini menimbulkan gejala yang disebabkan oleh stadium larva dan stadium dewasa. a) Stadium larva, yaitu kerusakan pada paru paru yang menimbulkan gejala yang disebut Sindrom Loeffler yang terdiri dari batuk batuk, eosinofil dalam darah meningkat, dan dalam Rontgen foto thorax terlihat bayangan putih halus yang merata di seluruh lapangan paru yang akan hilang dalam waktu 2 minggu. Gejala dapat ringan dan dapat menjadi berat pada penderita yang rentan atau infeksi berat. b) Stadium dewasa, biasanya terjadi gejala usus ringan. Pada infeksi berat, terutama pada anak anak dapat terjadi malabsorbsi yang memperberat malnutrisi karena perampasan makanan oleh cacing dewasa. Bila cacing dewasa menumpuk dapat menimbulkan ileus obstruksi. Bila cacing nyasar

10 10 ke tempat lain dapat terjadi infeksi ektopik pada apendiks dan ductus choledochus (Rosdiana Safar, 2010). 8. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja penderita atau larva pada sputum, dan dapat juga dengan menemukan cacing dewasa keluar bersama tinja atau melalui muntah pada infeksi berat (Akhsin Zulkoni, 2010). 9. Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan secar missal atau perorangan. Untuk perorangan dapat digunakan bermacm macam obat misalnya piperasin, pirantel pamoat 10 mg/kg berat badan, dosis tunggal mebendazol 500 mg atau albendazol 400 mg. oksantel pirantel pamoat adalah obat yang dapat digunakan untuk infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura (Akhsin Zulkoni, 2010) C. Trichuris trichiura (Cacing Cambuk) 1. Klasifikasi Ascaris Lumbricoides Phylum : Nemathelminthes Class : Nematoda Subclass : Adenophorea Ordo : Enoplida Sub famili : Trichinelloides Genus : Trichuris Spesies : Trichuris trichiura 2. Hospes dan Nama Penyakitnya Hospes definitif manusia dan penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis (Gandahusada, 1998).

11 11 3. Morfologi Cacing betina 3,5-5 cm dan jantan 3,0-4,5 cm. Tiga per lima, anterior tubuh halus seperti benang, dua per lima bagian posterior tubuh lebih tebal, berisi usus dan perangkat alat kelamin. Cacing jantan tubuhnya membengkok ke depan hingga membentuk satu lingkaran penuh, satu spikula tunggal menonjol keluar melalui selaput retraksi. Bagian posterior tubuh cacing betina membulat tumpul dan vulva terletak pada ujung anterior bagian yang tebal dari tubuhnya. Seekor cacing betina dalam satu hari dapat bertelur butir. Telur cacing ini berbentuk tempayan dengan semacam tutup yang jernih dan menonjol pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning kuningan dan bagian dalamnya jernih, besarnya 50 mikron. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian anteriornya seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus (Rosdiana Safar, 2010). Gambar 3. Telur cacing Trichuris trichiura yang berisi embrio (pembesaran 10 x 40). Sumber : Prianto Juni, dkk Siklus Hidup Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infekif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang, maka telur akan menetaskan larva yang akan berpenetrasi pada mukosa usus halus selama 3-10 hari. Selanjutnya

12 12 larva akan bergerak turun dengan lambat untuk menjadi dewasa di sekum dan kolon asendens. Siklus hidup dari telur sampai cacing dewasa memerlukan waktu sekitar tiga bulan. Di dalam sekum, cacing bisa hidup sampai bertahun tahun. Cacing akan meletakkan telur pada sekum dan telur telur ini keluar bersama tinja (Widoyono, 2011). Gambar 4. Siklus hidup Trichuris trichiura (cacing cambuk). Sumber : Widoyono, Epidemiologi Penyebaran penyakit ini adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimal 30 C. Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar 30-90% (Rosdiana Safar, 2010). 6. Distribusi Geografis Penyebaran secara kosmopolit, terutama di daerah panas dan lembab, seperti di Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia, prevalensi masih tinggi seperti yng dikemukan Departemen Kesehatan pada tahun

13 /1991 antara lain 53% pada masyarakat Bali, 36,2% di perkebunan di Sumatera Selatan, 51,6% pada sejumlah sekolah di Jakarta. Prevalensi dibawah 10% ditemukan pada pekerja pertambangan di Sumatera Barat (2,84%) adan di sekolah sekolah di Sulawesi Utara (7,42%). Pada tahun 1996 di Musi banyuasiin, Sumatera Selatan infeksi Trichuris ditemukan sebanyak 60% diantara 365 anak sekolah dasar (Gandahusada, 1998). 7. Patologi dan Gejala Klinis Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rectum. Kadang kadang terlihat di mokusa rectum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya kedalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Di tempat perletakkannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu cacing ini juga menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia (Inge Susanto, dkk 2011). Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun, menunjukkan gejala diare yang sering diselingi sindromdisentri, anemia, berat badan turun dna kadang-kadang disertai prolapsus rektum. Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala (Inge Susanto, dkk 2011). 8. Diagnosis Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan tinja dengan mikroskop, akan ditemukan telur parasit yang berbentuk tong (Akhsin Zulkoni, 2010).

14 14 9. Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan secara efektif dengan Mebendazol 100 mg (dua kali sehari selama tiga hari berturut turut), Pyrantel dan Albendazol 400 mg (dosis tunggal). Hati hati dengan Mebendazol karena tidak boleh diberikan kepada wanita hamilsebab bias membahayakan janin yang dikandungnya.infeksi ringan tidak memerlukan pengobatan yang khusus (Akhsin Zulkoni, 2010). D. Enterobius vermicularis (Cacing Kremi) 1. Klasifikasi Enterobius vermicularis Phylum : Nemathelminthes Class : Nematoda Subclass : Secememtea Ordo : Oxyurida Sub famili : Oxyuroidae Genus : Enterobius Spesies : Enterobius vermicularis 2. Hospes dan Nama Penyakit Hospes definitifnya adalah manusia dan dapat menimbulkan penyakit Enterobiasis atau Oksiuriasis (Rosdiana Safar, 2010). 3. Morfologi Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. pada ujung anterior ada pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esofagusnya jelas, ekor runcing dan panjang, badan kaku, uterus gravid penuh berisi telur. Cacing jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar, spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum. Makananya adalah isi usus. Cacing betina dalam satu hari dapat bertelur butir, bermigrasi ke daerah perianal untuk

15 15 bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya. Telur berbentuk lonjong asimetris. Dinding telur bening dan agak lebih tebal dari dinding telur cacing tambang. Telur menjadi matang dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Kopulasi cacing jantan dan cacing betina mungkin terjadi di sekum. Cacing jantan mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur (Gandahusada, 1998). Gambar 5. Telur Enterobius vermicularis yang berisi embrio. (pembesaran 10 x 40) Sumber : Prianto Juni, dkk Siklus Hidup Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang. Bila telur matang yang tertelan, telur akan menetas di usus halus selanjutnya larva kan bermigrasi ke daerah sekitar anus (sekum, caecum). Disini larva akan tinggal sampai menjadi dewasa, kemudian cacing dewasa betina akan bermigrasi pada malam hari ke daerah sekitar anus untuk bertelur, telur akan terdeposit di sekitar area ini. Hal ini akan menyebabkan rasa gatal di sekitar anus (pruritus ani nocturnal). Apabila digaruk maka penularan dapat terjadi dari kuku jari tangan ke mulut (self infection, infeksi oleh diri sendiri). Infeksi dapat juga terjadi karena menghisap debu yang mengandung telur dan retrofeksi dari anus. Bila sifat infeksinya adalah retroinfeksi dari anus, maka telur akan

16 16 menetas di sekitar anus, selanjutnya larva akan bermigrasi ke kolon asendens, sekum, atau apendiks dan berkembang sampai dewasa (Widoyono, 2011). Gamabar 6. Siklus hidup Enterobius vermicularis (cacing kremi). Sumber : Widoyono, Epidemiologi Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Penularan dapat terjadi pada keluarga atau kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama. Telur cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan menjadi sumber infeksi bagi anak anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet, tempat tempat duduk kakus (toilet seats), bak mandi, alas kasur, pakaian dan tilam (Gandahusada, 1998). 6. Distribusi Geografis Parasit ini kosmopolit, di Indonesia frekuensinya tinggi, terutama pada anak anak. Parasit ini banyak ditemukan di daerah dingin daripada di daerah panas. Hal ini mungkin disebabkan pada umumnya orang di daerah dingin jarang mandi dan mengganti baju dalam. Penyebaran cacing ini juga

17 17 ditunjang oleh eratnya hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya serta lingkungan yang sesuai (Rosdiana Safar, 2010). Hasil penelitian menunjukkan angka prevalensi pada berbagai golongan manusia 3%-80%. Penelitian di daerah Jakarta Timur melaporkan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita enterobiasis adalah kelompok usia 5-9 tahun yaitu pada 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa (Rosdiana Safar, 2010). 7. Patologi dan Gejala Klinis Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan pruritus ani, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari hingga pemderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan daerah tersebut.cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan di tuba fallopi sehingga menyebabkan radang di saluran telur.cacing sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabkan apendisitis (Inge Susanto, dkk. 2011) Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu makan, berat badan turun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah, gigi menggeretak, insomnia dan masturbasi, tetapi kadang kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi (Inge Susanto, dkk 2011).

18 18 8. Diagnosis Infeksi cacing dapat diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di sekitar anus pada waktu malam hari. Diagnose dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal swab yang ditempelkan disekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat (cebok). (Inge Susanto, dkk 2011). Anal swab adalah suatu alat dan batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya diletakkan scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ditempelkan di daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca dan di bubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopis. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tiga hari berturu turut (Inge Susanto, dkk 2011). 9. Pengobatan Mebendazol, albendazol, dan pyranthel palmoate tidak mematikan telurnya, sehingga setelah dua miinggu cacing yang menetas harus diobati. Obat pilihan kedua yaitu piperazin. Seluruh anggota keluarga dalam satu rumah harus meminum obat tersebut karena infeksi ulang bisa menyebar dari satu orang kepada yang lainnya. Untuk mengurangi rasa gatal, bisa dioleskan krim atau salep anti gatal ke daerah sekitar anus sebanyak 2-3 kali/hari. Meskipun telah diobati, sering terjadi infeksi ulang karena telur yang masih hidup di dalam tinja selama seminggu setelah pengobatan. Pakaian, seprei dan mainan anak sebaiknya sering dicuci untuk memusnahkan telur cacing yang tersisa (Akhsin Zulkoni, 2010).

19 19 E. Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Cacing Tambang) 1. Klasifikasi a) Necator americanus Phylum : Nematoda Class : Secernentea Ordo : Strongylida Famili : Uncinariidae Genus : Necator Spesies : Necator americanus b) Ancylostoma duodenale Kingdom : Animalia Phylum : Nematoda Class : Secernentea Ordo : Strongylida Famili : Ancylostomatidae Genus : Ancylostoma Spesies : Ancylostoma duodenale 2. Hospes dan Nama Penyakit Hospes penyakit ini adalah manusia, cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis (Gandahusada, 1998). 3. Morfologi Ancylostoma duodenale ukurannya lebih besar dari Necator americanus. Yang betina ukurannya mm x 0,6 mm, yang jantan 8-11 x 0,5 mm, bentuknya menyerupai huruf C, Necator americanus berbentuk huruf S, ukuran yang betina 9-11 x 0,4 mm dan yang jantan 7-9 x 0,3 mm. rongga mulut Ancylostoma duodenale mempunyai dua pasang gigi, Necator americanus mempunyai sepasang benda kitin. Alat kelamin pada yang jantan adalah tunggal yang disebut bursa copalatrix. Ancylostoma duodenale betina dalam satu hari bertelur butir, sedangkan Necator americanus 9.000

20 20 butir. telur dari kedua spesies ini tidak dapat dibedakan, ukurannya mikron, bentuk lonjong dengan dinding tipis dan jernih. Ovum dari telur yang baru dikeluarkan tidak bersegmen. Di tanah dengan suhu optimal C, ovum akan berkembang menjadi 2, 4 dan 8 lobus. Telur ini di tanah suhu 0 C, dapat hidup dalam waktu 7 hari dan dapat hidup dalam beberapa hari pada suhu 45 C sedang pada suhu optimal C dalam waktu jam telur akan menetas dan keluar larva rhabditiform yang panjangnya ± 250 mikron.dalam waktu ± 3 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform yang panjangnya ± 600 mikron. Cacing ini mempunyi mulut yang terbuka. Dalam waktu 3-5 hari, larva menjadi lebih panjang dan kurus dengan mulut tertutup dan runcing (Rosdiana Safar, 2010). Gambar 7. Telur cacing tambang. (pembesaran 10 x 40) Sumber : Prianto Juni, dkk Siklus Hidup Cacing dewasa hidup dan bertelur di dalam ⅓ atas usus halus kemudian telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari telur akan berkembang menjadi larva di tanah yang sesuai suhu dan kelembabannya, keluarlah larva bentuk pertama disebut rhabditiform. Dalam waktu ± 3 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform. Kemudian larva filariform akan memasuki tubuh manusia melalui kulit (telapak kaki, terutama untuk N.americanus) untuk masuk ke peredaran darah selanjutnya

21 21 larva akan ke paru paru naik ke trakea, berlanjut ke faring, kemudian larva tertelan ke saluran pencernaan usus halus. Larva bisa hidup dalam usus sampai delapan tahun dengan menghisap darah (1 cacing = 0,2 ml/hari). Cara infeksi kedua yang bukan melalui kulit adalah tertelannya larva (terutama A.duodenale) dari makanan atau minuman yang tercemar (Widoyono, 2011). Gambar 8. Siklus hidup cacing tambang. Sumber : Widoyono, Epidemiologi Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaina tinja sebagai pupuk kebun penting dalam penyebara infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk N. americanus C, sedangkan untuk A. duodenale lebih rendah (23-25 C). Pada umumnya A. duodenale lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antar alain dengan memakai sandal atau sepatu (Inge Susanto, dkk 2011).

22 22 6. Distribusi Geografis Cacing ini terdapat hamper di seluruh daerah khatulistiwa, terutama di daerah pertambangan. Frekuensi cacing ini di Indonesia masih tinggi kira kira 60-70%, terutama di daerah pertanian dan pinggir pantai (Rosdiana safar 2010). 7. Patologi dan Gejala Klinis Gejala Nekatoriasis dan Ankilostomiasis : a) Stadium larva Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut Ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan. Infeksi larva filariform A. duodenale secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher dan serak. b) Stadium dewasa Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing, keadaan gizi penderita (Fe dan protein) tiap cacing N. americanus menyebabkan kehilangan darah 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan A. duodenale 0,08-0,34 cc. Pada infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping itu juga dapat eosinofialia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun sehingga dapat berakibat Decompensatio Cordis (Inge Susanto, dkk 2011). 8. Diagnosis Jika timbul gejala, maka pada pemeriksaan tinja penderita akan ditemukan telur cacing tambang. Jika dalam beberapa jam tinja dibiarkan maka telur akan mengeram dan menetaskan larva yang dapat diamati dibawah mikroskop. Telur kedua spesies ini tidak bisa dibedakan, untuk membedakan spesies telur dibiakan menjadi larva dengan salah satu cara, yaitu Harada Mori (Akhsin Zulkoni, 2010).

23 23 9. Pengobatan Pengobatan diarahkan pada dua tujuan, yakni memperbaiki kondisi darah (makanan yang bergizi dan senyawa besi) dan memberantas cacing. Mebendazol dan Pyrantel merupakan obat cacing pilihan pertama yang sekaligus membasmi cacing gelang jika terjadi infeksi campuran. Obat ini tidak boleh diberikan kepada ibu hamil karena bias membahayakan janin yang dikandungnya. Untuk memperbaiki anemia dapat dilakukan dengan cara memberikan tambahan zat besi per-oral atau suntikan zat besi. Pada kasus yang berat mungkin perlu dilakukan transfusi darah (Akhsin Zulkoni, 2010). F. Pemeriksaan Nematoda Usus 1. Feses Feses adalah adalah produk buangan saluran pencernaan yang dikeluarkan melalui anus. Pada manusia, proses pembuangan kotoran dapat terjadi antara sekali dua atau dua hari hingga beberapa kali dalam sehari. Dalam keadaan normal dua pertiga feses terdiri dari air dan sisa makanan zat hasil sekresi saluran pencernaan, epitel usus, bakteri apatogen, asam lemak, urobilin, debris, celulosa gas indol, skatol, sterkobilinogen dan bahan patologis. Bau khas dari feses disebabkan oleh aktivitas bakteri. Bakteri mengahasilkan senyawa seperti indole, sketole, dan thiol (senyawa yang mengandung belerang), dan juga gas hidrogen sulfida. Feses umumnya berwarna kuning di karenakan bilirubin (sel darah merah yang mati, yang juga merupakan zat pemberi warna pada feses dan urin). Pemeriksaan feses dilakukan untuk pemeriksaan penunjang diagnosis suatu penyakit, karena feses mewakili bagaimana gambaran yang terjadi di dalam tubuh contohnya infeksi parasit dan telur cacing (Budiman, 2012). Feses untuk pemeriksaan sebaiknya yang berasal dari defekasi spontan, jika sangat diperlukan, boleh juga sampel tinja diambil dengan jari bersarung dari rectum. Untuk pemeriksaan biasa dipakai feses sewaktu, jarang diperlukan

24 24 feses 24 jam untuk pemeriksaan tertentu. Feses hendaknya diperiksa dalam keadaan segar, kalau dibiarkan mungkin sekali unsur unsur dalam tinja itu menjadi rusak (Gandasoebrata, 2007). 2. Pemeriksaan Makroskopis Feses a. Warna Warna tinja yang dibiarkan pada udara menjadi lebih tua karena terbentunya lebih banyak urobilin dari urobilinogen yang dieksresikan lewat usus. Urobilinogen tidak berwarna, sedangkan urobilin berwarna coklat tua. Selain urobilin yang normal ada, warna tinja dipengaruhi oleh jenis makanan, oleh kelainan dalam saluran pencernaan usus dan oleh obat obatan (Gandasoebrata, 2007). b. Baunya Bau normal tinja disebabkan oleh indol, skatol dan asam butirat. Bau itu menjadi bau busuk jika dalam usus terjadi pembusukan isinya, yaitu protein yang dicernakan dan dirombak oleh kuman kuman (Gandasoebrata, 2007). c. Konsistensi Tinja normal agak lunak dan mempunyai bentuk. Pada diare konsistensi menjadi sangat lunak atau cair. Peragian karbohidrat dalam usus menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas (CO 2 ) (Gandasoebrata, 2007). Apabila konsistensi tinja dapat ditemukan (padat, setengah padat, lunak, atau cair), maka dapat diperkirakan jenis organisme yang ada. Trofozoit (bentuk motil) dari protozoa usus biasanya ditemukan dalam spesimen setengah padat atau padat (Gracia, dkk 1996). d. Lendir Adanya lendir berarti rangsangan atau radang dinding usus. Kalau lendir itu hanya didapat di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu mungkin

25 25 usus besar, kalau bercampur baur dengan tinja mungkin sekali usus kecil (Gandasoebrata, 2007). Pada infeksi parasit tertentu, dapat ditemukan darah dan lendir. Bila tinjanya lunak atau encer, kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh infeksi amebik, bagian darah yang berlendir harus diperiksa secara seksama untuk mencari adanya amoeba bentuk trofozoit (Gracia, dkk 1996). e. Darah Perhatikan apa darah itu segar (merah muda), coklat atau hitam dan apakah bercampur baur atau hanya di bagian luar tinja (Gandasoebrata, 2007). Adanya darah samar dalam tinja mungkin berhubungan dengan infeksi parasit atau mungkin juga tidak, dan dapat juga disebabkan oleh berbagai sebab lainnya. Menelan berbagai bahan dapat menyebabkan warna tinja yang bebeda beda (Gracia, dkk 1996). f. Parasit Cacing Ascaris, Ancylostoma, dll. Mungkin terlihat (Gandasoebrata, 2007). 3. Pemeriksaan Miksroskopis Feses Selain kotoran yang normal terdapat dalam tinja, pada pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan : a. Trofozoit dan kista protozoa usus. b. Telur dan larva cacing. c. Sel darah merah yang menunjukkan adanya ulserasi atau masalah perdarahan lainnya. d. Sel darah putih PMN (Polimorfonuklear Netrofil) yang menunjukkan adanya peradangan.

26 26 e. Sel darah merah (eosinofil) yang biasanya menunjukkan adanya respons imun (yang mungkin berhubungan dengan infeksi parasit). f. Makrofag yang mungkin ada pada infeksi bakteri maupun parasit. g. Kristal Charcot-Leyden yang dapat ditemukan bila terjadi disintegrasi eosinofil (dapat/tidak berhubungan dengan infeksi parasit). h. Jamur Candida sp. Dan jamur seperti ragi (Yeast like fungi) atau ragi. i. Sel sel tanaman, butiran tepung sari, atau spora jamur yang dapat menyerupai beberapa telur cacing atau kista protozoa. j. Serat serat tanaman atau akar rambut atau rambut binatang yang dapat menyerupai larva cacing (Gracia, dkk 1996). 4. Macam macam metode pemeriksaan feses a. Pemeriksaan Secara Langsung (Sediaan Basah) Pemeriksaan secara langsung (Sediaan Basah) merupakan pemeriksaan dengan metode natif. Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaan eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya. Pemeriksaan secara langsung feses dimaksudkan untuk menemukan telur cacing parasit pada feses yang diperiksa. Dalam pemeriksaan feses langsung dapat ditemukan telur cacing, leukosit, eritrosit, sel epitel, Kristal, makrofag dan sel ragi. Dari semua pemeriksaan ini yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap protozoa dan telur cacing (Budiman, 2012).

27 27 b. Metode Konsentrasi Konsentrasi tinja merupakan bagian dari prosedur rutin pemeriksaan parasit yang lengkap untuk mendeteksi sejumlah kecil parasit yang mungkin tidak ditemukan pada pemeriksaan sediaan langsung. Terdapat dua jenis prosedur konsentrasi yaitu flotasi dan sedimentasi. Metode ini dirancang untuk memisahkan organisme protozoa dan telur cacing dari kotoran tinja melalui perbedaan berat jenis. Teknik flotasi memungkinkan terpisahnya kista protozoa, telur dan larva cacing tertentu dengan menggunakan cairan berberat jenis tinggi. Elemen elemen parasit ditemukan di lapisan permukaan dan kotoran tetap di dasar tabung. Teknik sedimentasi (dengan menggunakan sentrifus) dapat menemukan semua protozoa, telur, dan larva yang ada, teknik ini dianjurkan untuk mendeteksi infeksinya (Gracia, dkk. 1996). c. Metode Harada Mori Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Strongyloides Stercolaris dan Trichostrongilus yang didapat dari feses yang diperiksa. Teknik ini hanya digunakan untuk cacing cacing yang menetas di luar tubuh hospes akan menetas 7 hari menjadi larva dengan kelembaban yang cukup d. Metode Kato Teknik ini digunakan untuk mengetahui adanya infeksi cacing parasit dan untuk mengetahui berat ringannya infeksi cacing parasit usus. Mengidentifikasi telur cacing dilakukan dengan menghitung telur cacing untuk mengetahui intessitas infeksi cacing (Rawina Winata, 2012).

28 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Dalam penulisan karya tulis ini menggunakan metode deskriptif, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa atau kejadian yang berlangsung saat penelitian tanpa menghiraukan sebelum dan sesudahnya. Data yang diperoleh kemudian diolah, ditafsirkan dan disimpulkan. Dalam penelitian ini akan ditentukan angka kecacingan Nematoda usus pada anak anak SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya (Notoatmodjo. 2005). B. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu : Juni Tempat : Tempat penelitian dilakukan di SDN 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya dan untuk pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Universitas Muhammadiyah PalangkaRaya. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Sebagai populasi penelitian ini adalah siswa kelas 1 SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya tahun 2014 yang berjumlah 50 siswa. Karena jumlah siswa yang terrbanyak hanya ada di kelas 1, dimana yang diketahui siswa kelas 1 masih belum mengerti tentang menjaga kebersihan diri sendiri.

29 29 2. Sampel Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Accidental Sampling Karena pengambilan sampel berdasarkan kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia. Sampel dalam penelitian ini adalah bagian dari populasi yang berjumlah 26 siswa. Bahan pemeriksaan adalah feses anak anak kelas 1 SD Negeri 14 Palangka kecamatan Jekan Raya yang diambil pada pagi hari setelah bangun tidur, kemudian dilakukan pemeriksaan dengan metode langsung untuk mengetahui ditemukannya telur cacing Nematoda usus (Notoatmodjo. 2005). D. Instrumen Penelitian 1. Peralatan Teknis a. Penampung Feses - Pot plastik yang bertutup ulir b. Bahan pemeriksaan - Feses - Reagen eosin 2% c. Pemeriksaan Mikroskopis - Mikroskop - Lidi - Kaca objek - Deck glass/cover slip - Pipet tetes/pasteur 2. Peralatan Non Teknis Dalam penelitian ini sebagai peralatan non teknis yaitu data data jumlah feses yang diambil dan lembaran hasil pemeriksaan.

30 30 E. Definisi Operasional Penelitian a. Pemeriksaan telur cacing adalah pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui adanya infeksi cacing parasit pada feses yang diperiksa (Budiman, 2012). b. Nematoda Usus adalah Nematoda yang berhabitat di saluran pencernaan manusia dan hewan yang mempunyai jumlah spesies terbanyak di antara cacing cacing yang hidup sebagai parasit. (Rosdiana Safar, 2010). c. Feses adalah produk buangan saluran pencernaan yang dikeluarkan melalui anus. F. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data dikumpulkan dari hasil pemeriksaan telur cacing Nematoda usus pada anak anak kelas 1 SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan raya Kota Palangka Raya. 1. Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini sampel diambil dengan cara pembagian pot plastik/tempat spesimen feses yang sebelumnya telah diberi kode pada anak anak kelas 1 SD Negeri 14 Palangka, feses yang diambil berupa feses pagi hari setelah bangun tidur. 2. Prosedur Analisa a. Pemeriksaan Laboratorium Telur Cacing Nematoda Usus 1. Metode : Sediaan langsung dengan larutan eosin 2% 2. Dengan penambahan zat eosin maka mikroorganisme dan unsur unsur lain dalam feses akan tampak jelas. 3. Reagensia dan Bahan Feses Larutan eosin 2%

31 31 b. Cara pemeriksaan sampel 1. Meneteskan 1-2 tetes larutan eosin 2% pada kaca objek yang bersih. 2. Mengambil feses seujung lidi (± 2 mg) dengan lidi aduk sampai rata pada larutan eosin 2%. 3. Menutup dengan kaca penutup. 4. Lihat di bawah mikroskop mula mula pembesaran 10 X objektif dan kemudian dilanjutkan dengan lensa objektif 40 X objektif (Gracia, dkk 1996). G. Teknik Analisis Pemeriksaan sampel feses dinyatakan positif apabila dalam pemeriksaan mikroskopis ditemukan telur cacing Nematoda usus (Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Enterobius vermicularis, Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). Pemeriksaan dinyatakan negatif apabila dalam pemeriksaan mikroskopis tidak ditemukan telur cacing Nematoda usus. H. Pengolahan dan Analisis Data Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh data dari hasil penelitian berdasarkan teknik pengumpulan data dan teknik analisis yang kemudian sampel yang positif dianalisis dengan rumus perhitungan presentase sebagai berikut. P = x 100 % Keterangan : P = Presentase angka kecacingan F = Jumlah sampel positif kecacingan N = Jumlah sampel yang diperiksa 100% = Pengali Tetap (Margono. 2003).

32 32 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Sampel feses didapat dari Siswa SD Negeri 14 Palangka yang berada dijalan mendawai Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya. Pengambilan sampel dilaksanakan pada tanggal juni 2014 secara bertahap yaitu pada hari pertama anak anak dibagikan pot plastik yang bertutup ulir sebagai tempat sampel feses yang sudah diberi label kemudian pada hari kedua pagi hari dilakukan pengumpulan pot plastik yang berisi sampel feses, kemudian pada hari ketiga dilakukan pengumpulan pot pot sampel feses yang terakhir. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 26 sampel yang terdiri dari anak laki laki (14 orang) dan anak perempuan (12 orang). Berdasarkan pemeriksaan mikroskopis telur cacing Nematoda usus (Ascaris lumbricoides, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale, dan Necator americanus) maka didapat hasil pemeriksaan 1 sampel (3%) positif telur Trichuris trichiura, dan 25 sampel (97%) negatif. Hasil dapat dilhat pada tabel berikut ini (tabel 1) : Tabel 1. Hasil pemeriksaan telur cacing Nematoda usus Jenis Telur Cacing N.americanus Ascaris Trichuris Enterobius Jumlah dan lumbricoides trichiura vermicularis A.duodenale Pos Neg Pos Neg Pos Neg Pos Neg Anak Anak Anak Anak Anak Anak Sumber : Dari data hasil penelitian

33 33 B. Pembahasan Berdasarkan dari hasil penelitian terhadap sampel feses pada Siswa SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya sebanyak 26 sampel yang dilaksanakan pada tanggal juni Kemudian pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Universitas Muhammadiyah Palalangkraya menggunakan pemeriksaan dengan metode sediaan langsung menggunakan reagen eosin 2% dengan penambahan zat warna eosin maka mikroorganisme dan unsur unsur lain dalam feses akan tampak jelas atau terwarnai. Hasil pemeriksaan diatas menunjukkan adanya infeksi cacing Trichuris trichiura pada anak anak SD Negeri 14 Palangka. Hal ini dikarenakan tempat tinggal mereka berdekatan dengan pasar sehingga kurangnya sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan dengan kuku kuku mereka yang panjang, serta kebiasaan bermain di tanah dan kebiasaan jajan disembarang tempat, yang mana kebiasaan tersebut bisa menjadi sumber penularan kecacingan pada anak. Pada siklus hidup Trichuris trichiura telur cacing dapat ditemukan pada tanah dan menjadi sumber infeksi bagi manusia, Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang, maka telur akan menetaskan larva yang akan berpenetrasi pada mukosa usus halus selama 3-10 hari. Selanjutnya larva akan bergerak turun dengan lambat untuk menjadi dewasa di sekum dan kolon asendens. Siklus hidup dari telur sampai cacing dewasa memerlukan waktu sekitar tiga bulan. Di dalam sekum, cacing bisa hidup sampai bertahun tahun. Cacing akan meletakkan telur pada sekum dan telur telur ini keluar bersama tinja (Widoyono, 2011). Gangguan yang disebabkan infeksi Trichuris trichiura ini berhubungan dengan respon imun tubuh hospesnya, cacing ini memasukan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan

34 34 mukosa usus. Pada penderita terutama anak anak dengan infeksi yang berat dan menahun, menunjukkan gejala gejala nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia karena cacing ini menghisap darah hospesnya, serta berat badan turun dan kadang kadang disertai prolapsus rektum (Gandahusada, 1998). Penyakit kecacingan sangan erat kaiatannya dengan sanitasi lingkungan, dan kebersihan perorangan. Dengan ditemukannya infeksi telur cacing pada anak diharapkan masyarakat ataupun orang tua agar lebih memperhatikan kebersihan lingkungan serta membiasakan pada anak anak selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum makan agar memperkecil kemungkinan terjadinya infeksi cacing pada anak.

35 35 BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 26 sampel feses anak anak SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Persentase ditemukannya telur cacing Nematoda Usus pada anak anak SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya adalah sebanyak 3%. 2. Jenis Nematoda usus yang menginfeksi siswa SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya adalah Trichuris trichiura (cacing cambuk). B. Saran Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka penyusun memberikan saran sebagai berikut : 1. Kepada Sekolah SDN 14 Palangka dapat memberikan arahan kepada siswanya agar bisa menjaga kebersihan diri sendiri serta lingkungannya agar tidak ada lagi yang namanya infeksi kecacingan terhadap anak anak. 2. Kepada masyarakat khususnya orang tua agar dapat memperhatikan kebersihan lingkungan disekitarnya, dan memperhatikan pola hidup anak anak baik saat bermain, membeli jajanan, serta selalu rutin memberikan obat cacing setiap 6 bulan sekali. 3. Untuk Klinisi agar dapat melanjutkan penelitian kembali mengenai infeksi cacing di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya agar hasil penelitiannya nanti dapat diinformasikan kepada dinas kesehatan bahwa masih ditemukan prevalensi terjadinya infeksi kecacingan, agar dapat dilakukan penecegahan.

36 36 DAFTAR PUSTAKA Anwar Chairil, Atlas Parasitologi Kedokteran. Penerbit Hipokrates, Jakarta. Budiarto Eko, Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Budiman, Kajian Epidemiologi Lingkungan Penyakit Kecacingan Pada Kelompok Pemulung Di Tpk Sarimukti Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat. Diakses pada tanggal 03 Juli Depkes Pedoman Pengendalian Kecacingan. Diakses pada tanggal 26 Juni Entjang Indan Mikrobiologi dan prasitologi Untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah Tenaga Kesehatan yang Sederajat. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Gandasoebrata Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat, Jakarta. Gandahusada, Srisas Parasitologi Kedokteran, Edisi Ketiga. FKUI, Jakarta. Garcia, dkk Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC, Jakarta. H Akhsin Zulkoni Parasitologi. Nuha Medika, Yogyakarta Inge Susanti, dkk Parasitologi Kedokteran, Edisi Keempat. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI, Jakarta Notoatmodjo Soekidjo Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. Pinardi Hadidjaja, dkk Dasar Parasitologi Klinik, Edisi Pertama. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. Prianto Juni, dkk Atlas Parasitologi Kedokteran. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Rawina Winata, Upaya Pemberantasan Kecacingan Di Sekolah Dasar. Diakses pada tanggal 03 Juli Safar Rosdiana Parasitologi Kedokteran, Edisi Khusus. CV.Yrama Widya, Bandung. Widoyono Penyakit Tropis : Epidemiologi, penularan, Pencegahan, & Pemberantasannya. Penerbit Erlangga, Jakarta.

37 37 Lampiran 1 Data Hasil Pemeriksaan Feses pada anak anak SD Negeri 14 Palangka Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya yaitu sebagai berikut : No Kode Sampel A.lumbricoides (cacing gelang) Hasil Pemeriksaan Telur Cacing T.trichiura (cacing cambuk) E.vermicularis (cacing kremi) N.americanus dan A.duodenale (cacing tambang) 1 01 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif 2 02 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif 3 03 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif 4 04 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif 5 05 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif 6 06 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif 7 07 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif 8 08 (-)/Negatif (+)/Positif (-)/Negatif (-)/Negatif 9 09 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif Makroskopis Padat dan coklat Padat dan Padat dan Padat dan Padat dan Lembek dan Padat dan kuning kean Lembek dan Padat dan Padat dan Padat dan Lembek dan Padat dan Lembek dan Lembek dan hijau

38 (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif (-)/Negatif kecoklatan Lembek dan Lembek dan Lembek dan Lembek dan Padat dan Padat dan Lembek dan Padat dan Padat dan Lembek dan coelat Lembek dan Mengetahui, ( )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nematoda Usus Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, habitatnya didalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Nematoda Usus ini yang tergolong Soil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Enterobius vermicularis Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut tubuh melalui makanan, udara, tanah yang akan bersarang di usus besar pada waktu malam

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara 2.1 Helminthiasis Cacing merupakan parasit yang bisa terdapat pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes dari beberapa Nematoda usus. Sebagian besar daripada Nematoda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit halus)cacing tersebut menggulung dan berbentuk kumparan dan biasanya mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Higiene Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh

Lebih terperinci

xvii Universitas Sumatera Utara

xvii Universitas Sumatera Utara xvii BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths Manusia merupakan hospes yang utama untuk beberapa nematoda usus. Sebagian besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan yang penting

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Kecacingan Menurut asal katanya helminth berasal dari kata Yunani yang berarti cacing. Cacing merupakan hewan yang terdiri dari banyak sel yang membangun suatu jaringan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichuira, cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator

Lebih terperinci

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006)

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006) CACING TAMBANG Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006) PROGRAM STUDY D-IV ANALIS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG TAHUN 2015/2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengetahuan 2.1.1.1 Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah terjadinya pengindraan terhadap suatu objek menggunakan panca indra manusia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris Lumbricoides Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering dijumpai. Diperkirakan prevalensi di dunia berjumlah sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Soil Transmitted Helminhs Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik. Panjang cacing ini mulai

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-transmitted helminths Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda satu sama lain dalam habitat, daur hidup dan hubungan

Lebih terperinci

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI Oleh: Muhammad Fawwaz (101211132016) FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AIRLANGGA 1 DAFTAR ISI COVER... 1 DAFTAR ISI... 2 BAB I... 3 A. LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang 70 80%. Air sangat penting bagi kehidupan jasad renik ataupun kehidupan pada umumnya,

Lebih terperinci

2. Strongyloides stercoralis

2. Strongyloides stercoralis NEMATODA USUS CIRI-CIRI UMUM Simetris bilateral, tripoblastik, tidak memiliki appendages Memiliki coelom yang disebut pseudocoelomata Alat pencernaan lengkap Alat ekskresi dengan sel renette atau sistem

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis, merupakan infeksi cacing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis, merupakan infeksi cacing BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Cacing Kremi Penyakit infeksi cacing kremi atau enterobiasis adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis, merupakan infeksi cacing

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hygiene Perorangan Hygiene perorangan disebut juga kebersihan diri, kesehatan perorangan atau personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah Yunani

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. E. Vermicularis (Cacing Kremi) 1. Pengertian Umum Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk ke tubuh melalui makanan, pakaian, bantal, sprai serta inhalasi debu

Lebih terperinci

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecacingan 1. Definisi Kecacingan secara umum merupakan infeksi cacing (Soil transmitted helminthiasis) yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 17 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan. Kecacingan oleh STH ini ditularkan

Lebih terperinci

Pemeriksaan Darah Samar Benzidine Test. Metode yang digunakan adalah metode benzidine test.

Pemeriksaan Darah Samar Benzidine Test. Metode yang digunakan adalah metode benzidine test. Pemeriksaan Darah Samar Benzidine Test I. Tujuan Untuk mengetahui adanya perdarahan kecil yang tidak dapat dinyatakan secara makroskopik atau mikroskopik. II. Metode Metode yang digunakan adalah metode

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Tambang dan Cacing Gelang 1. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) a. Batasan Ancylostoma duodenale dan Necator americanus kedua parasit ini di

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Yang Siklus Hidupnya Melalui Tanah 1. klasifikasi Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes dan mempunyai kelas Nematoda, sedangkan superfamili

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah Tanah memegang peranan penting bagi masyarakat. Kehidupan tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia murni menata tubuh tanah menjadi bagian-bagian

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun 20 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminthiasis Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun yang tersering penyebarannya di seluruh dunia adalah cacing gelang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dan penyakitnya disebut Enterobiasis atau Oxyuriasis. lingkungan yang sesuai.( Sutanto I. dkk, 2008)

TINJAUAN PUSTAKA. dan penyakitnya disebut Enterobiasis atau Oxyuriasis. lingkungan yang sesuai.( Sutanto I. dkk, 2008) B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Enterobius vermicularis 1. Distribusi geografis Enterobius vermicularis (cacing kremi, pinworm,seatworm) telah diketahui sejak dahulu dan telah dilakukan penelitian mengenai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminths Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris, mempunyi saluran cerna yang berfungsi penuh. Biasanya berbentuk silindris serta panjangnya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi menggerogoti kesehatan

Lebih terperinci

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi Distribusi Geografik Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A. lumbricoides masih cukup tinggi, sekitar 60-90%. Etiologi Cara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecacingan (Ascariasis dan Trichuriasis) 1. Definisi Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris lumbricoides dalam tubuh manusia. Spesies cacing yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak Sekolah Dasar merupakan sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths (STH) Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan (Rusmartini, 2009). Cacing

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing golongan nematoda usus yang penularannya melalui tanah. Dalam siklus hidupnya, cacing ini membutuhkan tanah untuk proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit berupa cacing kedalam tubuh manusia karena menelan telur cacing. Penyakit ini paling umum tersebar

Lebih terperinci

PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG. Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK

PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG. Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisa hasil pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara tropis, termasuk Indonesia. Penyakit ini juga paling rentan dialami anak usia Sekolah Dasar (SD). Cacingan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis cacing Sebagian besar infeksi cacing terjadi di daerah tropis yaitu di negaranegara dengan kelembaban tinggi dan terutama menginfeksi kelompok masyarakat dengan higiene

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Helminthiasis Nematoda mempunyai jumlah spesies terbanyak di antara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Cacing tersebut berbeda-beda dalam habitat,daur hidup dan hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih dari satu miliar orang terinfeksi oleh Soil Transmitted Helminth (STH) (Freeman et al, 2015).

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Nematoda Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan masih menghadapi berbagai masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis soil transmitted

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis soil transmitted BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Kecacingan 2.1.1 Definisi Kecacingan Helmintiasis (kecacingan) menurut WHO adalah infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Soil Transmitted Helminths (STHs) Soil Transmitted Helminths (STHs) adalah kelompok parasit golongan nematoda usus yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui

Lebih terperinci

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS PARASITOLOGI OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS DEFINISI PARASITOLOGI ialah ilmu yang mempelajari tentang jasad hidup untuk sementara atau menetap pada/ di dalam jasad hidup lain dengan maksud mengambil sebagian

Lebih terperinci

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh: KHOIRUN NISA NIM. 031610101084 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing tularan tanah merupakan cacing yang paling sering menginfeksi manusia, biasanya hidup di dalam saluran pencernaan manusia (WHO, 2011). Spesies cacing tularan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode-metode pemeriksaan tinja Dasar dari metode-metode pemeriksaan tinja yaitu pemeriksaan langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan langsung adalah pemeriksaan yang langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 dalam Bab I Pasal 1 disebutkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Timur. Terdapat bukti berupa lukisan pada kuburan Mesir kuno yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Timur. Terdapat bukti berupa lukisan pada kuburan Mesir kuno yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Selada Keriting Selada keriting (Lactuca Sativa L.) adalah tanaman asli lembah Mediterania Timur. Terdapat bukti berupa lukisan pada kuburan Mesir kuno yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil Transmitted Helminths 2.1.1 Definisi Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas Nematoda) yang dapat menyebabkan infeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-Transmitted Helminths Cacing yang tergolong dalam kelompok Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan tanah yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil-Transmitted Helminths (STH) STH adalah cacing yang dalam siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Ukuran sangat bervariasi,

Lebih terperinci

PREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG

PREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG MKM Vol. 03 No. 02 Desember 2008 PREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG Jansen Loudwik Lalandos 1, Dyah Gita Rambu Kareri 2 Abstract: Kualitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Nematoda Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Soil Transmitted Helminths 2.1.1 Definisi Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan sejumlah spesies cacing parasit kelas Nematoda yang dapat menginfeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit parasit baik yang disebabkan oleh cacing, protozoa, maupun serangga parasitik pada manusia banyak terdapat di negara berkembang dan beriklim tropis,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cacing Usus Cacing usus yang dimaksud di sini adalah beberapa jenis nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Terdapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Soil Transmitted Helminths STH (Soil Transmitted Helminths) adalah cacing golongan nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektif. Di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Infeksi Kecacingan a. Pengertian Infeksi Kecacingan Infeksi kecacingan adalah masuknya suatu bibit penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme (cacing)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. usus yang masih tinggi angka kejadian infeksinya di masyarakat. Penyakit ini

BAB 1 PENDAHULUAN. usus yang masih tinggi angka kejadian infeksinya di masyarakat. Penyakit ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Enterobius vermicularis atau cacing kremi adalah salah satu jenis cacing usus yang masih tinggi angka kejadian infeksinya di masyarakat. Penyakit ini mempunyai daerah

Lebih terperinci

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI Diajukan Oleh : Restian Rudy Oktavianto J500050011 Kepada : FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan permasalahan yang banyak ditemukan di masyarakat namun kurang mendapat perhatian. Di dunia lebih dari 2 milyar orang terinfeksi berbagai jenis

Lebih terperinci

JUMLAH tahun tahun tahun

JUMLAH tahun tahun tahun 30 MEMBUDAYAKAN KEBIASAAN MENCUCI TANGAN ( STUDI KASUS PENANGANAN MASALAH KECACINGAN PADA ANAK DI DUSUN MANYULUH, DESA LAHEI, KECAMATAN MENTANGAI, KABUPATEN KAPUAS, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH ) ASTRID

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminth 1. Klasifikasi Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies mempunyai

Lebih terperinci

N E M A T H E L M I N T H E S

N E M A T H E L M I N T H E S N E M A T H E L M I N T H E S Nema = benang, helminthes = cacing Memiliki rongga tubuh yang terbentuk ketika ektodermis membentuk mesodermis, tetapi belum memiliki mesenterium untuk menggantungkan visceral

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria), dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria), dan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Kecacingan Infeksi cacingan adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan minuman atau melalui kulit dimana tanah sebagai media penularannya yang disebabkan oleh cacing

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan cacing kelas nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing yang termasuk STH antara lain cacing

Lebih terperinci

PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN

PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah45 PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN Oleh : Ersandhi Resnhaleksmana Dosen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Diare Penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Selain penyakit ini masih endemis di hampir semua daerah, juga sering muncul

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006,

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %. Kejadian kecacingan STH yang tertinggi terlihat pada anak-anak, khususnya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN CACINGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN CACINGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN CACINGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa cacingan

Lebih terperinci

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur Julia Suwandi, Susy Tjahjani, Meilinah Hidayat Bagian Parasitologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor meningkatnya kejadian infeksi adalah kebiasaan hidup yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang higinis adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang prevalensinya sangat tinggi di Indonesia, terutama cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helminth

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN INFEKSI CACING USUS YANG DITRANSMISIKAN MELALUI TANAH (SOIL-TRANSMITTED HELMINTHS) DENGAN PENDAPATAN KELUARGA PADA SISWA SDN 09 PAGI PASEBAN TAHUN 2010 SKRIPSI ARINI PUTRIHERYANTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahwa Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Helminthiasis atau kecacingan menurut World Health Organization (WHO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Helminthiasis atau kecacingan menurut World Health Organization (WHO) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Kecacingan Helminthiasis atau kecacingan menurut World Health Organization (WHO) adalah infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari cacing gelang

Lebih terperinci

GAMBARAN KEBERSIHAN TANGAN DAN KUKU DENGAN INFEKSI ENTEROBIASIS PADA SISWA SEKOLAH DASAR DI KOTA MEDAN

GAMBARAN KEBERSIHAN TANGAN DAN KUKU DENGAN INFEKSI ENTEROBIASIS PADA SISWA SEKOLAH DASAR DI KOTA MEDAN GAMBARAN KEBERSIHAN TANGAN DAN KUKU DENGAN INFEKSI ENTEROBIASIS PADA SISWA SEKOLAH DASAR DI KOTA MEDAN Salbiah Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Enterobius vermicularis adalah Nematoda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Sampai saat ini penyakit kecacingan masih tetap

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths (STH) Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit infeksikecacingan yang ditularkan melalui tanah(soil transmitted

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara berkembang, Indonesia masih menghadapi masalah tingginya prevalensi penyakit infeksi, terutama yang berkaitan dengan kondisi sanitasi lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya parasit berupa cacing di dalam tubuh manusia. Kecacingan merupakan penyakit dengan insiden

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Nematoda Usus (Soil Transmited Helminth) Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar penularannya melalui tanah maka di golongkan dalam

Lebih terperinci